Jumat, 01 Januari 2016

50 tahun Keuskupan Jayapura - Menjadi Gereja yang Berbagi Kasih

Penulis : Neles Tebay*

PERKEMBANGAN  Gereja Katolik di Keuskupan Jayapura dapat diibaratkan dengan pertumbuhan seorang manusia. Pada tahap awal, pertumbuhanya sangat bergantung pada orang tua. Setelah itu, anak berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri. Sebagai orang dewasa, dia terdorong untuk membagikan hidupnya demi orang lain melalui karya, sesuai profesinya.
Tahap perintisan
Perkembangan Gereja dimulai dengan tahap perintisan. Pada tahapan ini, Gereja katolik dibawa masuk ke  Tanah Papua oleh misionaris. Para misionaris adalah orang berkulit putih dan berasal dari Eropa. Mereka meninggalkan daerah asalnya, datang secara sukarela ke Tanah Papua, dan memperkenalkan Gereja Katolik kepada penduduk lokal.
 Seorang misionaris masuk ke suatu daerah dan biasanya menetap disitu. Dia mengadakan kontak dan membuka komunikasi dengan masyarakat setempat. Banyak misionaris mempelajari tradisi kebudayaan setempat. Mereka bahkan belajar bahasa lokal hingga bisa berkomunikasi dalam bahasa daerah Papua.
 Dimana pun seorang misionaris berkarya, dia membangun rumah tinggal yang disebut pastoran. Kompleks dimana seorang misionaris tinggal disebut kompleks misi. Gedung Gereja yang dibangunnya disebut Gereja misi. Sekolah Dasar (SD) yang didirikan oleh misionaris disebut SD Misi. Para guru yang mengajar pada sekolah katolik disebut Guru misi. Bengkel yang dikelolah misionaris disebut bengkel misi. Para tukang yang bekerja pada bengkel misi disebut tukang misi. Pesawat Cessna yang diurus oleh para misionaris Katolik disebut pesawat misi. Jonson atau perahu motor yang digunakan oleh para misionaris disebut Jonson misi. Gudang yang dibuka oleh misionaris untuk menjual barang kelontongan disebut gudang misi. Istilah-istilah ini diciptakan bukan oleh para misionaris kulih putih melainkan oleh penduduk setempat. Kita masih mendengar istilah-istilah ini juga pada masa kini, sekalipun para misionaris  kulit putih sudah tidak kelihatan.
 Pengalaman membuktikan bahwa para misionaris tidak hanya memperkenalkan agama Katolik kepada penduduk lokal. Mereka juga mendirikan sekolah Dasar sehingga orang setempat dapat mengenyam pendidikan. Mereka mendatangkan guru-guru SD dari luar Papua seperti Pulau Kei, Sulawesi Utara, Jawa, dan Sumutera Utara. Mereka membangun balai kesehatan. Mereka bahkan membuka lapangan terbang yang beralaskan rumput agar dapat didarati oleh pesawat Cessna.
 Hampir di semua tempat di seluruh Tanah Papua, para misionaris Eropa tampil sebagai pionir pembangunan di segala bidang. Kehadiran dan karya mereka memungkinkan orang Papua berkembang mengikuti perkembangan zaman, dan dapat berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda suku, ras, dan agama, serta kewarganegaraan. 
 Banyak Orang Papua tertarik pada ajaran yang diwartakan para misionaris dan menjadi anggota Gereja Katolik. Orang Papua juga menggunakan kemungkinan-kemungkinan baru yang tercipta atau diciptakan oleh para misionaris sehingga, misalnya, orang Papua bisa pergi sekolah diluar daerah asalnya. Perkembangan Orang Papua tidak mungkin tercapai seperti yang kita saksikan pada saat kini tanpa keterlibatan, pelayanan, pengorbanan dari para misionaris.
 Para misionaris berperan aktif baik dalam mengurus pelayanan dalam Gereja maupun dalam melayani masyarakat umum. Orang setempat menerima apa yang diwartakan, diperkenalkan, dan ditawarkan oleh para misionaris. Oleh sebab itu, Gereja katolik pada tahapan ini disebut Gereja misionaris.
 Tahap kemandirian
Memasuki Tahun 1970-an, Gereja Katolik Keuskupan Jayapura bertekad untuk membangun Gereja mandiri. Tekad tersebut diungkapkan dalam moto “Kita semua adalah Gereja”. Dengan mencetuskan moto ini umat katolik bertekad mengurus sendiri pelayanan Gereja dan karena itu mulai meninggalkan ketergantungan pada para misionaris.
 Pada tahap kemandirian ini, anggota Gereja Katolik berperan aktif sebagai subyek yang bertanggungjawab dalam pelayanan Gereja. Untuk memungkinkan partisipasi umat ini, dibentuklah Dewan Pastoral Paroki (DPP). Terkecuali ketua Umum, seluruh kepengurusan DPP diisi oleh wakil-wakil dari umat. Banyak anggota Gereja merelakan diri dengan senang hati untuk melayani Gereja dengan menjadi anggota DPP. Melalui DPP, umat mengurus perayaan ibadah, membangun Gedung Gereja, mengurus berbagai bidang lain seperti pendidikan, sosial ekonomi, penanggulangan HIV-AIDS, dan lain-lain. Mereka mengandalkan kemampuan sendiri dalam mengurus hidup Gereja dan pelayanannya.
 Ruang partisipasi bagi umat telah diperluas dengan membentuk komunitas basis (Kombas) Gereja dalam paroki. Banyak anggota umat kini dapat mengambil bagian dalam pelayanan dan bertanggungjawab atas pertumbuhan Gereja melalui Kombas.
 Menuju Gereja misioner
Gereja Keuskupan Jayapura tidak ingin memusatkan perhatiannya hanya pada dirinya sendiri. Karena sudah mulai mandiri, maka Gereja Katolik mengarahkan perhatiannya ke luar dirinya. Perhatian ke luar ini merupakan ciri khas dari Gereja misioner. Gereja yang bercorak misioner akan memperhatikan dan mendukung perkembangan Gereja di luar daerahnya, bahkan di luar negeri dengan berbagai apa yang dimilikinya.
 Gereja misioner juga memberikan kontribusinya dalam segala bidang demi perkembangan masyarakat umum. Umat Katolik mesti bertanggungjawab bukan hanya atas pertumbuhan Gereja melainkan juga  pada perkembangan masyarakat di seluruh dunia. Oleh sebab itu, Gereja Katolik, baik secara lembaga maupun melalui anggota-anggotanya,  mesti melibatkan diri dalam pembangunan di segala bidang sesuai profesinya, dan berperan aktif pada semua tingkatan baik lokal maupun nasional, bahkan pada level internasional.
 Demi pelayanan masyarakat, Gereja Katolik membangun dialog dan kerjasama dengan semua Gereja Protestan dan semua agama yang ada di Tanah Papua. Menjadi Gereja missioner, Gereja Katolik Keuskupan Jayapura berkomitmen untuk berbagi kasih dengan orang lain tanpa diskriminasi.***


*Neles Tebay adalah Dosen STFT Fajar Timur Abepura

0 komentar:

Posting Komentar