Selasa, 05 April 2016

Gereja Menjumpai Budaya Papua

Oleh Neles Tebay *)
GEREJA KATOLIK (selanjutnya baca: Gereja) Keuskupan Jayapura sejak hadir di Tanah Papua berhadapan dengan kebudayaan dari berbagai suku bangsa Papua. Lalu, bagaimana Gereja bersikap terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal yang dijumpainya selama 50 tahun berada di Bumi Cenderawasih?
Pengalaman selama lima dekade kehadiran Gereja memperlihatkan bahwa Gereja tidak mengambil sikap oposisi terhadap kebudayaan orang Papua. Juga tidak melakukan perlawanan terhadap budaya.

Gereja juga tidak melarang orang Papua merayakan pesta-pesta adat, ritual-ritual, dan upacara-upacara keagamaannya. Gereja Katolik tidak mengajarkan orang Papua meninggalkan tradisi kebudayannya hanya karena menjadi anggota Gereja.

Gereja tidak memandang orang setempat sebagai kafir. Kebudayaan mereka tidak dimengerti sebagai sesuatu yang jahat, yang menghancurkan orang setempat dan menghambat perkembangan mereka. Ritual-ritual keagamaannya tidak ditafsirkan sebagai ungkapan penyembahan berhala.

Menghormati Budaya

Gereja Katolik berkeyakinan bahwa orang Papua adalah ciptaan Tuhan, sama seperti setiap orang lain di seluruh dunia. Allah menempatkan orang-orang berkulit hitam dan rambut kriting di Tanah Papua sejak dahulu kala. Ketika agama Katolik masuk ke Papua bersama para misionaris, mereka tidak membawa Allah kepada orang Papua, karena Allah telah hadir dalam kebudayaan mereka, jauh sebelum agama-agama besar diperkenalkan kepada mereka. Justru Allah yang membawa Gereja, melalui para misionaris, ke Bumi Cenderawasih, dan Allah yang sama menerima kedatangan para misionaris di Pulau New Guinea ini. Karena diyakini bahwa Allah menciptakan orang Papua dan  hadir dalam sejarah perkembangan mereka, maka Gereja yakin bahwa kebudayaan lokal mempunyai nilai-nilai unggul, yang secara teologis, disebut benih-benih Sabda.

Gereja Katolik mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap kebudayaan dari suku-suku bangsa di Tanah Papua dan di seluruh dunia. Sikap positif ini juga yang memungkinkan Gereja untuk membuka dirinya kepada setiap kebudayaan lokal. Sikap keterbukaan ini memudahkan Gereja untuk berdialog dengan setiap kebudayaan lokal dimana pun dia berada. Gereja dengan sabar dan penuh kasih menyatakan rasa hormat terhadap setiap kebudayaan di Tanah Papua.

Mempelajari Kebudayaan

Keterbukaan Gereja terhadap kebudayaan lokal diperlihatkan, antara lain, dengan mempelajari kebudayaan lokal. Banyak misionaris yang berkulit putih dan berasal dari Eropa mengambil inisiatif pribadi untuk mempelajari kebudayaan setempat. Mereka meluangkan waktu untuk belajar bahasa daerah, bertanya kepada orang setempat tentang segala hal ikhwal yang berkaitan dengan praktek kebudayaan setempat, serta berupaya mendengarkannya dengan seksama dan berusaha memahaminya dengan tepat.

Melalui studi kebudayaan ini, Gereja berusaha memahami kebudayaan setempat, menemukan nilai-nilai unggul (positif) budaya setempat yang menjadi dasar utama yang menopang hidup masyarakat lokal, mengenal kekhasan dari setiap kebudayaan, dan mengetahui praktek-praktek budaya yang negatif. Gereja juga menerima dan menggunakan unsur-unsur budaya lokal dalam pelayanan Gereja. Guna membantu Gereja berkomunikasi dengan orang setempat dan memperlajari budaya setempat, ada misionaris yang membuat kamus bahasa daerah dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda.

Gereja menggunakan bahasa lokal dalam perayaan ibadahnya. Para misionaris menerjemahkan doa-doa, lagu-lagu, dan bahkan Alkitab dari bahasa Belanda ke dalam bahasa setempat. Karya-karya terjemahan ini memungkinkan orang setempat untuk berdoa kepada Allah dan menyanyikan lagu rohani dalam bahasa daerahnya, dan mendengarkan Firman Tuhan dalam bahasa yang dikenalnya. Dengan praktek ini, orang setempat tidak perlu susah payah belajar bahasa asing, entah bahasa Belanda atau Indonesia, hanya untuk berdoa kepada Allah. Mereka bisa dan dibiasakan oleh Gereja untuk berkomunikasi dengan Allah dalam bahasa daerah mereka. Dengan demikian, orang lokal dapat berdoa dimana saja dan kapan saja dalam bahasanya.

Selain menggunakan bahasa daerah, Gereja juga mengakomodir budaya setempat dengan mengggunakan ukiran-ukiran budaya setempat dalam Gedung Gereja. Lambang dan simbol budaya digunakan sebagai sarana pengungkapan iman umat. Gereja menggunakan nilai-nilai unggul dari budaya lokal dalam pewartaan. Semua praktek ini memperlihatkan bahwa Gereja Katolik menghormati orang setempat beserta kebudayaannya.
  
Memperbaharui Budaya

Gereja, tentunya, tidak meromatisir kebudayaan setempat. Gereja juga tidak mngajarkan orang Papua untuk hanya mempertahankan keaslian budayanya dan menolak perkembangan zaman. Gereja meyakini bahwa setiap kebudayaan, termasuk kebudayaan dari suku-suku bangsa Papua, mengandung unsur-unsur positif dan negatif. Oleh sebab itu, di satu pihak Gereja mengakomodir hal-hal positif dari budaya lokal. Tetapi pada pihak lain, Gereja menantang orang setempat untuk memperbaharui budayanya sendiri dalam terang Alkitab dan dengan mempertimbangkan perkembangan dan tuntutan zaman.

Gereja tidak memaksa penduduk setempat untuk memperbaharui budayanya, karena Gereja tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya atas penduduk lokal. Gereja berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan orang setempat untuk berkumpul dan melakukan diskusi dan refleksi, sehingga mereka dapat menemukan dan menilai sendiri praktek-praktek dalam budayanya yang ternyata menghambat perkembangan mereka sebagai manusia ciptaan Allah. Ketika mereka menemukan praktek budaya yang negatif, mereka berdiskusi dan mengambil keputusan sendiri untuk meninggalkan praktek-praktek tersebut. Dengan demikian penduduk lokal berperan sebagai subyek yang memperhabarui dan mengembangkan budayanya sendiri. Gereja menerima apa yang disumbangkan oleh budaya setempat dan memungkinkan orang setempat untuk memperbaharui sendiri budayanya.#

 ___________
*Neles Tebay adalah dosen pada STFT Fajar Timur di Abepura.

( Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - April 2016)

0 komentar:

Posting Komentar