Sabtu, 14 Oktober 2017

Peningkatan Kapabilitas APIP, Pentingkah?

oleh Ardhian Prima Satya *)
Layaknya siswa-siswi yang akan menghadapi ujian kelulusan, beragam respon dapat muncul. Bagi mereka yang sungguh-sungguh belajar, ujian kelulusan menjadi ajang untuk membuktikan kemampuan. Tetapi, bagi mereka yang memilih untuk bersenang-senang di masa sekolah, ujian kelulusan merupakan momok yang menakutkan. Segala cara akan mereka upayakan untuk dapat lulus.
 Dari mencoba membeli jawaban, berdoa dengan sungguh-sungguh supaya pengawas ujian bukan orang yang ganas, sampai dengan menyiapkan strategi contek-mencontek yang menawan dan tanpa celah. Namun, semuanya akan “bubar jalan” bila pengawas ujian yang bertugas adalah pengawas yang terkenal  teguh berintegritas, menjunjung kejujuran dan disiplin. Kehadiran pengawas menjadi kunci, apakah siswa-siswi berlaku jujur dalam mengerjakan ujian kelulusan.
Pada dasarnya sebagian besar orang akan merasa terganggu apabila diawasi, walaupun respon masing-masing orang akan berbeda-beda. Ada yang merasa biasa saja ketika dirinya sedang diawasi, tetapi ada juga yang memilih untuk menghindar dan menolak. Semakin seseorang sadar akan perilakunya yang seenak sendiri, akan semakin keras kemauannya menghindari pengawasan. Dan tidak jarang ada pula yang berkamuflase seakan-akan mendukung pengawasan, tetapi untuk menyembunyikan penyimpangan yang telah dilakukan. Pola perilaku yang demikian juga dapat diamati dalam pelaksanaan pemerintahan.
 Sejak digagas tahun 2011 oleh BPKP, kapabilitas APIP belumlah sepopuler sekarang. Penilaian kapabilitas APIP dilakukan mengacu pada Internal Auditor Capability Model (IA-CM) yang diterapkan oleh The Internal Auditor Research Foundation (IIARF). Penilaian ini telah digunakan secara global di seluruh dunia dengan sedikit modifikasi dan penyesuaian dengan kondisi yang ada di Indonesia. Penilaian ini berfungsi untuk mengukur kemampuan secara kolektif dengan pemahaman secara rinci sehingga sanggup mengatasi titik kelemahan yang ada di dalam APIP.
 Hasil penilaian kapabilitas APIP tidak bersifat statis/kaku, tetapi dapat diupayakan peningkatannya, bahkan dapat menurun apabila tidak ada upaya implementasi dan institusionalisasi. Terdapat 6 (enam) elemen yang harus dipenuhi dari pernyataan-pernyataan yang ada yang harus dilengkapi dengan bukti. Hasil jawaban dari pernyataan-pernyataan tersebut yang akan menjadi dasar penilaian level kapabilitas APIP. Tingkatan tersebut dibagi ke dalam 5 (lima) kategori, dimulai dari level 1 (initial) - tingkat paling rendah, level 2 (infrastructure), level 3 (integrated), level 4 (managed) dan level 5 (optimizing), yang merupakan level tertinggi.
Di seluruh daerah di Provinsi Papua, peningkatan kapabilitas APIP belum pernah menggaung dan menggelegar sedemikian rupa sebelum KPK mulai ikut serta memberikan perhatian khusus. Dari hasil penilaian seluruh APIP di daerah Provinsi Papua, sampai dengan tahun 2017 ini, lebih dari 75% APIP masih berada di level 1 (initial), dengan kategori belum ada praktik yang tetap, tidak ada kapabilitas yang berulang dan tergantung pada kinerja individu alias APIP hanya sekedar ada.
 Sedangkan sisanya masuk kategori level 2 (infrastructure) di mana proses audit dilakukan secara tetap (rutin) dan berulang namun baru selaras sebagian dengan standar audit yang ada. Dengan kata lain, APIP yang ada belum dapat memiliki kemampuan untuk menilai kinerja pemerintah daerah, ketaatan akan peraturan, serta mendukung perwujudan pemerintahan yang efektif, efisien dan ekonomis. Gambaran tersebut mengindikasikan peluang terjadinya korupsi dan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah sangatlah tinggi. Dengan demikian, peningkatan kapabilitas APIP di seluruh daerah di Provinsi Papua sangatlah penting dan mendesak, sehingga tidak mengherankan bila KPK berkali-kali mengadakan pertemuan dengan seluruh jajaran pimpinan daerah yang ada akhir-akhir ini.
Tetapi, bagaimana pandangan kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah terhadap peningkatan kapabilitas APIP? Sebagaimana cerita di awal, pada dasarnya setiap orang merasa terganggu bila selalu diawasi. Konsekuensi dari upaya peningkatan kapabilitas APIP adalah meningkatnya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, realisasi peningkatan kapabilitas APIP dapat menjadi “pengganggu hidup” bagi kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah yang lain, terutama bila yang bersangkutan memiliki agenda-agenda tersembunyi atau “gerakan tambahan”.
 Bagi mereka, perhatian lebih yang diberikan KPK terhadap peningkatan kapabilitas APIP seperti makan buah simalakama. Enggan menyatakan komitmen penuh mendukung peningkatan kapabilitas APIP sama saja menyerahkan diri, tetapi bila menandatangani/mendukung berarti menyediakan diri “diganggu” oleh APIP. Walaupun demikian, ada pula kepala daerah yang memiliki komitmen (seakan-akan) tinggi, sangat mendukung peningkatan kapabilitas APIP dengan menandatangani komitmen peningkatan, menginisiasi tunas integritas di pemerintahannya, tetap saja menjadi pesakitan saat KPK melakukan OTT.
 Dalam beberapa kasus, “pemain” tak semata-mata kepala daerah, tetapi juga jajaran pimpinan daerah lainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila peran APIP/Inspektorat sampai saat ini dikebiri dengan berbagai cara. Adanya leveling Kapabilitas APIP tidak berarti banyak bagi perbaikan pemerintahan yang ada karena banyak upaya pemberangusan pengawasan demi memenuhi kepentingan “pemain” untuk mengeruk APBD demi pundi-pundi hartanya, atau untuk mempersiapkan diri jelang pemilukada yang mendatang. Sangat memungkinkan sebenarnya APIP mengetahui hal ini, tetapi tidak berani melapor karena mekanisme pelaporan tidak jelas, dan tidak mengetahui harus menyerahkan laporan ke mana, belum lagi bila harus mengumpulkan minimal dua bukti yang sahih dan kuat.
 Oleh karena itu, usulan penguatan kelembagaan APIP yang sedang ditindaklanjuti dengan pemberian laporan kepada pimpinan satu tingkat yang lebih tinggi pun hanya akan memberikan sedikit dampak bahkan mungkin masalah. Selama anggaran dan pengeloaan SDM masih ditentukan oleh kepala daerah, hal ini akan menjadi pemicu terjadnya perang kepentingan. Bila dilihat dari pelaksanaan fungsi, APIP Daerah bukan lagi menjadi aparat pengawasan internal, tetapi sudah menjadi eksternal. Peran APIP yang semula mata dan telinga kepala daerah sudah berubah menjadi pelapor tindakan kepala daerah. Hal ini akan menyebabkan kegaduhan baru dalam pemerintahan. Bila tidak diwaspadai, kejumawaan yang terpendam dan kemudian muncul setelah pemberian keleluasaan dan wewenang menjadi pelapor kepala daerah justru akan menjadi senjata makan tuan di kemudian hari.
 Dengan adanya perkembangan polemik tersebut di atas, secara tidak langsung mengisyaratkan peningkatan kapabilitas APIP tidak memiliki andil dalam upaya perbaikan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel. Banyak jajaran pimpinan daerah yang bertingkah seperti siswa-siswi yang sebisa mungkin mendapat “nilai” bagus tetapi menghalalkan segala cara, dan jangan sampai pengawas ujian mereka merupakan pengawas yang jujur, berintegritas dan berani menyatakan yang benar. Bila APIP adalah mata dan telinga pimpinan daerah, sekarang ini banyak kepala daerah yang memilih berjalan tanpa mempedulikan mata dan telinganya yang sedang sakit. Peningkatan kapabilitas APIP layaknya berupaya menyembuhkan mata dan telinga yang sedang sakit sehingga dapat berfungsi normal. Peningkatan kapabilitas APIP hanya akan menjadi sekedar wacana bila tidak diimbangi komitmen nyata dari kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah.
 Peran masyarakat yang lebih aktif dan sadar akan pentingnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi sangatlah penting dan berdampak besar, sebagaimana yang terjadi di Korea Selatan baru-baru ini dan berujung pada pemakzulan Presiden Korea Selatan yang melakukan korupsi. Apabila tidak ada perhatian lebih dari masyarakat untuk meningkatkan fungsi pengawasan, maka upaya peningkatan kapabilitas APIP tidak akan berdampak dan hanya sekedar lalu. Bila masyarakat tidak berperan aktif, sama saja masyarakat bersedia menjadi korban dari korupsi. Bila KPK sudah mulai memberi perhatiannya kepada Papua, lalu bagaimana dengan masyarakat Papua sendiri?
 Peningkatan kapabilitas APIP merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas pengawasan pemerintahan yang ada, sehingga pembangunan yang ada dapat berjalan efektif, efisien dan ekonomis dan langsung berdampak pada masyarakat. Bila jajaran pimpinan daerah masih enggan atau setengah-setengah berkomitmen untuk meningkatkan kapabilitas APIP, masyarakat seharusnya tidak bisa tinggal diam. Masyarakat harus terus aktif dan membangun kesadaran untuk melakukan pemberantasan korupsi. 
*Penulis bekerja di BPKP Provinsi Papua


0 komentar:

Posting Komentar