oleh Ardhian Prima Satya *)
Layaknya siswa-siswi yang akan
menghadapi ujian kelulusan, beragam respon dapat muncul. Bagi mereka yang
sungguh-sungguh belajar, ujian kelulusan menjadi ajang untuk membuktikan
kemampuan. Tetapi, bagi mereka yang memilih untuk bersenang-senang di masa
sekolah, ujian kelulusan merupakan momok yang menakutkan. Segala cara akan
mereka upayakan untuk dapat lulus.
Dari mencoba membeli jawaban,
berdoa dengan sungguh-sungguh supaya pengawas ujian bukan orang yang ganas,
sampai dengan menyiapkan strategi contek-mencontek yang menawan dan tanpa
celah. Namun, semuanya akan “bubar jalan”
bila pengawas ujian yang bertugas adalah pengawas yang terkenal teguh berintegritas, menjunjung kejujuran dan
disiplin. Kehadiran pengawas menjadi kunci, apakah siswa-siswi berlaku jujur
dalam mengerjakan ujian kelulusan.
Pada dasarnya sebagian besar
orang akan merasa terganggu apabila diawasi, walaupun respon masing-masing
orang akan berbeda-beda. Ada yang merasa biasa saja ketika dirinya sedang
diawasi, tetapi ada juga yang memilih untuk menghindar dan menolak. Semakin
seseorang sadar akan perilakunya yang seenak sendiri, akan semakin keras
kemauannya menghindari pengawasan. Dan tidak jarang ada pula yang berkamuflase
seakan-akan mendukung pengawasan, tetapi untuk menyembunyikan penyimpangan yang
telah dilakukan. Pola perilaku yang demikian juga dapat diamati dalam pelaksanaan
pemerintahan.
Sejak digagas tahun 2011 oleh
BPKP, kapabilitas APIP belumlah sepopuler sekarang. Penilaian kapabilitas APIP
dilakukan mengacu pada Internal Auditor
Capability Model (IA-CM) yang diterapkan oleh The Internal Auditor Research Foundation (IIARF). Penilaian ini
telah digunakan secara global di seluruh dunia dengan sedikit modifikasi dan
penyesuaian dengan kondisi yang ada di Indonesia. Penilaian ini berfungsi untuk
mengukur kemampuan secara kolektif dengan pemahaman secara rinci sehingga
sanggup mengatasi titik kelemahan yang ada di dalam APIP.
Hasil penilaian kapabilitas
APIP tidak bersifat statis/kaku, tetapi dapat diupayakan peningkatannya, bahkan
dapat menurun apabila tidak ada upaya implementasi dan institusionalisasi.
Terdapat 6 (enam) elemen yang harus dipenuhi dari pernyataan-pernyataan yang
ada yang harus dilengkapi dengan bukti. Hasil jawaban dari
pernyataan-pernyataan tersebut yang akan menjadi dasar penilaian level
kapabilitas APIP. Tingkatan tersebut dibagi ke dalam 5 (lima) kategori, dimulai
dari level 1 (initial) - tingkat
paling rendah, level 2 (infrastructure),
level 3 (integrated), level 4 (managed) dan level 5 (optimizing), yang merupakan level
tertinggi.
Di seluruh daerah di Provinsi
Papua, peningkatan kapabilitas APIP belum pernah menggaung dan menggelegar
sedemikian rupa sebelum KPK mulai ikut serta memberikan perhatian khusus. Dari
hasil penilaian seluruh APIP di daerah Provinsi Papua, sampai dengan tahun 2017
ini, lebih dari 75% APIP masih berada di level 1 (initial), dengan kategori belum ada praktik yang tetap, tidak ada
kapabilitas yang berulang dan tergantung pada kinerja individu alias APIP hanya
sekedar ada.
Sedangkan sisanya masuk
kategori level 2 (infrastructure) di
mana proses audit dilakukan secara tetap (rutin) dan berulang namun baru
selaras sebagian dengan standar audit yang ada. Dengan kata lain, APIP yang ada
belum dapat memiliki kemampuan untuk menilai kinerja pemerintah daerah,
ketaatan akan peraturan, serta mendukung perwujudan pemerintahan yang efektif,
efisien dan ekonomis. Gambaran tersebut mengindikasikan peluang terjadinya
korupsi dan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah sangatlah tinggi. Dengan
demikian, peningkatan kapabilitas APIP di seluruh daerah di Provinsi Papua
sangatlah penting dan mendesak, sehingga tidak mengherankan bila KPK
berkali-kali mengadakan pertemuan dengan seluruh jajaran pimpinan daerah yang
ada akhir-akhir ini.
Tetapi, bagaimana pandangan
kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah terhadap peningkatan kapabilitas
APIP? Sebagaimana cerita di awal, pada dasarnya setiap
orang merasa terganggu bila selalu diawasi. Konsekuensi dari upaya peningkatan
kapabilitas APIP adalah meningkatnya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Dengan kata lain, realisasi peningkatan kapabilitas APIP dapat menjadi
“pengganggu hidup” bagi kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah yang lain,
terutama bila yang bersangkutan memiliki agenda-agenda tersembunyi atau “gerakan tambahan”.
Bagi mereka, perhatian lebih
yang diberikan KPK terhadap peningkatan kapabilitas APIP seperti makan buah
simalakama. Enggan menyatakan komitmen penuh mendukung peningkatan kapabilitas
APIP sama saja menyerahkan diri, tetapi bila menandatangani/mendukung berarti
menyediakan diri “diganggu” oleh APIP. Walaupun demikian, ada pula kepala
daerah yang memiliki komitmen (seakan-akan) tinggi, sangat mendukung
peningkatan kapabilitas APIP dengan menandatangani komitmen peningkatan,
menginisiasi tunas integritas di pemerintahannya, tetap saja menjadi pesakitan
saat KPK melakukan OTT.
Dalam beberapa kasus, “pemain”
tak semata-mata kepala daerah, tetapi juga jajaran pimpinan daerah lainnya.
Sehingga tidak mengherankan apabila peran APIP/Inspektorat sampai saat ini
dikebiri dengan berbagai cara. Adanya leveling
Kapabilitas APIP tidak berarti banyak bagi perbaikan pemerintahan yang ada
karena banyak upaya pemberangusan pengawasan demi memenuhi kepentingan “pemain”
untuk mengeruk APBD demi pundi-pundi hartanya, atau untuk mempersiapkan diri
jelang pemilukada yang mendatang. Sangat memungkinkan sebenarnya APIP
mengetahui hal ini, tetapi tidak berani melapor karena mekanisme pelaporan
tidak jelas, dan tidak mengetahui harus menyerahkan laporan ke mana, belum lagi
bila harus mengumpulkan minimal dua bukti yang sahih dan kuat.
Oleh karena itu, usulan
penguatan kelembagaan APIP yang sedang ditindaklanjuti dengan pemberian laporan
kepada pimpinan satu tingkat yang lebih tinggi pun hanya akan memberikan
sedikit dampak bahkan mungkin masalah. Selama anggaran dan pengeloaan SDM masih
ditentukan oleh kepala daerah, hal ini akan menjadi pemicu terjadnya perang
kepentingan. Bila dilihat dari pelaksanaan fungsi, APIP Daerah bukan lagi
menjadi aparat pengawasan internal, tetapi sudah menjadi eksternal. Peran APIP
yang semula mata dan telinga kepala daerah sudah berubah menjadi pelapor
tindakan kepala daerah. Hal ini akan menyebabkan kegaduhan baru dalam
pemerintahan. Bila tidak diwaspadai, kejumawaan yang terpendam dan kemudian
muncul setelah pemberian keleluasaan dan wewenang menjadi pelapor kepala daerah
justru akan menjadi senjata makan tuan di kemudian hari.
Dengan adanya perkembangan
polemik tersebut di atas, secara tidak langsung mengisyaratkan peningkatan
kapabilitas APIP tidak memiliki andil dalam upaya perbaikan tata kelola
pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel. Banyak jajaran pimpinan
daerah yang bertingkah seperti siswa-siswi yang sebisa mungkin mendapat “nilai”
bagus tetapi menghalalkan segala cara, dan jangan sampai pengawas ujian mereka
merupakan pengawas yang jujur, berintegritas dan berani menyatakan yang benar.
Bila APIP adalah mata dan telinga pimpinan daerah, sekarang ini banyak kepala
daerah yang memilih berjalan tanpa mempedulikan mata dan telinganya yang sedang
sakit. Peningkatan kapabilitas APIP layaknya berupaya menyembuhkan mata dan
telinga yang sedang sakit sehingga dapat berfungsi normal. Peningkatan
kapabilitas APIP hanya akan menjadi sekedar wacana bila tidak diimbangi
komitmen nyata dari kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah.
Peran masyarakat yang lebih
aktif dan sadar akan pentingnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi
sangatlah penting dan berdampak besar, sebagaimana yang terjadi di Korea
Selatan baru-baru ini dan berujung pada pemakzulan Presiden Korea Selatan yang
melakukan korupsi. Apabila tidak ada perhatian lebih dari masyarakat untuk
meningkatkan fungsi pengawasan, maka upaya peningkatan kapabilitas APIP tidak
akan berdampak dan hanya sekedar lalu. Bila masyarakat tidak berperan aktif,
sama saja masyarakat bersedia menjadi korban dari korupsi. Bila KPK sudah mulai
memberi perhatiannya kepada Papua, lalu bagaimana dengan masyarakat Papua
sendiri?
Peningkatan kapabilitas APIP
merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas pengawasan pemerintahan yang
ada, sehingga pembangunan yang ada dapat berjalan efektif, efisien dan ekonomis
dan langsung berdampak pada masyarakat. Bila jajaran pimpinan daerah masih
enggan atau setengah-setengah berkomitmen untuk meningkatkan kapabilitas APIP,
masyarakat seharusnya tidak bisa tinggal diam. Masyarakat harus terus aktif dan
membangun kesadaran untuk melakukan pemberantasan korupsi.
*Penulis
bekerja di BPKP Provinsi Papua
0 komentar:
Posting Komentar