Jumat, 03 November 2017

Tambahan Penghasilan Pegawai Pemprov Papua Layak Atau Membebani

Oleh :  Hariman Dahrif*)


Kebijakan tambahan penghasilan bagi ASN Provinsi Papua, yang direncakan kali ini merupakan sekian kali kebijakan yang serupa diberlakukan dimulai dari era Kepemimpinan Gubernur Barnabas Suebu. Jika dicermati kronologis kebijakan itu dikeluarkan muaranya satu yakni keluhan akan prosentesi kehadiran ASN dalam melaksanakan tugas di OPDnya diklaim kurang optimal, alias banyak yang bolos /malas. 
 Begitulah yang selalu diutarakan dan dirisaukan oleh pejabat atas pada setiap apel disetiap kesempatan. Harapan lainya adalah selain menjadi stimulans kerajinan juga bisa mengurangi apa yang disebut tilep anggaran atau yang dikenal sekarang itu adalah Korupsi. Atas dalil tersebut, KPK pun menjadi garda terdepan menganjurkan daerah agar menaikan tambahan penghasilan bagi ASN. Pertanyaanya apa memang demikian?. 
 Belajar dari beberapa kasus, seperti di beberapa kabupaten di pedalaman Papua, kebijkan memberikan tunjangan yang bertingkat dan besar kepada ASNnya tidak signifikan dengan tingkat kehadiran mereka melaksanakan tugas. Beberapa diantara mereka tetap saja tinggal di tempat semula (daerah induk), hadir ketika mendekati tunjangan dibayarkan. Begitu kesan yang penulis amati ketika melaksanakan monitoring diwilayah pedalaman Papua.
Beberapa daerah memberlakukan kebijakan ini, sebenarnya belajar dari apa yang dilakukan Pemda Gorontalo di era Fadel Muhammad dan Ahok (Basuki Tjahya Purnama) ketika memimpin DKI Jakarta. Di Jakarta gaji ASN berkisar Rp 33 juta eselon IV sampai Rp Rp 96 juta eselon I. Namun bila hal itu diberlakukan di Papua, semuanya itu masih menjadi tesis, sebab Ahok dan Pak Fadel menambahkan penghasilan tersebut disertai proses karier dan pemberian jabatan yang sangat adil, transparan dan memuaskan bagi ASN yang bersangkutan serta phunisment yang ketat. Nah, dititik inilah sebenarnya yang menjadi masalah pertama ASN diseluruh Inonesia tidak terkecuali di Papua.      
 Seperti yang disosialisasikan, dalam kajian Litbang Provinsi Papua (2017), beberapa hal yang melatarbelakangi kebijakan tersebut, antara lain: gaji ASN di Indonesia ditingkat ASEAN hanya menempati urutan ke delapan. Lebih memperihatinkan peringkatnya di bawah Vietnam, Myanmar dan Pilipina, negara yang merdeka lebih dahulu dari kita. Sepintas rujukan tersebut benar sebagai kesimpulan dari mengapa diperlukan naiknya penghasilan. Namun penulis mengingatkan jangan lupa bahwa UU ASN diberlakukan di Indonesia, salah satu tempat studinya adalah negara Kanguru, Australia.
 Singkatnya, tujuan Pemerintah memberikan tambahan penghasilan bagi ASN adalah bagaimana ASN itu, hadir melaksanakan tugas alias tidak makan gaji buta lalu berkinerja. Namun seperti telah diutarakan di atas dibeberapa kabupaten yang memberlakukan kebijakan yang sama, tidak serta merta seperti yang diharapkan. Sebagian berpendapat hal itu terjadi karena tidak diikuti oleh prayarat atau kriteria yang harus dipenuhi untuk dipatuhi. Dalam kerangka itulah kebijakan pemerintah Provinsi kali ini memberlakukan kebijakan tambahan penghasilan, sekaligus menyertainya dengan persyaratan atau kriteria.
 Jumlah ASN di Provinsi Papua lebih kurang 7357 ribu. Tersebar dalam 52 OPD, terbagi pula dalam 1120 Eselonisasi. Sementara jumlah APBD, 2017 kita kurang lebih 15 Triliyum, setiap tahun bertambah sekitar 1-2 % saja.  Sesuai kajian litbang, jika skenario penuh diterapkan, maka diperlukan anggaran kurang lebih Rp 1.3 Triliun rupiah. Anda bisa bayangkan 9 % APBD kita disedot oleh tambahan penghasilan ASNnya saja. Namun demikian dalam kajian Bappeda perihal Pengendalian Program 2017 ditemukan performan anggaran kita terbilang belum efektif dan efisien. Dalam skala Program follow priority dalam on the track, tetapi item belanja per belanja boleh dikatakan terdapat pemborosan.
 Selain struktur APBD kita yang masih didominasi Belanja Tidak Langsung, ketidak efisienan lain, bisa ditemukan (1) masih banyaknya duplikasi penganggaran di dalam item belanja tidak langsung maupun langsung, (2) Di belanja langsung barang dan jasa misalnya item belanja, seperti belanja makan dan minum, pemeliharaan, perawatan kendaraan bermotor, cetak dan penggandaan, sewa gedung perlengkapan, jasa kantor, sewa rumah dan premi pegawai bisa dihemat. Misal saja sekitar 15% penghematan dari item belanja langsung dilakukan maka bisa menjawab 70% persediaan uang untuk menunjang kebijakan tambahan pengahasilan tercukupi. Artinya dalam APBD Provinsi Papua terdapat potensi untuk dimaksimalkan menjawab kebijakan tersebut baik dari belanja tidak langsung maupun rasionalisasi dari belanja langsung.
 Namun perlu diingat, bagi ASN keadaan ini menggembirakan sekaligus menyedihkan. Menggembirakan karena layak diaplikasikan, menyedihkan karena yang dijadikan gaji dasar dalam menghitung pensiun adalah dari Gaji Pokok bukan dari tunjangan atau tambahan penghasilan. Jadi sebesar apapun naiknya tunjangan atau tambahan penghasilan tidak mempengaruhi besarnya gaji pensiun. Oleh karena itu yang diperlukan ASN sebenarnya adalah gaji naik, sehingga saat pensiun masih bisa membiayai anak mungkin masih sekolah atau merawat kesehatannya. Petaka lain yang mungkin timbul adalah masalah sosial, berupa kecemburuan antara daerah dan provinsi serta tingkat kesenjangan pendapatan antara lapisan masyarakat di Papua.
 Namun kritik penulis sebenarnya adalah dijadikannya “KEHADIRAN” sebagai pokok indikator yang sifatnya output dalam perhitungan tambahan penghasilan. Pada hal kehadiran sebenarnya bagian yang disasar sebagai dampak (indikator out come) untuk membiasakan PNS itu hadir meskipun tidak ditambah penghasilannya. Seorang ASN itu harus hadir di kantor pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai Tupoksinya, sebagai konsekwensi pilhannya menjadi ASN. Ini mungkin terlalu idealis atau utopia, tetapi belajar dari perusahan semisal Microsoft, Samsung, LG dan perusahaan papan atas di seluruh dunia, baru anda bisa mengerti.
 Apakah ini sulit, penulis kira tidak karena teknologi informasi seperti sms, telepon melalui polling pendapat akan membantu atau kerjasama dengan Komisi Informasi Publik. Artinya seorang ASN menerima gaji dan tambahan penghasilan itu dari Pajak, sedang pajak dipungut dari rakyat, maka selayaknya masyarakat juga diberi kewenangan mengawasi ASN dalam melayaninya. Apakah seorang Eselon menerima sampai maksimal Rp 50-an juta rupiah/bln bisa dikatakan layak, sementara tingkat pelayanan OPDnya menurut persepsi publik rendah?. Kongkritnya usulan penulis adalah saatnya diperlukan asesement centre untuk memberlakukan kebijakan tambahan penghasilan itu bisa diaplikasikan. ***


*) Pemerhati Sosial Ekonomi serta isu-isu kebangsaan di Papua, tinggal di Aryoko-Jayapura; harimandarif@yahoo.co.id (Dosen UNIYAP Papua) Sehari-hari  bekerja di Bappeda Provinsi Papua

0 komentar:

Posting Komentar