Kamis, 05 Februari 2015

Gereja Dan Masalah OPM Di Papua

Oleh: Marinus Yaung*)
MEMASUKI usia ke-160 tahun pekabaran injil Yesus Kristus, injil yang telah datang,menguasai dan mengubahkan kehidupan dan peradaban manusia Papua, sudah waktunya untuk gereja Tuhan - gereja sebagai organisasi dan juga sebagai umat Tuhan - merenungkan dan mengevaluasi keberadaan dirinya di tanah Papua sesuai dengan fungsi dan panggilannya. Apakah gereja Tuhan sudah menjadi solusi dan jawaban atas setiap persoalan umat manusia di Papua atau gereja hadir hanya untuk menghadirkan bencana kemanusian dan rusaknya moral,etika dan martabat manusia ?. Perkembangan sejarah Papua akan selalu dipengaruhi dan ditentukan oleh peran yang dimainkan gereja Tuhan. Pemerintah tidak bisa sendiri berdiri menyelesaikan masalah Papua tanpa melibatkan gereja Tuhan, karena tidak akan pernah bisa selesai masalah Papua kalau gereja membiarkan pemerintah jalan sendiri dengan cara dan metodenya. Inilah takdir papua sebenarnya yang suka tidak suka, terimah tidak terimah harus diakui oleh semua orang yang hidup di atas tanah ini.
  Sejarah dan peradaban Papua sangat jauh berbeda dengan peradaban sejaran dari wilayah – wilayah lain di nusantara. Peradaban Papua lahir dari hati anak – anak muda eropa abad ke- 19 yang mengasihi dan mencintai Tuhan Yesus dengan cara yang ajaib dan luar biasa. Dengan mengorbankan masa muda mereka untuk menjadi anugerah Tuhan yang ajaib bagi masyarakat Papua. Untuk melihat nasib sebuah bangsa kanibalis, peyembah berhala,ditaklukan oleh injil dan peradabannya diubahkan oleh Tuhan. Hanya injil yang bisa menaklukan hati manusia Papua yang keras. Takdir sejarah ini tidak bisa berubah dan dilupakan begitu saja oleh karena perubahan saman. Disinilah gereja Tuhan punya tanggung jawab dan panggilannya. Dengan sejarah peradaban yang sangat ajaib di mata kita, rasanya aneh dan tidak masuk akal ketika melihat realita sejarah papua hari ini.
   Posisi gereja Tuhan seperti mati suri, gereja sama skali tidak berdaya  menolong umat manusia keluar dari bencana kemanusian dan penderitaan hidup. Posisi malaikat maut pencabut nyawa lebih kuat pengaruhnya dibandingkan gereja Tuhan. Situasi krisis rohani seperti ini tidak dianggap serius gereja Tuhan. Malaikat maut pencabut nyawa telah membunuh ratusan ribuh nyawa manusia Papua dengan mengatas namakan pembangunan dan keamanan tanpa ada tidakan perlindungan dari gereja Tuhan. Puluhan ribuh jiwa manusia Papua juga saat ini sedang antri menuju kematian akibat tersambar pedang maut HIV/AIDS dari malaikat maut pencabut nyawa. Gereja Tuhan justru terlihat tunduk pada keinginan malaikat maut dengan terlibat dalam kampanye penggunaan kondom. Aneh tapi nyata, tapi itulah paradox gereja Tuhan di Papua. 
  Kekerasan demi kekerasan terus meningkat dalam skala yang semakin besar dan meluas. Ketika gereja Tuhan diam, tanpa sadar gereja Tuhan secara tidak langsung ikut mendukung dan terlibat dalam aksi kekerasan dan terror tersebut. Gereja Tuhan di papua tidak boleh tinggal diam dan bertahan pada logika rohani yang tidak alkitabia, dengan asumsi bahwa konflik dan kekerasan itu bukan bagian dari tugas dan panggilan gereja tuhan. Jangan perna lupa bahwa gereja Tuhan sedikitnya memiliki andil terhadap lahirnya persoalan demi persoalan sejak integrasi sampai saat ini di Papua. Sejarah integrasi Papua sudah mencatat bahwa, pertama, pemimpin gereja telah mengambil sikap untuk bertemu langsung dengan Presiden Soekarno dan sekaligus membuka pintu bagi masuknya Indonesia ke Papua.    
   Tindakan politik pemimpin gereja Papua ini tanpa sadar telah menjerumuskan mereka ke dalam konfrontasi politik Presiden Soekarno dengan presiden AS John Fitzgerald Kennedy awal tahun 1960-an. Gereja Tuhan di Papua telah memberikan “ pisau politik “ di tangan Soekarno untuk mengancam Kennedy soal posisi pemerintah AS terhadap masalah status politik Papua tahun itu. Akhirnya posisi kennedy berubah dari menentang Indonesia soal papua, jadi mendukung keinginan soekarno untuk menguasai Papua. Kedua, masuknya Indonesia ke Papua, tidak didukung sepenuhnya oleh seluruh umat Tuhan di Papua. Akibatnya lahir Organisasi Papua Merdeka ( OPM ) yang dimaksudkan untuk memperjuangkan hak hidup, hak bebas dan hak untuk mencapai kebahagian di atas tanah Papua yang telah dirampas oleh Negara. Negara melawan dengan terror, intimidasi, pembunuhan, pembantain dan segala bentuk kriminalisasi terhadap setiap aksi – aksi OPM. Konflik vertical antara rakyat papua dengan Negara, seharusnya bisa dikendalikan dan diselesaikan sedini mungkin kalau gereja Tuhan memainkan fungsi dan perannya dengan tepat dan benar. Gereja Tuhan di Papua tidak bisa menonton dan membiarkan OPM terus menerus berdiri berhadap – hadapan dengan TNI/Polri tanpa bergerak mencari solusi terhadap konflik berdarah ini. Gereja Tuhan harus mengambil posisi di tengah untuk segera mendamaikan dan mempersatukan pertikaian sesame anak bangsa di tanah ini. Gereja Tuhan tidak bisa tinggal diam dan tersanderah dengan retorika “ ini semua bagian dari kehendak Tuhan “, “ pemerintah itu datangnya dari Tuhan, karena itu tidak ada pemerintah yang salah, yang salah yang memprotes pemerintah “. Retorika – retorika seperti ini akan membuat gereja Tuhan mengalami impoten rohani dan memperkuat posisi malaikat maut pencabut nyawa di atas tanah Papua. 
   Gereja Tuhan merupakan satu – satunya harapan Tuhan Yesus untuk mengakhiri semua penderitaan orang papua dan mengubahkan nasib papua ke depan. Bukan pemerintah, bukan DPRP, bukan MRP, karena semua lembaga ini hasil buatan tangan manusia yang memiliki kuasa dan otoritas yang sangat terbatas sehingga sangat sulit meletakan tumpukan dan harapan masa depan Papua yang jauh lebih baik ke dalam tangan lembaga – lembaga Negara ini. Gereja TUhan dibentu oleh Tuhan sendiri dan diperlengkapi dengan kuasa dan otoritas ilahi yang tidak terbatas, sehingga seharusnya mampu berdiri menjadi solusi dan jawaban bagi penyelesain masalah Papua, termasuk menyelesaikan masalah OPM yang oleh Negara dipandang sebagai hambatan terbesar pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua. Gereja Tuhan harus bisa bangkit meluruskan persoalan keberadaan OPM di papua di mata pemerintah. Gereja Tuhan harus bisa memainkan dengan mahir pedang injilnya untuk menaklukan OPM dan sekaligus menaklukan Negara agar Negara tidak lagi memandang orang Papua itu musuh dan terus menerus mengedepankan pendekatan kekerasan dalam meyelesaikan konflik Papua.   
    Gereja Tuhan harus mampu merumuskan sebuah pendekatan baru dalam nuansa dan semangat injil untuk disampaikan ke pemerintah agar bisa dijadikan referensi dalam menyelesaikan masalah Papua. Seluruh pendekatan dalam penyelesain masalah papua tanpa melalui saringan injil, maka sampaikan kapanpun tidak akan perna bisa selesai. Inilah takdir tentang kekhususan Papua yang harus diterimah oleh semua pihak. Mungkin terkesan controversial bagi mereka yang logikanya lebih kuat dibandingkan hati nuraninya. Tetapi kalau serius mau membangun Papua dan sekaligus mau meyelesaikan Papua dengan hati, maka patokannya harus ke injil. Pada posisi inilah, gereja Tuhan harus berperan aktif dalam merumuskan konsep dan metode penyelesain masalah Papua berdasarkan saringan injil. Gereja Tuhan dalam memasuki usia pekabaran injil di Papua yang ke – 160 sudah harus keluar dari dinding gerejanya, tembok denominasinya,dan dari zona – zona kenyamanannya untuk berbuat sesuatu bagi penyelesaikan konflik dan terciptanya perdamain di Papua. Gereja Tuhan tidak ditakdirkan untuk menjadi penonton di dalam konflik Papua. Gereja Tuhan tidak dimaksudkan Tuhan hadir di Papua untuk menjadi museum rohani untuk memamerkan manusia  dan harta kekayaannya, melainkan harus menjadi rumah sakit rohani untuk menolong setiap umat manusia Papua yang sakit dan terluka oleh Negara dan oleh sesame. 
   Gereja Tuhan harus bisa hadir di tengah – tengah umat manusia di papua untuk memastikan duka cita dan penderitaan umat manusia berubah menjadi tari – tarian dan sorak sorai. Tidak ada lagi lembaga terbaik di tanah Papua yang kesanalah orang Papua berharap akan kelepasan dari penderitaan dan bencana kemanusian selain gereja Tuhan. Mungkin terkesan opini prestius dan pandangan liar yang masih belum diterimah public, tetapi inilah takdir sejarah papua yang telah diletakan Ottow dan Geissler di pulau mansinam, minggu pagi 5 februari 1855, dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini. Dengan kata lain, 2 ( dua ) anak muda eropa ini, telah menyerahkan sejarah dan peradaban Papua ke dalam pengendalian dan kedaulatan Tuhan. Apapun yang terjadi di Papua, baik di masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang semua ada dalam kendali dan pengawasan Tuhan. Tuhan hanya bisa bertindak kalau gereja Tuhan bertindak duluan dan sebaliknya, Tuhan tidak akan bertindak kalau gereja Tuhan tidak bertindak. 
   Memasuki usia ke – 160 tahun injil berkuasa di tanah ini, sudah saatnya gereja Tuhan bangkit untuk focus pada menyelesaikan masalah OPM dan segala macam masalah kemanusian lainnya di Papua. Malaikat maut sedang bergerak cepat membinasakan umat manusia di papua. Kalau gereja Tuhan tidak segera sadar diri dan kembali kepada panggilan gerejanya yang diamanatkan dalam kitab matius pasal 28 dalam Bible, gereja bangkit untuk menginjili Papua dengan injil, maka sejarah papua akan mencatat di masa yang akan datang bahwa perna di Papua hidup etnis Melanesia kulit hitam, tapi sudah terhapus etnis ini dari muka bumi karena bencana kemanusia berubah sakit penyakit dan kekejaman Negara yang berlansung secara masif, terstruktur dan systematis. Injil merupakan senjata ajaib dan dasyat yang dimiliki gereja Tuhan yang sanggup untuk menyelesaikan seluruh kompleksitas persoalan Papua dari integrasi sampai hari ini. Bangkitlah gereja Tuhan dengan pedang injilmu dan segera terlibat dalam penyelesain masalah Papua. Di dalam tanganmulah Gereja tuhan, umat manusia di tanah ini meletakan nasib dan harapannya. #

___________
 *) Penulis adalah Youth Pastor di Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Sentani dan Dosen  Hubungan Internasional Fisip UNCEN.

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - Februari 2015)

0 komentar:

Posting Komentar