Jumat, 03 November 2017

Jangan Mengharapkan Keadilan Pemilukada 2018

Oleh: Pares L.Wenda *


  Dengan menerapkan Pasal 158 UU No.8 tahun 2015 tentang Pilkada, telah mematihkan demokrasi dan mengadaskan para pihak yang mencari keadilan pemilukada di MK kandas. UU sebelumnya sasaran sengketa Pilkada pada TSM (terstruktur, sistematis dan massif). Kalau menggunakan pendekatan pasal 158 artinya pelanggaran TSM yang terjadi termasuk dukungan Panwas dan KPUD kepada kandidat tertentu tidak menjadi soal di MK. MK hanya berkutat pada Pasal 158 ini. Artinya meloloskan putusan KPUD terhadap sebuah hasil pemilukada. Misalnya, “…hampir seluruh gugatan sengketa Pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) telah kandas. Dari 147 gugatan yang ditangani, MK sudah memutuskan 115 gugatan. Dan hanya 1 gugatan yang diterima MK, yakni sengketa Pilkada Halmahera Selatan. Itu artinya 114 gugatan sengketa pilkada telah berguguran di gedung MK....” (Serambimata.com, edisi 25 January 2016 tentang Pemilukada 2016).
  Mencermati Putusan MK RI tentang Pilkada di Indonesia dan di Papua, keputusan MK tidak dapat mementahkan keputusan KPU daerah, tidak juga didiskualifikasi kandidat yang ditetapkan KPUD untuk mendapat keadilan Pilkada bagi mereka yang mengadu ke MK RI dengan harapan mendapat keadilan kemenangan dan mengalahkan pihak yang ditetapkan KPUD sebagai pemenang pilkada di daeranya.
  “…Komite Pemilih Indonesia (TePi) mencatat, 85 persen lebih pemilukada berujung sengketa di MK Berdasarkan pada fakta tersebut, tidak heran kemudian muncul asumsi bahwa konsistensi majelis hakim MK mulai terkikis …” (Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi. Tahun 2012).
  Memang para pihak yang kalah selalu mengumpulkan bukti-bukti yang kuat, dan memberikan argumentasi saat persidangan di MK yang secara kasat mata diyakini dapat meyakinkan para hakim yang memimpin persidangan, namun fakta membuktikan bahwa ada yang memang menjadi putusan memenuhi rasa keadilan, tetapi kembanyakan putusan MK RI tidak mementahkan keputusan KPUD terhadap calon yang ditetapkan KPUD sebagai pemenang. Mengapa hal itu bisa terjadi sesuai dengan pasal 158.
  Badan Kehormatan KPU dan Bawaslu juga tidak punya kuasa untuk mementahkan putusan KPUD dan Putusan MK yang final dan tetap tidak ada proses hukum lebih lanjut setelah putusan MK. Sebelumnya posisi Panwas yang ditugaskan negara dapat mengawasi jalannya pemilukada, tetapi ada yang melaksanakan tugas secara baik, namun lebih banyak kongkalikong dengan kandidat tertentu sehingga fungsi pengawasan sesuai perundangan yang berlaku tidak dilaksankan secara maksimal.     
  Memang UU Pemilu memberikan garansi kepada para pihak yang kalah Pilkada untuk menempu jalur hukum, apabila dirasa kurang yakin atas penetapan KPUD terhadap paslon yang memperoleh suara mayoritas dan ditetapkan sebagai pemenang Pilkada. MK tidak mempersoalkan TSM, TSM dipersoalkan oleh Bawaslu RI, tetapi kalau putusan MK sudah tetap, kemungkinan untuk didiskualifikasi kandidat berdasarkan data TSM itu sulit.
  Sejak sengkata pemilukada dialihkan kepada MK, kemudian terjadi perubahan UU No.8 Tahun 2015 dari UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada, keputusan MK berubah 100% berpihak kepada Putusan KPUD dan mengabaikan laporan para paslon yang memenuhi unsur TSM yang mempengaruhi suara. Kalau memang demikian apakah MK menjadi pelabuhan terakhir yang baik dan menjadi harapan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan Pemilukada? Saya kira tidak! Putusan hukum dimanapun itu pasti win and lose tidak ada yang namanya win plus win, lose plus lose.
  Dalam teori resolusi konflik ada jaminan win-win and lose-lose bagi para pihak yang berkonflik, tetapi terori ini barangkali tidak pas diterapkan dalam konteks pilkada, alasannya sederhana saja “kita sedang mencari pemimpin” bukan mencari solusi atas suatu masalah sengketa dalam konteks yang lain. Tetapi dalam konteks pilkada, ya itu dia, harus ada yang dimenangkan dan ditetapkan sebagai pemimpin daerah. Suka atau tidak keputusan hukum seperti itu, maka konsekwensinya rakyat di daerah harus menerimanya.
  Selanjutnya, bahwa bagaimana cara kandidat memperoleh suara? Itu soal lain, tetapi berdasarkan putusan KPUD para kandidat ini ditetapkan sebagai pemenang pemilukada. Contoh beberapa kasus pemilukada di Papua yang ditetapkan KPUD sebagai pemenang, dan MK RI tetap memenangkan kandidat yang dimenangkan oleh KPUD sebelum penerapan pasal 158 dan dan berdasarkan pasal 158.
  Pilkada Gubernur tahun 2006 di Menangkan oleh Barnabas Suebu,SH karena itu KPUD Provinsi Papua menetapkan dia sebagai pemenang Pilkada Gubernur Provinsi Papua. Pilkada 2010 Kabupaten Lanny Jaya dimenangkan oleh Befa Yigibalom, KPUD menetapkan dia sebagai pemenang. KPUD Pegunungan Bintang pada tahun 2005 dan 2010 menetapkan Drs. Wellington L.Wenda, M.Si sebagai pemenang Pilkada Pegunungan Bintang. KPUD Intan Jaya menetapkan Natalis Tabuni sebagai pemenang pilkada pada tahun 2010. Pada tahun 2013 KPUD Provinsi Papua menetapkan Lukas Enembe sebagai pemenang Pilkada Gubernur Papua.
  Pada tahun 2016 Benhur Tomi Mano KPUD Kota menetapkannya sebagai pemenang pilkada Kota Jayapura. Demikian juga dengan Bupati Pegunungan Bintang pada 2016. Bupatis Sarmi pada 2016. Bupati Lanny Jaya 2016. Bupati Yahukimo 2015. Bupati Yalimo 2015. Bupati Intan Jaya 2017 Bupati Dogiyai 2017. Bupati Yapen 2017. Dan terakhir Bupati Kabupaten Jayapura 2017.
  Kalau hasilnya seperti ini, untuk apa sengketa pemilukada di bawah ke MK RI? Inilah pertanya besar bagi para kandidat yang akan bertarung pada pilkada 2018 mendatang. Toh tidak ada jaminan keadilan di MK RI bagi mereka yang kalah dan berharap ada keadilan pilkada di MK. Apa yang dapat kita habiskan? Dan siapa yang kita kenyangkan?
  MK RI tidak hanya mengadili perakara sengketa pilkada? Tetapi banyak persoalan di negeri ini yang ditanganinnya terutama uji materiil tentang sebuah UU. Itu artinya keadilan yang kita harapkan di MK RI ini sulit kita dapat. Putusan MK mengikat dan final artinya keputusan MK benar atau salah, merugihkan atau tidak, tetap menjadi putusan hukum tetap dan final. Tidak ada pintu untuk upaya hukum lainnya.
Kalau demikian untuk apa sengketa Pilkada di bawah ke MK RI?.
  Kita para kandidat yang kalah membuang energy, membuang biaya. Siapa yang kita untungkan dan siapa yang menipu kita? Sekali lagi siapa yang kita untungkan, siapa yang menipu kita? Dimana ada lembaga dan orang-orang yang kita perkaya mereka. Maskapai penerbangan domestic dari daerah tujuan ke Jakarta (PP), akomodasi selama di Jakarta, membayar pengacara, membayar calo-calo yang mengaku mempunyai hubungan di MK RI.
  Para kandidat yang sudah kalah ketimpa tanggal pula? Sudah habis-habisan hasilnya tidak maksimal di MK. Sudah kalah dari rakyat dan strategi politik lawan, dikalahkanpula di MK RI aduuu sakitnya, lalu dimana keadilan itu? Terus kita mau mengadu kembalikan energiku, uang, kepada siapa?.
Kandidat yang ditetapkan sebagai pemenang juga mengeluarkan dana tidak sedikit untuk mempertahankan hasil kemenangannya. Walaupun secara UU pasti menang di MK karena pasal 158 itu. Pengacara yang dipake juga memainkan bola panas ini dengan sangat maksimal untuk meraup keuntungan, itu artinya diduga kost yang dikeluarkan saat pra-pemilukada-pemilihan, penetapan pemenang lebih sedikit dibanding biaya ke MK.
  Dengan tidak mengikuti gugatan di MK minimal kita dapat meredam konflik. Konflik actor, konflik pendukung tidak dapat terjadi dalam lima tahun pembangunan. Dan yang lebih penting mengurangi kos politik.
  Lebih elegen, simpatik, bermartabat tidak perlu habiskan energy, biaya, tetapi mari sampaikan secara baik kepada kandidat pemenang sampaikan selamat, tetapi jika ditemukan berbagai pelangggaran mari negosiasikan pelanggaran itu kepada kandidat pemenang, buatlah kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan kandidat yang kalah dengan kandidat yang menang untuk kemaslahatan bersama demi mewujudkan pembangunan lima tahun yang bermartabat, berkeadilan bagi semua di daerah. Siapapun yang menang tentu saja untuk mengawal pembangunan daerah, karena daerah dalam melaksanakan pembangunan haruslah ada pemimpin daerah sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah.
  Sebagai salah satu masyarakat asli dan hidup dan berkarya di Papua sangat berharap agar dalam pilkada 2018 jauh lebih baik dari pilkada sebelumnya. Artinya kita berharap tidak ada konflik dan tidak masalah pilkada yang di bawah ke MK RI, dalam tulisan ini sama sekali tidak membatasi hak konstitusi setiap kandidat untuk mempermasalahkan hasil pilkada di MK, karena itu bukan domain kami, tetapi sebagai pemerhati pilkada di Papua sudah cukup kita menghabiskan energy dan waktu dan kos yang tidak sedikit hanya untuk sembuah keadilan semu.
  Contoh pemilukada Nduga Pemilukada 2016 di mana kandidat yang kalah tidak mengadu sampai ke MK. Ini suatu kemajuan demokrasi dan politik daerah yang sudah mulai menunjukan kedewasannya. Dan kita berharap hal yang sama terjadi di beberapa pilkada pada tahun 2018. Terutama sekali masyarakat dunia, Indonesia akan tertuju pada pilkada Gubernur Papua, kita berharap pilkada Gubernur berjalan elegan, simpatik, bermartabat dan mengedepan kasih menembus perbedaan dan menghargai proses politik dan demokrasi sampaik kita mendapatkan pemimpin daerah yang mumpuni untuk lima tahun ke depan. ***

*) Penulis adalah Aktifis HAM dari Sinode Baptis Papua dan Direktur HAM pada Cendekiawan


0 komentar:

Posting Komentar