Oleh Pares L.Wenda*
Di era reformasi ini! Sejak UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
atau lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah ditetapkan. Pesta demokrasi pilkada
mulai dilakukan di seluruh Indonesia. Di Papua pesta demokrasi pilkada dimaksud
mulai dilaksanakan pada tahun 2005, kalau saya tidak salah.
Dalam perjalanan pilkada teramati bahwa kedewasaan berpolitik,
berdemokrasi dalam Pilkada di Papua belum sepenuhnya terlaksana, belum ada
kandidat yang siap kalah dan siap menang. Memang komitmen siap kalah dan siap menang
selalu dibuat para pasangan calon tetapi ternyata itu hanya lift service yang dibuat-buat untuk
memenuhi prasayaratan perintah UU Pemilu.
Dalam suatu kesempatan Dr. Samsul Rizal Pangabean dari Studi Perdamaian
dan Resolusi Konflik Universitas Gadja Mada Yogyakarta melakukan studi tentang
konflik Pilkada di Papua bersama seorang rekannya yang juga salah satu Dosen di
Universitas Sydney yang menekuni bidang perdamaian dan resolusi konflik, mereka
dating dan sempat bertemu dengan saya pada tahun 2016 yang lalu. Kedua professor ini datang dengan satu
pertanyaan saja yaitu mengapa di Papua sering terjadi konflik pilkada? Dari
daftar list yang mereka punya hampir seluruh daerah di Papua mengalami konflik
Pilkada, Namun dalam pertemuan dengan saya, saya katakan bahwa Kabupaten yang
tidak pernah terjadi konflik pilkada yaitu Pegunungan Bintang baik Pilkada
2005, pilkada 2010 dan pilkada 2016. Meskipun diakui bahwa pada akhirnya hasil
akhir dari ketiga Pilkada tersebut berakhir di MK. Kedua Profesor ini tidak
begitu yakin tetapi mereka mencoba melihat list yang mereka bahwa dan ternyata
benar hanya di Pegunungan Bintang pelaksanaan pilkada tidak ada konflik dari 28
Kabupaten dan 1 Kota di Papua. Karena itu mereka menamba satu daftar pertanyaan
lagi mengapa di Kabupaten Pegunungan Bintang tidak terjadi konflik Pilkada? Kemudia
saya mengubungkan kedua professor dengan Bupati Drs. Wellington L.Wenda, M.Si untuk
diwawancarai.
Terlepas dari kedua Profesor di atas, dalam Pikada 2016 Seorang tokoh
Muda Papua asal Nduga yang juga maju sebagai kondidat Bupati telah mengukir
sejarah baru dimana beliau mengakui kemenangan lawannya dan tidak sengketakan
pilkada dan berakhir di MK. Tokoh muda itu adalah Samuel Tabuni yang saat ini sebagai
CEO dari Papua Language Institute (PLI).
Dalam Pilkada Lanny Jaya tensi konflik pilkadanya sangat tinggi tetapi
tidak terjadi konflik yang destruksion yang memicu korban jiwa dan harta benda baik pilkada 2010
dan 2016. Hal ini dipengaruhi oleh ke tokohan dari seorang yang kalah yang
selalu mengutamakan perdamaian daripada menciptakan konflik. Meskipun Lanny
Jaya termasuk daerah yang dalam peta politik pilkada merupakan daerah rawan
konflik menurut kaca mata aparat keamanan. Dalam konteks ketokohan dan menjaga
perdamaian pasca pilkada oleh kandidat yang kalah ini tidak pernah ada rewards
dari pemerintah atas jasa mereka menjaga perdamaian tanpa konflik Pilkada
ditengah carut marutnya konflik Pilkada di Papua.
Negara ini mudah sekali melupakan jasa setiap anak bangsa kususnya dalam
konteks demokrasi pelaksanaan Pilkada dimana yang menerima rewards selalu hanya
penyelenggara Pilkada yaitu KPUD dan Panwas Daerah, sementara kandidat yang
kalah dilupakan begitu sajah, pada hal jika diamati sebenarnya factor penentu
lainnya untuk meredam konflik pilkada tidak berkepanjangan adalah kandidat yang
kebetulan kalah dalam Pilkada. Mereka ini harus diberi penghargaan ketika
mereka mengakui dan menerima hasil kekalahannya dan menyatakan selamat kepada
yang menang. Kasus Nduga dan Kasus DKI Jakarta seharus Negara memberikan
rewards kepada mereka minimal tanda penghargaan atas jazahnya meredam masanya
untuk tidak berkonflik.
Menurut saya rewards dapat dilakukan mengingat bangsa ini baru saya melangkah
dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah kurang lebih telah berumur 15 tahun sejak 2005. Artinya pemerintah dan pemerintah
daerah terus membenahi dari berbagai aspek. Namun patut diakui bahwa alat
kelengkapan pelaksanaan pilkada kita sudah amat sangat baik, yang menjadi soal
kita sekarang adalah ditingkat pelaksanaan dimana sumber daya manusia tidak mau
konsisten terhadap system pemilukadanya. Ketika saya dan beberapa teman menulis
buku tentang Pilgub Papua tidak Demokratis kesimpulan yang kami buat adalah
permasalahannya bukan pada kandidat, tetapi system dan budaya kerja yang
mematikan keadilan, demokrasi, politik dan hukum kita. Sehingg tuntan keadilan
tidak dapat dipenuhi dalam proses politik, demokrasi dan penegakkan hukum.
Kalau seperti ini terus berlangsung maka ke depan bukan tidak mungkin tetapi
ada kemungkinan system pilkada kita dapat saja diubah, sesuai dengan dinamika
perpolitikan global dan nasional yang selalu berdapak langsung di daerah.
Apa yang terjadi kemudian di daerah khususnya di Papua? Dalam pengamatan
saya sejak 2005 pesta demokrasi Pilkada Kabupaten/Kota di Papua, para kandidat selalu
menyusun strategi pemenangan. Diman kandidat mulai bergerilaya mengusahakan
orang-orangnya masuk di KPUD, di Panwaslu Daerah, dengan tujuan memenangkan
dirinya. Stakholder lainnya juga dipengaruhi, dikerahkan secara sistematis
tetapi tidak Nampak sistematis. Misalnya melibatkan Aparat kemanan dari semua
kesatuan yang bertugas di suatau daerah, tokoh-tokoh kunci di masyarakat, untuk
mencapai kemenangan. Kandidat mempengaruhi parah tokoh dengan maksud
mempengaruhi masa untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Hal ini baik tetapi
tidak membangun masa depan yang lebih baik dari sebuah proses pilkada.
Ada kandidat yang berkualitas memang maju untuk membangun daerah tidak
hanya pembangunan aspek yang berhubungan dengan melayani masyarakat tetapi juga
pembangunan politik, demokrasi dan hukum agar dalam jangka panjang suatu daerah
kelak menikmati pelaksanaan hukum, politik dan demokrasi yang elegan dengan
memperhatikan aspek kemanusiaan. Namun ada kandidat yang ambisus menjadi
pemimpin daerah tanpa mempunyai konsep yang jelas untuk membangun daerah
sehingga semua program dan kebijakan pembangunan bermuara pada politis, ini
kemudian dalam jangka panjang menghancurkan suatu daerah kelak dalam mebangun
penerapan hukum, pelaksanaan politik dan demokrasi. Sehingga terjadi
ketimpangan pembangunan dan perkembangan politik, demokrasi dan penerapan hukum
pada akhirnya menjadi pincang dari daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Sehingga perkembangan politik, hukum dan demokrasi tidak berkembang bersama.
Kondisi ambisius tersebut bawasannya menimbulkan konflik yang didesign
secara khusus oleh mereka yang tidak mempunyai visi pembangunan poltik,
demokrasi dan hukum yang kuat dan jelas. Isu politik, demokrasi dan hukum
ketika diterapkan oleh semua stahokelder saat pilkada berlangsung menurut saya dapat
menjadi barameter apakah seorang yang terpilih kelak dapat melaksanakan
pembangunan 5 tahun atau hanya memainkan mesin politik saja.
Konflik pilkada di Papua lebih disebabkan tidak ditegahkannya keadilan
dalam pilkada, keadilan dibeli oleh kandidat yang lebih mapan dari sisi
finansial yang dimiliknya. Akibatnya setiap anak bangsa sebagai kandidat
berusaha mencari keadilan melalui mekanisme hukum yang tersedia sampai di MK
(Mahkama Konstitusi) RI, sulit juga didapat. Susahnya MK sulit juga mewujudkan
keadilan yang diharapkan, apalagi di Bawaslu. Bawaslu lebih mengawal dirinya
sendiri dalam pengertian dia hanya menghukum, bagi KPU atau Panwas yang melakukan
pelanggaran tidak mendiskualifikasi calon, UU menyamin untuk didiskulifikasi.
Benar atau salah dugaan kuat bahwa yang tersedia adalah keadilan dibeli oleh
kandidat yang berduit. Banyak dari kandidat yang kalah merasa sulitnya mendapat
keadilan di negeri ini, pernyataan seperti ini sempat disampaikan oleh Jhon
Tabo kandidat Bupati Tolikara beberapa waktu lalu di Metro TV Jakarta pasca
insiden di Kemendagri. MK selama ini dalam pengamatan saya, keputusan KPU
daerah itulah yang diamankan MK bukan berdasarkan kasus yang diajukan oleh para
pencari keadilan dalam hal ini bagi mereka yang merasa dirugihkan oleh
penyelenggara Pilkada di daerah, karena sudah terlanjur kongkalingkong dengan
kandidat yang menang. Beberapa Hakim MK juga ditangkap karena dugaan menerima
suap dari kandidat. Sehingga dalam kasus Pilkada di Papua sebagian berakhir di
MK, MK lah yang putuskan siapa Bupati dan Wakil Bupati.
Bydesign juga dilihat dari isu Politik Papua merdeka. Bagi para kandidat
yang sudah dan haus kekuasaan isu Papua Merdeka sering menjadi barang jualan
politik. Para kandidat saling melaporkan kepada petinggi NKRI di Jakarta dimana
diduga kuat bahwa pertimbangan di MK tidak hanya dari sisi kewenangannya tetapi
juga aspek politik dalam konteks kedaulatan Negara Indonesia di Papua juga
menjadi pertimbangan. Sebenarnya aspek ini tidak perlu juga tetapi karena
ambisi kekuasaan sehingga bagian ini juga menjadi jualan politik bagi para kandidat.
Dimana para kandidat akhirnya saling melapork bahwa “ saya Indonesia, dia
bukan”. Kalau diamati bahwa orang seperti ini tidak mempunyai konsep dan
strategi lain yang memungkinkan untuk memenangkan pilkada, sehingga apa saja
yang bisa digunakan untuk merebut kekuasaan dapat dimanfaatkan oleh kandidat
dimaksud.
Pilkada 2016! Kita bersama
mengetahui bahwa di Puncak Jaya, di Intan Jaya konfliknya sampai destruction, sementara bebarapa daerah
ada konflik tetapi tidak terjadi destruction.
Beberapa daerah dikawtirkan terjadi konflik namun konflik tidak terjadi yaitu
di Lanny Jaya dan Tolikara, dalam kasus Tolikara konflik destruction justru terjadi di Kemendagri bukan di daerah pemilihan.
Pernyataan resmi Jhon Tabo pada Metro TV sebagai salah satu kandidat yang
dikalakan melalui MK, mengatakan kami mencari keadilan di dalam Republik ini,
Putusan MK mencederai rasa keadilan kami, karena laporan yang dinaikan sebenar
cukub bukti untuk petahana dapat didiskualifikasi, namun Jhon mengatakan kami
tidak mendapat keadilan di Republik ini. Namun bagi kandidat petahana atau
pemenang pilkada juga merasa bahwa mereka bagian dari anak bangsa yang
mempunyai hak yang sama untuk menjadi Bupati atau tidak menjadi Bupati. Karena
itu bagi mereka adalah pernyataan lawan yang kala merupakan pelampiasan dari
sebuah proses politik dan itu wajar dimanapun. Dan sekiranya itu benar, tetapi
bahwa sekali lagi bahwa dalam jangkan panjang penyelenggara pilkada dalam hal
ini KPU dan Panwas harus independent tidak terpengaruh oleh pengaruh money politic yang dipengaruhi oleh
kandidat yang berduit.
Kita sangat berharap Pilkada Gubernur, Pilkada Puncak, Pilkada Biak, dan
Pilkada beberapa daerah lainnya tidak terjadi konflik yang mencederai demokrasi,
politik dan hukum, meskipun mungkin sulit tetapi minimal kita wajib mendorong
agar independensi penyelenggara pemilu tetap benar-benar di jaga ketat. Semoga.***
*)Penulis adalah Aktifis HAM
dari Sinode Baptis dan Direktur HAM dari Cendekiawan Alumni se Jawa dan Bali di
Tanah Papua.
0 komentar:
Posting Komentar