Jumat, 03 November 2017

Papua dan Diri Kita yang Berubah

Oleh I Ngurah Suryawan *)


Perjalanan kehidupan seseorang seringkali mengalami kelokan-kelokan tajam yang tak terduga sebelumnya. Itulah yang saya alami dan rasakan. Saat melanjutkan studi tahun 2009, saya mengambil salah satu keputusan terbesar dalam hidup saya: memutuskan menjadi dosen di Papua Barat. Tanpa saya sadari, saya masih bertahan hingga kini. Dunia saya berubah, dari Bali ke Papua. Urusan dengan Bali adalah hanya persoalan domestik (keluarga), tidak lagi soal akademik. Secara emosi akademik saya merasa berjarak dengan Bali, tumpah darah dan awal saya menekuni karir akademik sejak tahun 1997.
Dari Bali saya menuju Papua. Tentu ini tantangan besar bagi kehidupan sekaligus horizon akademik saya. Kajian wilayah dengan manusia dan kebudayaannya, saya rasakan banyak memberikan wawasan baru bagi sensitifitas kemanusiaan. Hal itu saya rasakan betul saat bersentuhan dengan Papua. Minat studi saya pun bergerak liar tak tentu arah. Energi penelitian meletup-letup sejak saya tercatat secara resmi bergabung di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat sejak tahun 2010. Saya beranikan diri—tepatnya nekad—untuk mempublikasi secara pribadi beberapa karya: Jiwa yang Patah (2012), Mencari Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015) dan Papua Versus Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya (2017).
Studi tentang Papua ini seolah menjadi cermin dalam perjalanan akademik saya. Proses refleksi diri saya lakukan dengan melihat kajian tragedi 1965 yang menjadi awal penelitian akademik hingga dinamika identitas orang Papua dalam proses transformasi sosial budaya. Sebagai seorang Bali yang belajar antropologi, saya menemukan diri saya sendiri dalam perjalanan panjang akademik dan kehidupan tersebut. Saya mempelajari dinamika identitas budaya orang Papua sekaligus juga menjadi cermin dalam perjalanan hidup saya sendiri. Saya belajar mengapresiasi orang lain, dalam hal ini permasalahan yang terjadi di Papua, yang juga adalah masalah kita bersama. Dari permasalahan Papua saya mencoba melihat masalah saya dan kita semuanya.
Saya merasa menemukan diri dalam perjalanan panjangan akademik tersebut. Saya mempelajari perjuangan orang-orang Bali yang dikorbankan pada sejarah pembantaian massal 1965. Begitu juga yang terjadi ketika orang-orang Papua biasa menjadi korban dari tipu muslihat para elit Papua. Dalam kedua konteks peristiwa, saya melihat ada orang-orang opurtunis yang mengorbankan orang-orang lain. Refleksi terdalamnya saya kira adalah bahwa studi kebudayaan, perspektif “antropologi baru” yang saya tekuni, jauh dari keinginan untuk mengasingkan orang Bali atau orang Papua dalam hal ini. Studi “antropologi baru” justru sebaliknya yaitu berkeingan secara bersama-sama antara antropolog dan subyek yang ditelitinya berpartisipasi dan bergerak bersama untuk merubah diri masing-masing.

Garis depan
Tantangan terbesar ilmu antropologi khususnya di kawasan-kawasan frontier (garis depan) seperti di Papua adalah menempatkannya dalam konteks pusaran pemaknaan transformasi sosial budaya yang dialami manusia itu sendiri. Antropologi, dengan demikian menjadi “senjata” dalam menghadapi desakan perubahan social budaya yang tak terhindarkan. Penelitian ini merefleksikan kuasa etnografi dalam rentang panjang perjalanan reproduksi pengetahuan kebudayaan Papua. Terutama sekali adalah kritik terhadap akumulasi pengetahuan tentang kebudayaan Papua yang diulang-ulang dan melupakan konteks perubahan sosial.
Studi klasik tentang identifikasi tujuh unsur kebudayaan menunjukkan untuk  mereproduksi karakteristik dan variasi yang tinggi dalam kebudayaan Papua. Perspektif ini hanya terbatas untuk memberikan ciri-ciri kebudayaan Papua, melokalisirnya, dan semakin mengentalkan pandangan eksotisme. Etnografi yang dihasilkan juga sangat kolonialistik dengan terminologi “masyarakat terasing”, “terkebelakang”, “tidak beradab” dan proses kuasa pengetahuan dengan mengidentifikasi nilai-nilai kebudayaan Papua yang mendukung dan menghambat pembangunan (modernitas).
Realitas masyarakat Papua adalah mobilitas yang tinggi, terinterkoneksi dengan etnik budaya lain dengan keragaman budayanya, dan relasi mereka dengan kuasa investasi global. Pada momen-momen pertemuan itulah masyarakat Papua mempunyai kesempatan untuk memikirkan pembaharuan-pembaharuan identitas dan kebudayaannya. Di sisi lain mobilitas dan keterhubungan masyarakat Papua dengan dunia luar semakin membuka peluang untuk berpikir melampaui batas-batas budaya dan lokalitas tertentu.

Reflektif
Menafsirkan masyarakat Papua yang sedang bergerak inilah tugas utama ilmu antropologi untuk memberikan makna bagi proses perubahan sosial budaya di tanah Papua. Antropologi dengan itu menjadi reflektif untuk secara bersama-sama mengubah diri antropolog itu sendiri dan sang liyan yang juga sedang berjuang untuk berubah.
Proses menjadikan diri reflektif dan inklusif tidaklah mudah. Penjelajahan yang panjang terhadap sisi-sisi getir kemanusiaan sangatlah diperlukan. Fragmen-fragmen manusia yang “dikalahkan” membuka ruang refleksi yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri manusia yang terus berubah. Kebudayaan menawarkan ruang bagi refleksi kritik diri manusia dalam rentang sejarahnya. Diri manusia bukanlah substansi, tetapi subyek yang terus bergerak, jadi diri manusia, dan juga demikian dengan identitasnya adalah sebuah gerakan sosial.
Pemahaman kebudayaan dengan perspektif reflektif berkaitan dengan revolusi kesadaran historis manusia akan hakekat hidupnya. Pada titik inilah dilantunkan eksistensi manusia yang terbentang antara masa lampau dan masa depan. Pemahaman kebudayaan dengan demikian bertumpu pada pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya. Bagi manusia, memahami kebudayaan juga berarti pemahaman dirinya, identitasnya sendiri. Jika demikian, memahami kebudayaan lain (antar budaya), selain berusaha untuk belajar bersama-sama kebudayaan tersebut juga adalah memahami diri manusia tersebut. Semangatnya adalah mengapresiasi budaya lain dan juga dalam rangka menemukan identitas diri yang inklusif, dinamis, transformatif, dan dengan demikian juga dialektis.  
Papua melalui orang-orang dan kebudayaan memberikan saya pelajaran, hanya dengan diri yang reflektif dan inklusif kita mampu untuk menjelajahi sekaligus memahami relung-relung kehidupan orang lain. Melalui orang lain kita bisa bercermin tentang diri kita. Keberbedaan dan penjajahan disingkirkan oleh kemanusiaan. Kita akan selalu berubah dan merubah diri bersama dengan orang-orang lain dengan identitas dan kebudayaanya.***

 *)Dosen Antropologi di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.



0 komentar:

Posting Komentar