Penulis : Hans Z. Kaiwai *----
Payung hukum kebijakan tersebut diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN 2016. Disana diatur bahwa “penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dapat dilakukan dalam bentuk tunai dan nontunai” dan “bagi daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah tidak wajar, dilakukan konversi penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk nontunai”.
Selanjutnya untuk mengimplementasikan kebijakan transfer nontunai tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.7/2015 tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk Nontunai. Dimana kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong penyerapan APBD yang optimal dan tepat waktu, dan mengurangi uang kas dan/atau simpanan pemerintah daerah di bank dalam jumlah yang tidak wajar.
Kebijakan transfer nontunai ini dikuatirkan dapat mempengaruhi likuiditas perbankan di daerah. Walaupun demikian, hal ini dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan fiskal yang dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah dalam memarkir anggaran transfer di perbankan, terutama ketika telah dilakukan penguatan desentralisasi fiskal melalui peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Ketika mengamati postur APBN 2016 dari sisi belanja, kita mendapati adanya perubahan yang cukup mendasar dibandingkan APBN sebelumnya. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai Rp 723,3 triliun, naik Rp 79,4 triliun (12 persen) dari pagu anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa APBNP 2015. Sementara itu, pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) ditingkatkan dari 58,8 triliun pada APBNP 2015 menjadi Rp 208,9 triliun dalam APBN 2016 atau naik Rp 150,1 triliun (255 persen).
Belanja yang ekspansif pada APBN 2016 dimaksudkan untuk meningkatkan anggaran infrastruktur di daerah dalam upaya memperkuat fondasi pembangunan yang berkualitas dan mewujudkan misi membangun Indonesia dari pinggiran. Pengalokasian dan penyaluran belanja negara yang besar ke daerah ini tentu harus dikelolah dengan baik agar mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dana Menganggur
Kita mengetahui bersama bahwa dalam beberapa tahun anggaran terakhir, adanya simpanan pemerintah daerah di bank dalam jumlah yang tidak wajar. Dana menganggur pemerintah daerah, di seluruh Indonesia, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Misalnya, pada tahun 2013, simpanan pemerintah daerah di bank sebesar Rp 92,4 triliun meningkat menjadi Rp 113,2 triliun di tahun 2014. Dan pada tahun terakhir yaitu tahun 2015, jumlah simpanan pemerintah daerah mencapai Rp 291,5 triliun di bulan September.
Dari amatan terhadap pola pergerakan simpanan pemerintah daerah di bank, biasanya meningkat pada bulan April, kemudian meningkat lagi pada bulan Juni, dan akan mencapai puncaknya pada bulan September. Pola pergerakan simpanan seperti ini ada hubungannya dengan pola tahapan penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Disamping itu, masih adanya tantangan klasik dalam pola penyerapan anggaran. Biasanya belanja pemerintah daerah menumpuk pada triwulan III dan IV. Sementara itu, adanya dana menganggur pemerintah daerah di perbankan yang cukup besar bahkan dalam jumlah yang tidak wajar.
Walaupun pada akhirnya anggaran tersebut dapat dibelanjakan dengan sangat cepat pada dua bulan terakhir (November, Desember). Namun pola penyerapan anggaran seperti ini tidak sehat dan perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas belanja pemerintah daerah.
Kebijakan Transfer Nontunai
Untuk mengantisipasi kembali terjadi dana mengganggur di tahun 2016 seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah telah merumuskan kebijakan transfer nontunai dalam APBN 2016. Konversi penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk transfer nontunai dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Dimana berdasarkan kebijakan tersebut, daerah yang patut dikonversi Transfer DBH dan DAU-nya dalam bentuk transfer nontunai adalah daerah yang memiliki saldo kas dan setara kas melebihi belanja operasi dan 50% belanja modal untuk kurun waktu 3 bulan berikutnya. Dimana data untuk menentukan daerah layak konversi diperoleh dari laporan posisi kas bulanan dan ringkasan realisasi APBD bulanan.
Misalnya, posisi kas daerah bulan Februari Rp 100, sementara rencana pengeluaran operasi dan belanja modal 3 bulan berikutnya (April, Mei, Juni) masing-masing Rp 25, atau total Rp 75, maka adanya dana menganggur sebesar Rp 25. Dan jika rata-rata nasional dana menganggur sebesar Rp 23, maka daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah layak konversi pada penyaluran Triwulan I (bulan Maret).
Untuk itu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Papua perlu mencermati dan mengantisipasi dalam mengelolah manajemen kas daerah, sehingga nantinya tidak masuk dalam daerah yang ditentukan sebagai daerah yang mendapatkan transfer nontunai DBH dan DAU.
Kiranya dengan adanya kebijakan pengendalian dana menganggur melalui kebijakan transfer nontunai DBH dan DAU ini, akan mengakibatkan semakin berkurangnya akumulasi dana menganggur pemerintah daerah di perbankan. Dan sebaliknya semakin meningkatnya penyerapan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Dan juga semakin optimalnya penyerapan APBD sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih,
Ekonom Kementerian Keuangan.
0 komentar:
Posting Komentar