Penulis : I Ngurah Suryanan* -----
SALAH satu perbincangan (wacana) yang tidak habis-habisnya diperdebatkan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora, dalam hal ini ilmu antropologi, adalah yang berhubungan dengan relasinya dengan orang lain yang menjadi subyek dari kerja seorang antropolog. Sang liyan (orang lain) di luar diri mereka menjadi pertanyaan penting tentang subyektifitas (baca: posisi dan keberpihakan) antropolog dalam melihat isu-isu yang menjadi kajiannya. Perbincangan ini mengerucut kepada isu metodologi dan lebih jauh adalah ontologi (menjadi) dari ilmu antropologi dan antropolog itu sendiri. Secara metodologi sudah sering didiskusikan bahwa ilmu-ilmu humaniora (antropologi) berakitan erat dengan subjektifitas manusia dan kebudayaannya. Antropologi membangun pengetahuannya dari subyeknya yaitu rakyat itu sendiri. Alih-alih mengatasnamakan rakyat, antropolog dituntut untuk berpihak dan bersama rakyat membangun pengetahuannya.
Urvashi memberikan kita cermin bagaimana ketajaman, sensitifitas dan keberpihakan seorang peneliti dan penulis untuk melihat dan menggali suara-suara terbungkam, kisah pedih manusia dalam sebuah pentas sosial politik bernama pemisahan sebuah bangsa. Di dalamnya terdapat segudang narasi bagaimana penuturan ingatan manusia, sebuah kisah yang “kecil” yang diberikan ruang untuk bertutur dan berbagi. Urvashi dengan tegas dan jujur menyatakan dirinya tidak bisa bernaung dibawah jargon karya “objektif” dalam pakem akademik yang kaku. Urvashi tidak memilih untuk berkutat dalam bahasa-bahasa “tinggi” konflik politik pemisahan. Ia lebih tertarik untuk menggambarkan semuanya tidak dengan bahasa-bahasa sulit yang sering digunakan kalangan akademik, ataupun kerangka teoritik yang rumit tapi tidak menjejakkan kakinya. Ia menuliskan dengan detail bagaimana cerita-cerita rakyat biasa yang menjadi korban dari peristiwa Pemisahan itu. Ia meminjam suara lirih dan pedih rakyat kecil untuk menjelaskan bagaimana konflik Pemisahan bisa berakibat pada perubahan kehidupan, rasa kehilangan dan kepedihan rakyat biasa.
Sebuah sikap yang mengagumkan adalah argumentasinya untuk berpihak pada “suara-suara yang lama dicampakkan”. Suara pedih itu mungkin tidak akan dihiraukan oleh kalangan elite, dianggap sebagai cerita biasa, yang kalah dari cerita elite politik dan masyarakat. Suara-suara dan penuturan rakyat yang “dikalahkan” inilah yang menjadi kekuatan dan fokus penulisan Urvashi. Dari penuturan kisah-kisah itu, semua data dan catatan lapangan yang diperolehnya tentu sangat subyektif. Ia mengakui itu semuanya dan mencoba lepas dari hantu bernama objektifitas.
Ingatan yang terpelihara di masyarakat terhadap suatu peristiwa akan diturunkan terus-menerus pada generasi berikutnya. Karena itulah, menelisik ingatan-ingatan itu, sampai pada keengganan manusia mengingatnya, sampai pada kesenyapan dibalik ingatan manusia, menggugah para peneliti, akademisi, dan para aktivis kemanusiaan untuk bersama-sama belajar menyentuh alas dan dasar setiap persoalan sosial kemanusiaan yang terjadi. Bagi saya, semuanya didapat bukan dengan kerumitan bahasa akademisi yang melangit dan melakukan penelitian dibelakang meja, tapi dengan mendengar penuturan dan membuat rakyat kecil “bersuara” dengan penulisan hasil penelitian yang telah dilakukan. Memang tugas terberat intelektual dan akademisi adalah bagaimana suaranya bisa dimengerti rakyat kecil. Mungkin kata “merubah” terlalu utopis, tapi sangat mungkin terjadi jika para intelektual dan akademisi ini bisa menjejakkan kakinya bersama rakyat, membuat apa yang disampaikannya dimengerti rakyat kecil, berempati, dan bersikap membela rakyat yang “dikalahkan”.
Antropolog Tukang
Intelektual dan akademisi, khususnya para antropolog yang fokus kajiannya pada pergulatan manusia dan kebudayaannya, seakan lepas dari “bumi” yang menjadi pijakannya—kisah-kisah manusia dengan problematikanya. Bahkan sangat banyak para antropolog yang menjadi tim ahli pemerintah daerah untuk membangun hotel megah di tengah perkampungan kumuh. Karena itu, rakyat kecil harus digusur dan mengalah pada gerakan pembangunan infrastruktur pariwisata untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Di negeri ini, para antropolog dan intelektual beramai-ramai berebut proyek pemerintah untuk “memberdayakan rakyat” dengan program-programnya. Wacana pemberdayakan rakyat itu terbangun dalam sebuah ideologi pembangunan, yang menggunakan tenaga-tenaga para antropolog dalam pelaksanaannya. Tahun 1970-1980-an, saat wacana pembangunan menemukan kemapanannya, studi antropologi pembangunan, eksotisme kebudayaan, dan pariwisata begitu trendy. Perguruan tinggi memberikan porsi besar pada fokus studi ini. Antropologi pada akhirnya berelasi kuat dengan kekuasaan, ketika pariwisata, eksotisme kebudayaan, dan pembangunan menjadi urat nadi kajian para antropolog. Maka terciptalah sebuah kurikulum pendidikan dan paradigma antropologi, dengan bagaimana mencari-cari “nilai-nilai luhur kebudayaan” yang bisa disumbangkan untuk pembangunan dan pariwisata.
Lapisan elite para antropolog ini mengais rezeki dari proyek-proyek penelitian pembangunan dan pariwisata, dimana mereka bertugas melakukan survei kelayakan masyarakat menerima produk-produk industri, atau dibangunnya sebuah pabrik dan hotel. Akar ilmu antropologi kembali pada awal perkembangannya, saat kolonisasi antar bangsa berlangsung. Antropologi menjadi panopticon dan sekaligus mengkonstruksi karakter masyarakat yang dikoloni. Hal yang sama dilakukan sebagian besar para antropolog di Indonesia dengan mendikte masyarakat yang sedang ditelitinya, dijadikan sebagai sebuah “harta sosial dan budaya” untuk mendukung pembangunan. Tidak jarang para antropolog yang hingga kini berkubang dalam “proyek-proyek pelacuran” ini. Mereka turun ke lapangan, sementara kepala mereka telah terkonstruksi bagaimana “memanfaatkan” masyarakat, kalau perlu “diberdayakan” dengan digusur, disediakan RSS (Rumah Sangat Sederhana), sementara di tanah mereka berdiri menjulang tinggi mall atau kompleks pertokoan dan perumahan.
Paradigma antropolgi yang “elite” dan berjarak adalah warisan dari perspektif antropologi kolonial. Sementara massa rakyat yang “dikorbankan” dari pembangunan dan pariwisata, sebuah sebuah kuasa struktur sosial terabaikan. Inilah cermin pergulatan antropologi Orde Baru, di tengah para antropolog sibuk dengan proyek-proyek konsultan-konsultan pembangunan. Saya lebih sepakat—dan ini terus menjadi perdebatan para antropolog—,bahwa antropologi bukanlah ajang pemetaan teoritik yang melambung tinggi, pergulatan wacana otonomi daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan manusia dengan grafik dan hitungan keberhasilan. Yang diperlukan antropologi dan para antropolog adalah sikap berpihak pada rakyat yang “dikorbankan” oleh struktur kekuasaan. Karena itulah, sensitifitas dan kepekaan untuk menangkap suara-suara senyap dan bungkam ini menjadi kekuatan bertutur serta sekaligus empati bagi para antropolog. Tentu ini dengan sebuah kesadaran bahwa suara-suara yang terpinggirkan dari rakyat kecil juga mempunyai hirarkhi dan struktur kuasa sendiri. Justru operasi kuasa inilah yang ingin dibongkar oleh para antropolog, dan kemudian menuliskannya menjadi sebuah karya yang menggugah dan inspiratif. Paling tidak ini bisa menjadi alternatif untuk menjawab bagaimana antropologi menjelaskan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Dan juga sebuah etika bahwa antropologi adalah ruang bertutur bagi rakyat kecil. Karena itulah dengan empati dan etika, para antropolog tidak akan terbuai dengan kontes-kontes konferensi yang megah dan produksi publikasi serta ketenaran dengan melupakan rakyat kecil yang ditelitinya. Dengan tindakan etis dan humanis, selayaknya antropologi menjadi sebuah ruang kesaksian dan bertutur bagi rakyat kecil, yang tidak kemudian dilupakan, tapi dijadikan ruang dan relasi pemihakan bagi para antropolog. Karena dengan menentukan sikap akan menunjukkan pemihakan atau pengkhianatan antropologi di Indonesia.
Antropologi bekerja pada sisi senyap ingatan manusia. Beberapa bagian dalam buku ini adalah hasil dari catatan lapangan, sebuah lukisan, deskripsi dari kuburan massal dan ingatan sosial yang ditinggalkan para survivor dan saksi sejarah yang tersingkir dari sejarah kekuasaan. Dengan melakukan catatan etnografi, kita berusaha untuk menghadirkan catatan-catatan detail dari sebuah sejarah kekerasan yang berlangsung di negeri ini, khususnya di sebuah pulau bernama Bali. Karena itulah antropologi berhutang pada suara-suara kaum papa korban dari kekuasaan dan kekerasan struktural yang terjadi. Di sinilah penting menghidupkan antropologi sebagai ilmu pembebasan di Indonesia. Metodologi antropologi partisipasi–observasi yang mendekati masyarakat dengan memakai bahasa mereka, mendengar, dan melihat bagaimana mereka memaknai kehidupan sehari-hari dan melihat lebih akrab lagi struktur kekuasaan yang beroperasi dalam keseharian di antara mereka yang terpuruk. Daripada membaca “teks pinggiran” di kantor, dengan metode observasi-partisipasi si antropolog bisa meretakkan tembok tebal yang memisahkan dunia peneliti dan dunia yang diteliti untuk merasakan konflik, ketidakadilan, baku tipu dan “ekonomi moral” yang meracuni dunia mereka. Hanya etnografi yang bisa mendeskripsikan “habitus” yang membelenggu kehidupan mereka yang tersisihkan (Santikarma, 2004).
*Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.
0 komentar:
Posting Komentar