Oleh: Hariman Dahrif *)
Tekstur tanah yang labil, curah hujan yang
tinggi menyebabkan terjadinya longsor dengan frekwensi yang tidak menentu.
Hal-hal tersebut sering menimbulkan gangguan bila menuju wilayah-wilayah
tersebut. Selama ini pemerintah hanya berharap banyak terselesaikannya jalan
Mimika-Paniai, konon menyisahkan jarak sekitar 60- 80 an km lagi.
Namun
berkaca dengan permasalahan yang disebutkan, agak pestimis bila pembangunan di
wilayah ini hanya bertumpu menunggu sisa penyelesaian lintasan tersebut.
Terbayang di benak kita semua bahwa paska selesainya lintasan tersebut maka
beton-ton barang dan jasa akan melewatinya, dan bisa dipastikan kondisi jalan
lagi-lagi bakal menjadi hambatan yang sangat serius. Oleh karena itu perlu
alternatif lain untuk membuka akses keterisolasian wilayah tersebut, yang tidak
hanya bertumpu pada perencanaan tersebut, tetapi juga bisa memanfaatkan peluang
dari wilayah lain serta tidak melupakan Intan Jaya yang selama ini aksesnya
hanya bisa dilewati dengan pesawat. Akses tersebut adalah Teluk Etna, yang
berada di Kabupaten Dogiyai.
Stakeholders
terkait baik pemerintah maupun perencana di Provinsi Papua selama ini mungkin
lupa jika Kabupaten Dogiyai itu sebelah selatan wilayahnya berbatasan dengan
lautan. Seperti disebutkan diatas, selama ini perhatian pemerintah Provinsi
Papua hanya tertuju pada pengembangan pelabuhan Poumako di Kabupaten Mimika,
untuk membuka akses wilayah tersebut. Alasannya mendekatkan distribusi barang
dari Surabaya dan Makasar, lalu dari sana distribusi barang-barang konveksi
maupun sembako dialirkan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di wilayah
Pegunungan Tengah Papua sampai ke Utara (Teluk Cenderawsih).
Itulah
skenario pembangunan yang digeluti selama ini.
Pada hal kita lupa, ternyata Teluk Etna, wilayah Dogiyai juga berpotensi
menjadi hub untuk mendistribusikan barang dan jasa. Letaknya sangat sentral
antara Nabire, Paniai, Deyai dan Intan Jaya sehingga menjadi pilihan yang
sangat tepat bila pemerintah menjadikannya sebagai hub logistik. Dari penuturan
beberapa kalangan, Teluk Etna sejak zamanBelanda telah dibuka menjadi
Pelabuhan. Wilayah ini bagian dari Distrik Mapia-Dogiyai yang berbatasan dengan
Kaimana, Papua Barat. Posisi lautnya yang berbentuk Teluk dan memiliki tingkat
kedalaman alami yang cukup, meskipun air laut surut. Pastinya parameter
oseanografinya sangat mendukung.
Dahulu
oleh Pemerintah Hinda Belanda dijadikan sebagi pintu eksport untuk memasarkan
beberapa komoditi termasuk Kopi Moenamani yang sangat terkenal kualitasnya.
Dari Kota Moenamani ibu Kota Kabupaten kini Pemda Dogiyai telah membuka jalan
ke arah lokasi tersebut menyisahkan jarak sekitar 80-60 km lagi. Persoalan
anggaran dan medan yang berat menurut Kepala Dinas PU Kabupaten Dogiyai, memang
menjadi hambatan, karena Pemerintah Pusat dan Provinsi belum memberikan
perhatian maksimal. Namun demikian selama ini masyarakat lancar bolak balik ke
wilayah tersebut, karena terdapat jalan setapak yang ada sejak zaman Belanda.
Jika saja pemerintah berkomitmen membuka lokasi ini, menurut penulis sangat
tepat. Paling tidak bisa mengurangi beban jalan yang sering rusak akibat muatan
sembako dari Nabire atau Timika nantinya. Kedua; jalur ini sangat potensial
mengakses perkembangan kemajuan kota Teluk Bintuni dan Kaimana yang kini tumbuh
dengan pesat.
Boleh
saja lewat jalur ini pipa gas dari Pabrik LNG Tangguh bisa dilewatkan menuju
wlayah utara di Papua tanpa melalui Sorong yang singkat hanya urang lebih 200
an km (Dogiyai-Nabire). Ketiga; jalur ini juga menjadi hub yang strategis
sebagai pelabuhan logistik dari Surabaya dan Makasar setelah Poumako di Mimika,
Keempat, ke depan barangkali jalur ini juga boleh menjadi hub distribusi Beras
Merauke ke wilayah teluk dan Pegunungan yang selama ini dikeluhkan pemerintah
daerah, menuju Nabire lalu terdistribusi ke Wilayah Teluk Cenderawsih bahkan
bisa dipergunakan juga hingga ke Manokwari, Sorong, Papua Barat.
Hal
ini sangat memungkinkan karena memotong jalur singkat, ketika harus memutar
kepala burung melewati Sorong. Inilah sebenarnya terusan tengah Papua tanpa
harus menyembelih daratan leher Pulau Papua, seperti yang sering diwacanakan
publik selama ini.
Selama
ini mungkin anda percaya atau tidak?, distribusi beras Merauke sebelum ke
wilayah utara Papua selalu melalui Surabaya terlebih dahulu, lalu kemudian
dipasarkan ke wilayah utara Papua. Bisa dibayangkan beras yang harusnya menjadi
potensi untuk Papua berswasembada dan bisa dinikmati harganya di bawah Rp
6.000,- an harus meningkat 2 - 3 kali lipat akibat tingginya biaya transportasi
hanya karena jalur distribusinya yang berliku.
Jarak
Teluk Etna - Merauke kurang lebih 600 mil, jika dilayari kapal kargo beras
dengan kecepatan 24 km/jm maka hanya butuh kurang dari dua hari, telah sampai
di Teluk Etna, dengan bahan bakar yang dihabiskan sudah pasti sangat minim.
Sehingga hargapun bisa ditekan serendah mungkin. Bandingkan dengan rute selama
ini melalui Surabaya?. Saat ini kebutuhan beras di Papua menurut data dari
Dolog, sekitar sekitar 113 ton.
Dua
pertiga dari persediaan itu bisa disediakan oleh Merauke selain Nabire dan
Lereh di Kab. Jayapura. Ini sebenarnya potensi yang sangat besar bila
dimanfaatkan oleh Pemda kerjasma dengan BULOG. Beras yang selama ini disubsidi
secara statis melalui penyediaan Raskin dari luar Papua berubah menjadi dinamis
oleh beras hasil produk petani lokalnya, terbelih dan dinikmati pula
masyarakatnya sendiri dengan harga yang murah akibat rantai distribusi yang
pendek tadi. Itulah salah satu contoh, keuntungan yang akan diperoleh oleh
Pemerintah dan Masyarakat Provinsi Papua bila saja Teluk Etna kembali
diposisikan sebagai hub logistik menghubungkan wilayah selatan dan utara Papua,
selain peluang-peluang keuntungan lainnya. Semoga!.
*)
Pemerhati Sosial Ekonomi serta isu-isu kebangsaan di Papua, tinggal di
Aryoko-Jayapura; harimandarif@yahoo.co.id
(Dosen UNIYAP Papua) Sehari-hari bekerja
di Bappeda Provinsi Papua
0 komentar:
Posting Komentar