Oleh : Lakius Peyon *)
Pemilu Gubernur Papua kian dekat. Aromanya
sangat terasa di setiap sudut Papua. Sejumlah tokoh terbaik Papua bertarung.
Iklim poliknya kian memanas. Tentu kita semua berharap politik di Papua aman
dan damai.
Tetapi pengalaman pemilu di Papua sering kita
meninggalkan jejak konflik. Bahkan menjadi konflik laten. Tidak tanggung2 kita
selalu membayarnya dgn puluhan nyawa. Bahkan tahun ini Mendagri dan
Menkopolhukam harus turun tangan atasi konflik pemilukada di 6 kabupaten di
papua dengan membentuk tim khusus.
Saya merasa perlu untuk mengingatkan
kita untuk meminimalisir potensi konflik yg terjadi. Hal ini dimaksudkan
agar kita semua tentu saja para pihak yg terlibat langsung dalam pemilu nanti
perlu mengambil langkah2 kongkrit dalam rangka mengantipasi kemungkinan konflik
yg terjadi.
Menurut saya salah satu potensi konflik yang
sangat mungkin terjadi pada pemilu gubernur maupun pemilu bupati nanti maupun
yg sering terjadi sebelumnya adalah akibat rusaknya sistem pendataan penduduk
di Papua.
Semua data kependudukan terutama di pegungan
tengah Papua adalah data penduduk yang paling hancur dan paling rusak di
Indonesia.
Saya pikir kita semua sangat sadar dan
dengan kesadaran juga kita naikan data penduduk fiktif. Bukan cuma pemerintah
daerah dan semua pihak di daerah yang menaikan jumlah penduduk fiktif tetapi
saya pikir staf yg menginput data di pusatpun mingkin tahu persoalan ini dan
merekapun (mungkin) menginput data fiktif secara sadar.
Logika saya sederhana saja. Sebagian orang
asli Papua sudah pindah dan hidup di kota. Artinya penduduk di kampung-kampung
sudah harus turun tetapi semakin meningkat.
Contoh lain adalah kita di daerah pemekaran
kabupaten Jayawijaya. Saat ini Jayawijaya sudah mekarkan 7 kabupaten maka tentu
saja penduduknya semakin kecil tetapi justru sebaliknya. Jumlah semakin luar
biasa kenaikan hingga diperkirakan 1000% lebih (lihat DPT 8 kabupaten) .
Pernah ada seseorang mengatakan, kita naikan
jumlah penduduk berdasarkan rumus yang ada. Ya rumusnya 5% kenaikan
perkampung pertahun katanya. Masa, ada manusia lahir di semua kampung tiap
tahun 5% ?
Jumlah penduduk adalah fakta sehingga tdk ada
rumus yg dapat digunakan. Apalagi kita simpulkan sekian persen dalam
kurun tertentu.
Rusaknya data ini mengakibatkan banyak masalah
terjadi dimana-mana. Mulai dari akurasi IPM, angka kemiskinan, angka buta
aksara, penyediaan layanan kesehatan melalui jamkes maupun daftar pemilih tetap
hingga penyusunan APBD yang tidak berimbang.
Dari cerita2 di atas berdasarkan pengalaman
saya terlibat langsung dlm beberapa pemilu belakangan ini maupun berdasarkan
kesaksian orang lain, saya mengambil kesimpulan bahwa salah satu potensi
konflik sesungguhnya adalah Daftar Pemilih Tetap Fiktif (DPTF).
DPTF adalah daftar nama
yang bukan nama manusia tetapi nama tak bertuan. Data nama-nama fiktif ini
mengacu pada jumlah penduduk fiktif yang bersumber dari dinas kependudukan dan
KPUD tanpa verifikasi keabsahan diakui sebagai DPT.
Belakangam ini banyak orang
berargumen bahwa sistem Noken adalah salah satu potensi konflik. Menurut
Penulis, Tidak. Mengapa ? Karena masalahnya ada di DPTF, bukan sistem noken. Sistem noken cuma sarana, sama artinya
dengan kotak suara. Sama dengan karton. Ia Cuma benda mati. Benda yang diatur
oleh manusia. Tempat isi surat suara.
Cara pemilihan di Pegunungan Tengah Papua
bahkan bukan hanya sistem noken tapi ada tiga sistem pemilu
yang dipraktekan di sini yaitu sistem noken, sistem ikat dan sistem buka-tutup.
Tiga sistem pemilu ini lahir bukan karena orang Papua di pedalaman sini tidak
bisa mencoblos. Sama sekali tidak. Tetapi tiga sistem ini diprakarsai oleh para
elite politik untuk mengamankan suara fiktif dimaksud. Jika tidak demikian
banyak suara dapat dinyatakan suara tidak terpakai.
Contohnya begini. Di salah satu
TPS jumlah manusia ril yg memenuhi syarat pemilu 20 orang tapi jumlah DPT
di atas kertas atau DPT fiktif tadi mencapai 500 pemilih. Dengan
demikian, masih ada suara lebih atau DPTF sekitar 480 pemilih setelah 20 orang
itu memilih. Suara sisah (DPTF) ini kemudian diklaim oleh KPPS dan kepala
kampung. Tim sukses lain tentu tidak terima dan mulai ribut dan
terjadi perkelahian bahkan pembunuhan.
Persoalan serupa selalu muncul di semua TPS
hingga masuk pada saat pleno KPUD bahkan gugatan ke MK. Walaupun gugatan
ditolak di Mk tetapi masyarakat tetap tidak mengakui karena mereka menyaksikan
langsung pelanggaran itu.
Di Pegunungan Tengah Papua
kasus ini sudah sangat kacau balau. Mau mulai dari mana dan berakhir di
mana. Siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri. Mau mengakui malu. Mau
biarkan, akan jadi bom waktu.
Untuk itu di daerah saya kabupaten
Yalimo saya memilih menggunakan data EKTP sebagai satu-satunya acuan data
DPT pada pemilu 2019. Iya karena ketika kita menggunakan e-KTP rakyat
tidak lagi saling rebutan yang bermuara pada konflik.
Jika kita semua bena-rbenar berkomitmen
sayang masyarakat, mari kita akhiri konflik dengan pendataan pemilih secara
benar. Agar setiap warga negara memilih secara bebas tanpa ancaman pihak-pihak
lain sekaligus kita para politisi menang secara terhormat karena kita menang
bukan dari suara fiktif. ***
*) Lakius Peyon adalah Bupati
Kabupaten Yalimo
0 komentar:
Posting Komentar