Penulis : Dr. Neles Tebay * -----
PRESIDEN Joko Widodo, yang secara populernya dikenal dengan nama Jokowi, telah mengunjungi Tanah Papua, 8-11 Mei 2015. Dalam kunjungannya yang pertama tahun ini,dia melakukan berbagai kegiatan di beberapa daerah yakni di Jayapura, Merauke, Manokwari, dan Sorong.
Merefleksikan kembali kunjungan Presiden Jokowi ini, dia secata jelas terlihat sebagai orang yang berpikir “out of the box”. Dia berjiwa besar, berpikir besar, dan berkomitmen untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang saya kategorikan sebagai ide-ide “gila”, demi suatu perubahan yang besar di Tanah Papua. Sebagai seorang visioner (a man with vision), dia mempunyai visi yang cemerlang tentang masa depan Papua.
Papua sudah menjadi tanah konflik selama 52 tahun berintegrasi ke dalam Republik Indonesia, sejak 1 Mei 1963. Tetapi Presiden Jokowi punya ide “gila” dimana dia mau memperbaharui Papua dari Tanah Konflik menjadi Tanah Damai. Dia menegaskan, “Kita ingin menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera” (Kompas, 10/5). Papua yang damai ingin diwujudkannya melalui cara-cara yang “gila” pula.
Presiden Jokowi memahami bahwa upaya mewujudkan Papua yang damai mesti didukung oleh infrastruktur yang memadai. Oleh sebab itu, pemerintah pusat mengalokasikan dana sebanyak Rp 6 Triliun untuk infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan jembatan, pengairan dan irigasi, sanitasi dan air minun, dan Perumahan. Jokowi berkomitmen untuk menghubungkan seluruh Papua dengan membangun Jalan Trans Papua sepanjang 3986 Km dan diharapkann rampung tahun 2019.
Ide “gila” yang satu ini tidak pernah terlintas dalam benak semua Presiden sebelumnya yakni pembangunan rel kereta api di Bumi Cenderawasih. Melihat kondisi geografis yang berat, banyak orang mengamini bahwa membangun jalan raya biasa saja tidak mungkin, apalagi rel kereta api. Bagi seorang Jokowi, seluruh dataran Papua dapat dihubungkan dengan rel kereta api, mulai dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga kota Jayapura di Provinsi Papua.
Pembangun pelabuhan laut seluas 7000 Ha yang terpadu dengan sentra power plan, pelabuhan, dan kawasan industri di Sorong, dan pembukaan lahan persawahan seluas 1,2 juta hektar di Merauke merupakan ide-ide besar lainnya.
Presiden Jokowi mengkombinasikan ide-ide “gila” ini dengan kebijakan-kebijakan populis yang menaikkan tingkat kesejahteraan rakyat. Dia memperlihatkan pentingnya peningkatan kesejahteraan rakyat demi terwujudnya perdamaian melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dibagikan kepada sejumlah warga kota Jayapura.
Suatu ide besar yang disambut gembira dunia internasional adalah pembukaan akses bagi wartawan asing ke Papua. Jokowi sebagai satu-satunya Presiden Indonesia yang berani mengizinkan wartawan asing dengan bebas masuk ke Tanah Papua.
Pemberian Grasi kepada lima orang narapidana politik (napol) Papua, yang dipandang sebagai separatis yang adalah musuh Negara Indonesia, juga merupakan suatu ide “gila”. Jokowi meyakini bahwa penahanan para napol ini tidak menyelesaikan konflik Papua. Dia memilih jalan dialog, bukan jalur hukum, dalam upaya mengatasi dimensi politik dari konflik Papua. Pemberian grasi ini dilakukan, bukan sebagai upaya pencitraan Jokowi, melainkan sepenuh hati dan tulus untuk menciptakan Papua yang damai.
Presiden Jokowi meminta TNI-POLRI untuk meninggalkan pendekatan keamanan dan menggunakan pendekatan kesejahteraan. Tanah Papua ingin dijadikan negeri yang damai, maka ”jangan dipanas-panasi lagi,” pinta Presiden.
Jokowi bahkan mempunyai ide “gila” yang lain yakni ingin berdialog dengan OPM, termasuk dengan Goliat Tabuni selaku pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Satu tantangan dialog yang perlu diatasi, menurut Jokowi, adalah adanya ketidakpercayaan antara TNI-POLRI dan warga sipil.
Menurut pengamatan kami, sikap ketidakpercayaan terasa juga dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, orang Asli Papua dan warga Papua yang berasal dari luar Tanah Papua, dan antara rakyat Papua dan Pemerintah Pusat. Sudah tentu bahwa ketidakpercayaan tersebut menghambat tidak hanya dialog antara Pemerintah dengan berbagai pihak melainkan juga partisipasi aktif dan penuh dari warga Papua dalam pelaksanaan ide-ide besar di atas.
Guna menghancurkan ketidakpercayaan dan membangun kepercayaan dari rakyat, Pemerintah Daerah pada dua provinsi dan 40 kabupaten/kota bersama Pemeritah Pusat mempersiapkanngun seluruh warga Papua, baik orang asli Papua maupun paguyuban dari luar Papua yang hidup di Papua, untuk secara bersama berdiskusi tentang indikator-indikator Papua Tanah Damai, mengidentifikasi masalah-masalah yang menghambat perdamaian, dan menemukan solusi-solusi yang realistis dan terukur demi terwujudnya Papua yang damai. Diskusi ini perlu dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota pada Provinsi Papua dan Papua Barat, sehingga seluruh warga Papua dapat mempunyai visi dan persepsi yang sama tentang Papua Tanah Damai.
Dalam kunjungan berikutnya, entah kapapun waktunya, Presiden Jokowi dapat melakukan monitoring atas pelaksanaan ide-ide “gila” dan tahapan-tahapan dialog demi perwujudan Papua Damai. Dengan demikian, Presiden Jokowi memainkan peranannya sebagai kapten yang bertanggungjawab penuh atas pelayaran kapal Papua menuju pelabuhan Tanah Damai. #
*Neles Tebay adalah dosen STFT Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) di Abepura.
0 komentar:
Posting Komentar