Penulis : Ridwan al-Makassary*
Bagaimana perkembangan
terkini organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Tanah Papua, khususnya di
Kota Jayapura, paska Kemenkopolhulkam RI, bapak Wiranto, mengumumkan
pembubarannya yang akan diikuti oleh prosedur hukum? Apakah organisasi tersebut
mengalami delegitimasi dan “pembusukan” di kalangan masyarakat Islam dan apakah
kiprah organisasinya mengendur? Beberapa pertanyaan pembuka di atas akan
menuntun kita dalam mendiskusikan beberapa kompleksitas yang melingkupi HTI
sebagai organisasi yang dinyatakan bubar secara politik oleh pemerintah. Namun,
masih menunggu pembubarannya secara hukum.
Karenanya, terdapat
sejumlah kompleksitas yang menunjukkan bahwa pernyataan pembubaran secara
politik tersebut tidak serta merta membubarkan HTI secara hukum, oleh karena ia
telah mengantongi ijin online dari Kemenkumham. Hal terakhir ini juga bukti
ketidakcermatan pemerintah ketika memverifikasi HTI secara online, selain
manipulasi visi dan misi HTI yang seolah selaras dengan Pancasila. Namun, ia
sama sekali tidak terdaftar di Kemendagri RI. Bahkan, pihak Kesbangpol dan Linmas
kota Jayapura dan Papua menyatakan HTI tidak terdaftar di tingkat kota dan provinsi.
Dalam beberapa tayangan media, sejumlah pentolan HTI malah mengancam dan mengecam
upaya pembubaran secara hukum yang akan dilakukan oleh pemerintah. Lebih jauh,
ratusan pengacaranya siap menggagalkan upaya pembubaran secara hukum tersebut.
Sejatinya, diskursus
pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
telah lama disuarakan pihak Islam moderat, terutama Nahdhatul Ulama (NU)
dan organisasi turunannya seperti Banser NU dan Gerakan Pemuda Anshor. Bahkan,
pada masa Presiden SBY yang lalu, NU telah melaporkan dan mendesak pemerintah
mengambil langkah tegas kepada organisasi sejenis HTI. Namun, SBY tampaknya
lebih “mengalah” untuk harmoni. Setelah pergantian rejim ke Presiden Jokowi,
perkembangan menunjukkan benturan semakin kuat di lapangan antara pendukung HTI
dan NU dipelbagai tempat di tanah air, termasuk penolakan ormas NU Papua dan
organisasi seperti GP Anshor di kota Jayapura. Dalam konteks Papua, Gubernur
Papua, Lukas Enembe, secara tegas telah
melarang beroperasinya HTI di tanah Papua. Tuntutan dan desakan pembubaran HTI
yang berlarut-larut tampaknya menemui titik terang.
Sedikit menengok ke
belakang, pada Senin, 8 Mei 2017, Menkoplhulkam Wiranto menegaskan akan
melakukan pembubaran HTI melalui proses hukum. Alasan utamanya HTI dipandang tidak melaksanakan peran
positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai
tujuan nasional: terindikasi kuat telah
bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia tahun 1945, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas;
kegiatan yang dilakukan nyata-nyata teah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam
keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Terhadap upaya
pembubaran tersebut, NU wilayah Papua dan Kemenag Wilayah Papua telah menggelar
sebuah seminar tentang pembubaran HTI pada Kamis 18 Mei 2017, yang banyak
diliput media massa. Sedikit banyak seminar tersebut mendelegitimasi eksistensi
HTI secara politik. Acara yang menghadirkan penulis sebagai pembicara, termasuk
Kapolda Papua dan wakil Kemenag Papua, bertujuan untuk melihat peluang dan
tantangan pembubaran HTI secara hukum, dan lebih penting mengungkapkan apa dan
bagaimana HTI kepada publik luas di Papua. Misalnya, masyarakat sejauh ini tidak
banyak mengtahui bahwa HTI berkembang pesat di sejumlah negara Islam dan pernah
melakukan kudeta di Yordania sehingga diusir dan dilarang di negara tersebut.
Yang berkembang di pemahaman masyarakat sejauh ini adalah HTI oranganisasi nir-kekerasan,
padahal organisasi tersebut tekun melakukan kekerasan simbolik dan menggerakkan
aksi makar oleh karena bertujuan merubah dasar negara.
Meskipun demikian, tampaknya
HTI tidak tiarap begitu saja setelah “palu godam” pembubaran oleh pemerintah
RI, sebagaimana disebut di atas. Ibarat petinju, HTI sempat sempoyongan, namun
masih bisa bertahan dan bahkan saat ini tampaknya tetap beroperasi dalam
senyap. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih gencarnya bulletin Al-Islam yang berseliweran di
masjid-masjid kota Jayapura. Sebagai jamaah masjid Al-Askar Bucend II, saya
masih melihat tumpukan buletin tersebut di pelataran masjid. Juga saya dapat
info bahwa masjid di Perumnas Waena juga masih banyak menyebarkan buletin
tersebut. Apakah buletin ini ditaruh begitu saja atau memang diminta oleh pihak
takmir masjid akan diteliti lebih jauh. Tetapi, poin yang penulis ingin katakan
bahwa HTI tetap eksis dan setia menyasar Jemaah masjid, yang sebagian besar
juga masih haus akan pengetahuan ke Islaman.
Sebagaimana dimaklumi
bersama tujuan gerakan HTI ini adalah membangun tegaknya Negara khilafah atau
Negara Islam. Karenanya, gerakan ini hendak menggantikan tatanan negara-bangsa,
dalam hal ini adalah Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan di Tanah Papua
semakin memprihatinkan. Dalam rekrutmen HTI menggunakan masjid, dan juga kampus.
Bahkan, penulis pernah mengobservasi suatu acara sosialisasi HTI dilakukan di
sebuah masjid yang didirikan oleh tentara dan juga khutbah Jumat yang
mengumandangkan khilafah. Aneh bin ajaib. Ini mengartikan bahwa inflitrasi
gerakan HTI ke wilayah masjid gencar dilakukan secara senyap. Sementara itu,
kampus juga menjadi satu arena yang sedang digarap oleh HTI. Sejauh ini
beberapa kampus utama di kota Jayapura telah terinfiltrasi gerakan HTI. Bahkan,
beberapa dosen dan PNS juga telah terindikasi sebagai pegiat HTI. Fenomenanya
bisa dilihat dari respon mereka terhadap kondisi mutakhir di Papua. Dengan kalimat
berbeda, beberapa dosen dan mahasiswa telah terpapar idelogi HTI. Perkembangan
ini sepertinya masih terus bergerak secara sinambung, meski secara senyap.
Karenanya, pembubaran
HTI di Papua juga tersandera beberapa kompleksitas. Pertama, masalah pembubaran secara hukum tidak akan
bisa berlangsung secara cepat, oleh karena terdapat aturan yang mesti dipenuhi
untuk pembubarannya, misalnya surat peringatan hingga gelar perkara di
persidangan. Jika merujuk pada Pasal 61 UU No 17 Tahun 2013 terdapat sejumlah
tahapan untuk membubarkan ormas yang sudah berbadan humum. Karenanya,
Pemerintah RI tampaknya ingin melakukan percepatan pembubaran dengan
menggunakan Perppu atau Keppres sebagai opsi selain jalur pengadilan. Namun,
hal ini masih kita tunggu perkembangannya, karena opsi ini juga merebakkan
kontroversi.
Kompleksitas selanjutnya
adalah infiltrasi atau paparan ideologi HTI telah merambah dan terjadi pada
sejumlah kalangan, meliputi para muballigh, mahasiswa/dosen, pegawai negeri
sipil dan masayarakat umum sehingga pembubarannya baik secara politik dan hukum
tidak serta merta menghilangkan ideologi ini karena telah bertengger di benak
sebagian pengikutnya yang fanatik. Selain itu, mereka akan bergerak di bawah
tanah dan mungkin akan sulit dideteksi. Juga, jika dapat berkolaborasi dengan
oragnisasi lain, mereka ini bisa berfungsi sebagai “sel tidur” ISIS, seperti
peristiwa jatuhnya kota Marawi di Pilifina, karena didukung “sel tidur” yang
mendukung ISIS di kota tersebut. Hal ini dimungkinkan karena strategi yang
mereka jalankan adalah strategic
ambiguity yang saya sebut “pandai berminyak air”, di mana mereka bisa “menyesuaikan”
diri agar seolah-olah pandangannya tidak
berbahaya dan sejalan dengan pemikiran masyarakat kebanyakan. Namun,
sewaktu-waktu sebagai “sel tidur” mereka bisa bergerak bersama jika diaktifkan
untuk kepentingan politik mereka.
Penulis merekomendasikan
pihak Kanwil Kemenag, Kesbang Pol dan Linmas kota Jayapura dan Provinsi Papua serta
pihak terkait agar bersatu padu untuk mendelegitimasi eksistensi HTI yang
nyata-nyata tidak terdaftar di wilayah Papua, sebagaimana yang diharapkan
peserta seminar pembubaran HTI di hotel Sahid Papua itu. Secara khusus, Kemenag
Papua dapat mengeluarkan edaran ke seluruh takmir masjid di wilayah Papua untuk
mencegah penyusupan muballigh dan buletin Al-Islam HTI, yang bisa seenaknya mempropagandakan
pendirian Negara Khilafah di Indonesia. Selain itu, organisasi massa Islam,
seperti NU dan Muhammadiyah tetap istikamah memainkan peranan dalam penyebaran
ajaran Islam yang moderat dan damai, yang relevan untuk wilayah Papua yang
plural. Damai Papua Damai Indonesia.##
*Penulis:
Staf khusus
FKUB Papua,
dosen Studi Perdamaian USTJ Papua dan
mahasiswa PhD di University
of Western Australia (UWA) atas beasiswa LPDP Afirmasi Papua.
( Tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos edisi Juli 2017)
0 komentar:
Posting Komentar