Oleh : Hariman Dahrif*)
Kebijakan tambahan penghasilan bagi ASN Provinsi Papua,
yang direncakan kali ini merupakan sekian kali kebijakan yang serupa
diberlakukan dimulai dari era Kepemimpinan Gubernur Barnabas Suebu. Jika
dicermati kronologis kebijakan itu dikeluarkan muaranya satu yakni keluhan akan
prosentesi kehadiran ASN dalam melaksanakan tugas di OPDnya diklaim kurang
optimal, alias banyak yang bolos /malas.
Begitulah yang
selalu diutarakan dan dirisaukan oleh pejabat atas pada setiap apel disetiap
kesempatan. Harapan lainya adalah selain menjadi stimulans kerajinan juga bisa
mengurangi apa yang disebut tilep anggaran atau yang dikenal sekarang itu
adalah Korupsi. Atas dalil tersebut, KPK pun menjadi garda terdepan
menganjurkan daerah agar menaikan tambahan penghasilan bagi ASN. Pertanyaanya
apa memang demikian?.
Belajar dari
beberapa kasus, seperti di beberapa kabupaten di pedalaman Papua, kebijkan
memberikan tunjangan yang bertingkat dan besar kepada ASNnya tidak signifikan
dengan tingkat kehadiran mereka melaksanakan tugas. Beberapa diantara mereka
tetap saja tinggal di tempat semula (daerah induk), hadir ketika mendekati
tunjangan dibayarkan. Begitu kesan yang penulis amati ketika melaksanakan
monitoring diwilayah pedalaman Papua.
Beberapa daerah memberlakukan kebijakan ini, sebenarnya
belajar dari apa yang dilakukan Pemda Gorontalo di era Fadel Muhammad dan Ahok
(Basuki Tjahya Purnama) ketika memimpin DKI Jakarta. Di Jakarta gaji ASN
berkisar Rp 33 juta eselon IV sampai Rp Rp 96 juta eselon I.
Namun bila hal itu diberlakukan di Papua, semuanya itu masih menjadi tesis,
sebab Ahok dan Pak Fadel menambahkan penghasilan tersebut disertai proses
karier dan pemberian jabatan yang sangat adil, transparan dan memuaskan bagi
ASN yang bersangkutan serta phunisment yang ketat. Nah, dititik inilah
sebenarnya yang menjadi masalah pertama ASN diseluruh Inonesia tidak terkecuali
di Papua.
Seperti yang
disosialisasikan, dalam kajian Litbang Provinsi Papua (2017), beberapa hal yang
melatarbelakangi kebijakan tersebut, antara lain: gaji ASN di Indonesia
ditingkat ASEAN hanya menempati urutan ke delapan. Lebih memperihatinkan
peringkatnya di bawah Vietnam, Myanmar dan Pilipina, negara yang merdeka lebih
dahulu dari kita. Sepintas rujukan tersebut benar sebagai kesimpulan dari mengapa
diperlukan naiknya penghasilan. Namun penulis mengingatkan jangan lupa bahwa UU
ASN diberlakukan di Indonesia, salah satu tempat studinya adalah negara
Kanguru, Australia.
Singkatnya, tujuan
Pemerintah memberikan tambahan penghasilan bagi ASN adalah bagaimana ASN itu,
hadir melaksanakan tugas alias tidak makan gaji buta lalu berkinerja. Namun
seperti telah diutarakan di atas dibeberapa kabupaten yang memberlakukan
kebijakan yang sama, tidak serta merta seperti yang diharapkan. Sebagian
berpendapat hal itu terjadi karena tidak diikuti oleh prayarat atau kriteria
yang harus dipenuhi untuk dipatuhi. Dalam kerangka itulah kebijakan pemerintah
Provinsi kali ini memberlakukan kebijakan tambahan penghasilan, sekaligus
menyertainya dengan persyaratan atau kriteria.
Jumlah ASN di
Provinsi Papua lebih kurang 7357 ribu. Tersebar dalam 52 OPD, terbagi pula
dalam 1120 Eselonisasi. Sementara jumlah APBD, 2017 kita kurang lebih 15
Triliyum, setiap tahun bertambah sekitar 1-2 % saja. Sesuai kajian litbang, jika skenario penuh
diterapkan, maka diperlukan anggaran kurang lebih Rp 1.3 Triliun rupiah. Anda
bisa bayangkan 9 % APBD kita disedot oleh tambahan penghasilan ASNnya saja.
Namun demikian dalam kajian Bappeda perihal Pengendalian Program 2017 ditemukan
performan anggaran kita terbilang belum efektif dan efisien. Dalam skala Program
follow priority dalam on the track, tetapi item belanja per belanja
boleh dikatakan terdapat pemborosan.
Selain struktur
APBD kita yang masih didominasi Belanja Tidak Langsung, ketidak efisienan lain,
bisa ditemukan (1) masih banyaknya duplikasi penganggaran di dalam item belanja
tidak langsung maupun langsung, (2) Di belanja langsung barang dan jasa
misalnya item belanja, seperti belanja makan dan minum, pemeliharaan, perawatan
kendaraan bermotor, cetak dan penggandaan, sewa gedung perlengkapan, jasa
kantor, sewa rumah dan premi pegawai bisa dihemat. Misal saja sekitar 15%
penghematan dari item belanja langsung dilakukan maka bisa menjawab 70%
persediaan uang untuk menunjang kebijakan tambahan pengahasilan tercukupi.
Artinya dalam APBD Provinsi Papua terdapat potensi untuk dimaksimalkan menjawab
kebijakan tersebut baik dari belanja tidak langsung maupun rasionalisasi dari
belanja langsung.
Namun perlu
diingat, bagi ASN keadaan ini menggembirakan sekaligus menyedihkan.
Menggembirakan karena layak diaplikasikan, menyedihkan karena yang dijadikan
gaji dasar dalam menghitung pensiun adalah dari Gaji Pokok bukan dari tunjangan
atau tambahan penghasilan. Jadi sebesar apapun naiknya tunjangan atau tambahan
penghasilan tidak mempengaruhi besarnya gaji pensiun. Oleh karena itu yang
diperlukan ASN sebenarnya adalah gaji naik, sehingga saat pensiun masih bisa
membiayai anak mungkin masih sekolah atau merawat kesehatannya. Petaka lain
yang mungkin timbul adalah masalah sosial, berupa kecemburuan antara daerah dan
provinsi serta tingkat kesenjangan pendapatan antara lapisan masyarakat di
Papua.
Namun kritik
penulis sebenarnya adalah dijadikannya “KEHADIRAN” sebagai pokok indikator yang
sifatnya output dalam perhitungan tambahan penghasilan. Pada hal kehadiran
sebenarnya bagian yang disasar sebagai dampak (indikator out come) untuk
membiasakan PNS itu hadir meskipun tidak ditambah penghasilannya. Seorang ASN
itu harus hadir di kantor pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat
sebagai Tupoksinya, sebagai konsekwensi pilhannya menjadi ASN. Ini mungkin
terlalu idealis atau utopia, tetapi belajar dari perusahan semisal Microsoft,
Samsung, LG dan perusahaan papan atas di seluruh dunia, baru anda bisa mengerti.
Apakah ini sulit,
penulis kira tidak karena teknologi informasi seperti sms, telepon melalui
polling pendapat akan membantu atau kerjasama dengan Komisi Informasi Publik.
Artinya seorang ASN menerima gaji dan tambahan penghasilan itu dari Pajak,
sedang pajak dipungut dari rakyat, maka selayaknya masyarakat juga diberi
kewenangan mengawasi ASN dalam melayaninya. Apakah seorang Eselon menerima
sampai maksimal Rp 50-an juta rupiah/bln bisa dikatakan layak, sementara
tingkat pelayanan OPDnya menurut persepsi publik rendah?. Kongkritnya usulan
penulis adalah saatnya diperlukan asesement centre untuk memberlakukan
kebijakan tambahan penghasilan itu bisa diaplikasikan. ***
*) Pemerhati Sosial Ekonomi serta
isu-isu kebangsaan di Papua, tinggal di Aryoko-Jayapura; harimandarif@yahoo.co.id (Dosen UNIYAP Papua) Sehari-hari bekerja di Bappeda Provinsi Papua
0 komentar:
Posting Komentar