Oleh: Yan Christian Warinussy *)
TANGGAL 5 Februari 2015 mendatang, Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua bersama seluruh umatnya dan segenap rakyat Papua beserta denominasi gereja-gereja akan merayakan ulang tahun ke 160, masuknya Injil di Tanah Papua.
Kabar sukacita itu telah di bawa masuk seiring dengan mendaratnya 2 (dua) orang Zendeling (Penginjil) asal Jerman, Carl Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler di pantai pasir putih di Pulau Mansinam, di depan bibir Teluk Doreh, yang kini dikenal dengan nama Teluk Doreri.
Kala itu mereka berjumpa dengan wajah-wajah sangar dan tidak bersahabat dari penduduk Pulau tersebut yang bahasanyapun belum diketahui oleh Ottow dan Geissler, yang saat itu hanya ditemani seorang anak muda bernama Fritz (12) yang adalah anak dari guru di Ternate yang diserahkannya kepada kedua zendeling guna menjai pelayan mereka.
Kedua Zendeling tersebut sempat dipandang oleh orang asli Pulau Mansinam tersebut sebagai orang asing yang hendak datang untuk merampas kebebasan mereka,sehingga cepat atau lambat keduanya harus disingkirkan.
Perjalanan Ottow dan Geissler dari negeri Jerman ke Tanah Papua kala itu (1855) berlangsung dalam waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana ditulis dalam buku : Fajar Merekah di Tanah Papua : Hidup dan Karya Rasuk Papua Johann Gottlob Geissler (1830-1870) dan warisannya untuk masa kini, yang disunting oleh Pdt.DR.Rainer Scheunemann, terbitana Panitia Jubelium Emas 150 Tahun Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, tahun 2004.
Perjalanan panjang ke Tanah Papua dimulai dari Berlin-Jerman ke Belanda pada tahun 1852 yang menurut catatan Geissler, Tanah Papua (New Guinea) adalah tanah tujuan dan kerinduannya.Dari Berlin ke Belanda perjalanan mereka sebagian besar ditempuh dengan berjalan kaki untuk menghemat biaya.
Pada tanggal 26 Juni 1852 malam hari, Ottow dan Geissler berangkat dari Rotterdam, Belanda menuju Batavia (kini Jakarta) dengan menumpang kapal Abel Tasman.
Tanggal 7 Oktober 1852 mereka tiba di dengan selamat di Batavia dan kesabaran mereka diuji, karena mereka harus menunggu disana selama kurang lebih 2 (dua) tahun, yaitu tepatnya pada bulan April 1854 barulah ada kesempatan untuk mereka meninggalkan Batavia untuk menuju tanah kerinduan mereka, yaitu Papua.
Kenapa mereka menuju Pulau Mansinam? Karena di Batavia ada seorang saudagar muda bernama Ring yang telah mendirikan sebuah perkumpulan misi, dan dia mendapat informasi, bahwa di Pulau kecil Mansinam dekat Manokwari hidup orang-orang yang terbuka. Menurut catatan bahwa waktu itu (1854), Tanah Papua tertutup dan penduduknya dianggap buas dan menolak orang asing.
Perjalanan dari Batavia menuju ke Ternate, wilayah otoritas pemerintahan Kesultanan Tidora waktu itu, dimana Sultan Tidore sendiri tidak keberatan apabila kedua rasul tersebut datang ke Mansinam. Hal itu ditandai dengan diberikannya surat jalan kepada kedua sendeling oleh Sultan Tidode yang oleh penduduk Pulau Mansinam diakui kekuasaannya di bawah Pemerintahan Belanda saat itu.
Pelayaran dari Ternate dengan menumpang kapal Ternate pada bulan Januari 1855 itu akhirnya tiba di Pulau Mansinam pada tanggal 5 Februari 1855 tepat pukul 6 pagi bersamaan dengan fajar yang merekah di ufuk Timur Tanah Papua, jangkar kapal dibuang untuk berlabuh di Teluk Doreh.
Keberadaan merka kemudian di Pulau Mansinam ketika itu, dimulai dengan tinggal sementara waktu di sebuah gubuk peninggalan pelaut di tepi pantai pulau tersebut dan mereka berupaya dapat mencapai pantai Mnukwar (kini Manokwari) dengan mulai membuat perahu.
Ketika mereka berhasil membuat sebuah perahu yang dapat mengantar mereka berdayung hingga tiba di bibir pantai Manukwar, mereka mendapati seluruh pantai dipenuhi hutan rimba. Sehingga merka beberapa hari harus bekerja menebangi pohon-pohon dan pada malam harinya mereka mendayung kembali ke Mansinam.
Akibat keras bekerja itu, maka mereka bertiga (ootow, Geissler dan Fritz) sempat jatuh sakit secara beruntun, walau akhirnya mereka bisa pulih setelah diserang penyakit malaria waktu itu. Akan tetapi semangat mereka untuk membuka tabir peradaban hidup Orang Papua yang dipandang primitif, sangar, buas dan tidak bersahabat telah mendorong mereka untuk terus kuat bertahan dan bekerja selama mungkin.
Hasilnya untuk kepentingan komunikasi, maka mereka mempelajari bahasa lokal penduduk Mansinam, yaitu Bahasa Numfor (Mafoor), dan mereka juga berhasil menyusun sebuah kamus berisi 1500 kata dalam bahasa Numfor yang diserahkannya kepada komisi ilmu pengetahuan Belanda yang diutus ke Mansinam pada tahun 1858.
Dengan modal memahami bahasa Numfor inilah dengan ditambah pemahaman atas bahasa Melayu, maka proses penginjilan dapat berjalan dengan semakin baik di Pulau Mansinam dan Manokwari, sebagai tempat pertama Injil Kristus mulai ditanamkan oleh kedua Rasul tersebut.
Hal itu terbukti nyata, ketika mereka berdua dapat mengajarkan Doa Bapa Kami dalam bahasa Numfor yang menjadi alat ampuh untuk semakin mendekatkan pemahaman dan hubungan mereka dalam konteks penginjilan dengan orang-orang asli di Pulau Mansinam pada masa tersebut.
Tantangan dalam penginjilan juga dihadapi bukan saja dari penduduk asli PUlau Mansinam saja, tetapi juga dari para bajak laut yang seringkali datang ke Pulau tersebut dengan tujuan merampok dan membunuh.
Ottow dan Geissler seringkali terlibat dalam upaya mereka membela penduduk pulau Mansinam dengan mengejar dan berupaya membebaskan para tawanan bajak laut tersebut.
Pembebasan itu tidak dicapai dengan cara-cara mudah, karena kedua zendeling juga harus terlibat pertarungan fisik yang sengit dan melelahkan dengan para bajak laut tersebut. Ini menjadi bukti betapa tantangan yang dihdapi para zendeling tersebut tidak mudah dan sangat berat saat itu.
Pada tanggal 9 November 1862, Ottow meninggal dunia di Manokwari dan dimakamkan dimakamkan, hingga kuburnya masih ada saat ini di Kwawi, Manokwari. Kemudian Geissler wafat pada tanggal 11 Juni 1870 di Siegen, Jerman.
Meskipun kedua zendeling tersebut sudah wafat, tetapi buah dari pekerjaan mereka yang pertama kali mendaratkan Injil di Pulau Mansinam, Tanah Doreri tersebut hingga saat ini telah berbuah dan bertambah banyak memenuhi seluruh persada Tanah Papua. Sehingga senantiasa diperingati oleh kalangan Gereja Kristen maupun dengan dukungan pemerintah daerah ini sebagai suatu waktu dimana peradaban orang-orang asli Papua telah dirubah dari sebutan dahulu sebagai bangsa biadab menjadi bangsa yang beradab dan memiliki martabat dan hak asasi yang sama dengan seluruh penduduk bumi ini.***
*Penulis adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari - Sekretaris Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan pada Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari - Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada - Anggota Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua - Salah satu Pembela HAM (Human Right Defender/HRD) di Tanah Papua.
( Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - Februari 2015)
0 komentar:
Posting Komentar