Oleh I Ngurah Suryawan *)
Perjalanan kehidupan seseorang seringkali mengalami
kelokan-kelokan tajam yang tak terduga sebelumnya. Itulah yang saya alami dan
rasakan. Saat melanjutkan studi tahun 2009, saya mengambil salah satu keputusan
terbesar dalam hidup saya: memutuskan menjadi dosen di Papua Barat. Tanpa saya
sadari, saya masih bertahan hingga kini. Dunia saya berubah, dari Bali ke
Papua. Urusan dengan Bali adalah hanya persoalan domestik (keluarga), tidak
lagi soal akademik. Secara emosi akademik saya merasa berjarak dengan Bali,
tumpah darah dan awal saya menekuni karir akademik sejak tahun 1997.
Dari Bali saya menuju Papua. Tentu ini tantangan besar bagi
kehidupan sekaligus horizon akademik saya. Kajian wilayah dengan manusia dan
kebudayaannya, saya rasakan banyak memberikan wawasan baru bagi sensitifitas
kemanusiaan. Hal itu saya rasakan betul saat bersentuhan dengan Papua. Minat
studi saya pun bergerak liar tak tentu arah. Energi penelitian meletup-letup
sejak saya tercatat secara resmi bergabung di Universitas Papua (UNIPA)
Manokwari, Papua Barat sejak tahun 2010. Saya beranikan diri—tepatnya
nekad—untuk mempublikasi secara pribadi beberapa karya: Jiwa yang Patah (2012), Mencari
Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015) dan Papua Versus Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya (2017).
Studi tentang Papua ini seolah menjadi cermin dalam perjalanan
akademik saya. Proses refleksi diri saya lakukan dengan melihat kajian tragedi
1965 yang menjadi awal penelitian akademik hingga dinamika identitas orang
Papua dalam proses transformasi sosial budaya. Sebagai seorang Bali yang
belajar antropologi, saya menemukan diri saya sendiri dalam perjalanan panjang
akademik dan kehidupan tersebut. Saya mempelajari dinamika identitas budaya
orang Papua sekaligus juga menjadi cermin dalam perjalanan hidup saya sendiri.
Saya belajar mengapresiasi orang lain, dalam hal ini permasalahan yang terjadi
di Papua, yang juga adalah masalah kita bersama. Dari permasalahan Papua saya
mencoba melihat masalah saya dan kita semuanya.
Saya merasa menemukan diri dalam perjalanan panjangan akademik
tersebut. Saya mempelajari perjuangan orang-orang Bali yang dikorbankan pada
sejarah pembantaian massal 1965. Begitu juga yang terjadi ketika orang-orang
Papua biasa menjadi korban dari tipu muslihat para elit Papua. Dalam kedua
konteks peristiwa, saya melihat ada orang-orang opurtunis yang mengorbankan
orang-orang lain. Refleksi terdalamnya saya kira adalah bahwa studi kebudayaan,
perspektif “antropologi baru” yang saya tekuni, jauh dari keinginan untuk
mengasingkan orang Bali atau orang Papua dalam hal ini. Studi “antropologi
baru” justru sebaliknya yaitu berkeingan secara bersama-sama antara antropolog
dan subyek yang ditelitinya berpartisipasi dan bergerak bersama untuk merubah
diri masing-masing.
Garis depan
Tantangan terbesar ilmu antropologi khususnya di kawasan-kawasan frontier (garis depan) seperti di Papua
adalah menempatkannya dalam konteks pusaran pemaknaan transformasi sosial
budaya yang dialami manusia itu sendiri. Antropologi, dengan demikian menjadi
“senjata” dalam menghadapi desakan perubahan social budaya yang tak
terhindarkan. Penelitian ini merefleksikan kuasa etnografi dalam rentang
panjang perjalanan reproduksi pengetahuan kebudayaan Papua. Terutama sekali
adalah kritik terhadap akumulasi pengetahuan tentang kebudayaan Papua yang
diulang-ulang dan melupakan konteks perubahan sosial.
Studi klasik tentang identifikasi tujuh unsur kebudayaan
menunjukkan untuk mereproduksi
karakteristik dan variasi yang tinggi dalam kebudayaan Papua. Perspektif ini
hanya terbatas untuk memberikan ciri-ciri kebudayaan Papua, melokalisirnya, dan
semakin mengentalkan pandangan eksotisme. Etnografi yang dihasilkan juga sangat
kolonialistik dengan terminologi “masyarakat terasing”, “terkebelakang”, “tidak
beradab” dan proses kuasa pengetahuan dengan mengidentifikasi nilai-nilai
kebudayaan Papua yang mendukung dan menghambat pembangunan (modernitas).
Realitas masyarakat Papua adalah mobilitas yang tinggi,
terinterkoneksi dengan etnik budaya lain dengan keragaman budayanya, dan relasi
mereka dengan kuasa investasi global. Pada momen-momen pertemuan itulah
masyarakat Papua mempunyai kesempatan untuk memikirkan pembaharuan-pembaharuan
identitas dan kebudayaannya. Di sisi lain mobilitas dan keterhubungan
masyarakat Papua dengan dunia luar semakin membuka peluang untuk berpikir
melampaui batas-batas budaya dan lokalitas tertentu.
Reflektif
Menafsirkan masyarakat Papua yang sedang bergerak inilah tugas
utama ilmu antropologi untuk memberikan makna bagi proses perubahan sosial
budaya di tanah Papua. Antropologi dengan itu menjadi reflektif untuk secara
bersama-sama mengubah diri antropolog itu sendiri dan sang liyan yang juga sedang berjuang untuk berubah.
Proses menjadikan diri reflektif dan inklusif tidaklah mudah.
Penjelajahan yang panjang terhadap sisi-sisi getir kemanusiaan sangatlah
diperlukan. Fragmen-fragmen manusia yang “dikalahkan” membuka ruang refleksi
yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri manusia yang
terus berubah. Kebudayaan menawarkan ruang bagi refleksi kritik diri manusia
dalam rentang sejarahnya. Diri manusia bukanlah substansi, tetapi subyek yang
terus bergerak, jadi diri manusia, dan juga demikian dengan identitasnya adalah
sebuah gerakan sosial.
Pemahaman kebudayaan dengan perspektif reflektif berkaitan dengan
revolusi kesadaran historis manusia akan hakekat hidupnya. Pada titik inilah
dilantunkan eksistensi manusia yang terbentang antara masa lampau dan masa
depan. Pemahaman kebudayaan dengan demikian bertumpu pada pemahaman atas diri sendiri
dalam konteks historisnya. Bagi manusia, memahami kebudayaan juga berarti
pemahaman dirinya, identitasnya sendiri. Jika demikian, memahami kebudayaan
lain (antar budaya), selain berusaha untuk belajar bersama-sama kebudayaan
tersebut juga adalah memahami diri manusia tersebut. Semangatnya adalah
mengapresiasi budaya lain dan juga dalam rangka menemukan identitas diri yang
inklusif, dinamis, transformatif, dan dengan demikian juga dialektis.
Papua melalui orang-orang dan kebudayaan memberikan saya pelajaran,
hanya dengan diri yang reflektif dan inklusif kita mampu untuk menjelajahi
sekaligus memahami relung-relung kehidupan orang lain. Melalui orang lain kita
bisa bercermin tentang diri kita. Keberbedaan dan penjajahan disingkirkan oleh
kemanusiaan. Kita akan selalu berubah dan merubah diri bersama dengan
orang-orang lain dengan identitas dan kebudayaanya.***
*)Dosen
Antropologi di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari,
Papua Barat.
0 komentar:
Posting Komentar