Oleh Thomas Josemaria Ch. Syufi*
TEPAT tanggal 27 Desember 2014, Presiden ke-7 Republik Indonesia, Jokow Widodo berkunjung ke Papua. Tujuan kedatangan Jokowi adalah untuk merayakan Natal nasional bersama umat Kristiani dari seluruh penjuru di Jayapura, Papua. Disamping itu, presiden juga menyampaikan pidato tentang pembangunan Papua ke depan, seperti pembangunan infrastruktur, ekonomi kerakyatan, dan dibukanya ruang dialog.
Setibanya di Bandara Sentani, begitu presiden keluar dari pesawat, dia mendapat sambutan hangat dari adat masyarakat Sentani berupa prosesi injak piring, pemasangan topi Cenderawasih, dan di iringi tarian adat. Sang Presiden menjalani tradisi injak piring yang berlansung sekitar 5 menit.
Hal ini menjadi peritiwa baru dalam sejarah masyarakat Papua sejak bergabung dengan RI 1 Mei 1963. Antusiasime rakyat ini juga tampak dari luar Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Dalam hati, mereka yakin presiden Jokowi adalah sang pembawa kasih dan damai bagi Tanah Papua.
Sudah sekian lama rakyat Papua terhimpit dalam tangga kekuasaan, tenggelam dalam lumpur budaya bisu, dan tersandera dengan politik pembangunan yang cenderung sentralistik dan diskriminatif. Politik primordialisme pun masih menghantui negeri ini. Amerika sekali pun masih dihantui politik primordial.
Pada periode pertama dan kedua, mayoritas umat Katolik Amerika memilih Barack Obama kandidat presiden dari Partai Demokrat, meskipun Obama tidak menolak praktik aborsi yang sangat di tentang oleh Gereja Katolik dan Vatikan. Pilihan ini karena, Obama menggandeng Joseph (Jo) Biden seorang Katolik Roma sebagai kandidat Wapresnya.
Sedangkan di Indonesia, rakyat Papua secara gratis tanpa pandang Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan secara aktif setiap lima tahun ikut memilih presiden Indonesia. Namun, politik pembangunan selama ini dilakukan tidak pernah menguntungkan rakyat di Tanah Papua sejak berintegrasi dengan Indonesia. Hal ini karena masih saja dihantui dengan politik primordialisme.
Namun Kali ini, Presiden Jokowi berbeda dengan enam presiden sebelumnya. Jokowi seperti rasul Yohanes atau seorang nabi yang berseru dari padang gurun untuk perubahan bagi Tanah Papua. Karena, pemahaman Jokowi, mereka juga adalah kita. Orang Papua juga adalah saudara-saudara kita yang butuh perhatian yang sama di republik ini.
Pada acara Natal di Jayapura, Presiden Jokowi dengan senang hati mengajak semua orang Papua untuk kembali bersatu. Baik yang berada di gunung, dilembah, dihutan harus kembali untuk membangun Papua. Dalam pemahaman Jokowi, membangun Papua bukan sekedar membangun infrastruktur jembatan, jalan, rumah sakit, dan sekolah, tapi rakyat Papua butuh adanya dialog dan, diskusi bersama. Jokowi mau mendengarkan sejumlah aspirasi dan keinginan rakyat Papua.
Pesan-pesan Presiden Jokowi tentang masa depan orang Papua dalam Indonesia sungguh menjanjikan. Sekarang tinggal orang Papua segera bersatu, bekerja sama dan mau pilih jalan yang mana? Karena, perubahan akan terwujud bagi orang Papua pada pemerintahan Jokowi.
Jika, Presiden Jokowi berhasil melakukan perubahan di Tanah Papua sesuai dengan janjinya. Maka, hanya dua presiden Indonesia yang akan dianggap jadi ‘malaikat’ penyelamat bagi orang Papua, yakni mendiang presen ke-4, Gus Dur dan presiden ke-7 Jokowi. Tinggal Jokowi bisa melakukan yang terbaik daripada yang baik, maka dialah yang akan merebut poin satu dari rakyat Papua.
Masih banyak masalah
Berbagai janji presiden tentang perubahan bagi Indonesia dan Papua. Namun, di satu sisi masih banyak “PR” dan sejumlah masalah aktual yang butuh intervensi presiden secara cepat dan tepat.
Presiden Jokowi, ke depan pun masih dipersibukan dengan beberapa agenda internal, seperti mencari solusi dan koalisi untuk mendukung pemerintahannya selama satu periode, persiapan pergantian (reshuffle) kabinet, gangguan politik dari KMP, dan friksi politik lainnya.
Masalah-masalah ekternal yang sedang dihadapi presiden, sebagaimana pernah ia berjanji saat kampanye sebagai presiden RI tahun lalu di Papua, bahwa ketika terpilih sebagai presiden RI, dia akan menuntaskan semua masalah pelanggaran HAM di masa lalu di seluruh Indonesia, khususnya di Papua.
Masalah-masalah yang dihadapi presiden sejak 2014 hingga sekarang, seperti korban lumpur lapindo, jatuhnya pesawat Air Asia, kasus Munir yang kini jadi bola salju, bentrok antara TNI dan Polri di Batam, masalah TKI di luar negeri, serta penembakan terhadap warga sipil di Paniai8 Desember lalu, penembakan terhadap polisi di Puncak Jaya, dan resistensi publik soal kebijakan kenaikan harga BBM yang dilakukannya.
Sejumlah persoalan yang masih menumpuk ini, bakal jadi beban yang relatif berat bagi Jokowi dan kabinetnya. Jokowi masih baru saja berbulan madu (honey moon) di singgasana kepresidenan di Medan Merdeka Barat. Dan, perjalanannya masih jauh dan berat. Kepemimpinan Jokowi ini mau berhasil, maka dia harus memulai bekerja, seperti apa yang dikatakan oleh penulis asal Syria, Publilius Syrius yang hidup pada tahun 46-29 SM, “Jika Anda ingin mencapai yang tertinggi, mulai dari yang terendah!”
Untuk penyelesaikan sejumlah persoalan di Papua, telah menjadi tekad Presiden Jokowi. Ia mau menyelesaikan dengan pola dialog dan diskusi dengan rakyat Papua guna menemukan solusi untuk menata pembangunan yang lebih baik ke depan. Dan, ia pun berjanji akan sungguh-sungguh memperhatikan (membangun) negeri Cenderawasih itu dengan konsep dan aspirasi yang diinginkan oleh rakyat Papua sendiri.
Iktiar penyelesaian masalah Papua juga didukung oleh sejumlah tokoh nasional, seperti Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), yang juga Uskup Agung Jakarta, Ignatius Suharyo, Pr, yang meminta Presiden Jokowi untuk mendengarkan suara orang Papua, terutama orang seperti Pater Neles Tebay yang sangat memahami persoalan Papua. (Jubi, 26/12/2014).
Menurut Uskup Ignatius, pada kunjungan Jokowi ke Papua tanggal 27 Desember 2014 lalu, ia akan bertemu dengan rekan-rekan pemimpin gereja di Papua. Bukan sekedar untuk memberikan solusi, tapi untuk mendengarkan mereka.
Dan harapan untuk Jokowi berjumpa dengan tokoh-tokoh gereja dan rakyat Papua pun terwujud. Presiden Jokowi berjumpa dengan mereka danmembuat janji untuk membangun Papua, seperti pembangunan pasar bagi mama-mama Papua.
Selain itu, harapan untuk Presiden Jokowi juga, agar tidak hanya melihat Papua dari satu sisi, bahwa orang Papua itu mayoritas Kristen, yang berkulit hitam dan berambut keriting yang menjadi fokus perhatian pembangunan. Padahal, Papua itu cukup heterogen. Indonesia mini. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi diharapkan bangun Papua harus secara koprehensif dan holistik.
Banyak saudara-saudara non Papua, dan non Kristen di Tanah Papua juga butuh perhatin dan kasih sayang yang sama dari presiden. Pembangunan harus merata bagi segenap penduduk yang ada di Tanah Papua tanpa diskriminasi. Bagi anggaran Otonomi Khusus boleh dipakai untuk membangun orang asli Papua, tetapi anggaran yang bersumber dari APBN dan APBD harus digunakan untuk membangun seluruh penduduk di Tanah Papua.
Karena, kemajuan Papua butuh dukungan semua pihak, terutama semua orang yang ada di Tanah Papua. Dan, tentunya, harapan besar dari rakyat Papua terhadap saudara-saudara non Papua yang hidup bersama mereka di Tanah Papua untuk sungguh-sungguh bersama membangun Papua yang adil, damai dan sejahtera.
Pada hakikatnya, Papua juga adalah Indonesia. Maka, presiden harus serius dan intensif membangun Papua dengan diawali konsep dialog yang adil, damai, dan bermartabat dengan segenap komponen rakyat Papua untuk menapak “problem solving” sebagai arah membangun Papua ke depan.
Beberapa masalah utama di Tanah Papua adalah masalah ketidakadilan, seperti ketidakadilan pembangunan di bidang ekonomi, perampasan tanah masyarakat adat, pelanggaran HAM dan sejarah politik Papua yang masih menjadi kontraversi. Oleh karena itu, sebelum presiden menjalankan roda pembangunan di Tanah Papua, sebaiknya diawali dialog. Format dialog harus sesuai dengan keinginan kedua belah pihak, yaitu Jakarta dan orang Papua.
Apabila hal ini dilakukan oleh Presiden Jokowi, maka dia satu-satunya presiden yang berhasil menebus dan mengakhiri konflik yang berkepanjangan di Tanah Papua selama 50-an tahun. Dialog hanyalaha waybukan tujuan. Maka, tidak perlu ditakuti dengan frasa dialog Jakarta-Papua. Trust buldingantara kedua belah pihak, Jakarta- Papua wajib dikonstruksi.
Diharapkan agar proses hingga pelaksanaan dialog nanti jangan merugikan salah satu pihak, tetapi kedua belah pihak harus sama-sama menang demi membangun Tanah Papua yang lebih baiik ke depan!
Membangun Papua ke depan harus membangun dengan sepenuh hati tanpa sentimen primordial dan sikap egosentrik. Negeri ini tidak akan maju kalau kedua belah pihak terus terhanyut dalam samudera perdebatan yang tak pernah berkesudahan.
Rakyat Papua berkeyakinan besar, bahwa masa depan mereka kian jelas ketika Mantan Wali Kota Solo, dan Mantan Gubernur DKI, Joko Widodo memulai memimpin Indonesia. Cahaya keadilan dan kebenaran akan segera bersinar di bumi Papua.
Dengan hadirnya Presiden Jokowi dalam perayaan Natal nasional di Jayapura pada tanggal 27 Desember 2014 lalu, menjadi sembuah momentum awal pergerakan sang kepala negara dan kepala pemerintahan dari ufuk timur demi kemajuan dan kemandirian bangsa!
“Si vis pacem para iustitiam. Dona nobis pacem, jika Anda menginginkan perdamaian siapakanlah keadilan. Berilah kami damai”!
*). Penulis adalah Mantan Kepala Lembaga Pers dan Penerbitan Majalah Margasiswa Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) Sanctus Thomas Aquinas periode 2012- 2014), dan Presiden FMMP tinggal di Jakarta.
( Tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos - April 2015)
0 komentar:
Posting Komentar