Jumat, 03 November 2017

DPT Fiktif Sumber konflik di Papua

Oleh : Lakius Peyon *)

  Pemilu Gubernur Papua kian dekat. Aromanya sangat terasa di setiap sudut Papua. Sejumlah tokoh terbaik Papua bertarung. Iklim poliknya kian memanas. Tentu kita semua berharap politik di Papua aman dan damai.
  Tetapi pengalaman pemilu di Papua sering kita meninggalkan jejak konflik. Bahkan menjadi konflik laten. Tidak tanggung2 kita selalu membayarnya dgn puluhan nyawa. Bahkan tahun ini Mendagri dan Menkopolhukam harus turun tangan atasi konflik pemilukada di 6 kabupaten di papua dengan membentuk tim khusus. 
  Saya  merasa perlu untuk mengingatkan kita untuk meminimalisir potensi konflik yg terjadi.  Hal ini dimaksudkan agar kita semua tentu saja para pihak yg terlibat langsung dalam pemilu nanti perlu mengambil langkah2 kongkrit dalam rangka mengantipasi kemungkinan konflik yg terjadi. 
  Menurut saya salah satu potensi konflik yang sangat mungkin terjadi pada pemilu gubernur maupun pemilu bupati nanti maupun yg sering terjadi sebelumnya adalah akibat rusaknya sistem pendataan penduduk di Papua.
  Semua data kependudukan terutama di pegungan tengah Papua adalah data penduduk yang paling hancur dan paling rusak di Indonesia. 
   Saya pikir kita semua sangat sadar dan dengan kesadaran juga kita naikan data penduduk fiktif. Bukan cuma pemerintah daerah dan semua pihak di daerah yang menaikan jumlah penduduk fiktif tetapi saya pikir staf yg menginput data di pusatpun mingkin tahu persoalan ini dan merekapun (mungkin) menginput data fiktif secara sadar.
   Logika saya sederhana saja. Sebagian orang asli Papua sudah pindah dan hidup di kota. Artinya penduduk di kampung-kampung sudah harus turun tetapi semakin meningkat. 
   Contoh lain adalah kita di daerah pemekaran kabupaten Jayawijaya. Saat ini Jayawijaya sudah mekarkan 7 kabupaten maka tentu saja penduduknya semakin kecil tetapi justru sebaliknya. Jumlah semakin luar biasa kenaikan hingga diperkirakan 1000% lebih (lihat DPT 8 kabupaten) . 
   Pernah ada seseorang mengatakan, kita naikan jumlah penduduk berdasarkan rumus yang ada.  Ya rumusnya 5% kenaikan perkampung pertahun katanya. Masa, ada manusia lahir di semua kampung tiap tahun 5% ?
  Jumlah penduduk adalah fakta sehingga tdk ada rumus yg dapat digunakan. Apalagi kita simpulkan  sekian persen dalam kurun tertentu.
   Rusaknya data ini mengakibatkan banyak masalah terjadi dimana-mana. Mulai dari akurasi IPM, angka kemiskinan, angka buta aksara, penyediaan layanan kesehatan melalui jamkes maupun daftar pemilih tetap hingga penyusunan APBD yang tidak berimbang.
  Dari cerita2 di atas berdasarkan pengalaman saya terlibat langsung dlm beberapa pemilu belakangan ini maupun berdasarkan kesaksian orang lain, saya mengambil kesimpulan bahwa salah satu potensi konflik sesungguhnya adalah Daftar Pemilih Tetap Fiktif (DPTF).
 DPTF adalah daftar nama yang bukan nama manusia tetapi nama tak bertuan. Data nama-nama fiktif ini mengacu pada jumlah penduduk fiktif yang bersumber dari dinas kependudukan dan  KPUD tanpa verifikasi keabsahan diakui sebagai DPT. 
Belakangam ini banyak orang berargumen bahwa sistem Noken adalah salah satu potensi konflik. Menurut Penulis, Tidak. Mengapa ? Karena masalahnya ada di DPTF, bukan sistem noken.  Sistem noken  cuma sarana, sama artinya dengan kotak suara. Sama dengan karton. Ia Cuma benda mati. Benda yang diatur oleh manusia. Tempat isi surat suara.
  Cara pemilihan di Pegunungan Tengah Papua bahkan  bukan hanya sistem   noken tapi ada tiga  sistem pemilu yang dipraktekan di sini yaitu sistem noken, sistem ikat dan sistem buka-tutup. Tiga sistem pemilu ini lahir bukan karena orang Papua di pedalaman sini tidak bisa mencoblos. Sama sekali tidak. Tetapi tiga sistem ini diprakarsai oleh para elite politik untuk mengamankan suara fiktif dimaksud. Jika tidak demikian banyak suara dapat dinyatakan suara tidak terpakai.
Contohnya begini. Di salah satu TPS  jumlah manusia ril yg memenuhi syarat pemilu 20 orang tapi jumlah DPT di atas kertas  atau DPT fiktif tadi mencapai 500 pemilih. Dengan demikian, masih ada suara lebih atau DPTF sekitar 480 pemilih setelah 20 orang itu memilih. Suara sisah (DPTF) ini kemudian diklaim oleh KPPS dan kepala kampung. Tim  sukses lain tentu  tidak terima dan mulai ribut dan terjadi perkelahian bahkan pembunuhan. 
   Persoalan serupa selalu muncul di semua TPS hingga masuk pada saat pleno KPUD bahkan gugatan ke MK. Walaupun gugatan ditolak di Mk tetapi masyarakat tetap tidak mengakui karena mereka menyaksikan langsung pelanggaran itu. 
Di Pegunungan Tengah Papua  kasus ini sudah sangat kacau balau. Mau mulai dari mana dan berakhir di mana. Siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri. Mau mengakui malu. Mau biarkan, akan jadi bom waktu.
   Untuk itu  di daerah saya kabupaten Yalimo saya  memilih menggunakan data EKTP sebagai satu-satunya acuan data DPT pada pemilu 2019. Iya karena ketika kita menggunakan e-KTP rakyat  tidak lagi saling rebutan yang bermuara pada konflik.
   Jika kita semua bena-rbenar berkomitmen sayang masyarakat, mari kita akhiri konflik dengan pendataan pemilih secara benar. Agar setiap warga negara memilih secara bebas tanpa ancaman pihak-pihak lain sekaligus kita para politisi menang secara terhormat karena kita menang bukan dari suara fiktif. ***

*) Lakius Peyon adalah Bupati Kabupaten Yalimo


0 komentar:

Posting Komentar