Kamis, 05 Februari 2015

Dari Gelap Jadi Terang, dan Perlahan Gelap?

(Refleksi Peringatan HUT Pekabaran Injil di Tanah Papua)

Oleh: Imanuel Itlay   
 SYUKUR bagi-Mu Tuhan. Dengan pengorbanan-Mu di Kayu Salib. Dosa kami ditebus. Kami telah berkenan kepada Bapa Allah. 2000 tahun lalu, Engkau bangkit dari wafat, dan mengutus roh dan memerintahkan kami untuk mengabarkan jalan keselamatan.
  Tanggal 5 Feberuari 1855 silam, Kabar tentang Yesus itu di bawa oleh Carl W Ottow dan Johan Gottlob Geissler di tanah Papua. Pulau Mansinam menjadi saksi bisu perjalanan pekabaran injil di tanah Papua.
 “Dalam Nama Allah kami menginjakan kaki di tanah ini (Papua)” begitu isi hati Ottow dan Geissler yang ketika itu dari dalam semak-semak usai sandar di Pulau Mansinam pukul 9 pagi.
  Saat matahari menyinari bumi. Sinar pagi itu membawa terang sekaligus berkat bagi tanah Papua. Kehadiran mereka membawa peradaban baru bagi bangsa Papua, dari keterbelakangan, keterasingan. Perang suku yang dulunya menjadi budaya perlahan dikikis.
  Perjalanan demi perjalanan membawa kabar ini dari kampung ke kampung, dari daerah satu ke daerah yang lain hingga akhirnya menyebar di seluruh bumi Cenderawasih.
  Kedatangan dua misionaris ini menjadi tonggak sejarah untuk tanah Papua. Selain membawa kabar gembira tentang Yesus, upaya lain yang dilakukan saat itu adalah menghadirkan pemerintahan di tanah Papua untuk menghentikan perlakuan Kesultanan Tidore dan VOC dalam bentuk pembunuhan, perampasan harta benda, pembakaran kampung-kampung penduduk asli Papua dan sesama etnis. (dikutip http://Mansinam.com).
 Tanggal 5 Februari 1855 – 5 Februri 2016. Kini usianya sudah 161 tahun. Umur ini sudah cukup tua. Dengan berbagai aliran agama, umat Kristiani yang ada di tanah Papua boleh dikata sudah mengenal Tuhan.
 Sejak masih dalam kandungan, mereka yang ada di pedalaman sampai yang ada di kota, generasi saat ini telah diberkati Tuhan dalam doa. Doa ibu, doa ayah, doa pendeta, doa pastor mengiringi seorang anak manusia hadir ke dunia.
  Saat bayi itu beranjak besar dan remaja hingga dewasa sampai mendapat pekerjaan bahkan urusan nikah pun disertai dengan doa. Ini pertanda bahwa lilin yang dinyalahkan di Pulau Mansinam dan upaya berbagai denomenasi gereja yang telah hadir di bumi Cenderawasih itu telah berhasil. Api lilin yang telah dinyalahkan di tanah Papua itu tetap menyalah.
  Namun, akhir-akhir ini cahaya yang telah menyinari pulau Papua kini mulai redup bahkan terkadang mati. Kegelapan sering menghampiri bumi Cenderawasih ini. Tangisan mama Papua masih terus membasahi tanah ini.
 Bunyi senapan masih terus mendengung ditelinga. Kabar saling serang antar warga di Timika, Wamena, Jayapura, Manokwari masih menjadi topik hangat di media.
 Di Paniai peluru menyasar tubuh anak sekolah. Mencabut nyawa mereka sekejab. Di Mbua mama-mama menangis, entah kenapa anak mereka datang memberi salam dan pergi untuk selamanya. Di waktu yang sama, Jakarta sibuk bicara pembagian hasil dari penggarukan tanah milik masyarakat Papua.
  Asap-asap duka membumbung tinggi, tangisan haru merambah hutan-hutan Papua. Asap dan suara duka kepergian generasi penerus yang mati di jalan-jalan usai meneguk minuman keras masih terdengar.
 Miras menjadi momok menakutkan. Perang suku, pembunuhan, pemerkosaan, runtuhnya hubungan dalam rumah tangga, pencurian merupakan buah dari penjualan Miras di tanah Papua.
Tapi sayang, pemerintah masih beri kesempatan kepada mereka yang siap meraup untung dari kehancuran masyarakatnya sendiri.
 Berita darah-darah masih menjadi headline di surat kabar, dan jadi santapan natizen di Facebook, dan WhatsAPP. Manusia seperti menjadi singa untuk sesama. Saling membunuh, saling menyerang, dan saling menganiaya. Ini seakan nilai kemanusiaan dan persaudaraan seakan-akan hilang diterkam emosi.
  Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), Kontras, LBH beberapa tahun terakhir ini terus berkicau membela hak-hak umat manusia.
  Sementara retorika dari pemimpin pemerintahan, aparat kepolisian, pemuka agama terus menyuarakan dan mendorong “Papua menjadi Zona Damai”. Sayangnya, entah mengapa manusia penghuni bumi Cenderawasih ini masih dirudung ketakutan.
  Muka mereka pucat entah karena tak tidur semalam usai ronda malam menjaga pencurian yang kian marak. Atau pucat sehabis nongkrong semalam karena mendengar informasi akan adanya serangan dari kelompok tertentu.
 Kasus korupsi, pelayanan pemerintahan yang tidak becus masih menjadi perbincangan hangat di para-para pinang, kedai kopi, hingga di rumah-rumah.
  Persoalan di bumi Cenderawasih seperti benang kusut yang secara kasat mata tak bisa diuraikan. Terang yang diimpikan oleh para Ottow dan Geissler seperti mulai redup. Dari gelap menjadi terang dan kini mulai gelap?
 Siapa yang bisa mempertahankan terang ini? Pertanyaan besar untuk semua pihak yang mendiami tanah Papua tercinta. Saya teringat ketika Yesus sebelum naik ke surga memerintahkan rasulnya yang isinya: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk,” (Markus 16:15). 
  Perintah ini bukan saja untuk kedua belas rasul Yesus saja, tetapi menjadi kewajiban umat manusia untuk merealisasikannya. Ottow dan Geissler menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang membawa kabar gembira itu.
  Manusia yang ada di Papua pun bisa melakukan hal serupa dan itu menjadi kewajiban umat Nasrani maupun umat lain. Menjadi Rasul Yesus membawa manusia Papua kepada terang itu.
 Adik, kaka, om, tanta, nene, tete. Gubernur, Bupati/Walikota, pengusaha, tokoh agama, kepala suku, guru-guru, para wartawan, pak polisi dan tentara sampai pemulung sampah. Siapapun dia yang ada, ikut berperan menjadi terang untuk orang lain, dan mewujudkan cita-cita “Damai” di tanah Papua.
   Mulai dari memperkuat tatanan hidup dari keluarga. Sebab dari keluargalah karakter seseorang itu terbentuk.
Para tokoh agama, selain mewartakan kabar Yesus dari mimbar-mimbar. Gereja diharap turun langsung mengalami bersama fenomena sosial yang dialami umat. Patut di ancungi jempol bagi teman-teman SKP HAM Papua yang turut berperan dalam menyelamatkan manusia Papua.
  Pemerintah pun jangan tutup mata, harus memikirkan Miras yang sering membuat manusia Papua tewas dan meninggal. Sudah saatnya mengambil kebijakan untuk penyelamatan umat manusia, dibanding menghasilkan uang dari darah manusia. #

___________
*) Penulis adalah  Jurnalis Cenderawasih Pos

 ( Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos _ Februari 2015)


0 komentar:

Posting Komentar