Jumat, 03 April 2015

Merubah Merauke Jadi Lumbung Kayu Industri dan Lumbung Beras Terbatas Lewat Pola Kebun Agroforesty

Oleh: Ir Nof Kastella, MP*)
  MERAUKE, sebuah nama yang pasti dikenal semua orang lewat lagu “dari Sabang sampai Merauke”.  Di Papua ada istilah Jamer (jawa merauke),  dikenal sebagai daerah transmigrasi dan penghasil beras.  Beberapa tahun yang lalu Merauke pernah surplus beras sekitar 40 ribu ton pertahun, namun tidak dapat dijual keluar Merauke, dan hal seperti ini baru pertama kita dengar terjadi di Indonesia, apa penyebabnya?    Beberapa tahun yang lalu juga ada program MIFE (Merauke Integrated Food Energy) yang ternyata gagal tanpa diketahui  apa penyebabnya?.   Akhir-akhir ini juga,  kita baca di surat khabar, bahwa Pemda provinsi Papua berencana menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan beras di Papua, padahal beras yang ada saja tidak dapat dijual keluar merauke.   Oleh karena itu melalui tulisan ini kami coba memberikan dukungan, analisis, pertimbangan dan solusi pemecahannya  agar lahan lahan di merauke dapat  menghasilkan kegiatan ekonomi produktif  yang dapat mendatangkan keuntungan finansial bagi petani, pemda setempat  dan dampak manfaat lain dari multiplier effectnya.
Kondisi Sumber Daya Lahan Pertanian dan Permasalahannya  
   Untuk dapat menentukan  penyebab suatu masalah disektor pertanian, maka wajib  dilakukan pendekatan agro ekosisitem/forest ecocysytem  untuk selanjutnya dapat menentukan solusi/jalan keluar/upaya pemecahannya secara benar dan logik.  Berdasarkan pendekatan dimaksud, maka layak/tidaknya(sesuai/tidaknya) lahan dimaksud,alangkah baiknya  wajib terlebih dahulu kita laksanakan kegiatan “Studi kelayakan dan penyusunan Masterplan-Siteplan dan rancang bangun berbagai kebun  model yang unggul dan berkelanjutan”, melalui  survei pengambilan data  biofisik (tanah/topografi, hidrologi, iklim, flora/fauna), aspek sosial-ekonomi dan sosial budaya.  Kegiatan studikelayakan ini wajib dilakukan karena harus dianalisis terlebih dahulu kesesuaian lahan dan komoditi, juga harga pasar dan tataniaganya.  Melalui tulisan ini, penulis mencoba mengumpulkan data sekunder baik data hasil citra landsat, hasil survey dari berbagai sumber yang dapat dipercaya sebagai berikut:
Aspek BIOFISIK: Tanah /Topografi 
  Apabila kita lepas landas dari pesawat maka sejauh mata memandang kita lihat suatu kawasan hutan savanna yang sangat luas, datar, ada 4-5 sungai  berukuran sedang (s.Merauke, s. subasuba, s.kumbe, s. digul), dan  beberapa daerah rawa.  Adapaun luas kawasan ini termasuk kabupaten pemekaran baru seperti Boven Digul, Bade, Asmat, diperkirakan sekitar 8-10 juta ha.  Dari data citra landsat telah dianalisis 10 sistem lahan dominan/kesesuaian lahan dikiri-kanan jalan, dan ternyata  semuanya menunjukkan bahwa lahan di Merauke dan sekitarnya “tidak  sesuai untuk tanaman padi dan hanya sesuai untuk tanaman karet, sagu, minyak kayu putih, masohi,lawang, sereh wangi, kayu cina, dammar, perikanan, dan tanaman kehutanan/perkebunan lainnya” artinya lahan-lahan dimaksud secara ekologis tidak sesuai dengan tanaman padi.   Hal ini membuat penulis sangat penasaran karena kalau tanah di Merauke itu tidak sesuai untuk tanaman padi, namun mengapa merauke dapat memproduksi padi dan sempat surplus?   Ada 4 klassifikasi kesesuaian lahan yang diketahui  yaitu sangat sesuai, sesuai,  kurang sesuai, dan tidak sesuai dimana untuk dapat mengklasifikasinya beberapa data berikut wajib dianalisis yaitu jenis tanah, kondisi tanah (tekstur, struktur,berat jenis, porositas, kedalaman tanah, kapasitas tukar kation dan PH tanah), iklim dan ketinggian diatas permukaan laut.  Beberapa data sekunder juga menyatakan  bahwa,   Sesuai peta tanah tinjau Merauke yang berasal dari Pusat penelitian Tanah Bogor menyatakan bahwa kelas tanah diMerauke umumnya klas C (kurang subur), dengan faktor pembatas PH masam, miskin unsur hara, drainase jelek, didominasi tanah  podzolik merah kuning, alluvium,organosol dan latosol,  kesuburan tanah terbatas sehingga perlu ada waktu bera untuk mengembalikan kesuburan tanah secara alamiah atau dengan kata lain jenis tanah seperti ini perlu pemupukan dan tumpang gilir, sumber air/irigasi teknis kurang karena musim kemarau terjadi 6-7 bulan.  Beberapa data laboratorium tanah juga  menunjukkan nilai C/N >1 artinya tanah dimaksud rendah unsur nitrogennya dan tinggi unsur carbonnya, sehingga disimpulkan bahwa didalam tanah tersebut kurang terjadi proses dekomposisi/humunisasi  oleh mikroorganisme akibat karena tanah tersebut tergenang air dalam waktu yang cukup lama.  
   Berdasarkan hasil penelitian Ewusie J.Y dalam buku berjudul “Ekologi Tropika”  disebutkan bahwa taksiran banyaknya hara yang dibebaskan dengan membakar nabatah tropika dalam kg per-ha, dimana dihutan savanna diperoleh fosfat 8, kalium 46, calcium 35 dan magnesium 26, dan apabila dibandingkan dengan membuka hutan tropis basah akan diperoleh fosfat 127, kalium 830,calcium 2560 dan magnesium 351  Dengan demikian,  disimpulkan bahwa memang benar lahan savanna di Merauke cenderung miskin unsur hara.  Beberapa bulan yang lalu juga diinformasikan di surat khabar bahwa telah terjadi infiltrasi air laut sepanjang lebih kurang 20 km melalui sungai sungai akibat pembukaan kanal-kanal yang tidak diperhitungkan secara teknis.  Mungkin karena kondisi biofisik seperti dimaksud diatas disertai juga dengan keterbatasan infrastruktur menyebabkan  para investor kurang berminat berinvestasi sektor agribisnis melalui program Mife.   Lantas, bagaimana  strategi/solusi pemecahannya agar tanah-tanah di Merauke yang luasnya jutaan hektar itu dapat menghasilkan produk pertanian (dalam arti luas) yang unggul dan berkelanjutan?
Pembahasan Dan Analisis 
   Menurut penulis, kemungkinan beberapa faktor yang menyebabkan sehingga lahan yang ada dapat produksi beras dan pernah surplus adalah  karena ada subsidi sarana produksi (lahan, bibit unggul, pupuk),prasarana (jalan, jembatan, irigasi teknis), penyuluhan yang terus menerus dan ada dukungan  dari bupati setempat.  Namun, yang menjadi pertanyaan bagi kita apakah karena bisa berproduksi  dan suplus beras lantas petani mendapat untung dari segi financial,?  Apakah biaya produksi sama atau lebih besar dari nilai jual?  Bagaimana kalau Pemda tidak mensubsidinya lagi?  Apakah para petani di Merauke itu hidup dari usaha menjual komoditi beras atau justru mendapat uang dari usaha lain seperti membuka kios, bengkel, pelihara ternak sapi, tukang ojek dan usaha lainnya?    Untuk menjawab pertanyaan diatas, maka kita perlu punya alat/indikator mengukurnya, yaitu;  Suatu kawasan dapat dikatakan telah berhasil memproduksi hasil pertanian yang unggul dan berkelanjutan(sustainable agricultural management), apabila dapat memenuhi 6 indikator yaitu  tingginya produktivitas (productivity), tingginya keuntungan (profitability),ekologi kebun yang stabil (stability),sistem pertaniannya mewakili ekosistem pertanian dominan (equitability), sistem pertaniannya disukai masyarakat tani (suitability) dan kebun pertanian dimaksud dapat berproduksi setiap tahun secara terus menerus (sustainability).  Kalau kita analisis  kenyataan yang ada dimana kabupaten Merauke dapat memproduksi padi, namun tidak dapat menjual kedaerah lain sehingga insting kami menyimpulkan bahwa  produksi padi di Merauke dapat mencapai tingginya produktivitas, namun belum profitability,belum stability, belum equitability dan belum sustainability yang disebabkan oleh  banyak faktor, seperti kesesuaian lahan,  transportasi , permintaan pasar dan lainnya .   Dengan mempertimbangkan kondisi biofisik seperti disebutkan diatas, maka mungkin lebih ekonomis lahan-lahan tanaman padi dibentangkan terlebih dahulu dengan plastik sedalam lebih kurang 50 cm dengan maksud agar terjadi efisiensi penggunaan air dan pupuk.   Bisa saja pengolahan lahan padi di Merauke itu dapat berproduksi dan surplus namun tidak menguntungkan bagi para petani dari aspek financial akibat biaya produksi sama atau lebih besar dari nilai jual atau dapat terjadi apa yang disebut  “law of diminishing return” artinya jumlah penambahan hasil yang semakin berkurang walaupun pemberian input (pupuk, air) semakin besar,  akibat terjadi kejenuhan pada tanah.  Oleh karena itu Pemda tidak buru-buru mempersiapkan Merauke sebagai daerah lumbung beras  melalui intensifikasi,  ekstensifikasi, subsidi mekanisasi, dan lebih penting adalah  perlu  analisis yang mendalam lagi untuk selanjutnya disusun suatu perencanaan yang lebih matang dan logis serta rancang bangun berbagai kebun model yang unggul dan berkelanjutan.  Hal ini agar jangan sampai terulang kembali  kejadian  35 tahun yang lalu dimana para petani diPapua disuruh menanam cengkeh padahal dari aspek biofisik/ekologis cengkeh tidak sesuai ditanam di Papua. 
Solusi Pemecahannya 
   Menurut Penulis, agar lahan di Merauke itu dapat berproduksi secara ekonomis, maka:  (1)Jangan  paksa petani untuk menanam padi dan kiranya disesuaikan saja dengan kondisi ekosistem lahan dan kesesuaian lahan yang ada yaitu dengan menanam tanaman pangan, hortikultura,perkebunan, perikanan dan kehutanan yang sesuai dari aspek  ekologis; (2)  merubah luasan per kepala keluarga dari 2 ha menjadi 10-25ha melalui kebijakan land reform dan resettlement;  (3)subsidi mekanisasi peralatan besar;(4)  Model kebun/sistem pertanian/teknologi  dirubah dari monokultur padi  ke sistem pertanian campuran (multiple cropping), pertanian terpadu (integrated farmyng system), pertanian biologi (ecofarmyng), model kebun interplanting/intercropping/agroforestry (agrosylvopastoral, agrosylvocultuur, agrosylvofishery) dan penerapan teknologi pertanian biologi atau pertanian organic, dengan harapan dan tujuan akhir yaitu Lahan di Merauke dapat  memproduksi komoditi yang berkualitas,  murah, ramah lingkungan dengan nilai jual yang tinggi.  
Berdasarkan pemikiran diatas, kiranya perlu merancang bangun terlebih dahulu beberapa kebun model/sistem/teknologi   dimaksud oleh BPPTP (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian)  yaitu model kebun yang unggul dan berkelanjutan.  Berdasarkan pemikiran diatas, kiranya Pemda Provinsi Papua perlu menyiapkan tenaga ahli dengan biaya yang cukup agar instansi yang menangani sektor pertanian ini dapat bekerja secara benar dan professional.

*)Pernulis adalah  
-Sekretaris Dewan Pakar HKTI Provinsi Papua
-Direktur Eksekutip ASBENINDO Provinsi Papua, sehari-hari bekerja di Dinas Kehutanan Provinsi    Papua. 
( Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos, Maret 2015)

0 komentar:

Posting Komentar