Oleh: Pares L.Wenda *
Dengan menerapkan
Pasal 158 UU No.8 tahun 2015 tentang Pilkada, telah mematihkan demokrasi dan
mengadaskan para pihak yang mencari keadilan pemilukada di MK kandas. UU
sebelumnya sasaran sengketa Pilkada pada TSM (terstruktur, sistematis dan
massif). Kalau menggunakan pendekatan pasal 158 artinya pelanggaran TSM yang
terjadi termasuk dukungan Panwas dan KPUD kepada kandidat tertentu tidak
menjadi soal di MK. MK hanya berkutat pada Pasal 158 ini. Artinya meloloskan
putusan KPUD terhadap sebuah hasil pemilukada. Misalnya, “…hampir seluruh
gugatan sengketa Pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) telah kandas.
Dari 147 gugatan yang ditangani, MK sudah memutuskan 115 gugatan. Dan hanya 1
gugatan yang diterima MK, yakni sengketa Pilkada Halmahera Selatan. Itu artinya
114 gugatan sengketa pilkada telah berguguran di gedung MK....”
(Serambimata.com, edisi 25 January 2016 tentang Pemilukada 2016).
Mencermati
Putusan MK RI tentang Pilkada di Indonesia dan di Papua, keputusan MK tidak
dapat mementahkan keputusan KPU daerah, tidak juga didiskualifikasi kandidat
yang ditetapkan KPUD untuk mendapat keadilan Pilkada bagi mereka yang mengadu
ke MK RI dengan harapan mendapat keadilan kemenangan dan mengalahkan pihak yang
ditetapkan KPUD sebagai pemenang pilkada di daeranya.
“…Komite Pemilih
Indonesia (TePi) mencatat, 85 persen lebih pemilukada berujung sengketa di MK
Berdasarkan pada fakta tersebut, tidak heran kemudian muncul asumsi bahwa
konsistensi majelis hakim MK mulai terkikis …” (Studi Efektifitas Penyelesaian
Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi. Tahun 2012).
Memang para pihak
yang kalah selalu mengumpulkan bukti-bukti yang kuat, dan memberikan
argumentasi saat persidangan di MK yang secara kasat mata diyakini dapat
meyakinkan para hakim yang memimpin persidangan, namun fakta membuktikan bahwa
ada yang memang menjadi putusan memenuhi rasa keadilan, tetapi kembanyakan
putusan MK RI tidak mementahkan keputusan KPUD terhadap calon yang ditetapkan
KPUD sebagai pemenang. Mengapa hal itu bisa terjadi sesuai dengan pasal 158.
Badan Kehormatan
KPU dan Bawaslu juga tidak punya kuasa untuk mementahkan putusan KPUD dan
Putusan MK yang final dan tetap tidak ada proses hukum lebih lanjut setelah
putusan MK. Sebelumnya posisi Panwas yang ditugaskan negara dapat mengawasi
jalannya pemilukada, tetapi ada yang melaksanakan tugas secara baik, namun
lebih banyak kongkalikong dengan kandidat tertentu sehingga fungsi pengawasan
sesuai perundangan yang berlaku tidak dilaksankan secara maksimal.
Memang UU Pemilu
memberikan garansi kepada para pihak yang kalah Pilkada untuk menempu jalur
hukum, apabila dirasa kurang yakin atas penetapan KPUD terhadap paslon yang
memperoleh suara mayoritas dan ditetapkan sebagai pemenang Pilkada. MK tidak
mempersoalkan TSM, TSM dipersoalkan oleh Bawaslu RI, tetapi kalau putusan MK
sudah tetap, kemungkinan untuk didiskualifikasi kandidat berdasarkan data TSM
itu sulit.
Sejak sengkata
pemilukada dialihkan kepada MK, kemudian terjadi perubahan UU No.8 Tahun 2015
dari UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada, keputusan MK berubah 100% berpihak
kepada Putusan KPUD dan mengabaikan laporan para paslon yang memenuhi unsur TSM
yang mempengaruhi suara. Kalau memang demikian apakah MK menjadi pelabuhan
terakhir yang baik dan menjadi harapan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan
keadilan Pemilukada? Saya kira tidak! Putusan hukum dimanapun itu pasti win and
lose tidak ada yang namanya win plus win, lose plus lose.
Dalam teori
resolusi konflik ada jaminan win-win and lose-lose bagi para pihak yang
berkonflik, tetapi terori ini barangkali tidak pas diterapkan dalam konteks
pilkada, alasannya sederhana saja “kita sedang mencari pemimpin” bukan mencari
solusi atas suatu masalah sengketa dalam konteks yang lain. Tetapi dalam
konteks pilkada, ya itu dia, harus ada yang dimenangkan dan ditetapkan sebagai
pemimpin daerah. Suka atau tidak keputusan hukum seperti itu, maka
konsekwensinya rakyat di daerah harus menerimanya.
Selanjutnya,
bahwa bagaimana cara kandidat memperoleh suara? Itu soal lain, tetapi
berdasarkan putusan KPUD para kandidat ini ditetapkan sebagai pemenang
pemilukada. Contoh beberapa kasus pemilukada di Papua yang ditetapkan KPUD
sebagai pemenang, dan MK RI tetap memenangkan kandidat yang dimenangkan oleh
KPUD sebelum penerapan pasal 158 dan dan berdasarkan pasal 158.
Pilkada Gubernur
tahun 2006 di Menangkan oleh Barnabas Suebu,SH karena itu KPUD Provinsi Papua
menetapkan dia sebagai pemenang Pilkada Gubernur Provinsi Papua. Pilkada 2010
Kabupaten Lanny Jaya dimenangkan oleh Befa Yigibalom, KPUD menetapkan dia
sebagai pemenang. KPUD Pegunungan Bintang pada tahun 2005 dan 2010 menetapkan
Drs. Wellington L.Wenda, M.Si sebagai pemenang Pilkada Pegunungan Bintang. KPUD
Intan Jaya menetapkan Natalis Tabuni sebagai pemenang pilkada pada tahun 2010.
Pada tahun 2013 KPUD Provinsi Papua menetapkan Lukas Enembe sebagai pemenang
Pilkada Gubernur Papua.
Pada tahun 2016
Benhur Tomi Mano KPUD Kota menetapkannya sebagai pemenang pilkada Kota
Jayapura. Demikian juga dengan Bupati Pegunungan Bintang pada 2016. Bupatis
Sarmi pada 2016. Bupati Lanny Jaya 2016. Bupati Yahukimo 2015. Bupati Yalimo
2015. Bupati Intan Jaya 2017 Bupati Dogiyai 2017. Bupati Yapen 2017. Dan
terakhir Bupati Kabupaten Jayapura 2017.
Kalau hasilnya
seperti ini, untuk apa sengketa pemilukada di bawah ke MK RI? Inilah pertanya
besar bagi para kandidat yang akan bertarung pada pilkada 2018 mendatang. Toh
tidak ada jaminan keadilan di MK RI bagi mereka yang kalah dan berharap ada
keadilan pilkada di MK. Apa yang dapat kita habiskan? Dan siapa yang kita
kenyangkan?
MK RI tidak hanya
mengadili perakara sengketa pilkada? Tetapi banyak persoalan di negeri ini yang
ditanganinnya terutama uji materiil tentang sebuah UU. Itu artinya keadilan
yang kita harapkan di MK RI ini sulit kita dapat. Putusan MK mengikat dan final
artinya keputusan MK benar atau salah, merugihkan atau tidak, tetap menjadi
putusan hukum tetap dan final. Tidak ada pintu untuk upaya hukum lainnya.
Kalau demikian untuk apa sengketa Pilkada di bawah ke MK
RI?.
Kita para kandidat
yang kalah membuang energy, membuang biaya. Siapa yang kita untungkan dan siapa
yang menipu kita? Sekali lagi siapa yang kita untungkan, siapa yang menipu
kita? Dimana ada lembaga dan orang-orang yang kita perkaya mereka. Maskapai
penerbangan domestic dari daerah tujuan ke Jakarta (PP), akomodasi selama di
Jakarta, membayar pengacara, membayar calo-calo yang mengaku mempunyai hubungan
di MK RI.
Para kandidat
yang sudah kalah ketimpa tanggal pula? Sudah habis-habisan hasilnya tidak
maksimal di MK. Sudah kalah dari rakyat dan strategi politik lawan,
dikalahkanpula di MK RI aduuu sakitnya, lalu dimana keadilan itu? Terus kita
mau mengadu kembalikan energiku, uang, kepada siapa?.
Kandidat yang ditetapkan sebagai pemenang juga
mengeluarkan dana tidak sedikit untuk mempertahankan hasil kemenangannya.
Walaupun secara UU pasti menang di MK karena pasal 158 itu. Pengacara yang
dipake juga memainkan bola panas ini dengan sangat maksimal untuk meraup
keuntungan, itu artinya diduga kost yang dikeluarkan saat pra-pemilukada-pemilihan,
penetapan pemenang lebih sedikit dibanding biaya ke MK.
Dengan tidak
mengikuti gugatan di MK minimal kita dapat meredam konflik. Konflik actor,
konflik pendukung tidak dapat terjadi dalam lima tahun pembangunan. Dan yang
lebih penting mengurangi kos politik.
Lebih elegen,
simpatik, bermartabat tidak perlu habiskan energy, biaya, tetapi mari sampaikan
secara baik kepada kandidat pemenang sampaikan selamat, tetapi jika ditemukan
berbagai pelangggaran mari negosiasikan pelanggaran itu kepada kandidat
pemenang, buatlah kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan kandidat yang
kalah dengan kandidat yang menang untuk kemaslahatan bersama demi mewujudkan
pembangunan lima tahun yang bermartabat, berkeadilan bagi semua di daerah.
Siapapun yang menang tentu saja untuk mengawal pembangunan daerah, karena
daerah dalam melaksanakan pembangunan haruslah ada pemimpin daerah sebagai
kepanjangan tangan dari Pemerintah.
Sebagai salah
satu masyarakat asli dan hidup dan berkarya di Papua sangat berharap agar dalam
pilkada 2018 jauh lebih baik dari pilkada sebelumnya. Artinya kita berharap
tidak ada konflik dan tidak masalah pilkada yang di bawah ke MK RI, dalam
tulisan ini sama sekali tidak membatasi hak konstitusi setiap kandidat untuk
mempermasalahkan hasil pilkada di MK, karena itu bukan domain kami, tetapi
sebagai pemerhati pilkada di Papua sudah cukup kita menghabiskan energy dan
waktu dan kos yang tidak sedikit hanya untuk sembuah keadilan semu.
Contoh pemilukada
Nduga Pemilukada 2016 di mana kandidat yang kalah tidak mengadu sampai ke MK.
Ini suatu kemajuan demokrasi dan politik daerah yang sudah mulai menunjukan
kedewasannya. Dan kita berharap hal yang sama terjadi di beberapa pilkada pada
tahun 2018. Terutama sekali masyarakat dunia, Indonesia akan tertuju pada
pilkada Gubernur Papua, kita berharap pilkada Gubernur berjalan elegan,
simpatik, bermartabat dan mengedepan kasih menembus perbedaan dan menghargai
proses politik dan demokrasi sampaik kita mendapatkan pemimpin daerah yang
mumpuni untuk lima tahun ke depan. ***
*) Penulis adalah Aktifis HAM dari Sinode Baptis Papua dan
Direktur HAM pada Cendekiawan