Jumat, 03 November 2017

Agar Biak Numfor Menjadi Lebih Baik

Oleh: Hariman Dahrif *)

 Cerita Biak, atau lengkapnya Kejaziraan Byaki bisa dipadankan dengan cerita kesejaraan masa lalu Papua. Pengaruhnya tidak hanya meliputi Biak, Numfor dan Supiori tetapi membujur mulai dari Teluk Humbolt, wilayah Numbay hingga Tanjung Dore di wilayah Monokwari, Papua Barat. Kebesaran orang Biak, menjelajah hingga Raja Ampat, Tidore sampai Kisar Timor diwilayah Nusa Tenggara.
 Sebagaimana dibuktikan adanya kain timor dalam mas kawin orang Biak, konon sejak dahulu orang Biak sendiri mengambilnya langsung ke sana melalui perdagangan (manibob). Jadi, Mansinam di Manokwari Papua Barat boleh berbangga sebagai pijakan Ottow-Geisler memberitakan injil di tanah Papua, 05 Pebruari 1885, sekaligus membuka peradaban pertama bagi modernisasi Papua, tetapi ditengarai orang Biak memiliki andil dan diperkirakan menjadi bagian yang mengantarkan mereka berdua sampai di tempat itu.
 Mengapa demikian?. Bila saja fakta itu benar bahwa kehadiran dua Rasul Papua tersebut sempat melewati Tidore sebelum sampai di Mansinam, maka bisa dipastikan Orang Biak ada didalam kapal yang mereka tumpang. Orang Biak sejak dahulu sudah berada di Pulau Halmahera dan beberapa diantara mereka sempat menjadi bagian tentara di Kerajaan Tidore. Fakta sejarah mencatat tentang legenda Pahlawan Gurabessy yang sayang sampai hari ini belum diteliti untuk diangkat menjadi Pahlawan dari Papua.
 Gurabessy sesungguhnya putra Biak, tepatnya dari Biak Utara. Miemi, di Teluk Wondama boleh dikatakan sebagai permulaan kebangkitan pendidikan di Papua yang ditandai didirikannya sekolah pertama dengan sistem pengajaran modern oleh Zending, tetapi mosionaris pertama di Papua adalah Petrus Kafiar, putra Biak yang makamnya kini terawat baik di Maudori, Supiori Selatan. Bahkan tidak sedikit sumbangan orang Biak, dalam memberitakan Injil di belantara Papua seperti Pdt. Rumainum, misalnya melalui zending di kirim oleh Belanda ke pelosok Tanah Papua mengajarkan Injil sembari berbagi ilmu untuk membuka peradaban penduduk asli setempat.
 Orang-orang pegunungan hingga selatan Papua, hari ini boleh berbangga mendominasi jajaran birokrasi pemerintahan di Papua, tetapi yang dahulu yang berjuang menjadikan Papua bermartabat adalah sebagian diantaranya adalah orang Biak, seperti Frans Kaisiepo, Johanis Dimara, bahkan masih ada satu nama yang konon berjuang di jaman Jepang tetapi sampai saat ini belum dipublikasi perjuanganya yakni Angganita Menufandu. Singkat kata dari sejak dahulu hingga jaman pergerakan kemerdekaan Orang Biak selalu berperan dan memiliki andil dalam menegakan dan memperjuangkan jati diri dan martabat Orang Papua hingga hari ini baik dalam negeri maupun di luar negeri.
 Terbukti tiga diantara menteri yang pernah duduk di jajaran pemerintahan pusat dua orang diantaranya berasal dari putra-puteri terbaik Biak, yakni Manuel Kaisiepo di era Pemerintahan Gus Dur dan yang kini masih aktif di pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, adalah ibu Prof. Yohana Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
 Sayang kini kebesaran tersebut, ibarat lilin menuju redup. Keangkeran Dok II, yang dahulu dipenuhi pamong orang Biak, kini menyisahkan hitungan jari. Di internal daerahnya sendiri dipenuhi prahara. Para pemimpinnya silih berganti disangkakan korupsi dan bahkan ada yang telah dibui. Kehidupan masyarakatnya pun, sedikitnya menjadi menjadi stagnan. Aparatur Sipil dan pengusahanya pun seharusnya menjadi teladan dalam bermasyarakat dan membangkitkan usaha ekonomi malah berbalik berdemo demi menuntut hak-haknya.
 Dalam skala persepsi sebenarnya pemerintah di atasnya pun terkesan jumawa membangun Biak. Bagaimana tidak, beberapa kebijakan dan program sifatnya nasional diperuntukan, termentahkan bahkan beberapa diantaranya hilang tanpa bekas.  Sebutlah diantaranya Investasi hotel Marow, Pabrik Ikan Mina Jaya, KAPET, pemanfatan Bandar Udara Frans Kaisiepo sebagai hub penerbangan luar negeri, hingga rencana peluncuran satelit. Kini kondisi pembangunan di daerah ini, benar-benar tertekan.
 Dalam keadaan seperti itu, diperlukan berbagai “terobosan gila” untuk membangun daerah ini, mengejar ketertinggalanya dengan wilayah lain. Pucuknya adalah kompetensi pemimpin dan keterbukaan dan kesadaran masyarakat Biak dalam menyikapi segala perubahan dan mengakui bahwa mereka mengalami keterlambatan dalam pembangunan, kiranya menjadi kunci ke depan bila menginginkan daerah mereka maju.    
Pemilukda 2018, Momentum memperbaikinya
Jumlah APBD daerah ini rata-rata di 5 (lima) tahun terakhir berada di atas Rp 1 Triliun.  Jumlah sebesar itu sebenarnya cukup untuk membangun daerahnya setiap tahun. Sebagai perbandingan kota-kota disekitarnya seperti Kota Jayapura, Kepulauan Yapen Nabire, juga demikian jumlah APBDnya. Namun di wilayah tersebut dari tahun ke tahun nampak ada perubahan dampak pembangunan.
 Oleh karena itu Pemilukada 2018, hendaknya menjadi memontum bagi masyarakat Biak Numfor “merenung” dalam mencari dan menemukan sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan. Orang Biak bila ditanya siapa Bupati yang mereka kagumi, hampir sebagian besar mereka katakan Bupati Hendrik Wiradinata. Figur beliau menurut berbagai kalangan seperti halnya Acub Zainal mantan gubernur Papua. Berdasarkan penuturan berbagai kalangan dibalik kekurangan yang dimilikinya kunci sukses beliau kala itu adalah “memahami betul karakter masyarakat Biak lalu dengan latar belakang militernya dia mengendalikan pemerintahan” hasilnya di beberapa lokasi seperti pasar Inpres, perumahan Pemda (Samofa), dan berbagai ruas jalan dalam kota diselesaikan dan monumental hingga hari ini.
 Namun dibenak penulis berpendapat lain. Kemungkinan beliau dalam membangun Biak kala itu, menyatukan “pikiran dan tindakan beliau” sehingga menjadi teladan bagi aparatur dan masyarakat. Melalui modal itu beliau mampu menggerakan masyarakat Biak Numfor. Mengapa demikian?, sebab bila kita telusuri masyarakat Biak sebenarnya masyarakat yang menghargai kinerja. Salah satu contoh tipe melahirkan pemimpin diinternal mereka waktu dahulu, meskipun seseorang itu dari kalangan bawah (women) tetapi mampu memenangkan peperangan bisa diangkat menjadi panglima (mambri) atau bila seseorang berhasil dalam berdagang (manibob) juga bisa diangkat menjadi pemimipin. Fenomena ini sekarang hilang dalam masyarakat Biak.
 Hilangnya fenomena ini akibat infiltrasi (kapital)-isme dalam berbagai relung kehidupan. Terutama di kala perhelatan pemilukada yang selama ini dilangsungkan di Biak. Hasil olahan demokrasi modern yang tidak menguatkan karakter masyarakat lokal, melahirkan pemimpin yang tidak bisa menghindar dari yang namanya uang. Kondisi ini terjadi tidak hanya di Biak dan Papua tetapi di hampir seluruh Indonesia. Keberadaan sebagian Partai Politik yang seharusnya menjadi wadah melahirkan pemimpin yang kualified tetapi tak ubahnya seperti perusahaan tempat orang berinvestasi lalu kemudian melihat kontribusi saham siapa yang besar untuk dicalonkan.
 Sang calon pun karena tidak punya finansial terpaksa merekrut berbagai kalangan terutama mereka yang berduit (pengusaha) menjadi tim yang disebut tim sukses. Hasilnya setelah yang bersangkutan naik, birokrasi pun dijalankan melalui praktek-praktek perusahaan. APBD yang harusnya dibelanjakan untuk kepentingan rakyat “memantul bagai permainan squash kembali ke kantung-kantung yang tidak jelas”.
 Inilah yang meluluhlantahkan demokrasi serta menghancurkan birokrasi pemerintahan kita di era reformasi ini. Sekaranglah momentumnya mengembalikan kejayaan Biak, cari, temukan dan pilihlah pemimpin yang punya hati membangun Biak. Dalam jumah 150 ribu penduduk Biak, apa tidak ada sosok yang mampu membangun Biak Numfor dengan benar?. Ingatlah andai Frans Kaisiepo dan Johanis Dimara atau patung-patung yang kalian bangun di taman-taman kota itu hidup, mereka akan menggugat dan mengutuk kalian, akibat perbuatan kalian yang tidak baik dalam mengelola pembangunan di tanah kelahiran mereka selama ini.    
                       
*) Pemerhati Sosial Ekonomi serta isu-isu kebangsaan di Papua, tinggal di Aryoko-Jayapura; harimandarif@yahoo.co.id (Dosen UNIYAP Papua) Sehari-hari  bekerja di Bappeda Provinsi Papua



0 komentar:

Posting Komentar