(Sebuah Refleksi Pada Perayaan HUT Pekabaran Injil Ke 160 Di Tanah Papua)
Oleh : John Lensru *)
BESOK tanggal 5 Pebruari 2015, kita, khususnya warga Kristiani di Tanah Papua akan merayakan Hari Ulang Tahun Pekabaran Injil yang ke 160 tahun di Tanah Papua. Sudah pasti, para Pendeta, Vikaris, Penginjil, Guru Jemaat dan Penatua yang memimpin ibadah HUT PI akan menyebut nama Ottow dan Geissler sebagai Rasul orang Papua. Bahkan sikap masyarakat Numfor (penduduk pribumi) di pulau Mansinam terhadap kedua insan tersebut, baik positif maupun negatif akan diuraikan secara panjang lebar. Semuanya itu dilakukan, dengan satu tujuan yaitu : untuk mengajak kita melihat dan/atau merenungkan bagaimana Kuasa Roh Allah menggerakan, baik hamba-hamba-Nya dari Eropa, maupun anak-anak-Nya di Tanah Papua, untuk berusaha menanamkan benih Injil di Tanah Papua yang dimulai dari pulau Mansinam.
Tak ada salahnya, pada moment HUT PI ke 160 ini juga kita menceriterakan dan/atau merenungkan hal yang sama yang terjadi di kampung/ daerah kita masing-masing, khususnya tentang bagaimana Roh Allah menggerakan nenek-moyang/leluhur kita bersama hamba-hamba-Nya, untuk memberitakan dan/atau menanamkan benih Injil di kampung/ daerah kita masing-masing. Berikut ini, penulis akan menyampaikan sekilas tentang bagaimana penduduk pribumi Papua dari Lembah Grime dan Nawa berusaha merebut benih Injil untuk ditanam di daerahnya, di bawah judul “Imsi Dan Manggo Membuka Pintu Bagi Injil Di Lembah Grime Dan Nawa”
Imsi Dan Manggo, adalah nama kedua tokoh adat dari Lembah Grime, khususnya dari kampung Imeno, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura. Nama lengkapnya, adalah Imsi-dikie dari keret Dekeniap dan Manggo-dewem-temang dari keret Maimbu/Giay. Setelah Injil masuk di Nimboran, khususnya di kampung Imeno yang ditandai dengan pembaptisan pada tanggal 16 Pebruari 1936, maka pada saat itu Manggo-dewem-temang dibaptis dengan nama : Abraham, sehingga lengkapnya dipanggil : Manggo Abraham Giay. Sedangkan rekannya Imsie-dikie tidak dibaptis, sehingga dia tetap dipanggil dengan nama adat Imsie-dikie Dekeniap.
Ketika pengaruh modernisasi mulai masuk di wilayah lembah Grime dan Nawa pada awal abad ke 20, tepatnya pada tahun 1900-an, yang diawali dengan kegiatan para pemburu burung kuning/Cenderawasih, maka Imsi, Manggo serta Nenu dan teman-teman pemuda Genyem lainnya mulai tampil dan memainkan peran sebagai katalisator modernisasi yang tangguh pada saat itu, karena terlibat langsung dalam aktivitas perburuan burung Cenderawasih dan berbagai aktivitas modernisasi lainnya, termasuk kegiatan dari Team Expedisi Wichmann & Lorenzt pada tahun 1903.
Sedari tahun 1900 hingga tahun 1918 atau selama kurang lebih 18 tahun mereka terlibat dalam kegiatan perburuan burung kuning/Cenderawasih bersama pemuda-pemuda dari Maluku, Sangir Talaud, Tobelo dan Ternate yang dipimpin oleh Asang dan Badoun. Disamping bekerja sebagai tenaga porter dan/atau penunjuk jalan, mereka juga belajar bahasa Melayu ragam Maluku serta latihan menembak dengan menggunakan senjata api. Lama-kelamaan mereka mahir sehingga dapat tampil sebagai penembak-penembak burung Cenderawasih yang ulung. Hasil buruannya dijual kepada para pedagang yang dikoordinir oleh J.M.Dumas (seorang pedagang asal Cina/Hongaria ??) di Metudebi, yang pada saat itu menjadi pusat perdagangan buluh burung Cenderawasih dan hasil hutan lainnya.
Mereka mulai memburu burung Cenderawasih dari Lembah Grime, Nawa, terus ke daerah Mamberamo, Arso, Waris serta daerah perbatasan dan sekitarnya, kemudian kembali ke pangkalannya yang pada saat itu dibuka di kampungnya Nenu Demotekay di Waitebu/Singgri, Genyem. Berbulan-bulan mereka di rimbah raya, tinggalkan anak isteri di kampung, demi memburu burung Cenderawasih dengan upah berupa garam, korek api, kain, cermin, pisau, dan bahan kontak lainnya.
Pada suatu saat, setelah mereka kembali dari perburuan, dan sebelum membawa hasil buruannya untuk dijual di Metudebi, mereka beristirahat di kampung Waitebu/Singgri. Pada saat itu, isteri Nenu memberikan sepucuk surat kepada para pemburu Maluku yang dititipkan oleh teman-teman mereka dari Demta. Ketika para pemburu membaca surat tersebut, maka menangislah mereka dengan terseduh-seduh, karena isi suratnya menceriterakan, bahwa isteri dan anak dari salah seorang teman mereka sudah meninggal dunia.
Melihat peristiwa itu, maka Nenu dan teman-temannya dari Nimboran menjadi heran dan masing-masing bertanya, apa gerangan sehingga teman-teman mereka dari Maluku menangis terseduh-seduh? Tak ada yang marah atau pukul mereka, tapi mereka menangis terseduh-seduh. Nenu yang bisa berbahasa Melayu ragam Maluku pun mulai memberanikan diri dan bertanya kepada Asang dan Badoun, tentang alasan mereka menangis. Asang dan Badoun menceriterakan, bahwa isteri dan anak dari salah satu teman mereka telah meninggal dunia. Nenu pun bertanya lagi, siapa yang memberitahukan/ menyampaikan berita kematian itu ? Asang dan temannya menjawab, bahwa kami baca dalam surat ini, sambil menunjukan selembar kertas yang bercoretan huruf-huruf. Nenu dan teman-temannya tetap penasaran dan ingin tahu lebih lanjut, sehingga Nenu menjemput surat dari tangan temannya dan menempelkannya pada telinga dengan harapan bisa mendengar berita kematian itu. Namun surat yang adalah selembar kertas yang bercoretan huruf-huruf, tetap membisu di telinga Nenu.
Memperhatikan gerakan Nenu yang demikian, maka sadarlah teman-teman mereka dari Maluku, bahwa Nenu dan teman-temannya dari Nimboran tidak mengerti tentang arti “surat”. Maka Asang dan Badoun mulai menjelaskan, bahwa ini adalah surat, yaitu selembar kertas yang diatasnya ditulis berita kematian dengan huruf oleh keluarga mereka di Maluku. Kemudian surat ini dikirim dengan menggunakan kapal laut kepada mereka melalui Demta. Untuk menulis surat ini, kami diajar oleh Guru Belanda. Kalau kalian (orang Nimboran) ingin tulis dan baca seperti kami, kalian harus pergi minta guru kepada Pendeta dan Pemerintah Belanda di Hollandia, supaya guru itu bisa mengajar kalian orang Nimboran sehingga orang Nimboran juga bisa tahu menulis dan membaca seperti kami.
Setelah mengikuti penjelasan dari Asang dan temannya, maka pada saat itu Nenu dan teman-temannya dari Nimboran menjadi sadar, bahwa selama ini mereka dibohongi oleh para pemburu (orang Maluku) untuk mencari burung Cenderawasih. Berbulan-bulan mengembara di hutan rimba, naik-turun gunung, digigit nyamuk, kehujanan serta basah kuyup dan kedinginan, hanya untuk kepentingan para pedagang. Sebab itu, keesokan harinya, Nenu meniup triton petanda mengundang semua teman-temannya untuk datang menemuinya di kampung Waitebu/Singgri. Kepada teman-temannya yang terlibat dalam aktivitas perburuan burung Cenderawasih, termasuk Imsi-dekie dan Manggo-dewem-temang dari kampong Imeno, Nenu menjelaskan, bahwa kita dibohongi oleh teman-teman kita dari Maluku dengan diajak untuk memburu burung Cenderawasih. Sebaiknya kita hentikan kegiatan pemburuan burung Cenderawasih, dan kita harus segera ke Hollandia menemui Kepala Pemerintah dan Pendeta Belanda untuk meminta guru, supaya guru bisa mengajar anak-anak kita, sehingga anak-anak kita bisa tahu membaca dan menulis seperti orang-orang Maluku.
Setelah mengikuti penjelasan Nenu, maka mereka pun sepakat untuk menghentikan aktivitas perburuan burung kuning dan membuat rencana untuk mengunjungi pihak pemerintah dan zending di Hollandia. Kalau sebelumnya, mereka (orang-orang Grime dan Nawa) datang ke Hollandia untuk kepentingan perdagangan buluh burung Cenderawasih serta hasil hutan dan pengobatan bagi yang sakit dan/atau luka, tetapi sekarang kunjungan mereka ke Hollandia hanya untuk satu tujuan, yaitu meminta guru kepada zendeling Bijkerk dan J.A.Wasterval yang saat itu menjabat sebagai kontrolir pemerintah Belanda di Hollandia.
Untuk itu, kira-kira pada hari Selasa tanggal 1 Oktober 1918, sekelompok pemuda Nimboran yang dipimpin oleh Imsi dan Manggo mulai berangkat dari kampung Imeno menuju pos Hollandia. Selama dua hari dalam perjalanan dan pada hari ke tiga (Kamis, 3 Oktober 1918) mereka tiba di Hollandia. Pada hari Jumat pagi tanggal 4 Oktober 1918, Imsi dan Manggo menemui Zendeling J.Bijkerk di rumahnya di Hollandia/Numbay. Bijkerk yang sudah biasa bergaul dengan mereka, tanpa ragu menerima kedua tokoh adat itu di rumahnya dan bertanya tentang maksud kedatangan mereka.
Kepada Bijkerk, Imsi dan Manggo menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka, yaitu : bahwa mereka berdua adalah tokoh adat dari kampung Imeno di Nimboran, yang datang menemui Bijkerk untuk meminta guru, guna mendidik anak-anak mereka (Nimboran), seperti yang terjadi pada tetangga mereka di pesisir pantai utara, khususnya di Demta. Keduanya juga menyatakan untuk siap membantu tenaga guru dengan memberikan perlindungan serta menyediakan tempat dan membangun rumah bagi guru.
Setelah mengikuti permintaan dan pernyataan Imsi dan Manggo, maka Bijkerk merasa, bahwa ini adalah panggilan Tuhan untuk memberitakan Injil di daerah pedalaman Nimboran. Sebab itu, dengan senang hati beliau menerima semua permintaan dari kedua tokoh adat itu dan berjanji akan berusaha untuk memenuhinya. Pada siang harinya, Bijkerk langsung melaporkan hasil pertemuannya itu secara ringkas kepada pihak Badan Pengurus Zending di Oegstgeest Negeri Belanda, melalui suratnya pada hari Jumat tanggal 4 Oktober 1918, bahwa “sebagai penutup surat ini, perlu saya melaporkan, bahwa tadi pagi saya dikunjungi oleh kepala kampung Imeno, sebuah kampung di daerah Nimboran yang padat penduduknya. Sebelumnya, mereka kunjungi saya untuk pengobatan dan saya menolong mereka dengan memberikan obat, bahkan pada tahun lalu (tahun 1917) saya menolong seorang pria yang terputus tangannya. Tapi kunjungan mereka sekarang, adalah untuk meminta tenaga guru bagi daerah Nimboran. Ini hal yang sangat menggembirakan. Kemungkinan, mereka dipengaruhi oleh perkembangan yang ada di daerah pantai, khususnya di Demta. Ini merupakan pintu masuk bagi Injil ke daerah pedalaman Nimboran yang harus kita manfaatkan secara baik dengan mempersiapkan segala sesuatu untuk memberitakan Injil ke daerah pedalaman.“
Melalui surat atau laporan di atas, dapat diketahui, bahwa Bijkerk sangat senang dengan kunjungan Imsi dan Manggo, terutama permintaan dan/atau pernyataan mereka untuk minta tenaga guru yang menurut Bijkerk, merupakan gerbang (pintu masuk) bagi Injil ke daerah pedalaman Nimboran yang harus dimanfaatkan dengan cepat dan tepat. Namun karena keterbatasan tenaga dan dana, sehingga enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1924, Bijkerk bersama kedua temannya, yaitu Schneider dan De Neef mulai masuk ke daerah Nimboran. Mereka berhasil membuka Pos PI di Nimboran dan kemudian mereka memindahkan Pusat Pekabaran Injil dari Numbay ke Genyem. Karena Pos PI di Numbay telah dihancurkan oleh banjir sungai Anafre pada tanggal 23 Maret 1923.
Sekalipun dalam konferensi para Zendeling pada Maret 1925 di Miei, sempat mempersoalkan pemindahan Pusat Pekabaran Injil ke Genjem, namun Zendeling Bijkerk tetap mempertahankan Genjem sebagai Pusat Pekabaran Injil yang baru untuk Tanah Tabi. Akhirnya peserta konferensi dan juga pihak Pengurus Zending di Belanda menyetujui untuk memindahkan Pusat PI dari Numbay ke Genjem. Salah satu hal yang mendorong Bijkerk untuk mempertahankan Genjem, karena Bijkerk sudah menjalin hubungan persaudaraan yang baik dan akrab dengan masyarakat adat di lembah Grime Nawa melalui Imsi dan Manggo selaku perwakilan mereka.
Selain itu, laporan Bijkerk juga turut memperkuat ceritera yang disampaikan oleh Imsi, Manggo dan Nenu kepada keturunannya tentang kunjungan mereka ke Hollandia untuk minta guru kepada Zendeling Bijkerk dan Kontrolir Wasterval. Sekalipun tak ada catatan/laporan tentang kunjungan Nenu dan kawan-kawannya kepada Kontrolir J.A.Wasterval, seperti yang dicatat dan/atau di laporkan oleh zendeling Bijkerk.
Demikianlah sekilas catatan sejarah tentang kunjungan orang-orang dari Lembah Grime Nawa, khususnya Imsi, Manggo dan Nenu dari Nimboran ke Hollandia/Numbay pada tahun 1918, untuk meminta guru kepada pihak pemerintah dan zending yang diceriterakan oleh keturunannya serta diperkuat oleh surat Bjikerk pada tanggal 4 Oktober 1918, seperti yang tertera di atas.
Kiranya catatan ini juga bisa dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita saat kita merayakan HUT PI ke 160 di Tanah Papua pada tanggal 5 Pebruari 2015, terutama kita merenungkan tentang bagaimana Kuasa Roh Allah menggerakan anak-anak-Nya, baik hamba-hamba-Nya dari Eropa, maupun leluhur kita untuk menghadirkan Kerajaan Allah di Tanah Papua pada umumnya, dan khususnya di kampung/daerah kita masing-masing. Tanpa kuat kuasa Roh Allah, mustahil Ottow, Geissler, Van Hasselt, dan kawan-kawanya bisa bertahan di Mansinam, hingga berita Injil bisa tersebar ke seluruh pelosok tanah Papua. Termasuk Imsi dan Manggo bisa tergerak untuk meminta guru kepada Zendeling Bijkerk di Numbay dan akhirnya pada tahun 1924, Bijkerk bersama kedua koleganya, yaitu Schneider dan De Neef bisa berhasil membuka Genjem sebagai Pusat Pekabaran Injil yang baru untuk tanah Tabi dan dari Genjem, Injil diberitakan terus hingga mencapai seluruh Tanah Tabi/MAMTA.
Karena itu, di HUT PI yang berbahagia ini, kita patut memuji dan membesarkan nama Tuhan Allah semesta alam, bahwa“ Telah Kau cari akan daku dan kurindukan kasih-Mu. Ya, Tuhan Yesus brilah aku, di dalam kasih-Mu teduh. Terpilih dari dalam dunia, aku menjadi Tuhan punya.” Selamat Merayakan HUT Pekabaran Injil Yang Ke 160 Di Tanah Papua !!!
*) Penulis adalah Pemerhati Masyarakat Adat Di Tanah Papua
(pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos)
0 komentar:
Posting Komentar