Jumat, 03 November 2017

Jangan Mengharapkan Keadilan Pemilukada 2018

Oleh: Pares L.Wenda *


  Dengan menerapkan Pasal 158 UU No.8 tahun 2015 tentang Pilkada, telah mematihkan demokrasi dan mengadaskan para pihak yang mencari keadilan pemilukada di MK kandas. UU sebelumnya sasaran sengketa Pilkada pada TSM (terstruktur, sistematis dan massif). Kalau menggunakan pendekatan pasal 158 artinya pelanggaran TSM yang terjadi termasuk dukungan Panwas dan KPUD kepada kandidat tertentu tidak menjadi soal di MK. MK hanya berkutat pada Pasal 158 ini. Artinya meloloskan putusan KPUD terhadap sebuah hasil pemilukada. Misalnya, “…hampir seluruh gugatan sengketa Pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) telah kandas. Dari 147 gugatan yang ditangani, MK sudah memutuskan 115 gugatan. Dan hanya 1 gugatan yang diterima MK, yakni sengketa Pilkada Halmahera Selatan. Itu artinya 114 gugatan sengketa pilkada telah berguguran di gedung MK....” (Serambimata.com, edisi 25 January 2016 tentang Pemilukada 2016).
  Mencermati Putusan MK RI tentang Pilkada di Indonesia dan di Papua, keputusan MK tidak dapat mementahkan keputusan KPU daerah, tidak juga didiskualifikasi kandidat yang ditetapkan KPUD untuk mendapat keadilan Pilkada bagi mereka yang mengadu ke MK RI dengan harapan mendapat keadilan kemenangan dan mengalahkan pihak yang ditetapkan KPUD sebagai pemenang pilkada di daeranya.
  “…Komite Pemilih Indonesia (TePi) mencatat, 85 persen lebih pemilukada berujung sengketa di MK Berdasarkan pada fakta tersebut, tidak heran kemudian muncul asumsi bahwa konsistensi majelis hakim MK mulai terkikis …” (Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi. Tahun 2012).
  Memang para pihak yang kalah selalu mengumpulkan bukti-bukti yang kuat, dan memberikan argumentasi saat persidangan di MK yang secara kasat mata diyakini dapat meyakinkan para hakim yang memimpin persidangan, namun fakta membuktikan bahwa ada yang memang menjadi putusan memenuhi rasa keadilan, tetapi kembanyakan putusan MK RI tidak mementahkan keputusan KPUD terhadap calon yang ditetapkan KPUD sebagai pemenang. Mengapa hal itu bisa terjadi sesuai dengan pasal 158.
  Badan Kehormatan KPU dan Bawaslu juga tidak punya kuasa untuk mementahkan putusan KPUD dan Putusan MK yang final dan tetap tidak ada proses hukum lebih lanjut setelah putusan MK. Sebelumnya posisi Panwas yang ditugaskan negara dapat mengawasi jalannya pemilukada, tetapi ada yang melaksanakan tugas secara baik, namun lebih banyak kongkalikong dengan kandidat tertentu sehingga fungsi pengawasan sesuai perundangan yang berlaku tidak dilaksankan secara maksimal.     
  Memang UU Pemilu memberikan garansi kepada para pihak yang kalah Pilkada untuk menempu jalur hukum, apabila dirasa kurang yakin atas penetapan KPUD terhadap paslon yang memperoleh suara mayoritas dan ditetapkan sebagai pemenang Pilkada. MK tidak mempersoalkan TSM, TSM dipersoalkan oleh Bawaslu RI, tetapi kalau putusan MK sudah tetap, kemungkinan untuk didiskualifikasi kandidat berdasarkan data TSM itu sulit.
  Sejak sengkata pemilukada dialihkan kepada MK, kemudian terjadi perubahan UU No.8 Tahun 2015 dari UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada, keputusan MK berubah 100% berpihak kepada Putusan KPUD dan mengabaikan laporan para paslon yang memenuhi unsur TSM yang mempengaruhi suara. Kalau memang demikian apakah MK menjadi pelabuhan terakhir yang baik dan menjadi harapan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan Pemilukada? Saya kira tidak! Putusan hukum dimanapun itu pasti win and lose tidak ada yang namanya win plus win, lose plus lose.
  Dalam teori resolusi konflik ada jaminan win-win and lose-lose bagi para pihak yang berkonflik, tetapi terori ini barangkali tidak pas diterapkan dalam konteks pilkada, alasannya sederhana saja “kita sedang mencari pemimpin” bukan mencari solusi atas suatu masalah sengketa dalam konteks yang lain. Tetapi dalam konteks pilkada, ya itu dia, harus ada yang dimenangkan dan ditetapkan sebagai pemimpin daerah. Suka atau tidak keputusan hukum seperti itu, maka konsekwensinya rakyat di daerah harus menerimanya.
  Selanjutnya, bahwa bagaimana cara kandidat memperoleh suara? Itu soal lain, tetapi berdasarkan putusan KPUD para kandidat ini ditetapkan sebagai pemenang pemilukada. Contoh beberapa kasus pemilukada di Papua yang ditetapkan KPUD sebagai pemenang, dan MK RI tetap memenangkan kandidat yang dimenangkan oleh KPUD sebelum penerapan pasal 158 dan dan berdasarkan pasal 158.
  Pilkada Gubernur tahun 2006 di Menangkan oleh Barnabas Suebu,SH karena itu KPUD Provinsi Papua menetapkan dia sebagai pemenang Pilkada Gubernur Provinsi Papua. Pilkada 2010 Kabupaten Lanny Jaya dimenangkan oleh Befa Yigibalom, KPUD menetapkan dia sebagai pemenang. KPUD Pegunungan Bintang pada tahun 2005 dan 2010 menetapkan Drs. Wellington L.Wenda, M.Si sebagai pemenang Pilkada Pegunungan Bintang. KPUD Intan Jaya menetapkan Natalis Tabuni sebagai pemenang pilkada pada tahun 2010. Pada tahun 2013 KPUD Provinsi Papua menetapkan Lukas Enembe sebagai pemenang Pilkada Gubernur Papua.
  Pada tahun 2016 Benhur Tomi Mano KPUD Kota menetapkannya sebagai pemenang pilkada Kota Jayapura. Demikian juga dengan Bupati Pegunungan Bintang pada 2016. Bupatis Sarmi pada 2016. Bupati Lanny Jaya 2016. Bupati Yahukimo 2015. Bupati Yalimo 2015. Bupati Intan Jaya 2017 Bupati Dogiyai 2017. Bupati Yapen 2017. Dan terakhir Bupati Kabupaten Jayapura 2017.
  Kalau hasilnya seperti ini, untuk apa sengketa pemilukada di bawah ke MK RI? Inilah pertanya besar bagi para kandidat yang akan bertarung pada pilkada 2018 mendatang. Toh tidak ada jaminan keadilan di MK RI bagi mereka yang kalah dan berharap ada keadilan pilkada di MK. Apa yang dapat kita habiskan? Dan siapa yang kita kenyangkan?
  MK RI tidak hanya mengadili perakara sengketa pilkada? Tetapi banyak persoalan di negeri ini yang ditanganinnya terutama uji materiil tentang sebuah UU. Itu artinya keadilan yang kita harapkan di MK RI ini sulit kita dapat. Putusan MK mengikat dan final artinya keputusan MK benar atau salah, merugihkan atau tidak, tetap menjadi putusan hukum tetap dan final. Tidak ada pintu untuk upaya hukum lainnya.
Kalau demikian untuk apa sengketa Pilkada di bawah ke MK RI?.
  Kita para kandidat yang kalah membuang energy, membuang biaya. Siapa yang kita untungkan dan siapa yang menipu kita? Sekali lagi siapa yang kita untungkan, siapa yang menipu kita? Dimana ada lembaga dan orang-orang yang kita perkaya mereka. Maskapai penerbangan domestic dari daerah tujuan ke Jakarta (PP), akomodasi selama di Jakarta, membayar pengacara, membayar calo-calo yang mengaku mempunyai hubungan di MK RI.
  Para kandidat yang sudah kalah ketimpa tanggal pula? Sudah habis-habisan hasilnya tidak maksimal di MK. Sudah kalah dari rakyat dan strategi politik lawan, dikalahkanpula di MK RI aduuu sakitnya, lalu dimana keadilan itu? Terus kita mau mengadu kembalikan energiku, uang, kepada siapa?.
Kandidat yang ditetapkan sebagai pemenang juga mengeluarkan dana tidak sedikit untuk mempertahankan hasil kemenangannya. Walaupun secara UU pasti menang di MK karena pasal 158 itu. Pengacara yang dipake juga memainkan bola panas ini dengan sangat maksimal untuk meraup keuntungan, itu artinya diduga kost yang dikeluarkan saat pra-pemilukada-pemilihan, penetapan pemenang lebih sedikit dibanding biaya ke MK.
  Dengan tidak mengikuti gugatan di MK minimal kita dapat meredam konflik. Konflik actor, konflik pendukung tidak dapat terjadi dalam lima tahun pembangunan. Dan yang lebih penting mengurangi kos politik.
  Lebih elegen, simpatik, bermartabat tidak perlu habiskan energy, biaya, tetapi mari sampaikan secara baik kepada kandidat pemenang sampaikan selamat, tetapi jika ditemukan berbagai pelangggaran mari negosiasikan pelanggaran itu kepada kandidat pemenang, buatlah kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan kandidat yang kalah dengan kandidat yang menang untuk kemaslahatan bersama demi mewujudkan pembangunan lima tahun yang bermartabat, berkeadilan bagi semua di daerah. Siapapun yang menang tentu saja untuk mengawal pembangunan daerah, karena daerah dalam melaksanakan pembangunan haruslah ada pemimpin daerah sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah.
  Sebagai salah satu masyarakat asli dan hidup dan berkarya di Papua sangat berharap agar dalam pilkada 2018 jauh lebih baik dari pilkada sebelumnya. Artinya kita berharap tidak ada konflik dan tidak masalah pilkada yang di bawah ke MK RI, dalam tulisan ini sama sekali tidak membatasi hak konstitusi setiap kandidat untuk mempermasalahkan hasil pilkada di MK, karena itu bukan domain kami, tetapi sebagai pemerhati pilkada di Papua sudah cukup kita menghabiskan energy dan waktu dan kos yang tidak sedikit hanya untuk sembuah keadilan semu.
  Contoh pemilukada Nduga Pemilukada 2016 di mana kandidat yang kalah tidak mengadu sampai ke MK. Ini suatu kemajuan demokrasi dan politik daerah yang sudah mulai menunjukan kedewasannya. Dan kita berharap hal yang sama terjadi di beberapa pilkada pada tahun 2018. Terutama sekali masyarakat dunia, Indonesia akan tertuju pada pilkada Gubernur Papua, kita berharap pilkada Gubernur berjalan elegan, simpatik, bermartabat dan mengedepan kasih menembus perbedaan dan menghargai proses politik dan demokrasi sampaik kita mendapatkan pemimpin daerah yang mumpuni untuk lima tahun ke depan. ***

*) Penulis adalah Aktifis HAM dari Sinode Baptis Papua dan Direktur HAM pada Cendekiawan


DPT Fiktif Sumber konflik di Papua

Oleh : Lakius Peyon *)

  Pemilu Gubernur Papua kian dekat. Aromanya sangat terasa di setiap sudut Papua. Sejumlah tokoh terbaik Papua bertarung. Iklim poliknya kian memanas. Tentu kita semua berharap politik di Papua aman dan damai.
  Tetapi pengalaman pemilu di Papua sering kita meninggalkan jejak konflik. Bahkan menjadi konflik laten. Tidak tanggung2 kita selalu membayarnya dgn puluhan nyawa. Bahkan tahun ini Mendagri dan Menkopolhukam harus turun tangan atasi konflik pemilukada di 6 kabupaten di papua dengan membentuk tim khusus. 
  Saya  merasa perlu untuk mengingatkan kita untuk meminimalisir potensi konflik yg terjadi.  Hal ini dimaksudkan agar kita semua tentu saja para pihak yg terlibat langsung dalam pemilu nanti perlu mengambil langkah2 kongkrit dalam rangka mengantipasi kemungkinan konflik yg terjadi. 
  Menurut saya salah satu potensi konflik yang sangat mungkin terjadi pada pemilu gubernur maupun pemilu bupati nanti maupun yg sering terjadi sebelumnya adalah akibat rusaknya sistem pendataan penduduk di Papua.
  Semua data kependudukan terutama di pegungan tengah Papua adalah data penduduk yang paling hancur dan paling rusak di Indonesia. 
   Saya pikir kita semua sangat sadar dan dengan kesadaran juga kita naikan data penduduk fiktif. Bukan cuma pemerintah daerah dan semua pihak di daerah yang menaikan jumlah penduduk fiktif tetapi saya pikir staf yg menginput data di pusatpun mingkin tahu persoalan ini dan merekapun (mungkin) menginput data fiktif secara sadar.
   Logika saya sederhana saja. Sebagian orang asli Papua sudah pindah dan hidup di kota. Artinya penduduk di kampung-kampung sudah harus turun tetapi semakin meningkat. 
   Contoh lain adalah kita di daerah pemekaran kabupaten Jayawijaya. Saat ini Jayawijaya sudah mekarkan 7 kabupaten maka tentu saja penduduknya semakin kecil tetapi justru sebaliknya. Jumlah semakin luar biasa kenaikan hingga diperkirakan 1000% lebih (lihat DPT 8 kabupaten) . 
   Pernah ada seseorang mengatakan, kita naikan jumlah penduduk berdasarkan rumus yang ada.  Ya rumusnya 5% kenaikan perkampung pertahun katanya. Masa, ada manusia lahir di semua kampung tiap tahun 5% ?
  Jumlah penduduk adalah fakta sehingga tdk ada rumus yg dapat digunakan. Apalagi kita simpulkan  sekian persen dalam kurun tertentu.
   Rusaknya data ini mengakibatkan banyak masalah terjadi dimana-mana. Mulai dari akurasi IPM, angka kemiskinan, angka buta aksara, penyediaan layanan kesehatan melalui jamkes maupun daftar pemilih tetap hingga penyusunan APBD yang tidak berimbang.
  Dari cerita2 di atas berdasarkan pengalaman saya terlibat langsung dlm beberapa pemilu belakangan ini maupun berdasarkan kesaksian orang lain, saya mengambil kesimpulan bahwa salah satu potensi konflik sesungguhnya adalah Daftar Pemilih Tetap Fiktif (DPTF).
 DPTF adalah daftar nama yang bukan nama manusia tetapi nama tak bertuan. Data nama-nama fiktif ini mengacu pada jumlah penduduk fiktif yang bersumber dari dinas kependudukan dan  KPUD tanpa verifikasi keabsahan diakui sebagai DPT. 
Belakangam ini banyak orang berargumen bahwa sistem Noken adalah salah satu potensi konflik. Menurut Penulis, Tidak. Mengapa ? Karena masalahnya ada di DPTF, bukan sistem noken.  Sistem noken  cuma sarana, sama artinya dengan kotak suara. Sama dengan karton. Ia Cuma benda mati. Benda yang diatur oleh manusia. Tempat isi surat suara.
  Cara pemilihan di Pegunungan Tengah Papua bahkan  bukan hanya sistem   noken tapi ada tiga  sistem pemilu yang dipraktekan di sini yaitu sistem noken, sistem ikat dan sistem buka-tutup. Tiga sistem pemilu ini lahir bukan karena orang Papua di pedalaman sini tidak bisa mencoblos. Sama sekali tidak. Tetapi tiga sistem ini diprakarsai oleh para elite politik untuk mengamankan suara fiktif dimaksud. Jika tidak demikian banyak suara dapat dinyatakan suara tidak terpakai.
Contohnya begini. Di salah satu TPS  jumlah manusia ril yg memenuhi syarat pemilu 20 orang tapi jumlah DPT di atas kertas  atau DPT fiktif tadi mencapai 500 pemilih. Dengan demikian, masih ada suara lebih atau DPTF sekitar 480 pemilih setelah 20 orang itu memilih. Suara sisah (DPTF) ini kemudian diklaim oleh KPPS dan kepala kampung. Tim  sukses lain tentu  tidak terima dan mulai ribut dan terjadi perkelahian bahkan pembunuhan. 
   Persoalan serupa selalu muncul di semua TPS hingga masuk pada saat pleno KPUD bahkan gugatan ke MK. Walaupun gugatan ditolak di Mk tetapi masyarakat tetap tidak mengakui karena mereka menyaksikan langsung pelanggaran itu. 
Di Pegunungan Tengah Papua  kasus ini sudah sangat kacau balau. Mau mulai dari mana dan berakhir di mana. Siapa yang memulai dan siapa yang mengakhiri. Mau mengakui malu. Mau biarkan, akan jadi bom waktu.
   Untuk itu  di daerah saya kabupaten Yalimo saya  memilih menggunakan data EKTP sebagai satu-satunya acuan data DPT pada pemilu 2019. Iya karena ketika kita menggunakan e-KTP rakyat  tidak lagi saling rebutan yang bermuara pada konflik.
   Jika kita semua bena-rbenar berkomitmen sayang masyarakat, mari kita akhiri konflik dengan pendataan pemilih secara benar. Agar setiap warga negara memilih secara bebas tanpa ancaman pihak-pihak lain sekaligus kita para politisi menang secara terhormat karena kita menang bukan dari suara fiktif. ***

*) Lakius Peyon adalah Bupati Kabupaten Yalimo


Tambahan Penghasilan Pegawai Pemprov Papua Layak Atau Membebani

Oleh :  Hariman Dahrif*)


Kebijakan tambahan penghasilan bagi ASN Provinsi Papua, yang direncakan kali ini merupakan sekian kali kebijakan yang serupa diberlakukan dimulai dari era Kepemimpinan Gubernur Barnabas Suebu. Jika dicermati kronologis kebijakan itu dikeluarkan muaranya satu yakni keluhan akan prosentesi kehadiran ASN dalam melaksanakan tugas di OPDnya diklaim kurang optimal, alias banyak yang bolos /malas. 
 Begitulah yang selalu diutarakan dan dirisaukan oleh pejabat atas pada setiap apel disetiap kesempatan. Harapan lainya adalah selain menjadi stimulans kerajinan juga bisa mengurangi apa yang disebut tilep anggaran atau yang dikenal sekarang itu adalah Korupsi. Atas dalil tersebut, KPK pun menjadi garda terdepan menganjurkan daerah agar menaikan tambahan penghasilan bagi ASN. Pertanyaanya apa memang demikian?. 
 Belajar dari beberapa kasus, seperti di beberapa kabupaten di pedalaman Papua, kebijkan memberikan tunjangan yang bertingkat dan besar kepada ASNnya tidak signifikan dengan tingkat kehadiran mereka melaksanakan tugas. Beberapa diantara mereka tetap saja tinggal di tempat semula (daerah induk), hadir ketika mendekati tunjangan dibayarkan. Begitu kesan yang penulis amati ketika melaksanakan monitoring diwilayah pedalaman Papua.
Beberapa daerah memberlakukan kebijakan ini, sebenarnya belajar dari apa yang dilakukan Pemda Gorontalo di era Fadel Muhammad dan Ahok (Basuki Tjahya Purnama) ketika memimpin DKI Jakarta. Di Jakarta gaji ASN berkisar Rp 33 juta eselon IV sampai Rp Rp 96 juta eselon I. Namun bila hal itu diberlakukan di Papua, semuanya itu masih menjadi tesis, sebab Ahok dan Pak Fadel menambahkan penghasilan tersebut disertai proses karier dan pemberian jabatan yang sangat adil, transparan dan memuaskan bagi ASN yang bersangkutan serta phunisment yang ketat. Nah, dititik inilah sebenarnya yang menjadi masalah pertama ASN diseluruh Inonesia tidak terkecuali di Papua.      
 Seperti yang disosialisasikan, dalam kajian Litbang Provinsi Papua (2017), beberapa hal yang melatarbelakangi kebijakan tersebut, antara lain: gaji ASN di Indonesia ditingkat ASEAN hanya menempati urutan ke delapan. Lebih memperihatinkan peringkatnya di bawah Vietnam, Myanmar dan Pilipina, negara yang merdeka lebih dahulu dari kita. Sepintas rujukan tersebut benar sebagai kesimpulan dari mengapa diperlukan naiknya penghasilan. Namun penulis mengingatkan jangan lupa bahwa UU ASN diberlakukan di Indonesia, salah satu tempat studinya adalah negara Kanguru, Australia.
 Singkatnya, tujuan Pemerintah memberikan tambahan penghasilan bagi ASN adalah bagaimana ASN itu, hadir melaksanakan tugas alias tidak makan gaji buta lalu berkinerja. Namun seperti telah diutarakan di atas dibeberapa kabupaten yang memberlakukan kebijakan yang sama, tidak serta merta seperti yang diharapkan. Sebagian berpendapat hal itu terjadi karena tidak diikuti oleh prayarat atau kriteria yang harus dipenuhi untuk dipatuhi. Dalam kerangka itulah kebijakan pemerintah Provinsi kali ini memberlakukan kebijakan tambahan penghasilan, sekaligus menyertainya dengan persyaratan atau kriteria.
 Jumlah ASN di Provinsi Papua lebih kurang 7357 ribu. Tersebar dalam 52 OPD, terbagi pula dalam 1120 Eselonisasi. Sementara jumlah APBD, 2017 kita kurang lebih 15 Triliyum, setiap tahun bertambah sekitar 1-2 % saja.  Sesuai kajian litbang, jika skenario penuh diterapkan, maka diperlukan anggaran kurang lebih Rp 1.3 Triliun rupiah. Anda bisa bayangkan 9 % APBD kita disedot oleh tambahan penghasilan ASNnya saja. Namun demikian dalam kajian Bappeda perihal Pengendalian Program 2017 ditemukan performan anggaran kita terbilang belum efektif dan efisien. Dalam skala Program follow priority dalam on the track, tetapi item belanja per belanja boleh dikatakan terdapat pemborosan.
 Selain struktur APBD kita yang masih didominasi Belanja Tidak Langsung, ketidak efisienan lain, bisa ditemukan (1) masih banyaknya duplikasi penganggaran di dalam item belanja tidak langsung maupun langsung, (2) Di belanja langsung barang dan jasa misalnya item belanja, seperti belanja makan dan minum, pemeliharaan, perawatan kendaraan bermotor, cetak dan penggandaan, sewa gedung perlengkapan, jasa kantor, sewa rumah dan premi pegawai bisa dihemat. Misal saja sekitar 15% penghematan dari item belanja langsung dilakukan maka bisa menjawab 70% persediaan uang untuk menunjang kebijakan tambahan pengahasilan tercukupi. Artinya dalam APBD Provinsi Papua terdapat potensi untuk dimaksimalkan menjawab kebijakan tersebut baik dari belanja tidak langsung maupun rasionalisasi dari belanja langsung.
 Namun perlu diingat, bagi ASN keadaan ini menggembirakan sekaligus menyedihkan. Menggembirakan karena layak diaplikasikan, menyedihkan karena yang dijadikan gaji dasar dalam menghitung pensiun adalah dari Gaji Pokok bukan dari tunjangan atau tambahan penghasilan. Jadi sebesar apapun naiknya tunjangan atau tambahan penghasilan tidak mempengaruhi besarnya gaji pensiun. Oleh karena itu yang diperlukan ASN sebenarnya adalah gaji naik, sehingga saat pensiun masih bisa membiayai anak mungkin masih sekolah atau merawat kesehatannya. Petaka lain yang mungkin timbul adalah masalah sosial, berupa kecemburuan antara daerah dan provinsi serta tingkat kesenjangan pendapatan antara lapisan masyarakat di Papua.
 Namun kritik penulis sebenarnya adalah dijadikannya “KEHADIRAN” sebagai pokok indikator yang sifatnya output dalam perhitungan tambahan penghasilan. Pada hal kehadiran sebenarnya bagian yang disasar sebagai dampak (indikator out come) untuk membiasakan PNS itu hadir meskipun tidak ditambah penghasilannya. Seorang ASN itu harus hadir di kantor pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai Tupoksinya, sebagai konsekwensi pilhannya menjadi ASN. Ini mungkin terlalu idealis atau utopia, tetapi belajar dari perusahan semisal Microsoft, Samsung, LG dan perusahaan papan atas di seluruh dunia, baru anda bisa mengerti.
 Apakah ini sulit, penulis kira tidak karena teknologi informasi seperti sms, telepon melalui polling pendapat akan membantu atau kerjasama dengan Komisi Informasi Publik. Artinya seorang ASN menerima gaji dan tambahan penghasilan itu dari Pajak, sedang pajak dipungut dari rakyat, maka selayaknya masyarakat juga diberi kewenangan mengawasi ASN dalam melayaninya. Apakah seorang Eselon menerima sampai maksimal Rp 50-an juta rupiah/bln bisa dikatakan layak, sementara tingkat pelayanan OPDnya menurut persepsi publik rendah?. Kongkritnya usulan penulis adalah saatnya diperlukan asesement centre untuk memberlakukan kebijakan tambahan penghasilan itu bisa diaplikasikan. ***


*) Pemerhati Sosial Ekonomi serta isu-isu kebangsaan di Papua, tinggal di Aryoko-Jayapura; harimandarif@yahoo.co.id (Dosen UNIYAP Papua) Sehari-hari  bekerja di Bappeda Provinsi Papua

By Design Mewarnai Pilkada Papua: Berharap Pilkada 2018 Damai

Oleh Pares L.Wenda*

  Di era reformasi ini! Sejak UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah ditetapkan. Pesta demokrasi pilkada mulai dilakukan di seluruh Indonesia. Di Papua pesta demokrasi pilkada dimaksud mulai dilaksanakan pada tahun 2005, kalau saya tidak salah.
  Dalam perjalanan pilkada teramati bahwa kedewasaan berpolitik, berdemokrasi dalam Pilkada di Papua belum sepenuhnya terlaksana, belum ada kandidat yang siap kalah dan siap menang. Memang komitmen siap kalah dan siap menang selalu dibuat para pasangan calon tetapi ternyata itu hanya lift service yang dibuat-buat untuk memenuhi prasayaratan perintah UU Pemilu.

  Dalam suatu kesempatan Dr. Samsul Rizal Pangabean dari Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadja Mada Yogyakarta melakukan studi tentang konflik Pilkada di Papua bersama seorang rekannya yang juga salah satu Dosen di Universitas Sydney yang menekuni bidang perdamaian dan resolusi konflik, mereka dating dan sempat bertemu dengan saya pada tahun 2016 yang lalu.  Kedua professor ini datang dengan satu pertanyaan saja yaitu mengapa di Papua sering terjadi konflik pilkada? Dari daftar list yang mereka punya hampir seluruh daerah di Papua mengalami konflik Pilkada, Namun dalam pertemuan dengan saya, saya katakan bahwa Kabupaten yang tidak pernah terjadi konflik pilkada yaitu Pegunungan Bintang baik Pilkada 2005, pilkada 2010 dan pilkada 2016. Meskipun diakui bahwa pada akhirnya hasil akhir dari ketiga Pilkada tersebut berakhir di MK. Kedua Profesor ini tidak begitu yakin tetapi mereka mencoba melihat list yang mereka bahwa dan ternyata benar hanya di Pegunungan Bintang pelaksanaan pilkada tidak ada konflik dari 28 Kabupaten dan 1 Kota di Papua. Karena itu mereka menamba satu daftar pertanyaan lagi mengapa di Kabupaten Pegunungan Bintang tidak terjadi konflik Pilkada? Kemudia saya mengubungkan kedua professor dengan Bupati Drs. Wellington L.Wenda, M.Si untuk diwawancarai.

  Terlepas dari kedua Profesor di atas, dalam Pikada 2016 Seorang tokoh Muda Papua asal Nduga yang juga maju sebagai kondidat Bupati telah mengukir sejarah baru dimana beliau mengakui kemenangan lawannya dan tidak sengketakan pilkada dan berakhir di MK. Tokoh muda itu adalah Samuel Tabuni yang saat ini sebagai CEO dari Papua Language Institute (PLI).

  Dalam Pilkada Lanny Jaya tensi konflik pilkadanya sangat tinggi tetapi tidak terjadi konflik yang destruksion yang memicu  korban jiwa dan harta benda baik pilkada 2010 dan 2016. Hal ini dipengaruhi oleh ke tokohan dari seorang yang kalah yang selalu mengutamakan perdamaian daripada menciptakan konflik. Meskipun Lanny Jaya termasuk daerah yang dalam peta politik pilkada merupakan daerah rawan konflik menurut kaca mata aparat keamanan. Dalam konteks ketokohan dan menjaga perdamaian pasca pilkada oleh kandidat yang kalah ini tidak pernah ada rewards dari pemerintah atas jasa mereka menjaga perdamaian tanpa konflik Pilkada ditengah carut marutnya konflik Pilkada di Papua.

  Negara ini mudah sekali melupakan jasa setiap anak bangsa kususnya dalam konteks demokrasi pelaksanaan Pilkada dimana yang menerima rewards selalu hanya penyelenggara Pilkada yaitu KPUD dan Panwas Daerah, sementara kandidat yang kalah dilupakan begitu sajah, pada hal jika diamati sebenarnya factor penentu lainnya untuk meredam konflik pilkada tidak berkepanjangan adalah kandidat yang kebetulan kalah dalam Pilkada. Mereka ini harus diberi penghargaan ketika mereka mengakui dan menerima hasil kekalahannya dan menyatakan selamat kepada yang menang. Kasus Nduga dan Kasus DKI Jakarta seharus Negara memberikan rewards kepada mereka minimal tanda penghargaan atas jazahnya meredam masanya untuk tidak berkonflik.

  Menurut saya rewards dapat dilakukan mengingat bangsa ini baru saya melangkah dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah kurang lebih telah berumur 15 tahun  sejak 2005. Artinya pemerintah dan pemerintah daerah terus membenahi dari berbagai aspek. Namun patut diakui bahwa alat kelengkapan pelaksanaan pilkada kita sudah amat sangat baik, yang menjadi soal kita sekarang adalah ditingkat pelaksanaan dimana sumber daya manusia tidak mau konsisten terhadap system pemilukadanya. Ketika saya dan beberapa teman menulis buku tentang Pilgub Papua tidak Demokratis kesimpulan yang kami buat adalah permasalahannya bukan pada kandidat, tetapi system dan budaya kerja yang mematikan keadilan, demokrasi, politik dan hukum kita. Sehingg tuntan keadilan tidak dapat dipenuhi dalam proses politik, demokrasi dan penegakkan hukum. Kalau seperti ini terus berlangsung maka ke depan bukan tidak mungkin tetapi ada kemungkinan system pilkada kita dapat saja diubah, sesuai dengan dinamika perpolitikan global dan nasional yang selalu berdapak langsung di daerah.

  Apa yang terjadi kemudian di daerah khususnya di Papua? Dalam pengamatan saya sejak 2005 pesta demokrasi Pilkada Kabupaten/Kota di Papua, para kandidat selalu menyusun strategi pemenangan. Diman kandidat mulai bergerilaya mengusahakan orang-orangnya masuk di KPUD, di Panwaslu Daerah, dengan tujuan memenangkan dirinya. Stakholder lainnya juga dipengaruhi, dikerahkan secara sistematis tetapi tidak Nampak sistematis. Misalnya melibatkan Aparat kemanan dari semua kesatuan yang bertugas di suatau daerah, tokoh-tokoh kunci di masyarakat, untuk mencapai kemenangan. Kandidat mempengaruhi parah tokoh dengan maksud mempengaruhi masa untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Hal ini baik tetapi tidak membangun masa depan yang lebih baik dari sebuah proses pilkada.

  Ada kandidat yang berkualitas memang maju untuk membangun daerah tidak hanya pembangunan aspek yang berhubungan dengan melayani masyarakat tetapi juga pembangunan politik, demokrasi dan hukum agar dalam jangka panjang suatu daerah kelak menikmati pelaksanaan hukum, politik dan demokrasi yang elegan dengan memperhatikan aspek kemanusiaan. Namun ada kandidat yang ambisus menjadi pemimpin daerah tanpa mempunyai konsep yang jelas untuk membangun daerah sehingga semua program dan kebijakan pembangunan bermuara pada politis, ini kemudian dalam jangka panjang menghancurkan suatu daerah kelak dalam mebangun penerapan hukum, pelaksanaan politik dan demokrasi. Sehingga terjadi ketimpangan pembangunan dan perkembangan politik, demokrasi dan penerapan hukum pada akhirnya menjadi pincang dari daerah yang satu dengan daerah yang lain. Sehingga perkembangan politik, hukum dan demokrasi tidak berkembang bersama.

  Kondisi ambisius tersebut bawasannya menimbulkan konflik yang didesign secara khusus oleh mereka yang tidak mempunyai visi pembangunan poltik, demokrasi dan hukum yang kuat dan jelas. Isu politik, demokrasi dan hukum ketika diterapkan oleh semua stahokelder saat pilkada berlangsung menurut saya dapat menjadi barameter apakah seorang yang terpilih kelak dapat melaksanakan pembangunan 5 tahun atau hanya memainkan mesin politik saja.

  Konflik pilkada di Papua lebih disebabkan tidak ditegahkannya keadilan dalam pilkada, keadilan dibeli oleh kandidat yang lebih mapan dari sisi finansial yang dimiliknya. Akibatnya setiap anak bangsa sebagai kandidat berusaha mencari keadilan melalui mekanisme hukum yang tersedia sampai di MK (Mahkama Konstitusi) RI, sulit juga didapat. Susahnya MK sulit juga mewujudkan keadilan yang diharapkan, apalagi di Bawaslu. Bawaslu lebih mengawal dirinya sendiri dalam pengertian dia hanya menghukum, bagi KPU atau Panwas yang melakukan pelanggaran tidak mendiskualifikasi calon, UU menyamin untuk didiskulifikasi. Benar atau salah dugaan kuat bahwa yang tersedia adalah keadilan dibeli oleh kandidat yang berduit. Banyak dari kandidat yang kalah merasa sulitnya mendapat keadilan di negeri ini, pernyataan seperti ini sempat disampaikan oleh Jhon Tabo kandidat Bupati Tolikara beberapa waktu lalu di Metro TV Jakarta pasca insiden di Kemendagri. MK selama ini dalam pengamatan saya, keputusan KPU daerah itulah yang diamankan MK bukan berdasarkan kasus yang diajukan oleh para pencari keadilan dalam hal ini bagi mereka yang merasa dirugihkan oleh penyelenggara Pilkada di daerah, karena sudah terlanjur kongkalingkong dengan kandidat yang menang. Beberapa Hakim MK juga ditangkap karena dugaan menerima suap dari kandidat. Sehingga dalam kasus Pilkada di Papua sebagian berakhir di MK, MK lah yang putuskan siapa Bupati dan Wakil Bupati.

  Bydesign juga dilihat dari isu Politik Papua merdeka. Bagi para kandidat yang sudah dan haus kekuasaan isu Papua Merdeka sering menjadi barang jualan politik. Para kandidat saling melaporkan kepada petinggi NKRI di Jakarta dimana diduga kuat bahwa pertimbangan di MK tidak hanya dari sisi kewenangannya tetapi juga aspek politik dalam konteks kedaulatan Negara Indonesia di Papua juga menjadi pertimbangan. Sebenarnya aspek ini tidak perlu juga tetapi karena ambisi kekuasaan sehingga bagian ini juga menjadi jualan politik bagi para kandidat. Dimana para kandidat akhirnya saling melapork bahwa “ saya Indonesia, dia bukan”. Kalau diamati bahwa orang seperti ini tidak mempunyai konsep dan strategi lain yang memungkinkan untuk memenangkan pilkada, sehingga apa saja yang bisa digunakan untuk merebut kekuasaan dapat dimanfaatkan oleh kandidat dimaksud.

Pilkada 2016! Kita bersama mengetahui bahwa di Puncak Jaya, di Intan Jaya konfliknya sampai destruction, sementara bebarapa daerah ada konflik tetapi tidak terjadi destruction. Beberapa daerah dikawtirkan terjadi konflik namun konflik tidak terjadi yaitu di Lanny Jaya dan Tolikara, dalam kasus Tolikara konflik destruction justru terjadi di Kemendagri bukan di daerah pemilihan. Pernyataan resmi Jhon Tabo pada Metro TV sebagai salah satu kandidat yang dikalakan melalui MK, mengatakan kami mencari keadilan di dalam Republik ini, Putusan MK mencederai rasa keadilan kami, karena laporan yang dinaikan sebenar cukub bukti untuk petahana dapat didiskualifikasi, namun Jhon mengatakan kami tidak mendapat keadilan di Republik ini. Namun bagi kandidat petahana atau pemenang pilkada juga merasa bahwa mereka bagian dari anak bangsa yang mempunyai hak yang sama untuk menjadi Bupati atau tidak menjadi Bupati. Karena itu bagi mereka adalah pernyataan lawan yang kala merupakan pelampiasan dari sebuah proses politik dan itu wajar dimanapun. Dan sekiranya itu benar, tetapi bahwa sekali lagi bahwa dalam jangkan panjang penyelenggara pilkada dalam hal ini KPU dan Panwas harus independent tidak terpengaruh oleh pengaruh money politic yang dipengaruhi oleh kandidat yang berduit.
  Kita sangat berharap Pilkada Gubernur, Pilkada Puncak, Pilkada Biak, dan Pilkada beberapa daerah lainnya tidak terjadi konflik yang mencederai demokrasi, politik dan hukum, meskipun mungkin sulit tetapi minimal kita wajib mendorong agar independensi penyelenggara pemilu tetap benar-benar di jaga ketat. Semoga.***

*)Penulis adalah Aktifis HAM dari Sinode Baptis dan Direktur HAM dari Cendekiawan Alumni se Jawa dan Bali di Tanah Papua.



Menyelaraskan Arah dan Tujuan Membangun Daerah

Oleh Ardhian Prima Satya

Pemerintah daerah tidak dapat mengarahkan pembangunan yang ada tanpa melihat kompas dan peta menuju tanah impian, dalam hal ini kompas dan peta itu adalah RPJMD. RPJMD membutuhkan penjabaran rinci yang dibutuhkan masing-masing bagian yang ada di “kapal besar” bernama pemerintah daerah.
 Ketika kompas dan peta tujuan tidak pernah digunakan serta tidak dipahami oleh seluruh awak kapal, yang akan terjadi adalah gagalnya pelayaran ke tanah impian. Dengan berpatokan kepada RPJMD, semua pegawai di daerah harus mengarahkan pandangan dan tenaganya untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan pemimpin daerah. Dengan berpatokan kepada RPJMD pula, Kepala SKPD/OPD harus menyelaraskan arah pandang dan tujuannya sesuai yang diharapkan pemimpin daerah.
 RPJMD disusun setiap 5 tahun sekali, begitu pula dengan Renstra. Sebagaimana yang tertuang dalam Permendagri 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan PP No.8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Pasal 63 ayat 5 menyebutkan bahwa Rancangan Renstra SKPD/OPD yang telah diverifikasi oleh Bappeda dijadikan bahan masukan untuk penyempurnaan rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD.
 Hal ini ditekankan kembali di Pasal 92 ayat 3 bahwa perumusan rancangan Renstra SKPD/OPD merupakan proses yang tidak terpisahkan dan dilakukan bersamaan dengan tahap perumusan awal RPJMD. Sehingga seharusnya apabila tidak ada rancangan Renstra SKPD/OPD tidak akan ada RPJMD.
 Perumusan rancangan Renstra SKPD/OPD berpedoman pada surat edaran kepala daerah. Renstra SKPD/OPD dibahas dengan seluruh unit kerja di lingkungan SKPD/OPD dan harus diselesaikan serta dikumpulkan oleh Kepala SKPD/OPD paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat edaran kepala daerah diterima kepada Kepala Bappeda.
 Di Pasal 96 Permendagri 54 tahun 2010 menyebutkan bahwa penyusunan rancangan akhir Renstra SKPD/OPD, merupakan penyempurnaan rancangan Renstra SKPD/OPD yang berpedoman pada RPJMD yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Penyempurnaan ini dimaksudkan untuk mempertajam visi dan misi serta menyelaraskan tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan daerah sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD/OPD yang ditetapkan dalam RPJMD.
 Setelah dilakukan penyempurnaan, maka SKPD/OPD melakukan penyusunan rancangan akhir Renstra. Rancangan akhir Renstra disampaikan oleh Kepala SKPD/OPD kepada Kepala Bappeda untuk memperoleh pengesahan dari Kepala Daerah. Sebelum dilakukan pengesahan pada semua rancangan akhir Renstra seluruh SKPD/OPD, Kepala Bappeda melakukan verifikasi dan melihat sinkronisasi atau kesesuaian visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan yang ada di SKPD/OPD dengan RPJMD, kemudian seluruh rancangan akhir Renstra dari setiap SKPD/OPD disahkan oleh Kepala Daerah dengan menerbitkan Peraturan Daerah.
 Dari penjelasan di atas, bila setiap Kepala SKPD/OPD menyadari tanggung jawabnya dalam menyusun Renstra, dan Bappeda sebagai penanggung jawab melakukan monitoring dan evaluasi, maka Renstra dapat disusun dengan baik dan dapat digunakan menjadi alat pandu bagi SKPD/OPD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai upaya mewujudkan Visi dan Misi kepala daerah.
 Namun, sampai saat ini masih banyak SKPD/OPD tidak menyusun Renstranya sejak awal. Hal ini memberikan gambaran bahwa fungsi Bappeda tidak berjalan dengan maksimal dan sudah dapat dipastikan SKPD/OPD hanya melakukan kegiatan rutin tanpa memiliki acuan pencapaian target kinerjanya. Bagaimana mungkin SKPD/OPD hendak mewujudkan Visi dan Misi kepala daerah?
 Tidak adanya alat pandu arah yang baik dalam sebuah pemerintahan, akan berdampak pada beberapa hal. Pertama, dampak paling parah adalah pembangunan daerah yang dicita-citakan untuk menyejahterakan masyarakat tidak akan terwujud dengan maksimal, bahkan tidak akan pernah terwujud. Tidak adanya Renstra sebagai penunjuk dan penyelaras arah bagi laju kinerja masing-masing SKPD/OPD, menyebabkan setiap SKPD/OPD akan berjalan sendiri-sendiri.
Kedua, sulit untuk melakukan pemantauan berkala atas capaian kinerja pemerintahan secara tepat dan akurat, bila tidak terdapat standar pengukuran target kinerja yang jelas. Renstra merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan oleh Kepala Daerah untuk melihat kinerja Kepala SKPD/OPD yang telah dipilihnya.
 Ketiga, adanya peluang besar untuk kesengajaan yang menyebabkan terjadinya penyelewengan keuangan negara. Apabila Renstra tidak ada, maka target capaian tahunan SKPD/OPD dalam bentuk Renja juga tidak dapat disusun.
 Keempat, tidak ada rasa tanggung jawab dari seluruh pegawai pemerintah daerah untuk berkontribusi secara nyata dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik.
Adanya dampak di atas, maka diperlukan adanya perubahan bagi “seluruh awak kapal” pemerintah daerah. Renstra sebagai alat pandu arah dan penyelaras tujuan dari “nahkoda” beserta “seluruh awak”-nya harus lebih diperhatikan oleh Kepala Daerah, harus disusun bersamaan dengan ditetapkannya RPJMD, Bappeda harus berperan aktif dalam melaksanakan monitoring, verifikasi dan evaluasi penyusunan Renstra SKPD/OPD, Inspektorat Daerah dilibatkan secara aktif mengawasi dan mengawal penyusunan Renstra SKPD/OPD, Kepala Daerah menggunakan Renstra sebagai raport bagi Kepala SKPD/OPD.
Renstra seharusnya bukan lagi menjadi dokumen yang disepelekan karena Renstra adalah dokumen kunci untuk menilai pemerintahan telah berjalan sesuai arah dan tujuan. Renstra menjadi penanda bahwa Kepala SKPD/OPD yang terpilih benar-benar telah menyelaraskan arah pandangnya menuju apa yang dicita-citakan Kepala Daerah membangun daerah dan masyarakat yang lebih baik.***

*)Penulis bekerja di BPKP Provinsi Papua


Dinas Kebudayaan Provinsi Papua dan Nasib Pesta Budaya Papua

Oleh: Dominggus Rumbewas *)


Pesta Budaya Papua adalah salah satu kegiatan pada program pembinaan kebudayaan daerah dalam hal ini seni dan budaya Orang Asli Papua yang masuk kategori Seni pertunjukan dan pameran yang dimiliki suku – suku bangsa atau etnik di Provinsi Papua seperti suku bangsa/ etnik Tobati Injros di Kota Jayapura, suku bangsa/ etnik Sentani di Kabupaten Jayapura, suku bangsa/ etnik Lani di Kabupaten Jayawijaya, suku bangsa/etnik Ngalum di Kabupaten Pegunungan Bintang, suku bangsa/ etnik Byak di Kabupaten Biak-Numfor, Supiori, Suku bangsa/ etnik Komoro di Kabupaten Mimika, suku.bangsa/ etnik Mee di Kabupaten Paniai, suku bangsa/ etnik Asmat di Kabupaten Asmat, suku bangsa/ etnik Muyu di Kabupaten Boven Digul, suku bangsa/etnik Ansus di Kabupaten Kepulauan Yapen, suku bangsa/ etnik Moor di Kabupaten Nabire, suku bangsa/ etnik Marind di Kabupaten Merauke, dan lain sebagainya.
 Kegiatan ini, Pesta Budaya Papua diprogramkan menjadi salah satu kegiatan tetap setiap tahun oleh Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Papua yang dimulai tahun 2003, adalah sebagai wujud kongkrit realisasi Roh/ Amanat pasal 57 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang bunyi ayat itu adalah “ Pemerintah Provinsi wajib melindungi membina dan mengembangkan kebudayaan asli Papua”. Oleh karena itu maksud dan tujuan mulia dari kegiatan ini dalam mewujudkan amanat itu adalah Menggali, membina dan mengembangkan seni dan budaya (kebudayaan asli) yang terdapat pada suku-suku bangsa/etnik di Tanah Papua khususnya Provinsi Papua sesuai wilayah kerja Dinas Kebudayaan Provinsi Papua.
 Sebagai upaya pelestarian seni dan budaya tradisi (kearifan lokal) yang dimiliki masing-masing suku bangsa/etnik di Provinsi Papua.  Memotivasi dan mendorong seniman tradisi dan budayawan agar senantiasa berupa bersama masyarakat dan pemerintah daerah menghidupkan seni dan budaya masing-masing suku bangsa/ etnik di daerah kabupaten/kota masing-masing
  Sebagai sarana memperkenalkan seni dan budaya tradisi kepada masyarakat umum terutama generasi muda penerus bangsa. Memotivasi dan meningkatkan apresiasi, kecintaan dan kebanggaan masyarakat orang Papua terhadap kekayaan seni dan budayanya sendiri yang adalah cerminan identitas orang Papua yang mahal nilainya.
  Generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya dapat memperoleh pengertian, pemahaman, pengetahuan dan menimba makna dan nilai yang terkandung di dalam suatu materi seni dan budaya tradisi yang bermanfaat dalam kehidupan.  Memperkaya dan memperkukuh keberagaman seni dan budaya bangsa di dalam Negera Kesatuan Republik Indonesia.
 Peserta Pesta Budaya Papua dapat saling mengenal, dan saling belajar dari kelebihan dan kekurangan masing – masing.  Membangun kebersamaan, persatuan yang baik di antara sesama perserta, seniman dan budayawan serta dengan masyarakat penikmat Pesta Budaya Papua. Serta sebagai salah satu obyek wisata budaya di ibukota Provinsi Papua, Jayapura.
 Maksud dan tujuan mulia inilah dengan dasar pasal 57 ayat (1) UU. Otsus hendak diwujudnyatakan melalui event Pesta Budaya Papua ini. Namun apa yang terjadi belakangan ini terhitung tahun 2010 yaitu pelaksanaanya yang ke-8 hingga yang ke-15 tahun 2017 ini ternyata mengalami kemerosotan yang sangat memprihatinkan, padahal Dinas Kebudayaan Provinsi Papua dipimpin Putra – Putra Papua sendiri mulai eselon II sampai Eselon IV.
Penulis sebagai Pengamat Seni Budaya mau mengatakan bahwa apakah kita masih mengatakan bahwa kita adalah orang Papua, sementara mengurus seni dan budaya yang adalah identitas/ jatidiri kita sendiri tidak mampu, tidak menggunakan hati, cinta, bangga dan bijaksana untuk memajukannya? Penulis khawatir jangan – jangan kita sendirilah yang suatu saat melenyapkannya tanpa disadari karena dipengaruhi berbagai pengaruh budaya, kondisi dan kemajuan zaman yang terus menggoyang sendi – sendi kehidupan manusia orang Papua dan budayanya. Mudah – mudahan Orang Papua tidak dianggap “lenyap/ tidak ada” karena seni dan budayanya yang adalah cerminan identitasnya masih tetap ada atau tidak punah sepanjang masa.
 Indikator cerminan identitas suatu masyarakat suku bangsa/ etnik di manapun di belahan bumi ini yang sangat jelas dan menonjol hanya 2 (dua) aspek yaitu: yang pertama adalah seni dan budayanya. (kebudayaan asli/kearifan lokal). Yang kedua adalah fisik manusianya. Namun aspek yang kedua ini bisa berubah karena faktor perkawinan campur.
 Tetapi kebudayaan tradisi / kearifan lokal baik itu bahasa, sastra, kesenian tradisi dan kreasi yang berakar pada budaya dan alam, kuliner (makanan) upacara – upacara adat, dan lain sebagainyalah yang tetap menyatakan keberadaan dan identitas masyarakat atau suatu kelompok manusia yang berabad – abad secara turun – temurun menempati dan hidup di suatu wilayah tertentu sepanjang masa apabila dijaga, dipelihara, dirawat dengan baik dan benar serta diwariskan kepada generasi penerus secara turun – temurun.
 Sebagai Pengamat seni budaya simpati, apresiasi pada beberapa daerah kabupaten/ kota di Provinsi Papua yang dengan setia dan konsekwen mempunyai kepedulian dengan maksud dan tujuan melaksanakan gelar Festival Budaya atau Pesta Budaya setiap tahun. Mudah-mudahan Kabupaten yang belum menggelar seni dan budaya masyarakatnya/ suku-suku bangsa (etnik) dapat mengikuti contoh kabupaten/kota yang sudah melaksanakannya dalam melestarikan dan menjaga identitas dan ketahanan budaya terhadap pengaruh – pengaruh negatif dari kemajuan zaman.
 Tulisan ini baru Penulis munculkan kepermukaan, kendatipun kondisi Pesta Budaya Papua yang memprihatinkan itu sesungguhnya telah terjadi pada tahun 2010 (yang ke-8) sampai dengan yang ke-15 tahun 2017 yang pelaksanaannya dimulai tanggal 29 Agustus 2017 dan telah berakhir 31 Agustus 2017 di Taman Budaya Provinsi Papua di Waena Jayapura.
 Hal ini dengan maksud baik penulis, bahwa dengan kritik ini atau tulisan ini, semoga Pesta Budaya Papua yang ke-16 tahun 2018 yang akan datang dapat diprogramkan, direncanakan dan dilaksanakan lebih baik, lebih berkualitas, lebih bermartabat baik dari segi jumlah peserta kabupaten/ kota dan isinya yaitu materi – materi pergelaran dan pameran serta perlu ditambah pertemuan- pertemuan seni dan budaya selama waktu pelaksanaan pesta budaya pada pagi hari bagi peserta maupun masyarakat pada umumnya. Berkenaan dengan ini Penulis menyampaikan beberapa saran dan himbauan yakni  Agar Dinas Kebudayaan Provinsi Papua mengadakan evaluasi tentang kelemahan – kelemahan dan kegagalan yang ada mulai dari pengajuan program, persiapan, sampai pelaksanaan Pesta Budaya ke-15 tahun 2017 ini agar menjadi data dan bahan masukan yang penting dalam memprogramkan, mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan tersebut pada tahun 2018 yang akan datang.
 Agar semua pejabat mulai eselon II s/d IV bertekad bekerja sebaik – baiknya untuk memajukan bidang tugas masing – masing, secara khusus bidang kesenian yang mengelola kegiatan Pesta Budaya Papua.   Menjalin kerjasama yang baik dan mantap dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota se-Provinsi Papua melalui Dinas – Dinas Kebudayaan atau dinas yang menangani kebudayaan.
 Melibatkan stakeholder baik secara lembaga maupun perorangan untuk turut menyampaikan pikiran, pendapat, dan dukungan dalam kegiatan – kegiatan kebudayaan. Pemerintah Provinsi Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua hendaknya mempertimbangkan anggaran yang memadai dalam membangun kebudayaan orang Papua.
 Itulah sedikit komentar Penulis tentang Dinas Kebudayaan Provinsi Papua Dan Nasib Pesta Budaya Papua. Mudah – mudahan ada manfaatnya. Bekerjalah sebaik-baiknya untuk memajukan seni dan budaya orang Papua dalam NKRI dan untuk kemuliaan bagi Allah Yang Maha Agung.***


*)Pengamat Seni Budaya

Disangka Korupsi, Padahal Tidak Mengambil Uang Negara

Oleh : Hendrik Dengah *)
Salah satu jenis tindak pidana korupsi yang sering terjadi adalah korupsi Merugikan Keuangan Negara. Keuangan Negara menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 1 Angka 1 “adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Uang Negara didapat oleh penyelenggara pemerintahan dengan cara memungut pajak dan penerimaan negara bukan pajak serta hibah, dari sinilah uang terkumpul karena masyarakat taat membayar kewajibannya terhadap negara.
Untuk menggunakan uang negara, secara sederhana dapat kita ketahui dengan adanya Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang dibicarakan bersama antara Eksekutif dengan Legislatif, kemudian ketika mereka sepakat maka mejadi Anggaran Pendapatan dan Belanaja Negara (APBN), ringkasnya dalam APBN terdapat rincian apa yang dibelanjakan menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Terkait dengan pembangunan, dalam APBN ada rincian belanja barang atau jasa, masyarakat awam mengenal dengan sebutan proyek, apakah proyek itu dalam bentuk pembangunan fisik, perencanaan pembangunan ataupun pengawasan pembangunan serta pengadaan barang.
Fakta yang ada, disinilah awal para Pejabat Negara atau Pegawai Negeri Sipil atau Pengusaha atau Korporasi masuk dalam lingkungan yang rentan terjerat tindak pidana korupsi dengan jenis korupsi merugikan keuangan negara. Apa mau dikata inilah batu uji untuk setiap insan, apakah kita sanggup dan konsiten dengan pebuatan bersih atau tergiur melakukan perbuatan kotor, yang mungkin menjanjikan suatu pendapatan yang besar, dalam waktu yang singkat dan gampang, mengapa gampang? Karena kadangkala hanya dengan menandatangani dokumen terkait pencairan dana, maka meminjan kalimat dalam pelajaran biologi Sekolah Dasar, dengan “simbiosis mutualis” maka tercapailah  tujuan itu, yang populer disebut Korupsi.
Ketika mendengar kata korupsi, si pendengar berasumsi bahwa perbuatan itu terkait dengan mendapatkan uang entah dari siapa, dan dengan cara apa atau dengan cara curang,  bersekongkol (kolusi) dengan orang dekat (nepotisme). Padahal belum tentu demikian, jika di teropong dengan menggunakan Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 31 Tahun 1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), tidak semua personal yang terjerat tindak pidana korupsi mendapatkan uang atas perbuatannya, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, yang dikenal dengan tindak pidana korupsi menurut UUPTPK.
 Penggunaan APBN dalam konteks Penyedia Barang atau Jasa, memiliki landasan hukum yaitu PERPRES RI NO 54 TAHUN 2010 TENTANG PENGADAAN BARANG/ JASA PEMERINTAH beserta dengan lampirannya, dan PERPRES RI  NO 35 TAHUN 2011 TENTANG PERUHANAN, dan PERPRES RI NOMOR 70 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA, dan PERPRES RI NOMOR 172 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA, dan PERPRES NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERPRES RI NOMOR 54 TAHUN 2010, di dalamnya mengatur tentang hukum dari Pengadaan Barang, Pekerjaaan Konstruksi, Jasa Konsultasi dan Jasa lainnya.
 Subyek yang harus melaksanakan hukum tersebut adalah : Penguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan, Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa, yang keseluruhan subyek ini terkait dengan pengadaan barang/jasa dan memiliki tugas, fungsi masing-masing, sebagaimana tercantum secara jelas dalam aturan tersebut dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai dasar hukum yang memberikan kewenangan, yang harus dilaksanakan bersama-sama untuk mencapai tujuan yaitu : efesiensi, terbuka, kompetitif, berkualitas, tepat waktu, percepatan pelaksanaan pembangunan, percepatan pelaksanaan belanja negara, pemanfaatan teknologi informasi. Apabila dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara melawan hukum dan kewenangan yang diberikan tidak dilaksanakan sebagaimana kewenangan itu harus dijalankan  dan mengakibatkan negara mengalami kerugian nyata, maka mereka akan berhadapan dengan tuntutan hukum dalam rana tindak pidana korupsi.
 Mari kita lihat bersama, dimana potensi terjadinya perbuatan melawan hukum, dalam proses pengadaan barang/jasa. Semestinya pengadaan barang/jasa dengan nilai tertentu, dilakukan dengan cara pelelangan sebagaimana diatur dalam perpres di atas. Jika dilakukan dengan cara rekayasa administrasi untuk tujuan memenangkan peserta lelang tertentu, maka ini adanya indikasi perlakuan yang koruptif. Personil Unit Layanan Pengadaan yang melakukan cara pelelangan manual, rentan dengan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, bisa saja itu akibat dari campur tangan pihak tertentu, sehingga terjadilah pengabaian hukum dan kewenangan. Jika terjadi seperti itu dapat diduga ada subyek yang “bermain”, apakah seluruh personal atau sebagian dan jika dokumen pelelangan tetap juga  di tandatangani bersama sebagai tanda keabsahan, walaupun ada penyimpangan maka, salah satu unsur dalam pasal korupsi merugikan keuangan negara telah terpenuhi, demikian juga untuk PPK dalam tahap pelaksanaan, PPHP dalam tahan penyerahan pekerjaan dan Penyedia Barang/Jasa dalam keseseluruhan pelaksanaan sampai dengan pemeliharaan jika melakukan pengabaian aturan. Pada intinya kelengkapan administrasi harus dibuat sesuai dengan aturan dan nyata, bukan direkayasa untuk kepentingan penyedia barang/jasa yang mengakibatkan berpindahnya uang negara kepada penyedia barang/jasa dengan cara koruptif.  
 Dalam tindak pidana korupsi jenis merugikan keuangan negara, keseluruhan rumusan harus terpenuhi, yaitu Melwan Hukum, Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi,  Menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sebagaimana di atur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UUPTPK.
Dengan demikian dimanakah sesungguhnya seseorang dalam lingkup itu bisa menjadi tersangka padahal tidak menerima uang negara dalam perkara korupsi?. Proses dan kelengkapan administrasi adalah kunci dari berpindahnya uang negara kepada pihak  Penyedia Barang/Jasa, dengan demikian jika uang negara berpindah secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada setiap individu dalam lingkup itu, maka tidak perlu seseorang yang terkait mendapatkan uang dari Penyedia Barang/Jasa, sehingga seseorang tersebut disangkakan melakukan tindak pidana korupsi, namum dengan berpindahnya uang negara ke pihak Penyedia Barang/Jasa, dan terjadi kerugian negara,  akibat dari keterlibatan subyek hukum terkait dalam proses itu. Turut serta melakukan disamakan dengan pelaku delik. Hal ini terkait dengan teori atas ajaran tentang penyertaan (deelneming), khususnya dalam bentuk turut serta melakukan (medelplegen), yang pengaturannya dalam KUHP Pasal 55 ayat (1) Ke-1.
Jika terjadi seperti itu, bagaimana caranya agar Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil atau Penyedia Barang/Jasa terhindar dari tindak pidana korupsi jenis Merugikan Keuangan Negara?, semestinya melaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan dan melaksanakan kewenangan dengan bertangungjawab, jangan menandatangani administrasi pendukung dalam segala proses tahapan pengadaan, penyerahan pekerjaan dan pencairan tagihan, walaupun dengan ancaman pencopotan dari jabatan atau tugas fungsi tersebut ataupun alasan lainnya dari pada terlibat dan menjadi tersangka tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara, padahal tidak menerima sepeserpun uang negara yang berpindah ke pihak peneyedia barang dan jasa.
Ketika pemeriksaan Terdakwa di persidangan, saling menunjuk dengan alasan disuruh oleh subyek lain atau atasan, sebagai alasan pembenar tidaklah tepat atau tidak mempan untuk membenarkan diri sendiri dan kemudian terlepas dari dakwaan melakukan delik korupsi. Peraturan perundang-undangan sudah memerintahkan dengan jelas, apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap subyek yang terkait, bukan melakukan tindakan dengan alasan disuruh atasan atau tenggang rasa dengan subyek lain atau takut kehilangan jabatan, sehingga mengabaikan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki, yang berujung pada pemidanaan, dengan berpindah tempat tinggal di Lembaga Pemasyarakatan dan menyandang predikat terpidana tindak pidana korupsi dalam jangak waktu tertentu.
Sudah pasti jika terbukti melanggar UUPTPK Pasal 2 ayat (1) ancaman hukuman paling singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) sedangkan jika terbukti melanggar UUPTPK Pasal 3 ancaman hukuman paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.- (lima puluh juta rupiah), itu hukuman paling singkat dan denda minimal, bagaimana dengan hukuman paling lama dan denda maksimal.
Terkesan tidak adil, jika terdakwa tindak pidana korupsi yang tidak menerima uang dari perkara tersebut, namun harus dihukum dan membayar denda yang tidak sedikit, inilah hukum positif dengan kategorikan kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime), yang berlaku dan harus dijunjung tinggi oleh seluruh komponen rakyat Indonesia, dalam penegakan hukum. ***

*) Penulis Praktisi Hukum Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar Tinggal di Jayapura.

Papua dan Diri Kita yang Berubah

Oleh I Ngurah Suryawan *)


Perjalanan kehidupan seseorang seringkali mengalami kelokan-kelokan tajam yang tak terduga sebelumnya. Itulah yang saya alami dan rasakan. Saat melanjutkan studi tahun 2009, saya mengambil salah satu keputusan terbesar dalam hidup saya: memutuskan menjadi dosen di Papua Barat. Tanpa saya sadari, saya masih bertahan hingga kini. Dunia saya berubah, dari Bali ke Papua. Urusan dengan Bali adalah hanya persoalan domestik (keluarga), tidak lagi soal akademik. Secara emosi akademik saya merasa berjarak dengan Bali, tumpah darah dan awal saya menekuni karir akademik sejak tahun 1997.
Dari Bali saya menuju Papua. Tentu ini tantangan besar bagi kehidupan sekaligus horizon akademik saya. Kajian wilayah dengan manusia dan kebudayaannya, saya rasakan banyak memberikan wawasan baru bagi sensitifitas kemanusiaan. Hal itu saya rasakan betul saat bersentuhan dengan Papua. Minat studi saya pun bergerak liar tak tentu arah. Energi penelitian meletup-letup sejak saya tercatat secara resmi bergabung di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat sejak tahun 2010. Saya beranikan diri—tepatnya nekad—untuk mempublikasi secara pribadi beberapa karya: Jiwa yang Patah (2012), Mencari Sang Kejora: Fragmen-Fragmen Etnografi (2015) dan Papua Versus Papua: Perubahan dan Perpecahan Budaya (2017).
Studi tentang Papua ini seolah menjadi cermin dalam perjalanan akademik saya. Proses refleksi diri saya lakukan dengan melihat kajian tragedi 1965 yang menjadi awal penelitian akademik hingga dinamika identitas orang Papua dalam proses transformasi sosial budaya. Sebagai seorang Bali yang belajar antropologi, saya menemukan diri saya sendiri dalam perjalanan panjang akademik dan kehidupan tersebut. Saya mempelajari dinamika identitas budaya orang Papua sekaligus juga menjadi cermin dalam perjalanan hidup saya sendiri. Saya belajar mengapresiasi orang lain, dalam hal ini permasalahan yang terjadi di Papua, yang juga adalah masalah kita bersama. Dari permasalahan Papua saya mencoba melihat masalah saya dan kita semuanya.
Saya merasa menemukan diri dalam perjalanan panjangan akademik tersebut. Saya mempelajari perjuangan orang-orang Bali yang dikorbankan pada sejarah pembantaian massal 1965. Begitu juga yang terjadi ketika orang-orang Papua biasa menjadi korban dari tipu muslihat para elit Papua. Dalam kedua konteks peristiwa, saya melihat ada orang-orang opurtunis yang mengorbankan orang-orang lain. Refleksi terdalamnya saya kira adalah bahwa studi kebudayaan, perspektif “antropologi baru” yang saya tekuni, jauh dari keinginan untuk mengasingkan orang Bali atau orang Papua dalam hal ini. Studi “antropologi baru” justru sebaliknya yaitu berkeingan secara bersama-sama antara antropolog dan subyek yang ditelitinya berpartisipasi dan bergerak bersama untuk merubah diri masing-masing.

Garis depan
Tantangan terbesar ilmu antropologi khususnya di kawasan-kawasan frontier (garis depan) seperti di Papua adalah menempatkannya dalam konteks pusaran pemaknaan transformasi sosial budaya yang dialami manusia itu sendiri. Antropologi, dengan demikian menjadi “senjata” dalam menghadapi desakan perubahan social budaya yang tak terhindarkan. Penelitian ini merefleksikan kuasa etnografi dalam rentang panjang perjalanan reproduksi pengetahuan kebudayaan Papua. Terutama sekali adalah kritik terhadap akumulasi pengetahuan tentang kebudayaan Papua yang diulang-ulang dan melupakan konteks perubahan sosial.
Studi klasik tentang identifikasi tujuh unsur kebudayaan menunjukkan untuk  mereproduksi karakteristik dan variasi yang tinggi dalam kebudayaan Papua. Perspektif ini hanya terbatas untuk memberikan ciri-ciri kebudayaan Papua, melokalisirnya, dan semakin mengentalkan pandangan eksotisme. Etnografi yang dihasilkan juga sangat kolonialistik dengan terminologi “masyarakat terasing”, “terkebelakang”, “tidak beradab” dan proses kuasa pengetahuan dengan mengidentifikasi nilai-nilai kebudayaan Papua yang mendukung dan menghambat pembangunan (modernitas).
Realitas masyarakat Papua adalah mobilitas yang tinggi, terinterkoneksi dengan etnik budaya lain dengan keragaman budayanya, dan relasi mereka dengan kuasa investasi global. Pada momen-momen pertemuan itulah masyarakat Papua mempunyai kesempatan untuk memikirkan pembaharuan-pembaharuan identitas dan kebudayaannya. Di sisi lain mobilitas dan keterhubungan masyarakat Papua dengan dunia luar semakin membuka peluang untuk berpikir melampaui batas-batas budaya dan lokalitas tertentu.

Reflektif
Menafsirkan masyarakat Papua yang sedang bergerak inilah tugas utama ilmu antropologi untuk memberikan makna bagi proses perubahan sosial budaya di tanah Papua. Antropologi dengan itu menjadi reflektif untuk secara bersama-sama mengubah diri antropolog itu sendiri dan sang liyan yang juga sedang berjuang untuk berubah.
Proses menjadikan diri reflektif dan inklusif tidaklah mudah. Penjelajahan yang panjang terhadap sisi-sisi getir kemanusiaan sangatlah diperlukan. Fragmen-fragmen manusia yang “dikalahkan” membuka ruang refleksi yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri manusia yang terus berubah. Kebudayaan menawarkan ruang bagi refleksi kritik diri manusia dalam rentang sejarahnya. Diri manusia bukanlah substansi, tetapi subyek yang terus bergerak, jadi diri manusia, dan juga demikian dengan identitasnya adalah sebuah gerakan sosial.
Pemahaman kebudayaan dengan perspektif reflektif berkaitan dengan revolusi kesadaran historis manusia akan hakekat hidupnya. Pada titik inilah dilantunkan eksistensi manusia yang terbentang antara masa lampau dan masa depan. Pemahaman kebudayaan dengan demikian bertumpu pada pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya. Bagi manusia, memahami kebudayaan juga berarti pemahaman dirinya, identitasnya sendiri. Jika demikian, memahami kebudayaan lain (antar budaya), selain berusaha untuk belajar bersama-sama kebudayaan tersebut juga adalah memahami diri manusia tersebut. Semangatnya adalah mengapresiasi budaya lain dan juga dalam rangka menemukan identitas diri yang inklusif, dinamis, transformatif, dan dengan demikian juga dialektis.  
Papua melalui orang-orang dan kebudayaan memberikan saya pelajaran, hanya dengan diri yang reflektif dan inklusif kita mampu untuk menjelajahi sekaligus memahami relung-relung kehidupan orang lain. Melalui orang lain kita bisa bercermin tentang diri kita. Keberbedaan dan penjajahan disingkirkan oleh kemanusiaan. Kita akan selalu berubah dan merubah diri bersama dengan orang-orang lain dengan identitas dan kebudayaanya.***

 *)Dosen Antropologi di Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.