Kamis, 10 Agustus 2017

Kompleksitas HTI Pasca Pembubaran Secara Politik di Papua

Penulis : Ridwan al-Makassary*
Bagaimana perkembangan terkini organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Tanah Papua, khususnya di Kota Jayapura, paska Kemenkopolhulkam RI, bapak Wiranto, mengumumkan pembubarannya yang akan diikuti oleh prosedur hukum? Apakah organisasi tersebut mengalami delegitimasi dan “pembusukan” di kalangan masyarakat Islam dan apakah kiprah organisasinya mengendur? Beberapa pertanyaan pembuka di atas akan menuntun kita dalam mendiskusikan beberapa kompleksitas yang melingkupi HTI sebagai organisasi yang dinyatakan bubar secara politik oleh pemerintah. Namun, masih menunggu pembubarannya secara hukum.   
 Karenanya, terdapat sejumlah kompleksitas yang menunjukkan bahwa pernyataan pembubaran secara politik tersebut tidak serta merta membubarkan HTI secara hukum, oleh karena ia telah mengantongi ijin online dari Kemenkumham. Hal terakhir ini juga bukti ketidakcermatan pemerintah ketika memverifikasi HTI secara online, selain manipulasi visi dan misi HTI yang seolah selaras dengan Pancasila. Namun, ia sama sekali tidak terdaftar di Kemendagri RI. Bahkan, pihak Kesbangpol dan Linmas kota Jayapura dan Papua menyatakan HTI tidak terdaftar di tingkat kota dan provinsi. Dalam beberapa tayangan media, sejumlah pentolan HTI malah mengancam dan mengecam upaya pembubaran secara hukum yang akan dilakukan oleh pemerintah. Lebih jauh, ratusan pengacaranya siap menggagalkan upaya pembubaran secara hukum tersebut.
 Sejatinya, diskursus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)  telah lama disuarakan pihak Islam moderat, terutama Nahdhatul Ulama (NU) dan organisasi turunannya seperti Banser NU dan Gerakan Pemuda Anshor. Bahkan, pada masa Presiden SBY yang lalu, NU telah melaporkan dan mendesak pemerintah mengambil langkah tegas kepada organisasi sejenis HTI. Namun, SBY tampaknya lebih “mengalah” untuk harmoni. Setelah pergantian rejim ke Presiden Jokowi, perkembangan menunjukkan benturan semakin kuat di lapangan antara pendukung HTI dan NU dipelbagai tempat di tanah air, termasuk penolakan ormas NU Papua dan organisasi seperti GP Anshor di kota Jayapura. Dalam konteks Papua, Gubernur Papua, Lukas Enembe, secara  tegas telah melarang beroperasinya HTI di tanah Papua. Tuntutan dan desakan pembubaran HTI yang berlarut-larut tampaknya menemui titik terang.
 Sedikit menengok ke belakang, pada Senin, 8 Mei 2017, Menkoplhulkam Wiranto menegaskan akan melakukan pembubaran HTI melalui proses hukum. Alasan utamanya  HTI dipandang tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan  nasional: terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, sebagaimana diatur dalam  UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas; kegiatan yang dilakukan nyata-nyata teah menimbulkan  benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
 Terhadap upaya pembubaran tersebut, NU wilayah Papua dan Kemenag Wilayah Papua telah menggelar sebuah seminar tentang pembubaran HTI pada Kamis 18 Mei 2017, yang banyak diliput media massa. Sedikit banyak seminar tersebut mendelegitimasi eksistensi HTI secara politik. Acara yang menghadirkan penulis sebagai pembicara, termasuk Kapolda Papua dan wakil Kemenag Papua, bertujuan untuk melihat peluang dan tantangan pembubaran HTI secara hukum, dan lebih penting mengungkapkan apa dan bagaimana HTI kepada publik luas di Papua. Misalnya, masyarakat sejauh ini tidak banyak mengtahui bahwa HTI berkembang pesat di sejumlah negara Islam dan pernah melakukan kudeta di Yordania sehingga diusir dan dilarang di negara tersebut. Yang berkembang di pemahaman masyarakat sejauh ini adalah HTI oranganisasi nir-kekerasan, padahal organisasi tersebut tekun melakukan kekerasan simbolik dan menggerakkan aksi makar oleh karena bertujuan merubah dasar negara.
 Meskipun demikian, tampaknya HTI tidak tiarap begitu saja setelah “palu godam” pembubaran oleh pemerintah RI, sebagaimana disebut di atas. Ibarat petinju, HTI sempat sempoyongan, namun masih bisa bertahan dan bahkan saat ini tampaknya tetap beroperasi dalam senyap. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih gencarnya bulletin Al-Islam yang berseliweran di masjid-masjid kota Jayapura. Sebagai jamaah masjid Al-Askar Bucend II, saya masih melihat tumpukan buletin tersebut di pelataran masjid. Juga saya dapat info bahwa masjid di Perumnas Waena juga masih banyak menyebarkan buletin tersebut. Apakah buletin ini ditaruh begitu saja atau memang diminta oleh pihak takmir masjid akan diteliti lebih jauh. Tetapi, poin yang penulis ingin katakan bahwa HTI tetap eksis dan setia menyasar Jemaah masjid, yang sebagian besar juga masih haus akan pengetahuan ke Islaman.  
 Sebagaimana dimaklumi bersama tujuan gerakan HTI ini adalah membangun tegaknya Negara khilafah atau Negara Islam. Karenanya, gerakan ini hendak menggantikan tatanan negara-bangsa, dalam hal ini adalah Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan di Tanah Papua semakin memprihatinkan. Dalam rekrutmen HTI menggunakan masjid, dan juga kampus. Bahkan, penulis pernah mengobservasi suatu acara sosialisasi HTI dilakukan di sebuah masjid yang didirikan oleh tentara dan juga khutbah Jumat yang mengumandangkan khilafah. Aneh bin ajaib. Ini mengartikan bahwa inflitrasi gerakan HTI ke wilayah masjid gencar dilakukan secara senyap. Sementara itu, kampus juga menjadi satu arena yang sedang digarap oleh HTI. Sejauh ini beberapa kampus utama di kota Jayapura telah terinfiltrasi gerakan HTI. Bahkan, beberapa dosen dan PNS juga telah terindikasi sebagai pegiat HTI. Fenomenanya bisa dilihat dari respon mereka terhadap kondisi mutakhir di Papua. Dengan kalimat berbeda, beberapa dosen dan mahasiswa telah terpapar idelogi HTI. Perkembangan ini sepertinya masih terus bergerak secara sinambung, meski secara senyap.
 Karenanya, pembubaran HTI di Papua juga tersandera beberapa kompleksitas. Pertama,  masalah pembubaran secara hukum tidak akan bisa berlangsung secara cepat, oleh karena terdapat aturan yang mesti dipenuhi untuk pembubarannya, misalnya surat peringatan hingga gelar perkara di persidangan. Jika merujuk pada Pasal 61 UU No 17 Tahun 2013 terdapat sejumlah tahapan untuk membubarkan ormas yang sudah berbadan humum. Karenanya, Pemerintah RI tampaknya ingin melakukan percepatan pembubaran dengan menggunakan Perppu atau Keppres sebagai opsi selain jalur pengadilan. Namun, hal ini masih kita tunggu perkembangannya, karena opsi ini juga merebakkan kontroversi.
 Kompleksitas selanjutnya adalah infiltrasi atau paparan ideologi HTI telah merambah dan terjadi pada sejumlah kalangan, meliputi para muballigh, mahasiswa/dosen, pegawai negeri sipil dan masayarakat umum sehingga pembubarannya baik secara politik dan hukum tidak serta merta menghilangkan ideologi ini karena telah bertengger di benak sebagian pengikutnya yang fanatik. Selain itu, mereka akan bergerak di bawah tanah dan mungkin akan sulit dideteksi. Juga, jika dapat berkolaborasi dengan oragnisasi lain, mereka ini bisa berfungsi sebagai “sel tidur” ISIS, seperti peristiwa jatuhnya kota Marawi di Pilifina, karena didukung “sel tidur” yang mendukung ISIS di kota tersebut. Hal ini dimungkinkan karena strategi yang mereka jalankan adalah strategic ambiguity yang saya sebut “pandai berminyak air”, di mana mereka bisa “menyesuaikan” diri  agar seolah-olah pandangannya tidak berbahaya dan sejalan dengan pemikiran masyarakat kebanyakan. Namun, sewaktu-waktu sebagai “sel tidur” mereka bisa bergerak bersama jika diaktifkan untuk kepentingan politik mereka.
 Penulis merekomendasikan pihak Kanwil Kemenag, Kesbang Pol dan Linmas kota Jayapura dan Provinsi Papua serta pihak terkait agar bersatu padu untuk mendelegitimasi eksistensi HTI yang nyata-nyata tidak terdaftar di wilayah Papua, sebagaimana yang diharapkan peserta seminar pembubaran HTI di hotel Sahid Papua itu. Secara khusus, Kemenag Papua dapat mengeluarkan edaran ke seluruh takmir masjid di wilayah Papua untuk mencegah penyusupan muballigh dan buletin Al-Islam HTI, yang bisa seenaknya mempropagandakan pendirian Negara Khilafah di Indonesia. Selain itu, organisasi massa Islam, seperti NU dan Muhammadiyah tetap istikamah memainkan peranan dalam penyebaran ajaran Islam yang moderat dan damai, yang relevan untuk wilayah Papua yang plural. Damai Papua Damai Indonesia.##

_________
*Penulis: 
Staf khusus FKUB Papua, 
dosen Studi Perdamaian USTJ Papua dan 
mahasiswa PhD di University of Western Australia (UWA) atas beasiswa LPDP Afirmasi Papua.  

( Tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos edisi Juli 2017)

0 komentar:

Posting Komentar