Penulis : Mahfud MD* -----
RABU tengah hari, (23/9), saya baru mendarat
di Kuala Lumpur, Malaysia. Saya berada
di sana untuk memenuhi janji
menyampaikan khotbah Idul Adha di KBRI keesokan harinya. Di sana saya
sekaligus berbicara tentang ”Islam dan Kebangsaan” dengan warga NU dan komunitas Gusdurian yang
menggelar acara diskusi di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia.
Saat
makan siang, Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur Herman Prayitno menyampaikan
berita duka itu. ”Adnan Buyung Nasution wafat, Pak,” katanya. Innalillahi wa
inna ilaihi rajiun. Sehebat apa pun manusia, setinggi apa pun kedudukannya,
sebanyak apa pun kekayaannya, akhirnya akan kembali kepada-Nya.
Adnan
Buyung Nasution atau akrab disapa Bang Buyung sudah kembali kepada-Nya. Bang
Buyung kini tinggal menjadi kenangan indah bagi dunia penegakan hukum di negeri
ini. Saya mengenal nama Bang Buyung sejak masih menjadi mahasiswa tingkat
sarjana muda (tingkat III) pada awal 1980-an.
Namanya
begitu moncer di seantero Indonesia sebagai advokat dan perannya sebagai
pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang penuh idealisme itu. Bang Buyung
menyadarkan kita bahwa Indonesia ini membutuhkan banyak advokat atau pengacara
yang berintegritas dan profesional.
Sebab, banyak orang miskin yang diperlakukan sewenang-wenang dan disiksa
tanpa mendapat pembelaan hukum.
Bang
Buyung mengajarkan, hukum bukan sekadar pasal-pasal dan cara menafsirkannya
agar Sinkron secara horizontal dan vertikal. Di balik hal-hal yang
teknis-prosedural seperti itu, ada yang lebih penting: keadilan sebagai sukma
hukum.
Hukum
tidak bertumpu pada otak atau logika semata, tapi juga pada bisikan hati
nurani agar hukum bisa ditegakkan sesuai
dengan sukmanya, yaitu keadilan. Tanpa
menjadi dosen resmi, saat itu Bang Buyung telah mengajari para pelajar bidang
hukum bahwa hukum itu bukan sekadar ilmu, tapi juga gerakan. Gerakan membela kaum yang lemah. Gerakan
menegakkan keadilan.
Melalui
berbagai kegiatannya, Bang Buyung telah melahirkan banyak pejuang penegak
hukum, bukan hanya para pembelajar hukum sebagai ilmu. Dia berkeliling ke
berbagai tempat untuk mengampanyekan gerakannya dalam penegakan hukum dan
keadilan. Dari binaannyalah lahir tokoh-tokoh pejuang hukum di berbagai tempat.
Di
Jakarta, misalnya, ada nama Todung Mulya Lubis dan Abdul Rahman Saleh. Di
Jogjakarta ada nama Artidjo Alkostar, Dahlan Thaib, Kamal Firdauz, dan Henry
Yosodiningrat. Di Jawa Timur ada nama Zaidun, Munir, dan lain-lain. Otto Hasibuan dan Bambang
Widjojanto juga jebolan LBH hasil besutan Bang Buyung.
Bang
Buyung juga mampu memancing orang dari luar fakultas hukum untuk menjadi
pejuang-pejuang hukum. Sebutlah Mulyana W. Kusumah yang orang FISIP UI,
Hendardi yang lulusan ITB, atau Teten Masduki yang lulusan IKIP.
Pasca
peluncuran LBH pada 1979/1980 oleh Bang Buyung, dunia penegakan hukum di
Indonesia menjadi meriah. Di kampus-kampus banyak mahasiswa yang mengidolakan
dan ingin menjadi advokat seperti Bang Buyung. Kalau Bang Buyung hadir dalam
sidang atau berdiskusi di kampus, banyak mahasiswa yang histeris
mengelu-elukannya.
Seruan
nya selalu konsisten, ”Kalian harus berjuang menegakkan hukum dan ke adilan.
Negara kita ini negara hukum.” Pada awal 1980-an saya termasuk salah seorang
yang sering mengejar acara-acara Bang Buyung. Penampilannya selalu memukau.
Logikanya bagus.
Sikapnya
tegas, bahkan terkesan garang. Seusai kuliah, saya sering diundang dalam
acara-acara penting Bang Buyung, baik acara temu ilmiah maupun acara keluarga.
Saya juga selalu diundang pada hari ulang tahunnya. Bahkan diundang untuk
berbicara atau memberikan sambutan dalam acara-acara penting yang diadakan nya.
Karena
rasa hormat saya pula, saya menyempatkan diri hadir saat Bang Buyung dikukuhkan
sebagai guru besar pada Melbourne Law School, The University of Melbourne,
Australia. Meski begitu, saya juga sering mengkritik Bang Buyung, baik langsung
maupun melalui SMS.
Bahkan
juga menulis di koran. Saat dia membela terdakwa korupsi, saya kritik
dia dengan mengingatkan bahwa dia mengajari kita untuk menegakkan keadilan. Dia
menjawab, ”Saya tak pernah membela kejahatan atau korupsinya. Saya membela
hak-haknya agar tidak diperlakukan
sewenang-wenang.” Dulu Bang Buyung memanggil
saya dengan nama saya saja, Mahfud. Tapi, sesudah saya menjadi menteri,
sejak 2000-an dia memanggil saya ”adik” atau ”dinda”. Meski begitu, dia selalu
korek dan bersikap sebagai profesional sejati.
Ketika
menangani perkara di Mahkamah Konstitusi dan saya yang memimpin sidang, Bang
Buyung tetap berlaku hormat terhadap pengadilan. Setiap diberi kesempatan
berbicara, Bang Buyung selalu berdiri dengan penuh hormat, memulai pembicaraan
dengan membungkuk hormat, dan mengakhirinya dengan membungkuk pula. Saya yang
kalau bertemu dengannya di luar sidang biasanya dipanggil ”Mahfud” atau ”adik”
saja, di dalam sidang Bang Buyung memanggil saya ”yang mulia” dengan serius,
tanpa dibuat-buat.
Sebenarnya, sebelum terbang ke Malaysia, saya
sudah berjanji dengan Todung Mulya Lubis untuk bertemu dengan Bang Buyung. Bang
Buyung sudah mengiyakan. Tapi, Allah telah memanggilnya sebelum pertemuan itu
berlangsung. Selamat jalan, Bang Buyung. Sejarah dunia penegakan hukum akan
mencatat nama Abang dengan tinta emasnya. Beristirahatlah di sana dengan
tenang. (*)
(In Memoriam Adnan Buyung Nasution)
*Guru Besar Fakultas Hukum UII
Jogjakarta dan Mantan Ketua
Mahkamah Konstitus
0 komentar:
Posting Komentar