Oleh : Dr.Drs. Gasper Liauw, M.Si *
MARAKNYA penggunaan kata “Yubelium” 50 tahun pada perayaan hari gerejani, perayaan lahirnya institusi pendidikan baik yang dilaksanakan di beberapa kota antara lain, Wamena dan Jayapura pada semester pertama tahun 2015, yang terekspose secara komprehensif baik melalui harian Cenderawasih Pos maupun TVRI Lensa Papua, melalui Publikasi Panitia Pelaksana Perayaan, Kotbah Hamba Tuhan maupun sambutan Pejabat Pemerintah dan politisi, dengan mengelaborasi kata Yubelium secara panjang lebar yang disambut dengan sorak sorai dari Panitia Pelaksana Perayaan, anggota jemaat maupun dari komunitas pendidikan yang diakhiri dengan sesi foto bersama didepan spanduk kegiatan, menjadi fenomena menarik untuk diulas dalam kaitannya dengan Perayaan 50 Tahun Injil Masuk tanggal 10 September 2015 di Apahapsili Kabupaten Yalimo. Fenomena tersebut, akan diulas dalam kepentingan, mengubah pragmatisme semu menjadi pragmatisme positif.
Telaahan Kritis Kata “Yubileum” VS “Yubelium”.
Fakta di atas telah berdampak pada Rapat terbatas pada bulan Juli 2015 antara penulis selaku Anggota Badan Pekerja Am Sinode Wil X GKI Di Tanah Papua dengan Panitia Perayaan 50 Tahun masuknya Injil di Apahapsili tanggal 10 September 2015, pada ruang kerja Sekretaris Daerah Kabupaten Yalimo di Elelim, yang antara lain membicarakan persiapan akhir pelaksanaan kegiatan dimaksud. Diskusi terjadi pada rencana pembuatan spanduk kegiatan dan Undangan, penulis menawarkan agar menggunakan kata Yubileum bukan Yubelium, karena kata Yubelium arti katanya sulit ditemukan, namun beberapa anggota panitia tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa kata tersebut sudah biasa diucapkan oleh masyarakat pada umumnya. Namun dari Pihak Klasis Yalimo Utara, menyampaikan fakta menarik bahwa surat dari Pewarta Injil di Jerman, menyebut perayaan masuknya Injil di Apahapsili dengan kata “Iubileum”.
Akhirnya Penulis, menyampaikan bahwa menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia “ tidak ditemukan kata Yubelium dan yang ditemukan hanyalah kata Yubileum. Kutipannya demikian, Yu.bi.le.um/Yubileum/n Perayaan untuk memperingati ulang tahun suatu peristiwa pd bilangan tahun tertentu (msl ke-25, ke-50) yg dirayakan secara khusus. Anehnya, walaupun telah diungkapkan dokumen sumber dari kata Yubileum, namun hasil rapat tersebut tidak dapat memutuskan kata Yubileum yang digunakan, karena mayoritas peserta rapat lebih berpegang teguh pada sebuah kebiasaan serta mudah dalam penyebutan yaitu Yubelium.
Dari realita di atas, informasi ini kiranya dapat menjadi evaluasi bagi seluruh pihak yang berkepentingan terhadap pewarisan nilai-nilai positif kepada pihak lain atau generasi penerus agar memberikan respon secara positif terhadap tulisan ini sehingga dapat mencerdaskan kita semua untuk mau mentranformasikan jatidiri kita dari perspektif pragmatisme semu menjadi pragmatisme positif.
Makna Esensial Yubileum, 50 Tahun Injil Masuk Di Apahapsili.
Dengan berpegang teguh pada prinsip rasionalitas, maka YUBILEUM, yang menjadi momentum penting dalam mempertontonkan lahirnya peradaban baru orang Papua khususnya Suku Yali, tentunya tidak dapat dipungkiri akan jasa dan eksistensi para misionaris (bule dan non bule) pada 50 tahun lalu di wilayah Pemerintahan Distrik Apahapsili dan sekitarnya. Karena dari titik koordinat itulah, buah pekabaran injil 50 tahun lalu, telah melahirkan para pemimpin di aras gereja, politisi, dan pejabat pemerintah yang telah mengkreasikan kapasitas dirinya dengan sejumlah keterbatasan yang dimilikinya untuk memajukan bangsa Indonesia dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam frame NKRI.
Dengan mengacu pada News. Okezone.com,30 Agustus 2015 dengan judul Amien Rais : Ribuan Bule di Papua Membahayakan Indonesia. Pernyataan tersebut tentunya dapat menimbulkan multitafsir dari berbagai kalangan dan dikuatirkan hanya untuk tujuan pragmatisme semu dengan menyudutkan kalangan tertentu. Irisan-irisan pragmatisme semu tersebut, hendaknya tidak merembes pada perayaan Yubileum 50 tahun masuknya injil di Apahapsili Kabupaten Yalimo, yang juga menghadirkan puluhan orang bule dari Jerman.
Kehadiran para misionaris (orang bule) dan anak cucunya pada Yubileum 50 tahun masuknya Injil di Apahapsili, hendaknya disikapi dengan pragmatisme positif, artinya janganlah dicurigai sebagai salah satu tujuan untuk membangun strategi ketidakpatuhan dan ketidaktaatan pada pesan dari lagu Indonesia Raya. Namun justru kehadiran orang asing, baik dalam rangka Pekabaran Injil maupun pelayanan sebagai seorang pilot pada penerbangan swasta, seperti AMA, MAF, JAYASI yang dengan setia melayani seantero Tanah Papua terutama di Pegunungan Tengah Papua telah terbukti secara empirik, meringankan bangsa ini untuk mengimplementasikan Tema 70 Tahun HUT RI yaitu “AYO KERJA” demi memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi Indonesia.
Gerakan Langkah Yang Harus Dilakukan.
Nawa Cita dari Presiden RI Joko Widodo yang tercermin secara sistematis dan terstruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, telah menjadi acuan bagi Pemerintah untuk mewujudkan kerangka pendanaan yang efisien sehingga efektifitas dari seluruh harapan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun tersebut benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, walaupun dalam gradasi dan tingkat keadilan dalam kesejahteraan yang bersifat relatif.
Dalam konteks yang lebih spesifik, khususnya Cita 1, dari Nawa Cita yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, adalah : Cita 1 tersebut harus menjadi kalimat kunci yang wajib dipegang teguh oleh Panitia Perayaan yang merencanakan dan mendesain suksesnya Yubileum, 50 tahun masuknya Injil di Apahapsili untuk selalu menjalin koordinasi dengan pemerintah daerah maupun dengan unsur TNI dan Polri sehingga para pihak yang sengaja melakukan politisasi dengan membuat rencana aksi, untuk mengacaukan Yubeliun 50 tahun masuknya Injil di Apahapsili yang dirayakan secara khusus tersebut,akan lari meninggalkan arena perayaan milik Tuhan.
Dengan demikian, pada pasca Yubileum 50 tahun Injil masuk di Apahapsili suasana kesejukan dan damai sejahtera akan selalu menjadi karakteristik bagi seluruh umat Tuhan di Tanah Papua. Sebagai bahan perenungan bagi para pihak yang selalu ingin memecah kerukunan umat beragama di Tanah Papua, camkanlah nasihat dari Konfusius, yaitu “Pelajarilah kebenaran di pagi hari, dan meninggallah dengan bahagia di malam hari “. Karena dalam dimensi kehidupan, ternyata lahir, berkarya dan mati berada pada sebuah garis lurus yang harus dilalui oleh setiap insan manusia. Akhirnya, Selamat merayakan Yubileum 50 Tahun masuknya Injil di Apahapsili Kabupaten Yalimo pada 10 September 2015.****
*Penulis adalah
Anggota BPAM Wil X Sinode GKI Di Tanah Papua yang juga Sekretaris Daerah Kabupaten Yalimo
(tulisan ini sudah terbit di harian Cenderawasih Pos edisi 2015)
0 komentar:
Posting Komentar