Kamis, 05 Februari 2015

Menghidupkan Visi Papua Tanah Damai (Menyambut Hari Papua Tanah Damai)

Penulis : Ridwan al-Makassary*)


  TANGGAL  5 Februari 2015, kita kembali disapa oleh hari Papua Tanah Damai atau Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua. Namu, Papua, pulau Cenderawasih, sejak bergabung ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan referendum tahun 1969, terus dihantui ancaman konflik vertikal yang laten antara para pejuang Papua merdeka (OPM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam teori konflik, Papua mengalami konflik sosial yang berlarut-larut (proctracted social conflict). Selain itu, ancaman laten konflik bernuansa etnik-agama (communal conflict),yang akar tungganya adalah persoalan ketidakadilan dan marjinalisasi.
   Sejauh ini preferensi menggunakan pendekatan keamanan yang eksesif di Papua hanya menyelesaikan kompleksitas masalah secara parsial dan bahkan kerap menyuburkan dendam dan kemarahan yang menumpuk  bagi keluarga korban. Pendekatan agama, budaya (termasuk adat)—pendekatan dalam istilah Velix V. Wanggai, mantan staf khusus Presiden RI bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, “Menata Papua Dengan hati--kerap lebih berhasil dalam penciptaan “Papua Tanah Damai” namun belum dimaksimalkan oleh pihak pemerintah Indonesia, termasuk pada masa pemerintahan Joko Widodo. Kasus Paniai berdarah beberapa waktu lalu adalah bukti bahwa komitmen non-kekerasan masih tanda tanya.
   Proyek “Papua Tanah Damai”, sejatinya, dideklarasikan tahun 2002 oleh para pimpinan agama sePapua sebagai respons atas pengabaian hak-hak sipil dan politik (civil and political rights/CPR) serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, cultural and social rights/ESCR), pendekatan keamanan yang eksesif, kesenjangan kesejahteraan di Papua dan fenomena penghancuran rumah ibadah di luar Papua. Singkatnya permasalahan tersebut yang menjadi raison d’etre proyek Papua Tanah Damai”.     
  Forum Komunikasi Para Pimpinan Agama (FKPPA) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). sebagai deklarator dan membidani gagasan “Papua Tanah Damai” di antaranya telah melakukan beberapa kegiatan untuk terwujudnya perdamaian di antaranya dengan menetapkan tanggal 5 Februari sebagai Hari Damai di Papua dan 21 September sebagai Hari Damai Sedunia, beberapa kali seminar, dan studi banding ke Mindanau, dll. 
   Pdt. Hermann Saud, M.Th, Ketua FKPPA/FKUB Provinsi Papua, pada seminar tentang “Papua Tanah Damai” tanggal 4 Februari 2013, yang bertempat di kantor Gubernur Jayapura, menuturkan bahwa terdapat sejumlah tantangan kekinian dalam mewujudkan “Papua Tanah Damai” di antaranya suburnya sikap dogmatisme-skripturalisme keagamaan, tirani mayoritas dalam beragama, dan kooperasi yang rendah antara komunitas agama di bidang keduniaan, misalnya kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
   Konflik vertikal adalah hal yang mesti dicari solusinya. Salah satunya dengan dialog. Bentuk dan kontennya mesti menyiratkan keinginan untuk menyatukan bukan semata-mata untuk memisahkan. Sementara itu, benih-benih konflik antara komunitas Muslim dan Kristen telah tumbuh sedemikian rupa. Hal tersebut ditandai dengan terpatrinya kecurigaan (suspicion) dan prasangka (prejudice) sebagian komunitas Kristen terhadap perkembangan Islam (Islamisasi) yang masif.  Sebaliknya komunitas Muslim juga mencurigai penguatan Kristenisasi seperti adanya gejala tuntutan pemberlakuan perda Injil di Manokwari, Papua Barat, beberapa waktu lampau. Di kota Jayapura, Papua, misalnya, terjadi penolakan sebagian warga Kristen terhadap menjamurnya bank-bank Syariat, bank Muamalat, Pusat Studi Islam dan rencana pembangunan masjid/musalla di Universitas Cenderawasih. Fenomena itu adalah akibat nyata kecurigaan dan prasangka tersebut. Bahkan, eksklusifisme keagamaan telah menggerakkan pendulum sejarah kerukunan antar agama yang terjalin baik di Pulau Papua ke titik ekstrem: Konflik antar iman.  Tahun 2007,  misalnya,  telah terjadi konflik skala kecil antara Muslim dan Kristen di Manokwari dan Kaimana, Provinsi Papua Barat. Konflik yang hingga hari ini masih menyisakan mimpi buruk (night mare) bagi warga di sana.
   International Crises Group (ICG), dalam laporannya Indonesia: Communal Tensions in Papua, Asia Report N°154 – 16 June 2008, menyebutkan beberapa faktor kunci yang menyebabkan konflik di Papua adalah migrasi kelompok-kelompok Muslim ke berbagai wilayah di tanah air; kemunculan kelompok-kelompok eksklusif baru di dalam dua komunitas (Islam dan Kristen) yang memandang satu sama lain sebagai musuh; akibat sisa-sisa ekslusifitas lama dari konflik Maluku, dan akibat dari pembangunan yang ekstensif di luar Papua.
  Pihak Islam moderat, seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menyadari betul signifikansi pembangunan moderatisme di antara komunitas agama-etnik dan adat yang berbeda terutama untuk mencegah penyebaran ajaran agama radikal yang dapat berujung pada konflik kekerasan. Memang, yang pernah terjadi sejauh ini  hanyalah konfrontasi ringan dan benih-benih kecurigaan antara komunitas agama dan etnis, seperti dipaparkan di atas. Meskipun demikian, ketika bangunan eksklusifitas semakin kuat dan hadirnya faktor pemicu, maka konflik kekerasan  yang melibatkan komunitas-komunitas agama, etnis dan adat sewaktu-waktu dapat terjadi.
   Secara teoritik, dalam upaya memperkuat proses pembangunan perdamaian, agama adalah salah satu faktor kunci yang dapat dipertimbangkan sangat penting selain ekonomi dan politik. Ketiga faktor tersebut kerap berkelindan dalam terjadinya konflik kekerasan. Apa yang disebut sebagai “ambivalence of the sacred” terdapat di semua tradisi agama besar (Abrahamic Religion), di mana ia tidak hanya berfungsi sebagai sumber perdamaian, melainkan juga dapat menjustifikasi konflik dan perang  (See Oliver Ramsbothan (et all), Contemporary Conflict Resolution, h. 31)
   Sementara itu, adat merupakan sebuah penanda penting dari eksistensi sebuah kelompok etnik dan budaya. Karenanya, adat mesti dilindungi sebab ia di antaranya dapat berfungsi untuk menyaring elemen-elemen budaya luar yang hadir untuk merusak dan menggerus budaya yang eksis.  Misalnya, radikalisme agama dapat mengancam eksistesi budaya yang eksis, dan juga praktik komunalitas eksklusif kerap ditolak oleh komunitas adat sebagai sesuatu yang asing. Di Papua terdapat 250 kelompok etnik, dialek, budaya,  dan wilayah adat. Orang asli (theindigenous people) terdiri dari ribuan marga  dengan stratifikasi dan strata sosial mereka (La Pona, Penduduk, “Otonomi Khusus dan Fenomena Konflik di Tanah Papua”, Jurnal Kependudukan Indonesia, 2008).
  Dalam nada yang sama, Velix V. Wanggai (2012, h. 294) dalam Pembangunan untuk Semua Mengelola Pembangunan Regional ala SBY, menuturkan bahwa “Adat telah mempersatukan manusia Papua yang berbeda keyakinan keagamaan dalam ikatan toleransi dan rasa hormat yang tinggi. Ikatan sosial dalam satu marga (fam), satu klan (keref) satu suku atau bahkan sama sekali tak memiliki hubungan darah maupun suku terasa sangat kuat satu sama lainnya”. Poinnya adalah adat sangat penting dalam proyek “Papua Tanah Damai”.
   Karenanya, memimpikan terwujudnya “Papua Tanah Damai” mesti memperhitungkan dan melibatkan partisipasi aktif agamawan, pemimpin etnik, pemuka adat yang memiliki otoritasi religi, etnik dan adat yang dalam terminology Weber disebut sebagai “charisma”. Pemimpin etnik/adat ini penting dilibatkan sebagai penggerak perdamiaan (peace drivers) oleh karena di Papua, terutama di wilayah pegunungan, eksistensi mereka sangat kuat. Sebagai prototype masyarakat patron-client, mereka ini memanggul tanggung jawab atas segala hajat hidup-mati anggota sukunya, namun saat yang sama ia menagih loyalitas total dari anggotanya. Ini yang menjelaskan kenapa penggunaan sistem noken dalam pilgub Papua yang baru saja digelar memperoleh legitimasinya. 
   Sebagai kesimpulan, visi Papua Tanah Damai meniscayakan pengarusutamaan cara berteologi yang moderat, inklusif, rasional di kalangan para pimpinan agama, etnik dan adat di Papua. Misalnya, pembumian teologi damai di kalangan Kristen seperti teologi pembebasan (liberation theology) di Amerika Latin, teologi hitam (black theology) di Afrika Selatan dan teologi Minjung di Korea. Poinnya adalah teologi yang menganjurkan damai, kerja sama dan melawan prinsip-prinsip korup, zalim, absolutisme kekuasaan. Islam, misalnya, bisa mengembangangkan teologi inklusif dan Islam akomodatif terhadap budaya-budaya lokal di Papua.  Sejauh ini pihak Kristen di Papua menggerakkan teologi damai sesuatu yang dibutuhkan dalam pembangunan perdamaian yang sinambung. Jika ini bisa dimaksimalkan, maka visi Papua Tanah Damai bukanlah sesuatu yang utopis. ***

*)Penulis adalah Dosen Jurusan Hubungan Internasional USTJ Jayapura, yang sedang mengikuti training perdamaian internasional di Rotary Peace Center Universitas Chulalongkorn, Thailand.

( Tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos 2015)



0 komentar:

Posting Komentar