(Menyambut hari Papua Tanah Damai, 5 Februari 2016)
Oleh: Ridwan al-Makassary
TAHUN 2015 yang baru kita lewati adalah tahun yang suram dan menyedihkan bagi citra kerukunan agama di Tanah Papua. Masih tertanam kuat di rerimbun ingatan akan kasus Insiden Tolikara 17 Juli 2015, yang cukup menghancurleburkan persepsi orang tentang kerukunan yang telah terjalin kokoh selama 200-an tahun antara penganut Kristen dan Muslim di Tanah yang diberkati ini. Tidak sampai di situ, kasus penolakan pembangunan Masjid Rahmatan Lil Alamin di Kota Manokwari oleh komunitas Kristen, yang hampir berujung bentrok menambah bopeng wajah kerukunan beragama di Tanah Papua.
Lebih jauh, mungkin beritanya tidak seheboh insiden Tolikara yang mengglobal, yaitu menjelang hari Raya Natal, Maulid Nabi Muhammad SAW dan tahun baru 2016 di Kota Jayapura suasana tegang sempat tercipta oleh karena Ja’far Umar Thalib (JUT) dan santrinya yang berusia puluhan ditengarai berada di Koya Barat, Kota Jayapura, di Distrik Muara Tami.
Sempat terjadi insiden kecil antara pemuda pondok natal dengan pengikut Ja’far Umar Thalib karena masalah Towa (speaker) yang saling “berkompetisi” antara kidung pujian dan azan (panggilan) sholat. Sesuatu yang menurut saya, semestinya bisa dikomunikasikan secara kekeluargaan antara kedua belah pihak. Selain itu, saya tetap berpandangan bahwa Papua tetap menjadi contoh toleransi jenial di Indonesia, terbukti meraih peringkat ke-3 Harmony Award tahun 2015 untuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat Provinsi di tanah air.
Namun, masalah JUT itu terlanjur menjadi isu publik (public issues), kalau meminjam istilah dari C. Wright Mills, oleh karena menerbitkan perasaan ketakutan dan keresahan yang kuat menggayuti benak sebagian besar umat beragama, yang damba pada kerukunan yang telah terjalin baik.
Hal-hal yang merisaukan publik, terutama mengingat jejak rekam JUT di Kota Ambon dan Yogyakarta. Keterlibatan beliau memimpin Laskar Jihad di Ambon dan bagaimana sepak terjangnya di sana, serta kisahnya di Yogyakarta 2 tahun lalu, yang pengikutnya melakukan demonstrasi yang cenderung anarkhis—berdasarkan cerita seorang pejuang Interfaith di Kota Gudeg itu, telah menakutkan para pimpinan umat beragama di Tanah Papua, khususnya di Kota Jayapura.
Saya yang ketika itu menjadi moderator dalam Acara Semiloka FKUB Kota Jayapura di Hotel Sahid (pertengahan Desember 2015) juga kaget bersama para peserta karena pak Walikota Jayapura, Dr, Drs, Benhur Tommy Mano, MM, pemimpin pluralis dari negeri matahari terbit, menyampaikan kepada kami bahwa ada berita kehadiran mantan pemimpin perang di Ambon yang sudah 2 bulan berada di Kota Jayapura dan sempat ada keributan antara pemuda pondok natal dengan pengikut JUT. Mengingat menjelang Natal dan Tahun Baru 2016, serta bayangan kelam Insiden Tolikara sempat membuat kanopi ketakutan di kalangan umat beragama.
Saya dan tim (Ketua: Pak Syamsuddin, Thoha Al-Hamid, Dr. Toni Wanggai, ketua MUI Kota) untuk ke lapangan yang dibentuk Walikota dalam rapat Muspida di kantor Walikota telah meninjau lokasi dan melakukan rapat terbatas dengan stakeholder di Koya Barat dan juga menemui JUT di rumah kontrakannya.
Secara singkat, pertemuan kami dengan JUT dan timnya lebih bernuansa silaturahmi dan ingin mengetahui lebih jauh tujuannya jauh-jauh ke Jayapura. Ternyata dari penuturannya dia hendak membangun pesantren sejenis pesantrennya di Kota Yogyakarta dengan alas an moral Indonesia telah rusak dan akan diperbaiki lewat pesantrennya. Demikian alas an yang dia kemukakan. Tapi, menurut saya, berdasarkan data-data yang valid yang saya peroleh bisa jadi itu hanya alas an karena orang ini berbahaya yang telah menciptakan terror di kota Amboon dan Poso.
Berkat kesigapan aparat keamanan, Pemkot, FKUB dan kerjasama pemuda lintas iman dalam menjaga gereja di malam natal, Jayapura bisa melalui tiga peristiwa penting yang disebut di atas secara damai. Perkembangan terakhir, JUT masih bergeming di Kota Jayapura untuk membangun pesantren, meskipun dalam rapat Majelis Ulama Indonesia di Kota Jayapura, 27 Desember 2015, Ormas Islam menolak idenya untuk membangun pesantren dan bersikukuh tetap di Kota Jayapura sehingga ada surat “pengusiran” dari pemerintah kota. Saya berpandangan sebaikanya dengan penolakan dari Ormas Islam itu cukup menjadi bukti bahwa kehadirannya di Kota Jayapura meresahkan dan mestinya ada pilihan sadar untuk meninggalkan Kota Jayapura sesegera mungkin.
Karenanya, menyambut hari Papua Tanah Damai kita mesti mereflesikan kembali dua pristiwa penting tentang hari Papua Tanah Damai tersebut. Pertama, peristiwa historik pada 5 Februari 2002, di mana para pimpinan agama yang tergabung dalam Forum Komunikasi Para Pimpinan Agama menyepakati deklarasi Papua Tanah Damai.
Raison d’tre kelahiran visi Papua Tanah Damai sebagai respons atas pengabaian hak-hak sipil dan politik (civil and political rights/CPR) serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, cultural and social rights/ESCR), pendekatan keamanan yang eksesif, kesenjangan kesejahteraan di Papua dan fenomena penghancuran rumah ibadah di luar Papua. Selain itu, bagaimana mencegah terjadinya konflik bernunasa agama seperti terjadi di Ambon dan Poso. Cara memaknai dalam era kekinian adalah menjaga Papua Tanah Damai untuk tidak dicederai, di antaranya oleh orang seperti JUT.
Sejauh ini, terdapat 4 tantangan dan ancaman kerukunan di Tanah Papua: Satu, primordialisme keagamaan yang berlebihan. Misalnya, kehadiran JUT masuk dalam kategori ini. Kedua, Primordialisme etnik berlebihan. Ketiga, Marjinalisasi orang asli Papua, di mana sejauh ini mereka belum merasakan manfaat dari pembangunan. Keempat, perubahan sosial akibat ledakan transmigran yang datang ke Papua.
Secara khusus di Jayapura, FKUB kota Jayapura, FKUB Provinsi Papua dan Sub Divisi Hukum dan KUB Kanwil Kementrian Agama Papua menghidupkan kembali visi Papua Tanah Damai dengan mengadakan kegiatan-kegiatan kerukunan dan toleransi.
FKUB kota Jayapura bekerjasama dengan Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura melaksanakan workshop “Mewujudkan Kota Jayapura sebagai Kota Toleransi di Tanah Papua”. Saya yang dipercaya memandu workshop membagi peserta yang jumlahnya 70 orang (pemimpin agama, paguyuban, skpd) dibagi 3 kelompok dan mendiskusikan 3 poin: Satu, ancaman terhadap toleransi di Kota Jayapura; kedua, faktor positif pencegah intoleransi di Kota Jayapura; dan pernyataan sikap untuk mewujudkan kota Jayapura sebagai kota toleransi di Tanah Papua.
Menurut saya, para peserta sangat antusias dan bahkan meminta waktu tambahan untuk berdiskusi. Beberapa poin penting adalah semua peserta yang hadir dalam diskusi menolak kehadiran Ja’far Umar Thalib dan meminta para Ondoafi jangan menjual tanahnya untuk pembangunan pesantren, karena pemahaman yang cenderung radikal dan jejak rekam yang menakutkan di Ambon. Poin lain, kegiatan positif semacam ini mesti sering dilakukan dengan audiens yang lebih luas sehingga kota Jayapura bisa menjadi kota toleransi di Tanah Papua.
Lebih jauh saya berpandangan bahwa dari segi sosiologis dan resolusi konflik, kehadiran Ja’far Umar Thalib sudah menjadi public issue, dan juga apa yang disuarakan oleh peserta dapat dilihat terbagunnya kesadaran umat beragama untuk mencegah konflik (conflict prevention), karena mereka khawatir terhadap paham radikal, suka mengkafir-kafirkan pihak di luar kelompok mereka dan jejak masa silam uztas Ja’far Umar Thalib dan pengikutnya yang membuat takut.
Pungkasannya, dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan kerukunan seperti tergambar di atas, Papua Tanah Damai adalah visi yang dapat menyatukan umat beragama untuk merengkuh perdamaian dan kerukunan di Papua, surga kecil yang jatuh ke bumi.***
Penulis: staf khusus FKUB Papua dan Dosen Jurusan Hubungan Internasional USTJ Papua.
( artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos Februari 2016)
0 komentar:
Posting Komentar