Jumat, 11 September 2015

Hari Olahraga Nasional: Moment Melejitnya Olahraga

M.F.P. Putra*
BULAN September ini, khususnya pada tanggal 9, bangsa Indonesia akan merayakan Hari Olahraga Nasional (Haornas). Momen tersebut seyogianya menjadi trigger (pemicu) bangkitnya olahraga Nasional. Tentu saja, secara khusus bagi olahraga di Papua!
 Penulis sadar bahwa masyarakat acapkali melihat kemajuan olahraga dari indikator capaian medali yang diperoleh. Misalnya, apabila berlaga di PON maka yang menjadi rujukan utama adalah berapa medali yang didapat; begitu pula apabila berlaga pada event internasional, seperti Sea Games, Asian Gemes, dan Olimpiade. Perolehan medali di atas seakan-akan menjadi parameter tunggal untuk membaca kemajuan pembangunan olahraga suatu daerah atau Negara.
 Sunguhpun demikian, hal di atas tidaklah salah namun simpulan yang didasarkan hanya pada satu indikator—seperti perolehan medali—hemat penulis terlalu premature. Untuk melihat kemajuan pembangunan olahraga di suatu daerah atau Negara, penulis berargumen tidak hanya mendasarkan pada perolehan medali dalam event yang diikuti namun perlu refleksi secara komprehensif.
 Pergumulan penulis dengan beberapa akademisi ilmu keolahragaan (sport science) membawa pada simpulan bahwa setidaknya terdapat empat indikator untuk melihat bagaimana kemajuan pembangunan olahraga pada suatu daerah atau Negara. Keempat indikator tersebut termaktub dalam Sport Development Index (SDI) atau Indeks Pembangunan Olahraga (IPO). Tulisan tersebut akan mencoba menyarikan secara ringkas tentang SDI karya anak Bangsa.
Konsep Sport dan Development
Sebelum membahas lebih jauh, akan didiskusikan terlebih dahulu tentang konsep “sport” dan “development”. Secara harfiah istilah “olahraga” bukanlah terjemahan langsung dari istilah “sport” yang berasal dari bahasa Inggris. Istilah “olahraga” yang digunakan di Indonesia berasal dari bahasa Jawa, yaitu “olah” dan “raga”. Suku kata “olah” bermakna berlatih atau melakukan kegiatan; suku kata “raga” berarti fisik atau jasmani. Dengan dasar itu, berolahraga secara sederhana dapat dipahami sebagai melakukan aktivitas fisik.
 Pertanyaannya, apakah aktivitas seperti berjalan ke pasar, bersepeda ke tempat kerja, atau bahkan mencangkul di ladang dapat diartikan sebagai bentuk berolahraga? Tentu saja tidak. Meskipun di dalamnya terkandung aktivitas fisik, namun karena tidak dilakukan secara sengaja dan sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial maka jelas hal tersebut bukan termasuk aktivitas olahraga (lihat UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional)!
Sementara itu, istilah “pembangunan” dapat diartikan sebagai suatu proses, cara, dan perbuatan membangun. Dalam konteks ini, membangun, bermakna proses membuat sesuatu. Proses sendiri mengandung ciri adanya serangkaian tindakan, interaksi, pembuatan, perubahan atau pengolahan yang menghasilkan sesuatu. Dengan demikian istilah pembangunan lebih mengacu pada proses dan bukan pada hasil.
Lalu, bagaimana jika kedua istilah di atas digabungkan, yakni menjadi “pembangunan olahraga”? Untuk menjawab itu, penulis akan mencuplik dari Mutohir dan Maksum (2007). Dasarnya adalah karena orang yang mengagas konsep SDI pertama kali adalah mereka. Bahkan dalam berbagai kesempatan diskusi ilmiah seperti seminar dan konfrensi, baik Nasional maupun internasional, pakar dari Amerika, Inggris, Australia, Jepang, Korea, Thailand, dan Malaysia memuji karya kedua Putra Indonesia ini yang pertama kali menelorkan konsep SDI. Lebih jauh lagi mereka mengakui Indonesia sebagai the leading nation.
Sport Develompent Index (SDI)
Dalam berbagai kesempatan dengan penulis, Maksum menyampaikan bahwa gagasan tentang konsep SDI lahir dari sebuah diskusi ringan antara Mutohir dan Maksum kala itu. Mereka berdua saling lempar pertanyaan untuk menjawab persoalan olahraga secara ilmiah. Singkat cerita, sebagai seorang akademisi mereka tidak puas apabila kemajuan pembangunan olahraga dilihat dari perolehan medali saja.
  Oleh karena itu, mereka melakukan studi untuk menemukan indikator pembangunan olahraga. Dari studi tersebut, ditemukan empat dimensi dasar, yaitu: ruang terbuka olahraga, Sumber Daya Manusia (SDM), partisipasi dan kebugaran. Dimensi-dimensi tersebut pada tataran tertentu merupakan prasyarat dasar (dimensi ruang terbuka dan SDM), prasyarat aksi (dimensi partisipasi), dan prasyarat keluaran (dimensi kebugaran).
Partisipasi merupakan prasyarat aksi dari ketiga pilar pembinaan, yaitu olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Kendati demikian, prasyarat aksi membutuhkan prasyarat dasar berupa ruang terbuka yang digunakan melakukan aktivitas. Hanya saja, agar aktivitas yang dilakukan menjadi terarah, diperlukan SDM yang dapat mengarahkan kegiatan olahraga menjadi lebih konstruktif. Hasil yang dicapai dari terjadinya kegiatan di atas, setidaknya adalah kebugaran jasmani. Astrand, seorang sport scientist dari Swedia, dalam Scientific Congress Asian Games di Bangkok tahun 1996, menyatakan bahwa salah satu syarat utama membangun prestasi olahraga adalah terbentuknya masyarakat yang bugar. Jadi, keempat dimensi dalam SDI saling terkait satu sama lain dan bukan out of the context.
 Muncul pertanyaan, bukankah masih terdapat banyak dimensi lain yang mencerminkan pembangunan olahraga? Tentu saja, ya. Tetapi perlu diingat bahwa banyak dimensi pembangunan olahraga yang tidak tersedia ukurannya, seperti, partisipasi terbuka dalam pendanaan kegiatan olahraga, sukarelawan (volunteer) olahraga, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep SDI dipandang lebih ilmiah dan komprehensif bila dibandingkan dengan konsep “medali” yang selama ini dijadikan indikator tunggal keberhasilan olahraga. 
Merajut Pembangunan Olahraga
Setidaknya, pengalaman Indonesia pada kurun waktu 48 tahun belakangan ini dapat dijadikan pelajaran berharga. Membangun olahraga membutuhkan totalitas dan komitmen kolektif. Tidak bisa hanya dengan cara instan, apalagi manajemen “asal jalan”. Membangun olahraga perlu dilakukan secara sistematis dan sustainable. Sejatinya, prestasi dalam olahraga merupakan suatu yang observable dan measurable. Artinya, jika pembinaan olahraga dilakukan dengan scientific approach mulai dari talent scouting hingga proses pembinaan disertai dengan upaya mencermati para kompetitor, maka dapat dipastikan tingkat keberhasilannya.
Dari kaca mata kesisteman, kualitas hasil (output) ditentukan oleh kualitas masukan (input) dan kualitas proses yang terjadi. Hasil yang selama ini kita dapatkan merupakan konsekuensi logis dari sub-sistem yang kurang (mungkin istilah yang tepat TIDAK) optimal, yaitu dari input dan proses.
Dari sisi input, kita kekurangan calon atlet yang berkualitas, baik dari segi anthropometrik, fisiologis, maupun psikologis. Khusus untuk aspek anthropometrik dan fisiologis, penulis melihat hal itu tidak menjadi persoalan yang fundamental di Papua karena masyarakat Papua memiliki antropometrik dan fisiologis yang dapat dikatakan atletis. Diakuai bahwa mungkin pandangan ini debatable tapi penulis sangat menghargai perbedaan pandangan tentang itu.
Pada aspek psikologis, berdasarkan pengalaman penulis yang melakukan tes mental atlet muda Jawa Timur, banyak hal yang perlu ditata ulang (reformasi mental) dari atlet-atlet muda kita. Elka Graham, legenda renang Australia, mengatakan: “in training everyone focuses on 90 percent physical and 10 percent mental, but in the races it’s 90 percent mental because there’s very little that separates us physically at the elite level”. Bagaimana dengan mental atlet Papua? Sampai dengan detik ini penulis belum memperoleh informasi ilmiah tentang itu.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa kita kekurangan calon atlet berkualitas? Tanpa bermaksud menyederhanakan suatu yang memang tidak sederhana, penulis berargumen bahwa rendahnya budaya olahraga (sport culture) yang berintikan pada partisipasi adalah hulunya. Hal ini diperparah dengan sistem perekrutan yang kurang kredible dan akuntable, karena masih suburnya budaya “like and dislike”.
Dari sisi proses, acapkali masih menerapkan budaya “jalan pintas” dalam menghasilkan sesuatu. Lihat jerman! Mereka menjadi digdaya dalam sepakbola bukan didapat secara instan namun merupakan hasil dari proses panjang ketika tahun 2002 DFB (induk organisasi sepakbola Jerman) merevolusi metode pembinaan pemain dan pengembangan akademi sepakbola. Misalnya, mewajibkan setiap klub bundesliga 1 dan 2 mendirikan akademi sepakbola, DFB mendirikan121 pusat sepakbola Nasional yang khusus mendidik pemain berusia muda (10-17 tahun), metode latihan juga dibedakan menurut umur, yaitu menggunakan kurikulum berdasarkan penelitian mahasiswa dari Universitas Koln. Sekali lagi, itu bukanlah instan tapi adanya proses dan inventasi besar yang konon dalam kurun waktu 10 tahun saja menghabiskan dana sekitar 455 juta poundsterling (setara sekitar 6,3 triliun).
Akhirnya, semoga kita tidak salah dalam melakukan pembangunan olahraga. Pembangunan keolahragaan perlu ditempatkan dalam bingkai yang proporsional agar bukan hanya medali semata yang meningkat tapi kualitas manusianya juga meningkat, baik secara intelektual, sosial, dan spiritual. ***     

Penulis adalah Dosen FIK UNCEN
Email: putra.uncen@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar