Jumat, 03 November 2017

Disangka Korupsi, Padahal Tidak Mengambil Uang Negara

Oleh : Hendrik Dengah *)
Salah satu jenis tindak pidana korupsi yang sering terjadi adalah korupsi Merugikan Keuangan Negara. Keuangan Negara menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 1 Angka 1 “adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Uang Negara didapat oleh penyelenggara pemerintahan dengan cara memungut pajak dan penerimaan negara bukan pajak serta hibah, dari sinilah uang terkumpul karena masyarakat taat membayar kewajibannya terhadap negara.
Untuk menggunakan uang negara, secara sederhana dapat kita ketahui dengan adanya Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang dibicarakan bersama antara Eksekutif dengan Legislatif, kemudian ketika mereka sepakat maka mejadi Anggaran Pendapatan dan Belanaja Negara (APBN), ringkasnya dalam APBN terdapat rincian apa yang dibelanjakan menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Terkait dengan pembangunan, dalam APBN ada rincian belanja barang atau jasa, masyarakat awam mengenal dengan sebutan proyek, apakah proyek itu dalam bentuk pembangunan fisik, perencanaan pembangunan ataupun pengawasan pembangunan serta pengadaan barang.
Fakta yang ada, disinilah awal para Pejabat Negara atau Pegawai Negeri Sipil atau Pengusaha atau Korporasi masuk dalam lingkungan yang rentan terjerat tindak pidana korupsi dengan jenis korupsi merugikan keuangan negara. Apa mau dikata inilah batu uji untuk setiap insan, apakah kita sanggup dan konsiten dengan pebuatan bersih atau tergiur melakukan perbuatan kotor, yang mungkin menjanjikan suatu pendapatan yang besar, dalam waktu yang singkat dan gampang, mengapa gampang? Karena kadangkala hanya dengan menandatangani dokumen terkait pencairan dana, maka meminjan kalimat dalam pelajaran biologi Sekolah Dasar, dengan “simbiosis mutualis” maka tercapailah  tujuan itu, yang populer disebut Korupsi.
Ketika mendengar kata korupsi, si pendengar berasumsi bahwa perbuatan itu terkait dengan mendapatkan uang entah dari siapa, dan dengan cara apa atau dengan cara curang,  bersekongkol (kolusi) dengan orang dekat (nepotisme). Padahal belum tentu demikian, jika di teropong dengan menggunakan Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 31 Tahun 1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), tidak semua personal yang terjerat tindak pidana korupsi mendapatkan uang atas perbuatannya, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, yang dikenal dengan tindak pidana korupsi menurut UUPTPK.
 Penggunaan APBN dalam konteks Penyedia Barang atau Jasa, memiliki landasan hukum yaitu PERPRES RI NO 54 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN BARANG/ JASA PEMERINTAH beserta dengan lampirannya, dan PERPRES RI  NO 35 TAHUN 2011 TENTANG PERUHANAN, dan PERPRES RI NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA, dan PERPRES RI NOMOR 172 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA, dan PERPRES NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERPRES RI NOMOR 54 TAHUN 2010, di dalamnya mengatur tentang hukum dari Pengadaan Barang, Pekerjaaan Konstruksi, Jasa Konsultasi dan Jasa lainnya.
 Subyek yang harus melaksanakan hukum tersebut adalah : Penguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan, Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa, yang keseluruhan subyek ini terkait dengan pengadaan barang/jasa dan memiliki tugas, fungsi masing-masing, sebagaimana tercantum secara jelas dalam aturan tersebut dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai dasar hukum yang memberikan kewenangan, yang harus dilaksanakan bersama-sama untuk mencapai tujuan yaitu : efesiensi, terbuka, kompetitif, berkualitas, tepat waktu, percepatan pelaksanaan pembangunan, percepatan pelaksanaan belanja negara, pemanfaatan teknologi informasi. Apabila dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara melawan hukum dan kewenangan yang diberikan tidak dilaksanakan sebagaimana kewenangan itu harus dijalankan  dan mengakibatkan negara mengalami kerugian nyata, maka mereka akan berhadapan dengan tuntutan hukum dalam rana tindak pidana korupsi.
 Mari kita lihat bersama, dimana potensi terjadinya perbuatan melawan hukum, dalam proses pengadaan barang/jasa. Semestinya pengadaan barang/jasa dengan nilai tertentu, dilakukan dengan cara pelelangan sebagaimana diatur dalam perpres di atas. Jika dilakukan dengan cara rekayasa administrasi untuk tujuan memenangkan peserta lelang tertentu, maka ini adanya indikasi perlakuan yang koruptif. Personil Unit Layanan Pengadaan yang melakukan cara pelelangan manual, rentan dengan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, bisa saja itu akibat dari campur tangan pihak tertentu, sehingga terjadilah pengabaian hukum dan kewenangan. Jika terjadi seperti itu dapat diduga ada subyek yang “bermain”, apakah seluruh personal atau sebagian dan jika dokumen pelelangan tetap juga  di tandatangani bersama sebagai tanda keabsahan, walaupun ada penyimpangan maka, salah satu unsur dalam pasal korupsi merugikan keuangan negara telah terpenuhi, demikian juga untuk PPK dalam tahap pelaksanaan, PPHP dalam tahan penyerahan pekerjaan dan Penyedia Barang/Jasa dalam keseseluruhan pelaksanaan sampai dengan pemeliharaan jika melakukan pengabaian aturan. Pada intinya kelengkapan administrasi harus dibuat sesuai dengan aturan dan nyata, bukan direkayasa untuk kepentingan penyedia barang/jasa yang mengakibatkan berpindahnya uang negara kepada penyedia barang/jasa dengan cara koruptif.  
 Dalam tindak pidana korupsi jenis merugikan keuangan negara, keseluruhan rumusan harus terpenuhi, yaitu Melwan Hukum, Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi,  Menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana di atur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UUPTPK.
Dengan demikian dimanakah sesungguhnya seseorang dalam lingkup itu bisa menjadi tersangka padahal tidak menerima uang negara dalam perkara korupsi?. Proses dan kelengkapan administrasi adalah kunci dari berpindahnya uang negara kepada pihak  Penyedia Barang/Jasa, dengan demikian jika uang negara berpindah secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada setiap individu dalam lingkup itu, maka tidak perlu seseorang yang terkait mendapatkan uang dari Penyedia Barang/Jasa, sehingga seseorang tersebut disangkakan melakukan tindak pidana korupsi, namum dengan berpindahnya uang negara ke pihak Penyedia Barang/Jasa, dan terjadi kerugian negara,  akibat dari keterlibatan subyek hukum terkait dalam proses itu. Turut serta melakukan disamakan dengan pelaku delik. Hal ini terkait dengan teori atas ajaran tentang penyertaan (deelneming), khususnya dalam bentuk turut serta melakukan (medelplegen), yang pengaturannya dalam KUHP Pasal 55 ayat (1) Ke-1.
Jika terjadi seperti itu, bagaimana caranya agar Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil atau Penyedia Barang/Jasa terhindar dari tindak pidana korupsi jenis Merugikan Keuangan Negara?, semestinya melaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan dan melaksanakan kewenangan dengan bertangungjawab, jangan menandatangani administrasi pendukung dalam segala proses tahapan pengadaan, penyerahan pekerjaan dan pencairan tagihan, walaupun dengan ancaman pencopotan dari jabatan atau tugas fungsi tersebut ataupun alasan lainnya dari pada terlibat dan menjadi tersangka tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara, padahal tidak menerima sepeserpun uang negara yang berpindah ke pihak peneyedia barang dan jasa.
Ketika pemeriksaan Terdakwa di persidangan, saling menunjuk dengan alasan disuruh oleh subyek lain atau atasan, sebagai alasan pembenar tidaklah tepat atau tidak mempan untuk membenarkan diri sendiri dan kemudian terlepas dari dakwaan melakukan delik korupsi. Peraturan perundang-undangan sudah memerintahkan dengan jelas, apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap subyek yang terkait, bukan melakukan tindakan dengan alasan disuruh atasan atau tenggang rasa dengan subyek lain atau takut kehilangan jabatan, sehingga mengabaikan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki, yang berujung pada pemidanaan, dengan berpindah tempat tinggal di Lembaga Pemasyarakatan dan menyandang predikat terpidana tindak pidana korupsi dalam jangak waktu tertentu.
Sudah pasti jika terbukti melanggar UUPTPK Pasal 2 ayat (1) ancaman hukuman paling singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) sedangkan jika terbukti melanggar UUPTPK Pasal 3 ancaman hukuman paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.- (lima puluh juta rupiah), itu hukuman paling singkat dan denda minimal, bagaimana dengan hukuman paling lama dan denda maksimal.
Terkesan tidak adil, jika terdakwa tindak pidana korupsi yang tidak menerima uang dari perkara tersebut, namun harus dihukum dan membayar denda yang tidak sedikit, inilah hukum positif dengan kategorikan kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime), yang berlaku dan harus dijunjung tinggi oleh seluruh komponen rakyat Indonesia, dalam penegakan hukum. ***

*) Penulis Praktisi Hukum Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar Tinggal di Jayapura.

0 komentar:

Posting Komentar