Oleh : Hendrik Dengah *)
Salah
satu jenis tindak pidana korupsi yang sering terjadi adalah korupsi Merugikan
Keuangan Negara. Keuangan Negara menurut Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 1 Angka 1 “adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Uang Negara didapat oleh penyelenggara pemerintahan dengan cara memungut pajak
dan penerimaan negara bukan pajak serta hibah, dari sinilah uang terkumpul
karena masyarakat taat membayar kewajibannya terhadap negara.
Untuk
menggunakan uang negara, secara sederhana dapat kita ketahui dengan adanya
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang dibicarakan
bersama antara Eksekutif dengan Legislatif, kemudian ketika mereka sepakat maka
mejadi Anggaran Pendapatan dan Belanaja Negara (APBN), ringkasnya dalam APBN
terdapat rincian apa yang dibelanjakan menurut organisasi, fungsi dan jenis
belanja. Terkait dengan pembangunan, dalam APBN ada rincian belanja barang atau
jasa, masyarakat awam mengenal dengan sebutan proyek, apakah proyek itu dalam
bentuk pembangunan fisik, perencanaan pembangunan ataupun pengawasan
pembangunan serta pengadaan barang.
Fakta
yang ada, disinilah awal para Pejabat Negara atau Pegawai Negeri Sipil atau
Pengusaha atau Korporasi masuk dalam lingkungan yang rentan terjerat tindak
pidana korupsi dengan jenis korupsi merugikan keuangan negara. Apa mau dikata
inilah batu uji untuk setiap insan, apakah kita sanggup dan konsiten dengan
pebuatan bersih atau tergiur melakukan perbuatan kotor, yang mungkin
menjanjikan suatu pendapatan yang besar, dalam waktu yang singkat dan gampang,
mengapa gampang? Karena kadangkala hanya dengan menandatangani dokumen terkait
pencairan dana, maka meminjan kalimat dalam pelajaran biologi Sekolah Dasar,
dengan “simbiosis mutualis” maka tercapailah
tujuan itu, yang populer disebut Korupsi.
Ketika
mendengar kata korupsi, si pendengar berasumsi bahwa perbuatan itu terkait
dengan mendapatkan uang entah dari siapa, dan dengan cara apa atau dengan cara
curang, bersekongkol (kolusi) dengan
orang dekat (nepotisme). Padahal belum tentu demikian, jika di teropong dengan
menggunakan Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK),
tidak semua personal yang terjerat tindak pidana korupsi mendapatkan uang atas
perbuatannya, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, yang dikenal dengan
tindak pidana korupsi menurut UUPTPK.
Penggunaan APBN dalam konteks Penyedia Barang
atau Jasa, memiliki landasan hukum yaitu PERPRES RI NO 54 TAHUN 2010 TENTANG
PENGADAAN BARANG/ JASA PEMERINTAH beserta dengan lampirannya, dan PERPRES
RI NO 35 TAHUN 2011 TENTANG PERUHANAN,
dan PERPRES RI NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA, dan PERPRES RI
NOMOR 172 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA, dan PERPRES NOMOR 4 TAHUN 2015
TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERPRES RI NOMOR 54 TAHUN 2010, di dalamnya
mengatur tentang hukum dari Pengadaan Barang, Pekerjaaan Konstruksi, Jasa
Konsultasi dan Jasa lainnya.
Subyek yang harus melaksanakan hukum tersebut adalah
: Penguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan, Panitia/ Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa, yang keseluruhan subyek ini terkait dengan
pengadaan barang/jasa dan memiliki tugas, fungsi masing-masing, sebagaimana
tercantum secara jelas dalam aturan tersebut dan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya sebagai dasar hukum yang memberikan kewenangan, yang
harus dilaksanakan bersama-sama untuk mencapai tujuan yaitu : efesiensi, terbuka,
kompetitif, berkualitas, tepat waktu, percepatan pelaksanaan pembangunan,
percepatan pelaksanaan belanja negara, pemanfaatan teknologi informasi. Apabila
dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara melawan hukum dan kewenangan yang
diberikan tidak dilaksanakan sebagaimana kewenangan itu harus dijalankan dan mengakibatkan negara mengalami kerugian
nyata, maka mereka akan berhadapan dengan tuntutan hukum dalam rana tindak
pidana korupsi.
Mari kita lihat bersama, dimana potensi
terjadinya perbuatan melawan hukum, dalam proses pengadaan barang/jasa. Semestinya
pengadaan barang/jasa dengan nilai tertentu, dilakukan dengan cara pelelangan sebagaimana
diatur dalam perpres di atas. Jika dilakukan dengan cara rekayasa administrasi untuk
tujuan memenangkan peserta lelang tertentu, maka ini adanya indikasi perlakuan
yang koruptif. Personil Unit Layanan Pengadaan yang melakukan cara pelelangan
manual, rentan dengan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan,
bisa saja itu akibat dari campur tangan pihak tertentu, sehingga terjadilah pengabaian
hukum dan kewenangan. Jika terjadi seperti itu dapat diduga ada subyek yang
“bermain”, apakah seluruh personal atau sebagian dan jika dokumen pelelangan
tetap juga di tandatangani bersama
sebagai tanda keabsahan, walaupun ada penyimpangan maka, salah satu unsur dalam
pasal korupsi merugikan keuangan negara telah terpenuhi, demikian juga untuk
PPK dalam tahap pelaksanaan, PPHP dalam tahan penyerahan pekerjaan dan Penyedia
Barang/Jasa dalam keseseluruhan pelaksanaan sampai dengan pemeliharaan jika
melakukan pengabaian aturan. Pada intinya kelengkapan administrasi harus dibuat
sesuai dengan aturan dan nyata, bukan direkayasa untuk kepentingan penyedia
barang/jasa yang mengakibatkan berpindahnya uang negara kepada penyedia
barang/jasa dengan cara koruptif.
Dalam tindak pidana korupsi jenis merugikan
keuangan negara, keseluruhan rumusan harus terpenuhi, yaitu Melwan Hukum,
Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, Menguntungkan diri sendiri, orang lain atau
korporasi, Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana di atur dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UUPTPK.
Dengan
demikian dimanakah sesungguhnya seseorang dalam lingkup itu bisa menjadi
tersangka padahal tidak menerima uang negara dalam perkara korupsi?. Proses dan
kelengkapan administrasi adalah kunci dari berpindahnya uang negara kepada
pihak Penyedia Barang/Jasa, dengan
demikian jika uang negara berpindah secara melawan hukum atau menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada setiap individu dalam lingkup
itu, maka tidak perlu seseorang yang terkait mendapatkan uang dari Penyedia
Barang/Jasa, sehingga seseorang tersebut disangkakan melakukan tindak pidana
korupsi, namum dengan berpindahnya uang negara ke pihak Penyedia Barang/Jasa,
dan terjadi kerugian negara, akibat dari
keterlibatan subyek hukum terkait dalam proses itu. Turut serta melakukan
disamakan dengan pelaku delik. Hal ini terkait dengan teori atas ajaran tentang
penyertaan (deelneming), khususnya
dalam bentuk turut serta melakukan (medelplegen),
yang pengaturannya dalam KUHP Pasal 55 ayat (1) Ke-1.
Jika
terjadi seperti itu, bagaimana caranya agar Pejabat Negara, Pegawai Negeri
Sipil atau Penyedia Barang/Jasa terhindar dari tindak pidana korupsi jenis
Merugikan Keuangan Negara?, semestinya melaksanakan sesuai peraturan
perundang-undangan dan melaksanakan kewenangan dengan bertangungjawab, jangan
menandatangani administrasi pendukung dalam segala proses tahapan pengadaan,
penyerahan pekerjaan dan pencairan tagihan, walaupun dengan ancaman pencopotan
dari jabatan atau tugas fungsi tersebut ataupun alasan lainnya dari pada
terlibat dan menjadi tersangka tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara,
padahal tidak menerima sepeserpun uang negara yang berpindah ke pihak peneyedia
barang dan jasa.
Ketika
pemeriksaan Terdakwa di persidangan, saling menunjuk dengan alasan disuruh oleh
subyek lain atau atasan, sebagai alasan pembenar tidaklah tepat atau tidak
mempan untuk membenarkan diri sendiri dan kemudian terlepas dari dakwaan
melakukan delik korupsi. Peraturan perundang-undangan sudah memerintahkan
dengan jelas, apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap subyek yang terkait,
bukan melakukan tindakan dengan alasan disuruh atasan atau tenggang rasa dengan
subyek lain atau takut kehilangan jabatan, sehingga mengabaikan hukum atau menyalahgunakan
kewenangan yang dimiliki, yang berujung pada pemidanaan, dengan berpindah
tempat tinggal di Lembaga Pemasyarakatan dan menyandang predikat terpidana
tindak pidana korupsi dalam jangak waktu tertentu.
Sudah
pasti jika terbukti melanggar UUPTPK Pasal 2 ayat (1) ancaman hukuman paling
singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.- (dua ratus
juta rupiah) sedangkan jika terbukti melanggar UUPTPK Pasal 3 ancaman hukuman
paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.-
(lima puluh juta rupiah), itu hukuman paling singkat dan denda minimal,
bagaimana dengan hukuman paling lama dan denda maksimal.
Terkesan
tidak adil, jika terdakwa tindak pidana korupsi yang tidak menerima uang dari
perkara tersebut, namun harus dihukum dan membayar denda yang tidak sedikit,
inilah hukum positif dengan kategorikan kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime), yang berlaku dan harus
dijunjung tinggi oleh seluruh komponen rakyat Indonesia, dalam penegakan hukum. ***
*)
Penulis Praktisi Hukum Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas
Hasanuddin Makassar Tinggal
di Jayapura.
0 komentar:
Posting Komentar