Kamis, 04 Juni 2015

Masihkah Hutan Papua Sebagai Sumber Hidup Orang Papua?

(Sebuah Refleksi oleh klasis GKI Jayapura dalam menyambut Hari Lingkungan Hidup)
 

Oleh: Pdt. Anike Mirino*
Makna Hutan Bagi Masyarakat Papua
   Bagi masyarakat lokal Papua, Hutan dan laut  dipandang sebagai sumber kehidupan. Hampir seluruh kebutuhan masyarakat di ambil dari hutan dan laut. ketergantungan masyarakat ini sudah ada sejak zaman dahalu sebelum mereka mengenal dunia luar, sampai sekarangpun masyarakat memandang hutan sebagai gudang makanan, kehidupan masyarakat local yang hidup di pesisir pantai bergantung kepada hutan sagu dan hutan manggrof, menokok sagu, menangkap ikan dan berburu secara tradisional. Masyarakat yang bertempat tinggal di pegunungan juga bergantung kepada ubi-ubian dan berburu secara tradisional.
Laut sebagai sumber kehidupan bagi manusia dan Biota laut lainnya telah mengalami kerusakan cukup parah akibat pemboman,bencana alam diakibatkan tsunami, kerusakan hutan manggrof, dan pembangunan yang tidak memiliki analisa masalah dampak lingkungan, pembuangan sampah, limbah indstri dan rumah tangga.
   Disamping hutan berfungsi sebagai sumber makanan bagi masyarakat local, karena hutan telah menyiapkan makanan local seperi sagu, hutan juga berfungsi sebagai sumber bahan obat-obatan karena ada obat-obat tradisional yang diambil dari hutan untuk menyembuhkan orang sakit. Bahkan sumber asesoris budayapun diambil dari hutan, untuk menjalankan upacara adat bagi seluruh masyarakat di Papua dan juga ada tempat di kawasan hutan yang digunakan untuk ritual adat tertentu.  Kita dapat bayangkan kalau hutan ini hancur atau habis maka kehidupan masyarakat local pun akan menjadi sulit dan akan menderita.
  Saat ini perkembangan lingkungan hidup berupa hutan,laut dan kekayaan alam yang sesungguhnya berfungsi sebagai penunjang kehidupan manusia, telah mengalami kerusakan berat. Faktor lain juga menambah tingkat kerusakan ini adalah pembuangan sampah, yang tidak teratur, polusi dari asap-asap kendaraan bermotor, dan lain-lain.

Bentuk Pengakuan Negara Terhadap Hutan Masyarakat Papua sebagai satu kesatuan Masyarakat  Hukum Adat
   Kesatuan masyarakat Hukum Adat masyarakat Papua sangat berbeda dari masyarakat Indonesia pada umumnya, karena hidup dan karya orang Papua selalu di dalam hutan dan sangat bergantung pada kekayaan hasil hutan. Hutan yang dikelola oleh masyarakat Papua adalah aset yang tak ternilai harganya, merupakan warisan leluhur secara turun-temurun. Hutan bagi orang papua adalah ibu, surga berada di telapak kaki ibu. Itu sebabnya Orang asli Papua sangat menghormati, menghargai dan menjaga hutannya sebagai anugerah yang diberikan Tuhan bagi orang Papua. Dalam pemanfaatannya tidak dilakukan secara serampangan tetapi dikelola dengan sistim hukum adat. Hutan di Papua sangat berkaitan dengan hak kepemilikan yang diatur dengan hukum adat, karena kepemilikannya secara komunal. Itu sebabnya ketika aktifitas pembukaan hutan secara besar-besaran di Papua, pasti akan berbenturan dengan ketentuan adat yang bisa berdampak positif maupun negatif. Dalam praktek pengelolaan hutan di Papua, masyarakat asli pemilik hutan dan hak ulayat selalu menjadi korban, dan seolah-olah hal ini sudah biasa dan dianggap wajar sehingga dalam prosesnya pihak-pihak terkait termasuk pemerintah di dalamnya sering mengabaikan faktor perlindungan, pendampingan, pembinaan dan pengawasan bagi kepentingan masyarakat pemilik hutan dan hak ulayat.
   Padahal sejumlah Regulasi yang dibuat oleh Negara sangat jelas memberi pengakuan dan memposisikan masyarakat hukum adat pemilik hak ulayat. Negara mengakui keberadaan hutan adat, masyarakat hukum adat, dan hak ulayat masyarakat adat. Sekedar memberi ringkasan pada pemahaman negara terhadap status hukum adat, hutan adat dan hak ulayat masyarakat adat, Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu :
1.      Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari;
2.      Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
3.      Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum adat tersebut
Beberapa Regulasi yang selama ini menjadi polemik dalam prakteknya dimasyarakat :       
1.      Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Pasal 1 ayat 6 dalam ketentuan umum dikatakan bahwa: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyatakat hukum adat, sehingga walaupun hutan adat diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara, tetapi sebenarnya negara mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 67 ayat 2 dinyatakan, bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah
2.      Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air juga mencantumkan pengakuan terhadap masyarakat adat atas hak ulayat. Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
3.      Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mewajibkan kepada pengusaha di bidang perkebunan yang mengajukan permohonan hak atas satu wilayah tertentu untuk terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat yang memegang hak ulayat atas suatu wilayah. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perkebunan yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hokum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.”
   Masih banyak lagi Regulasi yang dibuat oleh Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, namun dalam prakteknya hanya menjadi penghias lembaran kertas alias formalitas sebagai sebuah syarat. Dengan banyaknya kasus ilegal loging, ilegal fhising di Papua adalah bukti bahwa penerapan regulasi tidak sejalan dengan kaidah filosofi dan pemaknaan regulasi tersebut, maka wajarlah kalau dikatakan peraturan dibuat untuk dilanggar bukan untuk dipatuhi. Pelaku pelanggarannya dibiarkan terstruktur bagai mafia kayu, karena ternyata mafia kayu biasa bebas beraksi di hutan-hutan adat milik masyarakat hukum adat Papua sampai hari ini karena ada mafia regulasi....dosanya bukan hanya pada pemain atau cukong hutan kayu, tetapi dosa yang terbesar dipikul adalah pada mafia regulasi. Karena Firman Tuhan mengatakan, apabila kamu sudah mengetahuinya, tetapi kamu tetap dengan sengaja melakukannya maka dosamu tidak akan diampuni. Lebih baik bersikap jentel seperti seorang penjahat yang mengakui dosanya kepada Tuhan Yesus ketika nyawanya di ujung tanduk dan diselamatkan oleh Tuhan Yesus, dari pada bersikap sepeti ahli taurat dan orang farisi yang mengadili Tuhan Yesus, pada hal tidak didapati kesalahan apapun sebagaimana pengakuan Herodes.

   Dampak Pengabaian Kesatuan Hukum Adat dan Fenomena Pembangunan Kota Jayapura.
1.      Kota Jayapura sebagai ibu kota Provinsi Papua, menjadi kota tujuan dan kota transit bagi migrasi penduduk dari luar Papua.
2.      Kota Jayapura merupakan Kota dengan Pertumbuhan Penduduk tertinggi di dunia, oleh sebab itu tidak heran bila Ruang Kota Jayapura tidak mampu menampung arus penduduk yang masuk ke Kota Jayapura setiap hari,
3.      Pembangunan yang tidak memperhatikan tata ruang Kota Jayapura, menyebabkan estetika dan keindahan kota Jayapura terabaikan. Kepentingan pelaku ekonomi dan pebisnis kelas kakap sampai kelas teri saling bersaing untuk mendapat ruang dan kesempatan menggunakan lahan dan tanah dengan mengabaikan kepentingan umum, kepentingan masyarakat adat dan kepentingan pribadi.
4.      Transaksi Jual beli tanah di kota Jayapura sangat tinggi, hampir satiap jengkal tanah di Kota Jayapura telah dipasang papan nama pemilik yang bukan marga dari suku-suku asli pemilik hak ulayat. Konflik jual beli tanah antara pembeli dengan broker tanah, pembeli dengan penggarap dan penyewa, dan antara pemilik dengan pembeli sudah biasa terjadi.
5.      Pertumbuhan Ruko dan Mall di pinggir jalan utama atau jalan protokol sangat subur, tanah pemukiman dan pekarangan rumah yang tadinya luas dan indah menghiasi jalan protokol tiba-tiba berubah menjadi tumbuhan yang dinamanya ruko dan mall.
6.      Kawasan perbukitan, daerah resapan dan lereng-lereng gunung Jayapura yang dulunya hijau kini dihiasi oleh bangunan rumah berbagai bentuk dari yang mewah sampai yang kumuh....
7.      Hampir setiap sudut Kota Jayapura berubah fungsi menjadi tempat perdagangan dan pasar, bahkan pinggiran jalan protokol maupun jalan arteri dan jalan penghubung ditutupi oleh aktifitas warung, gerobak dorong, motor penjajak dagangan, sampai tukang ojek dan supir taksi rental dan taksi antara kota yang berjuang mengais rejeki.....menyebabkan ruang bagi pejalan kaki semakin sulit.....

    Pembangunan yang semakin semrawut di Kota Jayapura yang mengabaikan fungsi Tata Ruang Kota Jayapura,  telah mengakibatkan rusaknya lingkungan Kota yang semakin parah, sehingga wajarlah kalau ini menjadi lampu hijau atau peringatan bagi kita semua bahwa Kota Jayapura dapat dikategorikan sebagai Kota Darurat Bencana dan Wabah harus ditanggapi serius oleh kita semua yang hidup dan mencintai Kota ini.
   Masih teringat dengan jelas di ingatan kita, Kisah tragis di malam Tahun Baru 2012,
Hujan deras yang mengguyur Kota Jayapura menjelang malam pergantian tahun mengakibatkan banjir di sekitar kawasan Entrop dan pusat Kota Jayapura, Selasa (31/12). Hujan yang turun sejak sore hari dan berlangsung sekitar empat jam tersebut membuat air di Kali Entrop meluap dan melintas di atas jembatan serta menggenangi Jalan Raya Abepura-Entrop hingga di depan Kompleks Assalam, Entrop. Selain itu, banjir juga terlihat terjadi di beberapa titik di sekitar Entrop seperti PTC dan daerah pertokoan di samping Balai Wartawan.
   Banjir yang terjadi di sekitar kawasan Entrop ini mengakibatkan terjadinya antrian panjang kendaraan baik dari arah Jayapura maupun dari arah Hamadi. Pasalnya kendaraan tidak dapat melintas di Jembatan Entrop yang tergenang air hingga pinggang orang dewasa dan arus air sangat kencang. Genangan air juga terjadi di sekitar daerah PTC Entrop akibat meluapnya kali yang berada di samping Mapolsek Japsel. Air bercampur lumpur tersebut tidak hanya menggenangi Mapolsek Japsel dan Koramil, tetapi juga dalam kawasan PTC. Akibat genangan air tersebut, aparat Polsek Japsel terpaksa menutup jalur jalan di depan PTC
 
Catatan Kristis di Kota Jayapura menjadi cermin bagi kita bahwa :
   Sakitnya atau rusaknya planet bumi  disebabkan oleh ulah manusia sendiri yaitu dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara memanfaatkan dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan mengandung aspek pengrusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja.
   Sayangnya kesadaran akan semakin rusaknya lingkungan hidup mulai muncul  sesudah perang dunia kedua dan mulai mengglobal tiga dekade yang lalu ketika alam terlanjur rusak berat atau sakit parah. Ketika itu manusia makin menyadari bahwa sumber-sumber alam (khususnya non renewable resources) semakin menipis.
   Pengalih fungsian hutan misalnya, hutan selain sebagai sumber bahan baku untuk diolah menjadi bahan produk, juga dikonversi menjadi lahan - pertanian. Pengrusakan ini diperberat oleh polusi atau pencemaran. Untuk menjaga kesuburan lahan pertanian digunakan pupuk kimia dan untuk menjaga panen dari serangan hama digunakan pestisida secara besar-besaran sehingga produksi pertanian meningkat, akibat yang dari penggunaan pupuk kimia secara berlebihan berdampak pada kesehatan manusia yang mengkonsumsi hasil pertanian. bersama dengan industri dan transportasi yang dibangun untuk meningkatkan produksi dan distribusi, membentur alam dalam bentuk polusi. Akibatnya sumber alam semakin menipis, kemampuan daya dukung alam berkurang dan mengancam kehidupan manusia sendiri.
Apa kata teologi atau etika Kristen?
   Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah (Imago Dei) dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.

1. Kesatuan manusia dengan alam
   Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut adam. Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, adamah yang berarti warna merah kecoklatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin manusia disebut homo, yang juga mempunyai makna yang berkaitan dengan humus, yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait mengkait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej 2:7; 3:19,23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej 3:19; Maz 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung - sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.

2. Kepemimpinan manusia atas alam
   Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej 1:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej 2:15). Jadi manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemulian dan hormat (Maz 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Dan karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan care taker. Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang. Artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.

Kata mengelola dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani abudah, yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola (abudah) dan memelihara (samar) lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.

3. Kegagalan manusia memelihara alam
   Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan" tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan (utilistik materialistik). Manusia hanya memperhatikan tugas menguasai tetapi tidak memperhatikan tugas memelihara. Dengan demikian manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.
  Secara teologis dapat dikatakan bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhannya tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang hakekatnya berubah dari "a needy being" menjadi "a greedy baing". Kegagalan dalam melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-keinginannya.

4. Hubungan baru manusia - alam
   Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.
 Dalam iman Kristen hubungan baru manusia dengan alam bukan saja hubungan dominio (menguasai) tetapi juga hubungan comunio (persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam yaitu "air, anggur dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru manusia dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang baik harus tercermin dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Allah harus tercermin dalam persekutuan dengan alam.


1. Solidaritas dengan alam
    Karena manusia dengan lingkungan hidup adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan hubungannya oleh Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus (2 Kor 5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider (sesama ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam mestinya diperlakukan dengan penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena-mena, tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk. Dengan cara itu manusia dan alam secara bersama (koperatif) menjaga dan memelihara ekosistem. Contoh konkrit: manusia berdisiplin dalam membuang sampah atau limbah (individu, rumah tangga, industri, kantor dan sebagainya) agar tidak mencemari lingkungan dan merusak ekosistem. Pencemaran/polusi mestinya dicegah, diminimalkan dan dihapuskan supaya alam tidak sakit atau rusak. Kita bertanggung jawab atas kesehatan dan kesegaran alam kita.
Sikap solider dengan alam dapat pula ditunjukkan dengan sikap hormat dan menghargai (respek) terhadap alam. Tidak berarti alam disembah, tetapi alam dihargai sebagai ciptaan yang dikaruniakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus yang menjadi cerminan kemuliaan Allah: Dengan menghargai alam berarti menghargai Sang Pencipta dan Sang Penebus.

2. Pelayanan yang bertanggung jawab (stewardship)
   Alam adalah titipan dari Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka sumber-sumber alam diberikan kepada manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan sumber-sumber alam itu secara bertanggung jawab. Memanfaatan/penggunaan sumber-sumber alam haruslah dilihat sebagai bagian dari pelayanan. Alam digunakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan yaitu menjaga ekosistem. Tetapi alam juga digunakan dengan memperhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi yang akan datang.
   Memanfaatkan alam adalah bagian dari pertanggungjawaban talenta yang diberikan/ dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia (Mat 25:14-30 par.). Allah: telah mempercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan dipakai. Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk disuburkan dan dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal. Oleh karena itu maka alam mesti dipelihara dan keuntungan yang dapat dari alam sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam

3. Pertobatan dan pengendalian diri
   Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara teologis dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. Dengan demikian setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan pengendalian diri. Dilihat dari sudut pandang Kristen maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang pertama dan utama adalah mempraktekkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.
   Usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern alias materialisme/mamonisme. Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan
 Alam ini berfungsi ekumenis (untuk didiami) oleh seluruh ciptaan lainnya. Alam ini rumah kita. Kata-kata ekonomi, ekumene dan ekologi berakar dalam kata Yunani oikos artinya rumah. Ekonomi berarti menata rumah, itulah tugas pengelolaan kebutuhan hidup. Ekumene berarti mendiami rumah. Itulah tugas penataan kehidupan yang harmonis. Ekologi berarti mengetahui/menyelidiki rumah. Itulah tugas memahami tanggung jawab terhadap alam.#
Selamat Memperingati Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2015 

______________
*Penulis adalah Sekretaris Keadilan Perdamaian Klasis GKI Jayapura

( artikel ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos - Juni 2015)


0 komentar:

Posting Komentar