Senin, 27 Februari 2017

Kampanye Berintegrasi

Penulis : Sombuk Musa Yosep* -----
Pilkada serentak di Indonesia  telah memasuki tahapan kampanye yang akan berlangsung kurang lebih tiga bulan lamanya. Itulah waktu yang disiapkan oleh regulasi Pemilu bagi  pasangan calon kepala daerah di tingkat Provinsi dan kabupaten/kotamadya dan tim kampanye yang mendukungnya dapat menyampaikan visi, misi, dan program kepada khalayak pemilih (voters)  sebagai tawaran atau janji yang akan dilaksanakan apabila mereka terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur atau bupati dan wakil bupati dalam masa jabatan 5 tahun ke depan. Besar harapan para insan demokrasi bahwa event kampanye dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan mengedepankan cara-cara yang mengindikasikan kedewasaan berpolitik dari pelaku kampanye tersebut.

PKPU No. 7/2015 telah mengatur bahwa  pelaksanaan kampanye itu dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang mengepankan suasana dialogis, bukan  mobilisasi, antara pasangan kandidat dan para pemilih dengan harapan  terbangunnya rasionalitas politik   dalam memilih pemimpin di daerahnya.  Oleh sebab itu, bentuk-bentuk kampanye yang bersifat pengumpulan massa dalam bentuk rapat umum dihindari sedapat mungkin dan diperbolehkan oleh peraturan hanya satu kali selama masa kampanye.  Dengan perkataan lain, sangat diharapkan terciptanya aktivitas kampanye Pemilukad yang berintegritas dan bermartabat.
Namun demikian,  disadari bahwa karena pada hakekatnya Pemilu itu adalah sebuah kontestasi politik untuk menggapai kekuasaan,   para kandidat cenderung berusaha dengan segala cara untuk meraih dukungan dari pemilih dara hari pemilihan (voting day).  Tidak jarang para kandidat bertindak  eksesif atau melampaui batas/rambu-rambu aturan yang berlaku.   Dalam hal ini, perilaku politik dan strategi menggapai dukungan maksimal agar memenangkan Pemilu sangat menentukan tercapainya kompetisi politik yang berkualitas dan bermartabat. 
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para kandidat dan masyarakat umum  agar ajang kampanye lebih memberi makna positif bagi kemajuan demokrasi dalam konteks  Pilkada Serentak 2015.

v Pertama,  para kandidat dan tim kampanyenya fokus pada penyampaian visi dan missinya sejalan dengan rencana jangka panjang pembangunan daerah, persoalan dasar, dan kondisi obyektif daerah. Publik akan menilai apakah ada rasionalitas dalam visi dan misi yang diajukan oleh pasangan calon dan apakah dalam kurun waktu lima tahun ke depan mereka  dapat mencapainya; 
v Kedua, para  kandidat dan tim kampanyenya hendaknya sekuat mungkin menghindari upaya untuk menyerang kekurangan atau menjelek-jelekan pasangan calon lain (black campaign). Selain tidak produktif, paslon akan kehilangan waktu dan fokus pada upaya meyakinkan pemilih berdasarkan visi, misi dan program andalannya. Selain itu black campaign beresiko dipidana, bahkan konflik terbuka;   

v Ketiga, kampanye yang sehat ditujukan  membangun rasionalitas pemilih dalam menjatuhkan pilihannya. Namun demikian, dalam praktek ditemukan kampanye bersifat eksessif (jor-joran) karena dukungan finansial yang kuat.  Proses seperti ini harus dikendalikan, dan oleh sebab itu setiap paslon harus bisa transparan dan akuntable dalam hal sumber pendanaan kampanyenya. Di era keterbukaan saat ini, akuntabilitas dalam dana kampanye adalah sebuah keniscayaan;

v Keempat , para kandidat dan tim kampanye harus patuh pada aturan main (the rule of the game)  kampanye dalam hal jadwal, tempat, bentuk/metode, sasaran, serta menghindari hal-hal yg dilarang dalam peraturan dan perundang-undangan kampanye.  Selain  dapat meningkatkan kualitas kampanye, kepatuhan ini juga akan menghindarkan paslon dari sejumlah masalah baik  yang terkait dengan pencitraan negatif di masyarakat maupun bersifat administratif bahkan, lebih jauh lagi masalah pidana.  

v Kelima,  politik uang  (money politics) dalam kampanye. Praktek ini praktek yang sering dipergunakan dalam kampanye dengan mengambil beberapa bentuk seperti pembagian barang, uang, alat produksi, dan sebagainya untuk merebut simpati dari pemilih. Selain licik, money politics akan menjerat pasangan calon itu sendiri dengan penerapan pidana kampanye, bahkan ketika terpilih dan sudah menduduki jabatan sebagai kepala daerah.   

Keenamabuse of power dari para kandidat yang tergolong incumbent.  Kandidat ini tetap masih menduduki posisinya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah pada saat kampanye berlangsung.  Berbeda dengan ASN (Aparatur Sipil Negara), anggota legislatif dan pegawai BUMN/D yang harus berhenti dari jabatannya 60 hari sejak ditetapkan menjadi calon,  kandidat  incumbent/petahana hanya diberikan ijin cuti pada saat jadwal kampanyenya berlaku.   Kadang-kadang, para kandidat incumbent tergiur untuk menggunakan jabatannya, misalnya menyerahkan paket bantuan pemerintah sebagai bupati/wakil bupati di masa kampanye, atau meresmikan fasilitas fisik dan sebagainya di masa kampanye, dan lain sebagainya sehingga memberikan kesan bahwa kampanyenya ‘bukan janji, tapi bukti’.  Ada juga kemungkinan penggunaan sarana dinas termasuk pelibatan pegawai negeri sipil.

Harapan publik adalah bahwa kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon dan tim kampanyenya dapat berlangsung penuh kedewasaan dan bebas dari intrik-intrik yang justru akan
menghambat bahkan mengkerdilkan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.  Kampanye diharapkan dapat membangun rasionalitas pemilih berdasarkan visi, misi, program dan kapasitas dari pasangan calon untuk dapat mencapai visi dan misi yang ditawarkan.  Dengan lain perkataan, kiranya kampanye berintegritas dapat menghindarkan pemilih untuk membeli ‘kucing dalam karung’ .

 *Sombuk Musa Yosep, penulis adalah Anggota KPU Provinsi Papua


 ( dipublikasi di Cenderawasih Pos pada 27 September 2015)

0 komentar:

Posting Komentar