Jumat, 03 November 2017

By Design Mewarnai Pilkada Papua: Berharap Pilkada 2018 Damai

Oleh Pares L.Wenda*

  Di era reformasi ini! Sejak UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah ditetapkan. Pesta demokrasi pilkada mulai dilakukan di seluruh Indonesia. Di Papua pesta demokrasi pilkada dimaksud mulai dilaksanakan pada tahun 2005, kalau saya tidak salah.
  Dalam perjalanan pilkada teramati bahwa kedewasaan berpolitik, berdemokrasi dalam Pilkada di Papua belum sepenuhnya terlaksana, belum ada kandidat yang siap kalah dan siap menang. Memang komitmen siap kalah dan siap menang selalu dibuat para pasangan calon tetapi ternyata itu hanya lift service yang dibuat-buat untuk memenuhi prasayaratan perintah UU Pemilu.

  Dalam suatu kesempatan Dr. Samsul Rizal Pangabean dari Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadja Mada Yogyakarta melakukan studi tentang konflik Pilkada di Papua bersama seorang rekannya yang juga salah satu Dosen di Universitas Sydney yang menekuni bidang perdamaian dan resolusi konflik, mereka dating dan sempat bertemu dengan saya pada tahun 2016 yang lalu.  Kedua professor ini datang dengan satu pertanyaan saja yaitu mengapa di Papua sering terjadi konflik pilkada? Dari daftar list yang mereka punya hampir seluruh daerah di Papua mengalami konflik Pilkada, Namun dalam pertemuan dengan saya, saya katakan bahwa Kabupaten yang tidak pernah terjadi konflik pilkada yaitu Pegunungan Bintang baik Pilkada 2005, pilkada 2010 dan pilkada 2016. Meskipun diakui bahwa pada akhirnya hasil akhir dari ketiga Pilkada tersebut berakhir di MK. Kedua Profesor ini tidak begitu yakin tetapi mereka mencoba melihat list yang mereka bahwa dan ternyata benar hanya di Pegunungan Bintang pelaksanaan pilkada tidak ada konflik dari 28 Kabupaten dan 1 Kota di Papua. Karena itu mereka menamba satu daftar pertanyaan lagi mengapa di Kabupaten Pegunungan Bintang tidak terjadi konflik Pilkada? Kemudia saya mengubungkan kedua professor dengan Bupati Drs. Wellington L.Wenda, M.Si untuk diwawancarai.

  Terlepas dari kedua Profesor di atas, dalam Pikada 2016 Seorang tokoh Muda Papua asal Nduga yang juga maju sebagai kondidat Bupati telah mengukir sejarah baru dimana beliau mengakui kemenangan lawannya dan tidak sengketakan pilkada dan berakhir di MK. Tokoh muda itu adalah Samuel Tabuni yang saat ini sebagai CEO dari Papua Language Institute (PLI).

  Dalam Pilkada Lanny Jaya tensi konflik pilkadanya sangat tinggi tetapi tidak terjadi konflik yang destruksion yang memicu  korban jiwa dan harta benda baik pilkada 2010 dan 2016. Hal ini dipengaruhi oleh ke tokohan dari seorang yang kalah yang selalu mengutamakan perdamaian daripada menciptakan konflik. Meskipun Lanny Jaya termasuk daerah yang dalam peta politik pilkada merupakan daerah rawan konflik menurut kaca mata aparat keamanan. Dalam konteks ketokohan dan menjaga perdamaian pasca pilkada oleh kandidat yang kalah ini tidak pernah ada rewards dari pemerintah atas jasa mereka menjaga perdamaian tanpa konflik Pilkada ditengah carut marutnya konflik Pilkada di Papua.

  Negara ini mudah sekali melupakan jasa setiap anak bangsa kususnya dalam konteks demokrasi pelaksanaan Pilkada dimana yang menerima rewards selalu hanya penyelenggara Pilkada yaitu KPUD dan Panwas Daerah, sementara kandidat yang kalah dilupakan begitu sajah, pada hal jika diamati sebenarnya factor penentu lainnya untuk meredam konflik pilkada tidak berkepanjangan adalah kandidat yang kebetulan kalah dalam Pilkada. Mereka ini harus diberi penghargaan ketika mereka mengakui dan menerima hasil kekalahannya dan menyatakan selamat kepada yang menang. Kasus Nduga dan Kasus DKI Jakarta seharus Negara memberikan rewards kepada mereka minimal tanda penghargaan atas jazahnya meredam masanya untuk tidak berkonflik.

  Menurut saya rewards dapat dilakukan mengingat bangsa ini baru saya melangkah dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah kurang lebih telah berumur 15 tahun  sejak 2005. Artinya pemerintah dan pemerintah daerah terus membenahi dari berbagai aspek. Namun patut diakui bahwa alat kelengkapan pelaksanaan pilkada kita sudah amat sangat baik, yang menjadi soal kita sekarang adalah ditingkat pelaksanaan dimana sumber daya manusia tidak mau konsisten terhadap system pemilukadanya. Ketika saya dan beberapa teman menulis buku tentang Pilgub Papua tidak Demokratis kesimpulan yang kami buat adalah permasalahannya bukan pada kandidat, tetapi system dan budaya kerja yang mematikan keadilan, demokrasi, politik dan hukum kita. Sehingg tuntan keadilan tidak dapat dipenuhi dalam proses politik, demokrasi dan penegakkan hukum. Kalau seperti ini terus berlangsung maka ke depan bukan tidak mungkin tetapi ada kemungkinan system pilkada kita dapat saja diubah, sesuai dengan dinamika perpolitikan global dan nasional yang selalu berdapak langsung di daerah.

  Apa yang terjadi kemudian di daerah khususnya di Papua? Dalam pengamatan saya sejak 2005 pesta demokrasi Pilkada Kabupaten/Kota di Papua, para kandidat selalu menyusun strategi pemenangan. Diman kandidat mulai bergerilaya mengusahakan orang-orangnya masuk di KPUD, di Panwaslu Daerah, dengan tujuan memenangkan dirinya. Stakholder lainnya juga dipengaruhi, dikerahkan secara sistematis tetapi tidak Nampak sistematis. Misalnya melibatkan Aparat kemanan dari semua kesatuan yang bertugas di suatau daerah, tokoh-tokoh kunci di masyarakat, untuk mencapai kemenangan. Kandidat mempengaruhi parah tokoh dengan maksud mempengaruhi masa untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Hal ini baik tetapi tidak membangun masa depan yang lebih baik dari sebuah proses pilkada.

  Ada kandidat yang berkualitas memang maju untuk membangun daerah tidak hanya pembangunan aspek yang berhubungan dengan melayani masyarakat tetapi juga pembangunan politik, demokrasi dan hukum agar dalam jangka panjang suatu daerah kelak menikmati pelaksanaan hukum, politik dan demokrasi yang elegan dengan memperhatikan aspek kemanusiaan. Namun ada kandidat yang ambisus menjadi pemimpin daerah tanpa mempunyai konsep yang jelas untuk membangun daerah sehingga semua program dan kebijakan pembangunan bermuara pada politis, ini kemudian dalam jangka panjang menghancurkan suatu daerah kelak dalam mebangun penerapan hukum, pelaksanaan politik dan demokrasi. Sehingga terjadi ketimpangan pembangunan dan perkembangan politik, demokrasi dan penerapan hukum pada akhirnya menjadi pincang dari daerah yang satu dengan daerah yang lain. Sehingga perkembangan politik, hukum dan demokrasi tidak berkembang bersama.

  Kondisi ambisius tersebut bawasannya menimbulkan konflik yang didesign secara khusus oleh mereka yang tidak mempunyai visi pembangunan poltik, demokrasi dan hukum yang kuat dan jelas. Isu politik, demokrasi dan hukum ketika diterapkan oleh semua stahokelder saat pilkada berlangsung menurut saya dapat menjadi barameter apakah seorang yang terpilih kelak dapat melaksanakan pembangunan 5 tahun atau hanya memainkan mesin politik saja.

  Konflik pilkada di Papua lebih disebabkan tidak ditegahkannya keadilan dalam pilkada, keadilan dibeli oleh kandidat yang lebih mapan dari sisi finansial yang dimiliknya. Akibatnya setiap anak bangsa sebagai kandidat berusaha mencari keadilan melalui mekanisme hukum yang tersedia sampai di MK (Mahkama Konstitusi) RI, sulit juga didapat. Susahnya MK sulit juga mewujudkan keadilan yang diharapkan, apalagi di Bawaslu. Bawaslu lebih mengawal dirinya sendiri dalam pengertian dia hanya menghukum, bagi KPU atau Panwas yang melakukan pelanggaran tidak mendiskualifikasi calon, UU menyamin untuk didiskulifikasi. Benar atau salah dugaan kuat bahwa yang tersedia adalah keadilan dibeli oleh kandidat yang berduit. Banyak dari kandidat yang kalah merasa sulitnya mendapat keadilan di negeri ini, pernyataan seperti ini sempat disampaikan oleh Jhon Tabo kandidat Bupati Tolikara beberapa waktu lalu di Metro TV Jakarta pasca insiden di Kemendagri. MK selama ini dalam pengamatan saya, keputusan KPU daerah itulah yang diamankan MK bukan berdasarkan kasus yang diajukan oleh para pencari keadilan dalam hal ini bagi mereka yang merasa dirugihkan oleh penyelenggara Pilkada di daerah, karena sudah terlanjur kongkalingkong dengan kandidat yang menang. Beberapa Hakim MK juga ditangkap karena dugaan menerima suap dari kandidat. Sehingga dalam kasus Pilkada di Papua sebagian berakhir di MK, MK lah yang putuskan siapa Bupati dan Wakil Bupati.

  Bydesign juga dilihat dari isu Politik Papua merdeka. Bagi para kandidat yang sudah dan haus kekuasaan isu Papua Merdeka sering menjadi barang jualan politik. Para kandidat saling melaporkan kepada petinggi NKRI di Jakarta dimana diduga kuat bahwa pertimbangan di MK tidak hanya dari sisi kewenangannya tetapi juga aspek politik dalam konteks kedaulatan Negara Indonesia di Papua juga menjadi pertimbangan. Sebenarnya aspek ini tidak perlu juga tetapi karena ambisi kekuasaan sehingga bagian ini juga menjadi jualan politik bagi para kandidat. Dimana para kandidat akhirnya saling melapork bahwa “ saya Indonesia, dia bukan”. Kalau diamati bahwa orang seperti ini tidak mempunyai konsep dan strategi lain yang memungkinkan untuk memenangkan pilkada, sehingga apa saja yang bisa digunakan untuk merebut kekuasaan dapat dimanfaatkan oleh kandidat dimaksud.

Pilkada 2016! Kita bersama mengetahui bahwa di Puncak Jaya, di Intan Jaya konfliknya sampai destruction, sementara bebarapa daerah ada konflik tetapi tidak terjadi destruction. Beberapa daerah dikawtirkan terjadi konflik namun konflik tidak terjadi yaitu di Lanny Jaya dan Tolikara, dalam kasus Tolikara konflik destruction justru terjadi di Kemendagri bukan di daerah pemilihan. Pernyataan resmi Jhon Tabo pada Metro TV sebagai salah satu kandidat yang dikalakan melalui MK, mengatakan kami mencari keadilan di dalam Republik ini, Putusan MK mencederai rasa keadilan kami, karena laporan yang dinaikan sebenar cukub bukti untuk petahana dapat didiskualifikasi, namun Jhon mengatakan kami tidak mendapat keadilan di Republik ini. Namun bagi kandidat petahana atau pemenang pilkada juga merasa bahwa mereka bagian dari anak bangsa yang mempunyai hak yang sama untuk menjadi Bupati atau tidak menjadi Bupati. Karena itu bagi mereka adalah pernyataan lawan yang kala merupakan pelampiasan dari sebuah proses politik dan itu wajar dimanapun. Dan sekiranya itu benar, tetapi bahwa sekali lagi bahwa dalam jangkan panjang penyelenggara pilkada dalam hal ini KPU dan Panwas harus independent tidak terpengaruh oleh pengaruh money politic yang dipengaruhi oleh kandidat yang berduit.
  Kita sangat berharap Pilkada Gubernur, Pilkada Puncak, Pilkada Biak, dan Pilkada beberapa daerah lainnya tidak terjadi konflik yang mencederai demokrasi, politik dan hukum, meskipun mungkin sulit tetapi minimal kita wajib mendorong agar independensi penyelenggara pemilu tetap benar-benar di jaga ketat. Semoga.***

*)Penulis adalah Aktifis HAM dari Sinode Baptis dan Direktur HAM dari Cendekiawan Alumni se Jawa dan Bali di Tanah Papua.



0 komentar:

Posting Komentar