Oleh: Hariman Dahrif *)
Cerita Biak, atau lengkapnya Kejaziraan Byaki bisa
dipadankan dengan cerita kesejaraan masa lalu Papua. Pengaruhnya tidak hanya
meliputi Biak, Numfor dan Supiori tetapi membujur mulai dari Teluk Humbolt,
wilayah Numbay hingga Tanjung Dore di wilayah Monokwari, Papua Barat. Kebesaran
orang Biak, menjelajah hingga Raja Ampat, Tidore sampai Kisar Timor diwilayah
Nusa Tenggara.
Sebagaimana
dibuktikan adanya kain timor dalam mas kawin orang Biak, konon sejak dahulu
orang Biak sendiri mengambilnya langsung ke sana melalui perdagangan (manibob).
Jadi, Mansinam di Manokwari Papua Barat boleh berbangga sebagai pijakan
Ottow-Geisler memberitakan injil di tanah Papua, 05 Pebruari 1885, sekaligus
membuka peradaban pertama bagi modernisasi Papua, tetapi ditengarai orang Biak
memiliki andil dan diperkirakan menjadi bagian yang mengantarkan mereka berdua
sampai di tempat itu.
Mengapa demikian?.
Bila saja fakta itu benar bahwa kehadiran dua Rasul Papua tersebut sempat
melewati Tidore sebelum sampai di Mansinam, maka bisa dipastikan Orang Biak ada
didalam kapal yang mereka tumpang. Orang Biak sejak dahulu sudah berada di
Pulau Halmahera dan beberapa diantara mereka sempat menjadi bagian tentara di
Kerajaan Tidore. Fakta sejarah mencatat tentang legenda Pahlawan Gurabessy yang
sayang sampai hari ini belum diteliti untuk diangkat menjadi Pahlawan dari
Papua.
Gurabessy
sesungguhnya putra Biak, tepatnya dari Biak Utara. Miemi, di Teluk Wondama
boleh dikatakan sebagai permulaan kebangkitan pendidikan di Papua yang ditandai
didirikannya sekolah pertama dengan sistem pengajaran modern oleh Zending,
tetapi mosionaris pertama di Papua adalah Petrus Kafiar, putra Biak yang
makamnya kini terawat baik di Maudori, Supiori Selatan. Bahkan tidak sedikit
sumbangan orang Biak, dalam memberitakan Injil di belantara Papua seperti Pdt.
Rumainum, misalnya melalui zending di kirim oleh Belanda ke pelosok Tanah Papua
mengajarkan Injil sembari berbagi ilmu untuk membuka peradaban penduduk asli
setempat.
Orang-orang
pegunungan hingga selatan Papua, hari ini boleh berbangga mendominasi jajaran
birokrasi pemerintahan di Papua, tetapi yang dahulu yang berjuang menjadikan
Papua bermartabat adalah sebagian diantaranya adalah orang Biak, seperti Frans
Kaisiepo, Johanis Dimara, bahkan masih ada satu nama yang konon berjuang di
jaman Jepang tetapi sampai saat ini belum dipublikasi perjuanganya yakni
Angganita Menufandu. Singkat kata dari sejak dahulu hingga jaman pergerakan
kemerdekaan Orang Biak selalu berperan dan memiliki andil dalam menegakan dan
memperjuangkan jati diri dan martabat Orang Papua hingga hari ini baik dalam
negeri maupun di luar negeri.
Terbukti tiga
diantara menteri yang pernah duduk di jajaran pemerintahan pusat dua orang
diantaranya berasal dari putra-puteri terbaik Biak, yakni Manuel Kaisiepo di
era Pemerintahan Gus Dur dan yang kini masih aktif di pemerintahan Jokowi-Jusuf
Kalla, adalah ibu Prof. Yohana Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak.
Sayang kini
kebesaran tersebut, ibarat lilin menuju redup. Keangkeran Dok II, yang dahulu
dipenuhi pamong orang Biak, kini menyisahkan hitungan jari. Di internal
daerahnya sendiri dipenuhi prahara. Para pemimpinnya silih berganti disangkakan
korupsi dan bahkan ada yang telah dibui. Kehidupan masyarakatnya pun, sedikitnya
menjadi menjadi stagnan. Aparatur Sipil dan pengusahanya pun seharusnya menjadi
teladan dalam bermasyarakat dan membangkitkan usaha ekonomi malah berbalik
berdemo demi menuntut hak-haknya.
Dalam skala
persepsi sebenarnya pemerintah di atasnya pun terkesan jumawa membangun Biak.
Bagaimana tidak, beberapa kebijakan dan program sifatnya nasional diperuntukan,
termentahkan bahkan beberapa diantaranya hilang tanpa bekas. Sebutlah diantaranya Investasi hotel Marow, Pabrik
Ikan Mina Jaya, KAPET, pemanfatan Bandar Udara Frans Kaisiepo sebagai hub
penerbangan luar negeri, hingga rencana peluncuran satelit. Kini kondisi
pembangunan di daerah ini, benar-benar tertekan.
Dalam keadaan
seperti itu, diperlukan berbagai “terobosan gila” untuk membangun daerah ini, mengejar
ketertinggalanya dengan wilayah lain. Pucuknya adalah kompetensi pemimpin dan
keterbukaan dan kesadaran masyarakat Biak dalam menyikapi segala perubahan dan
mengakui bahwa mereka mengalami keterlambatan dalam pembangunan, kiranya
menjadi kunci ke depan bila menginginkan daerah mereka maju.
Pemilukda 2018, Momentum memperbaikinya
Jumlah APBD daerah ini rata-rata di 5 (lima) tahun terakhir
berada di atas Rp 1 Triliun. Jumlah
sebesar itu sebenarnya cukup untuk membangun daerahnya setiap tahun. Sebagai
perbandingan kota-kota disekitarnya seperti Kota Jayapura, Kepulauan Yapen
Nabire, juga demikian jumlah APBDnya. Namun di wilayah tersebut dari tahun ke
tahun nampak ada perubahan dampak pembangunan.
Oleh karena itu
Pemilukada 2018, hendaknya menjadi memontum bagi masyarakat Biak Numfor
“merenung” dalam mencari dan menemukan sosok pemimpin yang mampu membawa
perubahan. Orang Biak bila ditanya siapa Bupati yang mereka kagumi, hampir
sebagian besar mereka katakan Bupati Hendrik Wiradinata. Figur beliau menurut
berbagai kalangan seperti halnya Acub Zainal mantan gubernur Papua. Berdasarkan
penuturan berbagai kalangan dibalik kekurangan yang dimilikinya kunci sukses
beliau kala itu adalah “memahami betul karakter masyarakat Biak lalu dengan
latar belakang militernya dia mengendalikan pemerintahan” hasilnya di beberapa
lokasi seperti pasar Inpres, perumahan Pemda (Samofa), dan berbagai ruas jalan
dalam kota diselesaikan dan monumental hingga hari ini.
Namun dibenak
penulis berpendapat lain. Kemungkinan beliau dalam membangun Biak kala itu,
menyatukan “pikiran dan tindakan beliau” sehingga menjadi teladan bagi aparatur
dan masyarakat. Melalui modal itu beliau mampu menggerakan masyarakat Biak
Numfor. Mengapa demikian?, sebab bila kita telusuri masyarakat Biak sebenarnya
masyarakat yang menghargai kinerja. Salah satu contoh tipe melahirkan pemimpin
diinternal mereka waktu dahulu, meskipun seseorang itu dari kalangan bawah
(women) tetapi mampu memenangkan peperangan bisa diangkat menjadi panglima
(mambri) atau bila seseorang berhasil dalam berdagang (manibob) juga bisa
diangkat menjadi pemimipin. Fenomena ini sekarang hilang dalam masyarakat Biak.
Hilangnya fenomena
ini akibat infiltrasi (kapital)-isme dalam berbagai relung kehidupan. Terutama
di kala perhelatan pemilukada yang selama ini dilangsungkan di Biak. Hasil
olahan demokrasi modern yang tidak menguatkan karakter masyarakat lokal,
melahirkan pemimpin yang tidak bisa menghindar dari yang namanya uang. Kondisi
ini terjadi tidak hanya di Biak dan Papua tetapi di hampir seluruh Indonesia.
Keberadaan sebagian Partai Politik yang seharusnya menjadi wadah melahirkan
pemimpin yang kualified tetapi tak ubahnya seperti perusahaan tempat orang
berinvestasi lalu kemudian melihat kontribusi saham siapa yang besar untuk
dicalonkan.
Sang calon pun
karena tidak punya finansial terpaksa merekrut berbagai kalangan terutama
mereka yang berduit (pengusaha) menjadi tim yang disebut tim sukses. Hasilnya
setelah yang bersangkutan naik, birokrasi pun dijalankan melalui praktek-praktek
perusahaan. APBD yang harusnya dibelanjakan untuk kepentingan rakyat “memantul
bagai permainan squash kembali ke kantung-kantung yang tidak jelas”.
Inilah yang
meluluhlantahkan demokrasi serta menghancurkan birokrasi pemerintahan kita di
era reformasi ini. Sekaranglah momentumnya mengembalikan kejayaan Biak, cari,
temukan dan pilihlah pemimpin yang punya hati membangun Biak. Dalam jumah 150
ribu penduduk Biak, apa tidak ada sosok yang mampu membangun Biak Numfor dengan
benar?. Ingatlah andai Frans Kaisiepo dan Johanis Dimara atau patung-patung
yang kalian bangun di taman-taman kota itu hidup, mereka akan menggugat dan
mengutuk kalian, akibat perbuatan kalian yang tidak baik dalam mengelola
pembangunan di tanah kelahiran mereka selama ini.
*) Pemerhati Sosial Ekonomi serta
isu-isu kebangsaan di Papua, tinggal di Aryoko-Jayapura; harimandarif@yahoo.co.id (Dosen UNIYAP Papua) Sehari-hari bekerja di Bappeda Provinsi Papua
0 komentar:
Posting Komentar