Jumat, 11 Agustus 2017

Pembangunan Infrastuktur di Papua: Untuk Siapa?


Oleh Neles Tebay*
PEMERINTAHAN Presiden Joko “Jokowi” Widodo memberikan prioritas pada pembangunan infrastruktur untuk mempercepat dan mengerakkan perekonomian di Tanah  Papua (Kompas com.19/7). Infrastruktur mesti digenjot karena banyak daerah masih terisolir. Juga belum ada konektifitas antar kabupaten. Harga barang masih mahal. Kekayaan alam Papua seperti pertambangan, pertanian, kehutanan, sektor kelautan, dan perikanan, belum bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. 
    Kunci untuk menggerakan ekonomi di tanah Papua, menurut Presiden Jokowi, adalah pembangunan infrastruktur. Maka Pemerintah melakukan percepatan pembangunan infrastruktur di Tanah Papua, seperti pembangunan bandara, pelabuhan, jalan, dan jembatan. 
    Pembangunan infrastruktur digenjot membuka semua wilayah di Tanah Papua  dari isolasi. Juga untuk memperlancar konektivitas antar wilayah, antar kabupaten, antar daerah, dan bahkan dalam suatu daerah.

   Pembangunan infrastruktur ini, diharapkan agar kekayaan alam Papua dapat  dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan di tanah Papua. 
   itu, Presiden Jokowi mengakui bahwa banyak pekerjaan yang masih harus dikerjakan, terutama membangun daerah-daerah terisolir, membangun daerah yang ada di kawasan perbatasan Papua.


Berkat dan ancaman

   Papua memang membutuhkan pembangunan infrastruktur. Kita menghargai upaya percepatan pembangunan infrastruktur yang sedang dikerjakan oleh pemerintah. Tetapi kita bertanya juga: Siapa yang akan memperoleh keuntungan dari pembangunan infrastruktur fisik ini? Bagaimana kesiapan orang Papua untuk memanfaatkan infrastruktur yang dibangun Pemerintah?  
   Di satu pihak, pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya, akan membuka akses bagi orang lain (non-Papua) masuk hingga ke daerah-daerah yang baru dibuka. Begitu jalan raya tembus ke suatu daerah, seperti yag terjadi pada daerah-daerah lain, banyak orang  dari luar Papua (Non-Papua) akan menyerbu masuk dan menetap di tempat baru. Kalau selama ini terhalang oleh sulitnya transportasi, kini mereka dengan mudah masih dan menetap di daerah-daerah baru berkat tersedianya infrastruktur fisik. Kedatangan mereka tentu tidak dapat dilarang atau dihalangi, karena mereka adalah Warga negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak untuk hidup di seluruh Wilayah Republik Indonesia. 
  Mereka sudah terbiasa dengan perdagangan. Mereka mempunyai kemampuan untuk membaca peluang-peluang ekonomi. Mereka mempunyai berbagai ketrampilan. Mereka juga memiliki alat transportasi seperti kendaraan beroda dua dan empat. Dengan terbukannya isolasi melalui pembangunan infrastruktur, mereka akan menduduki tanah sepanjang jalan. MEreka akan memanfaatkan segala potensi dan kesempatan ekonomi yang ditemukan di daerah baru. Mereka akan cepat berkembang dalam bidang ekonomi. Dengan demikian pembangunan infrastruktur menjadi berkat bagi mereka.

  Lalu bagaimana dengan Orang Papua?  Mereka tidak terbiasa dengan ekonomi perdagangan. Mereka tidak mampu membaca peluang ekonomi yang tercipta berkat pembangunan infrastruktur. Mereka juga tidak mempunyai ketrampilan dalam banyak bidang kehidupan. Mereka belum mampu menggunakan infrastruktur, seperti jalan raya, yang disiapkan Pemerintah. Mereka belum siap menggunakan infrastruktur yang dibangun Pemerintah. Sehingga apabila perhatiannya terfokus hanya pada pembangunan fisik,  akan berdampak negatif terutama bagi orang Papua. Orang Papua akan tersisih di atas tanah leluhurnya sendiri. Pembangunan infrastruktur menjadi ancaman bagi orang Papua. Kita tidak mengharapkan hal ini terjadi.

Infrastruktur sosial

  Lalu apa yang perlu dilakukan agar pembangunan infrastruktur menjadi berkat bagi banyak orang, terutama bagi orang Papua? Kami berpendapat bahwa selain infrastruktur fisik, pemerintah perlu melaksanakan juga pembangunan infrastruktur sosial. Pembangunan infrastruktur tidak perlu didahulukan karena hal ini mengancam keberadaan orang Papua.

  Pembangunan infrastruktur fisik dan sosial perlu dilaksanakan secara simultan agar orang Papua disiapkan kemampuan dan ketrampilannya sementera pembangunan infrastruktur dilaksanakan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan kabupaten) perlu membahas tentang pembangunan infrastruktur seperti apa yang perlu diilaksanakan di daerah dimana pembangunan infrastruktur sedang digalakkan.  
  Tanpa pembangunan infrastruktur sosial, atau apabila pembangunan infrastruktur didahulukan, maka orang Papua yang belum siap ini akan tersisih. Maka pembangunan infrastruktur fisik akan mempercepat proses marginalisasi orang Papua. Semoga tidak.#

_______________       
*Neles Tebay adalah pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur di Abepura.


Kamis, 10 Agustus 2017

Gubernur Lukas Enembe Menata Perencanaan Pembangunan

Penulis :  Dr. Velix Wanggai
SURGA kecil yang jatuh ke bumi, demikian julukan kepada Papua, sebagaimana bait kata dalam lagu "Aku Papua" karya   Franky Sahilatua, yang selalu dinyanyikan Edo Kondologit.     Ungkapan Tanah yang Indah laksana Surga Kecil yang Jatuh ke bumi juga diamini Presiden Joko Widodo di Merauke, pada 30 Desember 2015. Ungkapan ini memiliki makna yang mendalam bagi setiap rakyat Papua yang hidup di Tanah Papua karena kita masih dihadapkan dengan berbagai pekerjaan rumah.
 Ketika 3 hari baru memimpin Papua, tepatnya 11 April 2013, Gubernur Enembe pernah mengajukan pertanyaan kepada publik. Enembe bertanya, "Sudahkah kita berpikir wajah Papua 20 Tahun ke depan di tahun 2033? Sudahkah kita berpikir wajah Papua 5 Tahun ke depan di tahun 2018? Sudahkah kita berpikir wajah dari kampung-kampung dan kota-kota Papua 5 tahun, 10 tahun, dan 20 tahun ke depan?. Semua harapan itu harus kita tuangkan dalam lembaran skenario perencanaan yang terukur, tepat, tertata, dan bertahap secara komprehensif". Mensikapi kebutuhan yang urgen ini, Gubernur Lukas Enembe dan Wagub Gubernur Klemen Tinal memberikan perhatian penting dalam Menata Perencanaan Pembangunan Papua.

*Terobosan Kebijakan Perencanaan*

Beberapa bulan setelah Gubernur Enembe dilantik sebagai Gubernur Papua, komitmen untuk menata perencanaan pembangunan Papua diwujudkan dalam 2 terobosan kebijakan strategis.
 Pertama, tahun 1993 dicatat sebagai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang pernah dimiliki Provinsi Papua atau Irian Jaya saat itu. Karena itu, Gubernur Enembe memberikan perhatian serius ditujukan dalam menyelesaikan rencana tata ruang wilayah Papua tahun 2013 - 2033, sebagaimana tercermin melalui Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2013. 
 Terbitnya RTWP Papua sangat berarti untuk mengubah Peraturan Daerah  Nomor 3 Tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Irian Jaya.  Penerbitan RTRW Papua ini sejalan dengan Pasal 63 UU Otonomi Khusus 2001, bahwa "Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinisp pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah (RTRW)".  Dalam konteks ke-Papua-an, diharapkan rencana tata ruang wilayah Papua dapat memastikan hak-hak dasar orang asli Papua yang terkait penggunaan lahan-lahan adat dihormati dalam proses pembangunan. Penataan ruang ini menjadi pedoman semua pelaku pembangunan di Papua, termasuk dunia usaha.
 Kedua, sejak UU Otonomi Khusus bagi Papua diterbitkan tahun 2001, ternyata Provinsi Papua belum memiliki sebuah skenario pembangunan Papua untuk 20 tahun ke depan. Karena itu, sangat tepatlah langkah yang diambil oleh Gubernur Enembe pada 30 Desember 2013 yang menetapkan desain pembangunan Papua untuk 20 tahun ke depan. Ini tercermin dari Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Papua Tahun 2005 - 2025.  
 Visi besar yang ditegaskan dalam skenario pembangunan Papua 20 tahun adalah "Papua yang Mandiri secara Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik". Visi ini diwujudkan dengan 5 misi, yakni mewujudkan kemandirian sosial, kemandirian budaya, kemandirian ekonomi dan pengembangan wilayah, kemandirian politik, dan kemandirian masyarakat asli Papua. Dengan berpedoman RPJP Papua ini, alhasil pada 7 November 2013, Gubernur Enembe mensahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Papua Tahun 2013 - 2018. 
 Terobosan perencanaan pembangunan yang ditempuh Gubernur Enembe ini dapat dilihat sebagai sentuhan untuk mengubah nasib rakyat Papua. Surga kecil yang jatuh ke bumi tidak akan memiliki makna yang berarti bagi rakyatnya, jika rakyat masih hidup penuh keterbatasan di tengah-tengah keberlimpahan kekayaan alam.
 Disinilah, terasa betapa pentingnya penataan pembangunan yang sesuai konteks ke-Papua-an, Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi. #

________
Penulis adalah pengamat pembangunan Papua.
( Tulisan ini sudah dimuat di harian Cenderawasih Pos, Juni 2017)

Inpres PON Berhasil , Manakala Tiga Pilar Buka Diri dan Kooperatif

                                                           Oleh : M. Usman Fakaubun*
LAMPU hijau  penyelenggaraan PON XX Papua telah diberikan Pemerintah Pusat lewat Presiden Jokowi dalam Ratas (Rapat Terbatas) bersama Gubernur Lukas Enembe dan sejumlah staf terkait pada Rabu, 19 Juli 2017 lalu di Jakarta. Sejumlah Menteri telah diperintahkan Jokowi untuk sukseskan PON Papua. Seperti Menteri PUPR sebagaimana diungkapkan Gubernur Lukas akan menyiapkan infrastruktur penunjang bukan venue yang bila dikonfersi dari nilai fisik ke  rupiah mencapai Rp. 1,6 T yang sudah barang tentu penyebaran proyeknya di Prov Papua meliputi  lima cluster penyelenggara PON seperti di Merauke, Wamena, Biak, Jayapura dan Timika.                          
   Kepada Presiden Joko Widodo, Gubernur Lukas telah melaporkan, dana yang telah dikeluarkan dari APBD Papua sebesar Rp. 2 trilyun. Cuma tidak dijelaskan secara rinci  sasaran penggunaannya. Berapa untuk pembangunan Stadion Utama Kampung Harapan, berapa untuk rehabilitasi/pembangunan baru venue di Kabupaten, serta berapa yang terpakai saat berjuang menjadi tuan rumah sejak 2013 lalu. Termasuk juga yang digunakan tiga pilar penyangga, Koni, PB PON dan Disorda. Besaran Alokasi Anggaran itu harus transparan, karena harus diakui bahwa transparansi Anggaran buat publik itu sudah ada Undang-Undang yang mengaturnya.                                                  Di samping itu, Pengawasan masyarakat itu sangat perlu di samping pengawasan dari DPRP/DPRD Kabupaten serta pengawasan dari instansi resmi yang ada, sehingga bila ada deviasi segera dibenahi oleh instansi tehnis yang bersangkutan. Jangan menunggu hingga ada temuan dari Instansi Pengawas/Pemeriksa yang pada gilirannya menyusahkan pihak-pihak terkait, terutama Pemimpin di negeri ini. Hal ini yang tidak boleh terjadi.                                                                                                  Dinas Olahraga dan Pemuda (Disorda) mendapat porsi tanggung jawab dari Gubernur Papua untuk proyek infrastruktur venue pertandingan sedangkan proyek penunjang yang di luar venue pertandingan menjadi tanggung jawab Kementerian PUPR yang nilainya mencapai Rp. 1,6 T seperti yang sudah diarahkan Presiden Jokowi dalam Ratas, Rabu siang. Sehingga kedua instansi ini perlu berkoordinasi agar tidak terjadi tumpang-tindih di lapangan.                                                                      Fungsi koordinasi antara tiga pilar penyangga PON tersebut tampaknya tidak berjalan baik. Akibatnya terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan di lapangan. Padahal, yang namanya kerjasama itu sangat perlu. Tiga pilar itu harus berjalan  secara simultan bersama-sama menjalankan tugas dan fungsingnya. Proyek fisik jalan, atlet/pemain yang akan berlaga programnya juga jalan di samping persiapan perangkat pelaksana pertandingan dan administrasi/korespondensi dengan Koni Pusat/Provinsi serta PB Induk Organisasi juga jalan kan enak. Jadi benar-benar suasana pesta PON itu sudah terasa. Gaungnya mulai terdengar ke mana-mana. Jangan sampai ada yang berdalih bahwa PON 2020 itu masih jauh, dua atau tiga tahun lagi. Jadi biar santai saja dululah. Alur berpikir seperti itu mudah-mudahan saja tidak ada.                                                                                                               Ada sementara pihak yang mengatakan, semua kendala ini bisa kembali berjalan normal manakala penunggu dapur organisasi Koni itu stasioner di tempat. Mengendalikan semua pekerjaan dari Kantor Koni Papua itu jauh lebih efektif. Karena lead sektornya itu ada di Koni. Instansi lain itu hanya pendukung saja. Ini masalah yang mungkin menjadi kendala selama ini sehingga perlu dipertegas bahwa pasal 36 Anggaran Dasar Koni telah menjelaskan itu bahwa ini olahraga prestasi sehingga kewenangannya untuk menyelenggarakan Olahraga Prestasi itu adalah Koni yang boleh saja disupport oleh pihak lain.                                                                                    Kalau proyek infrastruktur sudah aman, maka yang menjadi kendala sekarang adalah tugas Koni Papua mempersiapkan atlet/pemain yang akan tampil di arena pertandingan nanti. Sebab apabila terlambat dalam rekrutmen atlet/pemain, maka jangan berharap banyak. Padahal di awal, Papua sudah pasang target merebut empat terbaik yaitu prestasi terbaik, penyelenggara terbaik, meningkatkan ekonomi rakyat  serta meningkatkan rasa kebersamaan dalam filosofi Bhineka Tunggal Ika.                  
    Sampai hari ini  (Jumat,21 Juli) saat tulisan ini diturunkan, kantor Koni Papua nyaris tidak ada aktivitas yang berarti. Ini kondisi yang terjadi seperti tidak ada tanda-tanda mau ada hajat besar. Kondisi ini kalau tidak disampaikan atau didiamkan adalah salah besar. Mestinya sudah saatnya demam PON  digelorakan dari sekarang. Bisik punya bisik  semua kegiatan stagnan menunggu cairnya ‘vitamin’ pendukung agar menambah stamina pengurusnya yang sudah bekerja dengan hati. Pengurusnya sudah punya program  untuk mau mulai bergerak sejak awal tahun ini tapi belum turun ‘vitaminnya’. Padahal programnya sangat bagus seperti sudah punya program untuk mendulang atlet berbakat lewat PORProv/PORkab yang ancar-ancarnya mulai Januari s/d Juni 2017 ini dilanjutkan dengan PUSLATProv tapi semua terbentur masalah vitamin yang belum turun. Di samping itu, rencana untuk mengadakan pertemuan bersama Konida tingkat dua bersama semua induk olahraga membahas masalah PON XX di mana Panitia Pelaksana dan Pengarahnya telah siap, tapi terkendala lagi.
   Setelah ada warning dari Istana dan Senayan (Pintu Satu), maka rasanya sudah saatnya semua pihak membuka diri. Perlu diadakan evaluasi bersama tiga pilar, Koni, PB PON dan Disorda. Masing-masing bidang sudah jelas tupoksi. Dan diharapkan kantor Koni sebagai leading sektor Olahraga di tanah air mulai  bangkit menggelorakan semangat menuju PON XX Papua. Karena PON ini adalah gawenya Koni yang harus tampil di depan dan pegang kendali.                                                                  Jujur, malu  apabila PON jadi tapi prestasi kita terpuruk hanya karena masalah vitamin dan kebersamaan yang tidak terjaga. Komisi V DPRP yang membidangi pendidikan dan olahraga, beberapa bulan lewat melakukan RDP (Rapat Dengar Pendapat) yang harus dihadiri Tiga Pilar, tapi hanya Koni Papua yang hadir. Dua komponen lainnya tidak hadir lantaran berdalih materi yang dibahas kurang dikuasai. Beginilah kondisi riil yang terjadi.  Akhir dari tulisan ini mudah-mudahan  bisa dilakukan pertemuan bersama, duduk bersama untuk membuat cair semua persoalan yang selama ini ‘beku’. Persoalan olahraga Papua ini ibarat bongkahan gunung es. Bongkahan terbesar ada di dasar laut, sementara bagian kecilnya saja yang nongol ke permukaan. Akhirnya, lebih baik kita ‘berkelahi’ sekarang daripada kita kehilangan muka di kemudian hari. #
________
*penulis, ketua Dewan Kehormatan PWI Papua
( Tulisan ini Pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos)

Budidaya Pengembangbiakan Kerang Mutiara di Teluk Youtefa

Oleh: Dikson B Womsiwor MPH*
KAWASAN Pantai Teluk Youtefa sangat indah sekali pemandangannya , terdapat bangunan situs bersejarah Injil masuk di Tanah Tabi dan juga terlihat bekas puing-puing perang dunia ke II, sehingga sangat menarik dan menjadi objek wisata Domestik ( Lokal ).
 Laut dan  arusnya yang tenang serta pulau dan kampung yang mempesona bila dipandang dari ketinggian puncak bukit Skyland seakan membisu dan menyimpan sejuta harapan bagi masyarakat asli (adat) yang mendiami teluk Youtefa ini dan juga semua masyarakat yang tinggal di kota Jayapura  “ Teringat syair lagu Youtefa ... alangkah elokmu...   slalu  kupuja  slalu  kukenang  dalam  hidupku ( Syair lagu Cipt and Voc Ayi  Ricky Haay Alm ).
 Dengan melihat potensi serta sumber daya alam yang ada kamipun tergerak untuk mengusulkan kepada Bapak WaliKota Jayapura skaligus sebagai anak Adat Putra asli Port Numbay (Teluk Youtefa ), agar Budidaya Pengembangbiakan Kerang Mutiara bisa dilakukan di kawasan Teluk Youtefa ini, jika kita lihat di Kabupaten Raja ampat mereka berhasil dengan budidaya pengembangbiakan Kerang Mutiara ini padahal disana arusnya kencang dan kuat, dua pulau yang menjadi idola mereka untuk kegiatan ini dan telah menghasilkan mutiara adalah pulau Misol dan pulau  Batanta.
 Awal mula kegiatan budidaya pengembangbiakan kerang mutiara di kabupaten Raja ampat ini di lakukan oleh pihak ketiga  ( Perusahan )  yang bekerjasama dengan masyarakat adat setempat yang tinggal mendiami kedua pulau tersebut., sumber daya masyarakat asli (adat) di pulau inilah yang menjadi tenaga utama untuk mengerjakan kegiatan ini  dan diberi gaji (upah ) oleh perusahan itu. Tenaga kerja asli yang direkrut diberi pelatihan dan training mengenai teknik dan cara-cara untuk budidaya pengembangbiakan kerang mutiara ini. Mereka sangat terampil hal ini dapat dibuktikan dengan keberhasilan perusahan ini yang mendapatkan banyak keuntungan , bahkan sekarang menurut informasi Pemerintah daerah kabupaten sedang melakukan kerjasama dengan perusahan dan karyawan nya untuk menambah area   pengembangbiakan kerang mutiara ini ke beberapa pulau lainnya dengan  teknik dan cara yang sama pula.
 Dengan melihat keadaan  serta kenyataan dan keberhasilan yang telah mereka  dapatkan lalu ditinjau dari kesamaan  potensi alam laut kita diteluk Youtefa baik dari kampung Kayu batu, kayu pulau, Hamadi, Tobati, Enggros, Vim indah, Abe pantai, Nafri , Holthekamp , Skouw Mabo, Skouw Yambe dan Skouw Sae yang nota bene tidak jauh berbeda  dengan kepulauan  Raja ampat inilah yang mendorong kami untuk menulis tulisan ini sebagai konsep atau suatu  inspirasi untuk terus dan selalu mendukung pembangunan di Kota  Jayapura yang kita banggakan  dan kagumi  ini.                                   
‘HEN THE CA HI YO ONOMI TMAR NI HANASED”          
“ SATU HATI  MEMBANGUN KOTA  UNTUK KEMULIAAN TUHAN”                                     
W A N I A M B E Y...
 Melalui Instansi terkait yaitu Dinas kelautan dan Perikanan, Dinas pariwisata dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung dan lainnya, kita bisa mencobanya (  kita juga bisa ... )
Usul dan Strategi :
1.Kegiatan ini dikoordinir oleh Pemda Kota Jayapura melalui Instansi terkait yaitu Dinas  Pariwisata, Dinas perikanan dan kelautan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat  Kampung.  Bisa juga melalui pihak ke tiga (perusahan):  Bila dikoordinir oleh instansi terkait maka sumber dana untuk kegiatan ini menjadi tanggung jawab pemerintah  kota  Jayapura.   Namun apabila melibatkan pihak ketiga (perusahan}  berarti menjadi tanggung jawab perusahan itu, bisa juga dibiayai bersama-sama  dan bagi hasil secara bersama sesuai kesepakatan (MOU).
2. Bentuk Tim untuk survey lokasi kawasan teluk youtefa  area  pantai dan laut serta pulau mana yang memenuhi syarat untuk kegiatan pengembangbiakan kerang mutiara ini.
3. Selain itu  tim yang telah dibentuk atau instansi terkait mencari data melalui internet atau sumber buku  yang berhubungan dengan teori maupun metode serta langkah-langkah pengembangbiakan kerang mutiara.

4. Tenaga pekerja sumber daya manusia (SDM) adalah masyarakat asli (adat) yang mendiami kawasan Teluk Youtefa dan bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi  kegiatan pengembangbiakan  kerang mutiara ini.
5. Tenaga pekerja sumber daya manusia (SDM) yang direkrut  untuk bekerja adalah masyarakat asli (adat) yang berumur  >20 tahun dan <50 tahun mereka harus di berikan training (pelatihan) dan juga magang ke Kabupaten Raja Ampat
6. Petugas dari Instansi terkait  yaitu Dinas perikanan dan kelautan,  Dinas Pariwisata dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat kampung  yang  di percayakan dan dilibatkan untuk mengawasi kegiatan ini  harus dibekali  ilmu pengetahuan mengenai pengembangbiakan kerang mutiara dan magang juga ke Kabupaten raja Ampat .
7. Tenaga akademisi yang berhubungan dengan Pengembangbiakan kerang mutiara bisa dipakai untuk mendukung  kegiatan ini baik yang di Jayapura maupun luar Jayapura.
8. Untuk keamanan  melibatkan Angkatan  laut  dan Polair (Brimob) dan seterusnya
Dampak dan Keuntungan             
Kegiatan ini bila berhasil dengan baik maka laut mutiara akan membentang di kawasan teluk Youtefa kota Jayapura dan menjadi kawasan pariwisata yang akan ramai di kunjungi oleh turis lokal maupun  turis mancanegara.   Kegiatan ini juga akan menambah peningkatan ekonomi bagi masyarakat asli (adat) di kawasan ini dan sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat asli (adat) yang tinggal dilokasi kawasan teluk Youtefa ( Port Numbay ) Kota Jayapura,  juga akan menjadi salah satu  sumber pendapatan asli daerah ( PAD ) bagi kota kita yang selalu Jayapura.
 Mengenai penghasilan dan keuntungan bila sumber dananya di biayai  sendiri oleh Pemerintah daerah maka hasilnya ini menjadi pendapatan  asli daerah  (PAD) bagi Kota Jayapura setelah membayar gaji tenaga kerjanya,  namun apabila  ada melibatkan  pihak ketiga ( perusahan ) berarti harus dibagi lagi hasilnya dengan pihak ketiga  sesuai dengan perjanjian maupun  kesepakatannya  (MOU).
 Penulis telah melakukan langkah-langkah pendekatan dan komunikasi  (advokasi) dengan tokoh- tokoh pemuda dan beberapa  tokoh adat   juga beberapa  kepala  kampung di kawasan  teluk  Youtefa ini dan mereka sangat antusias dan menyambut positif akan kegiatan pengembangbiakan Kerang mutiara ini.
Semoga konsep , ide dan usulan ini akan terwujud...“Tuhan Memberkatii” #

__________________
Penulis adalah :
Ketua   Forum Komunitas Peduli Pembangunan di Papua  (FORKLIP)
( artikel ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos edisi Juli 2017)



Kompleksitas HTI Pasca Pembubaran Secara Politik di Papua

Penulis : Ridwan al-Makassary*
Bagaimana perkembangan terkini organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Tanah Papua, khususnya di Kota Jayapura, paska Kemenkopolhulkam RI, bapak Wiranto, mengumumkan pembubarannya yang akan diikuti oleh prosedur hukum? Apakah organisasi tersebut mengalami delegitimasi dan “pembusukan” di kalangan masyarakat Islam dan apakah kiprah organisasinya mengendur? Beberapa pertanyaan pembuka di atas akan menuntun kita dalam mendiskusikan beberapa kompleksitas yang melingkupi HTI sebagai organisasi yang dinyatakan bubar secara politik oleh pemerintah. Namun, masih menunggu pembubarannya secara hukum.   
 Karenanya, terdapat sejumlah kompleksitas yang menunjukkan bahwa pernyataan pembubaran secara politik tersebut tidak serta merta membubarkan HTI secara hukum, oleh karena ia telah mengantongi ijin online dari Kemenkumham. Hal terakhir ini juga bukti ketidakcermatan pemerintah ketika memverifikasi HTI secara online, selain manipulasi visi dan misi HTI yang seolah selaras dengan Pancasila. Namun, ia sama sekali tidak terdaftar di Kemendagri RI. Bahkan, pihak Kesbangpol dan Linmas kota Jayapura dan Papua menyatakan HTI tidak terdaftar di tingkat kota dan provinsi. Dalam beberapa tayangan media, sejumlah pentolan HTI malah mengancam dan mengecam upaya pembubaran secara hukum yang akan dilakukan oleh pemerintah. Lebih jauh, ratusan pengacaranya siap menggagalkan upaya pembubaran secara hukum tersebut.
 Sejatinya, diskursus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)  telah lama disuarakan pihak Islam moderat, terutama Nahdhatul Ulama (NU) dan organisasi turunannya seperti Banser NU dan Gerakan Pemuda Anshor. Bahkan, pada masa Presiden SBY yang lalu, NU telah melaporkan dan mendesak pemerintah mengambil langkah tegas kepada organisasi sejenis HTI. Namun, SBY tampaknya lebih “mengalah” untuk harmoni. Setelah pergantian rejim ke Presiden Jokowi, perkembangan menunjukkan benturan semakin kuat di lapangan antara pendukung HTI dan NU dipelbagai tempat di tanah air, termasuk penolakan ormas NU Papua dan organisasi seperti GP Anshor di kota Jayapura. Dalam konteks Papua, Gubernur Papua, Lukas Enembe, secara  tegas telah melarang beroperasinya HTI di tanah Papua. Tuntutan dan desakan pembubaran HTI yang berlarut-larut tampaknya menemui titik terang.
 Sedikit menengok ke belakang, pada Senin, 8 Mei 2017, Menkoplhulkam Wiranto menegaskan akan melakukan pembubaran HTI melalui proses hukum. Alasan utamanya  HTI dipandang tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan  nasional: terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas dan ciri yang berdasarkan pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, sebagaimana diatur dalam  UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas; kegiatan yang dilakukan nyata-nyata teah menimbulkan  benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
 Terhadap upaya pembubaran tersebut, NU wilayah Papua dan Kemenag Wilayah Papua telah menggelar sebuah seminar tentang pembubaran HTI pada Kamis 18 Mei 2017, yang banyak diliput media massa. Sedikit banyak seminar tersebut mendelegitimasi eksistensi HTI secara politik. Acara yang menghadirkan penulis sebagai pembicara, termasuk Kapolda Papua dan wakil Kemenag Papua, bertujuan untuk melihat peluang dan tantangan pembubaran HTI secara hukum, dan lebih penting mengungkapkan apa dan bagaimana HTI kepada publik luas di Papua. Misalnya, masyarakat sejauh ini tidak banyak mengtahui bahwa HTI berkembang pesat di sejumlah negara Islam dan pernah melakukan kudeta di Yordania sehingga diusir dan dilarang di negara tersebut. Yang berkembang di pemahaman masyarakat sejauh ini adalah HTI oranganisasi nir-kekerasan, padahal organisasi tersebut tekun melakukan kekerasan simbolik dan menggerakkan aksi makar oleh karena bertujuan merubah dasar negara.
 Meskipun demikian, tampaknya HTI tidak tiarap begitu saja setelah “palu godam” pembubaran oleh pemerintah RI, sebagaimana disebut di atas. Ibarat petinju, HTI sempat sempoyongan, namun masih bisa bertahan dan bahkan saat ini tampaknya tetap beroperasi dalam senyap. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih gencarnya bulletin Al-Islam yang berseliweran di masjid-masjid kota Jayapura. Sebagai jamaah masjid Al-Askar Bucend II, saya masih melihat tumpukan buletin tersebut di pelataran masjid. Juga saya dapat info bahwa masjid di Perumnas Waena juga masih banyak menyebarkan buletin tersebut. Apakah buletin ini ditaruh begitu saja atau memang diminta oleh pihak takmir masjid akan diteliti lebih jauh. Tetapi, poin yang penulis ingin katakan bahwa HTI tetap eksis dan setia menyasar Jemaah masjid, yang sebagian besar juga masih haus akan pengetahuan ke Islaman.  
 Sebagaimana dimaklumi bersama tujuan gerakan HTI ini adalah membangun tegaknya Negara khilafah atau Negara Islam. Karenanya, gerakan ini hendak menggantikan tatanan negara-bangsa, dalam hal ini adalah Pancasila dan UUD 1945. Perkembangan di Tanah Papua semakin memprihatinkan. Dalam rekrutmen HTI menggunakan masjid, dan juga kampus. Bahkan, penulis pernah mengobservasi suatu acara sosialisasi HTI dilakukan di sebuah masjid yang didirikan oleh tentara dan juga khutbah Jumat yang mengumandangkan khilafah. Aneh bin ajaib. Ini mengartikan bahwa inflitrasi gerakan HTI ke wilayah masjid gencar dilakukan secara senyap. Sementara itu, kampus juga menjadi satu arena yang sedang digarap oleh HTI. Sejauh ini beberapa kampus utama di kota Jayapura telah terinfiltrasi gerakan HTI. Bahkan, beberapa dosen dan PNS juga telah terindikasi sebagai pegiat HTI. Fenomenanya bisa dilihat dari respon mereka terhadap kondisi mutakhir di Papua. Dengan kalimat berbeda, beberapa dosen dan mahasiswa telah terpapar idelogi HTI. Perkembangan ini sepertinya masih terus bergerak secara sinambung, meski secara senyap.
 Karenanya, pembubaran HTI di Papua juga tersandera beberapa kompleksitas. Pertama,  masalah pembubaran secara hukum tidak akan bisa berlangsung secara cepat, oleh karena terdapat aturan yang mesti dipenuhi untuk pembubarannya, misalnya surat peringatan hingga gelar perkara di persidangan. Jika merujuk pada Pasal 61 UU No 17 Tahun 2013 terdapat sejumlah tahapan untuk membubarkan ormas yang sudah berbadan humum. Karenanya, Pemerintah RI tampaknya ingin melakukan percepatan pembubaran dengan menggunakan Perppu atau Keppres sebagai opsi selain jalur pengadilan. Namun, hal ini masih kita tunggu perkembangannya, karena opsi ini juga merebakkan kontroversi.
 Kompleksitas selanjutnya adalah infiltrasi atau paparan ideologi HTI telah merambah dan terjadi pada sejumlah kalangan, meliputi para muballigh, mahasiswa/dosen, pegawai negeri sipil dan masayarakat umum sehingga pembubarannya baik secara politik dan hukum tidak serta merta menghilangkan ideologi ini karena telah bertengger di benak sebagian pengikutnya yang fanatik. Selain itu, mereka akan bergerak di bawah tanah dan mungkin akan sulit dideteksi. Juga, jika dapat berkolaborasi dengan oragnisasi lain, mereka ini bisa berfungsi sebagai “sel tidur” ISIS, seperti peristiwa jatuhnya kota Marawi di Pilifina, karena didukung “sel tidur” yang mendukung ISIS di kota tersebut. Hal ini dimungkinkan karena strategi yang mereka jalankan adalah strategic ambiguity yang saya sebut “pandai berminyak air”, di mana mereka bisa “menyesuaikan” diri  agar seolah-olah pandangannya tidak berbahaya dan sejalan dengan pemikiran masyarakat kebanyakan. Namun, sewaktu-waktu sebagai “sel tidur” mereka bisa bergerak bersama jika diaktifkan untuk kepentingan politik mereka.
 Penulis merekomendasikan pihak Kanwil Kemenag, Kesbang Pol dan Linmas kota Jayapura dan Provinsi Papua serta pihak terkait agar bersatu padu untuk mendelegitimasi eksistensi HTI yang nyata-nyata tidak terdaftar di wilayah Papua, sebagaimana yang diharapkan peserta seminar pembubaran HTI di hotel Sahid Papua itu. Secara khusus, Kemenag Papua dapat mengeluarkan edaran ke seluruh takmir masjid di wilayah Papua untuk mencegah penyusupan muballigh dan buletin Al-Islam HTI, yang bisa seenaknya mempropagandakan pendirian Negara Khilafah di Indonesia. Selain itu, organisasi massa Islam, seperti NU dan Muhammadiyah tetap istikamah memainkan peranan dalam penyebaran ajaran Islam yang moderat dan damai, yang relevan untuk wilayah Papua yang plural. Damai Papua Damai Indonesia.##

_________
*Penulis: 
Staf khusus FKUB Papua, 
dosen Studi Perdamaian USTJ Papua dan 
mahasiswa PhD di University of Western Australia (UWA) atas beasiswa LPDP Afirmasi Papua.  

( Tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos edisi Juli 2017)

Tiga Proklamasi Masa Depan Papua


Penulis : John Al. Norotouw
Jadi meraih seratus kemenangan dalam seratus pertempuran bukanlah kesempurnaan tertinggi; kesepurnaan tertinggi adalah menaklukan pasukan musuh tanpa bertempur sama sekali (Sun-tzu, abad ke empat sebelum Masehi).
Merdeka harga mati, satu ungkapan radikal yang bersifat resistensi yang mengandung pemahaman satu arah tentang sebuah tujuan perjuangan. Tindakan represif adalah ciri utama dari perlakuan yang radikalisme sebuah kelompok atau organisasi yang mengejar tujuan masa depan mereka, salah satu  yaitu MERDEKA.
Tentu sejarah dunia mencatat peran besar berbagai Pahlawan yang telah berjuang, dan lebih banyak berjuang melalui perang, mengalahkan musuh dan menguasai musuh dan daerah kekuasaannya. Inilah awal bermulanya sejarah panjang tentang penjajahan dimuka bumi ini, hal mana demi memenuhi kebutuhan ekonomi dan kejayaan sosial, sebuah Negara kuat merampas suatu daerah dan mendudukinya, sebagai daerah koloni. Tindakan-tindakan represif adalah jiwa kejayaan dan keberanian Negara penjajah, yang kemudian mulai merampas hak hidup dan kebebasan individu seseorang, yang kemudian mulailah sejarah panjang  penjajahan manusia dan tanah air mereka yang bermula pada perdagangan manusia atau perbudakan.
 Indonesia tak terhindar dari penjajahan yang dasyat ini. Belanda menjajah dan menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, membuktikan bahwa bangsa Indonesia telah berjuang untuk suatu masa terpanjang dalam sejarah kolonialisme di bumi, selain bangsa Israel di Mesir 400 tahun, dimana semangat untuk merdeka adalah harga mati yang diperjuangan dan dimenangkan. Tidak seratus perang atau tidak seribu perang, tetapi tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, MERDEKA ADALAH HARGA MATI, biar darah dan nyawa kuberikan, diatasnya berdiri Negaraku, Indonesiaku. Itulah isi Proklamasi Indonesia; bahwa Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah perjuangan West  Papua mencatat 3 bentuk Proklamasi, yaitu pada tanggal 1 Desember 1961, hari dimana Bendera Bintang Kejora di naikan di tiang penuh di depan Gedung Niew Guinea  Raad, dan Lagu kebangsaan Papua, Hai Tanahku Papua dinyanyikan, kemudian Proklamasi Kemerdekaan Papua, yang dikumandangkan di desa Waris, 1 Juli 1971, oleh Brigadir Genderal Set. J. Rukorem sebagai Presiden atas nama rakyat Papua, terakhir Proklamasi Negara Melanesia Barat yang dibacakan oleh Dr. Tom Wanggai di lapangan Mandala- Jayapura, 14 Desember 1998.
 Apakah Pembacaan Proklamasi  adalah harga- harga mati dari kemerdekaan sebuah bangsa yang harus diperjuangkan dengan cara apapun, termasuk tuntutan orang Papua sampai pemerintah Indonesia angkat kaki dari tanah Papua? Atau Proklamasi Kemerdekaan Papua tersebut adalah  ungkapan radikal tentang masa depan rakyat Papua, entah apapun realitasnya, termasuk hingga hari ini Papua tidak merdeka.
 Hari ini, bila kita diperhadapkan dengan situasi terkini di Papua dengan berbagai permasalahannya, dan sebuah  pertanyaan  tentang masa depan Papua, apakah sejujurnya dapat dinyatakan bahwa cita-cita kemerdekaan yang luhur ini dapatkah dicapai didalam Kemerdekaan Indonesia?
 Sejarah dunia telah merubah masa depan Papua dari merdeka sendiri dan meletakannya dalam tanggung jawab Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Plebisit atau Pepera tahun 1969, Resolusi PBB 2504 Tahun 1969.Sah secara Internasional melalui Sidang Umum PBB tahun 1969. Dan apabila masa depan Papua sangat erat dengan masa depan Indonesia, maka akan sangat tidak menguntungkan karena Papua masih tergolong daerah yang sangat terkebelakang dalam indeks pembangunan Nasional sejak Pepera 1969. Apakah memang alasan keterbelakangan Papua adalah karena alasan konflik politik dan keamanan Papua yang tidak kondisif? Ataukah kebijakan politik dan prioritas pembangunan untuk Papua yang sangat tidak relevan dengan kondisi Papua secara menyeluruh terutama keinginan orang Papua untuk merdeka? Tentu ada berbagai faktor yang menjadi penyebab penghambat kemajuan laju pembangunan di Papua, dan tidak semata oleh keinginan merdeka. Merdeka itu harga mati, setiap bangsa yang dijajah berjuang untuk merdeka secara sadar menyatakan perang untuk mencapai kemerdekaan, dan tidak dapat memisahkan perjuangan orang Papua untuk merdeka dari jalur perang walaupun kekuatanya dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat secara Nasional.
 Proklamasi Kemerdekaan, mengandung hakekat menyatakan hak kebebasan dan hak tujuan Negara untuk mensejahterakan kehidupan bangsa itu.
Karena itu seluruh isi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 berisikan pokok-pokok masa depan bangsa dalam berbagai aspek bernegara dan berbangsa sehingga seluruh isi perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka telah tertuang didalamnya, sehingga disaat Indonesia merdeka dan bernegara kini dapat melaksanakan tujuan Negara demi kepentingan bangsa Indonesia.
Tentu saja kita, orang Papua pernah memiliki cita-cita yang sama, tetapi kita tidak berkesempatan untuk melaksanakan cita-cita tersebut, oleh karena perjuangan kita telah disatukan dalam perjuangan Bangsa Indonesia secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke, sehingga masa depan kita, orang Papua, kini telah disatukan dalam UUD 45 dan Pancasila, bahwa kita maju dan berkembang dan memiliki masa depan bersama Bangsa Indonesia. Betulkah demikian adanya?
Bila kita membandingkan kehidupan bernegara selama 39 tahun di Papua sampai dengan tahun 2000, kita mendapatkan Papua atau Irian Barat atau Irian Jaya, dalam model pembangunan yang serba militerisasi, serba Search and Destroy, sehingga orang Papua hanya berbicara ketika tanpa peluru atau ketika tak terbunuh. Pembangunan di Papua boleh dikatakan berlangsung dalam sebuah proses isolasi nyata, dimana korupsi, kolusi dan nepotisme begitu merajelala, dan Papua hanya merupakan sebuah Daerah Operasi Militer (DOM) yang banyak mengundang kritik Internasional. Itu sebuah era gelap Papua, karena masa depan Papua tersumbat oleh pola kepimpinan totaliter yang sangat kaku dan tidak lancar. Rakyat Papua hidup dalam kurungan ketakutan dan kecemasan.
 Dalam periode 16 tahun terakhir sesudah Undang-Undang Otsus nomor 21 Tahun 2001 di keluarkan dan dilaksanakan di Papua, Papua mendapatkan keseriusan Pemerintah tentang integrasi Papua dalam NKRI, dengan menyediakan dana pembangunan Papua yang berakibat mulai nampaknya proses Emerging Papua atau  Kebangkitan Papua mengejar ketertinggalan diberbagai bidang. Berbagai Program Pembangunan, teristimewa Kebijakan Pemekaran Daerah Otomi dengan terbangunnya kota-kota kabupaten dan distrik, pembangunan terasa menyentuh kehidupan rakyat, proses penataan keuangan Negara sesuai petunjuk  UU Nomor 21 tahun 2001, maka Papua sungguh mulai bergerak maju.
 Tentu saja, perkembangan di bidang ekonomi berpacu pada pemberian kredit ringan dan pemberdayaan masyarakat desa melalui program Respek atau Prospek, terutama pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang membaik. Pencanangan dan pelaksanaan Program Seribu Doktor, memuat nuansa membangun Manusia Berkwalitas untuk Papua, sehingga Papua menjadi pusat komuditas manusia yang berkwalitas dunia, dan mengisi kebutuhan Pembangunan Nasional.
 Membangun Papua yang maju dan berkwalitas adalah juga tuntutan 3 Proklamasi Papua tentang masa depan Papua, yang kini mulai terwujud dalam Kemerdekaan Indonesia.
Papua Bangkit dan Papua Sejahtera dapat disebut juga  Emerging Papua adalah wujud masa depan Papua yang kini merupakan sebuah proses yang sedang berlangsung dalam sistim pemerintahan Otonomi Khusus yang perlu disingkapi secara cermat dengan prioritas yang tepat guna. Program-program berkelanjutan dengan rantai sub program penyambung yang dapat mendorong proses open dialog antara masyarakat dan pemerintah untuk membuka keisolasian Papua, baik kehidupan nyata maupun pandangan baru tentang masa depan Papua, harus tercerimin dalam tindakan keseharian semua pihak. Pendidikan merupakan faktor pembentuk karakter manusia pembangun.
 Transformasi pengetahuan dan ketrampilan merupakan proses pendidikan langsung melalui adaptasi pergaulan di masyarakat majemuk yang kini kian mengisi pembangunan Papua. Masa depan yang baik dan maju tercipta karena manusia Papua siap mempergunakan masa sekarang dengan cerdas dan cermat. Para Pemuda Papua tidak menyia-nyiakan waktu dengan alcohol, narkotik, kriminalisasi dan berbagai kegiatan asusila yang merusak watak kemanusiaan. Diharapkan, bahkan pemerintah bertujuan membentuk generasi baru Papua yang berkwalitas, cerdas dan berkapasitas nasional yang dapat mengisi pembangunan Papua melalui pendidikan dan pelatihan yang terpadu.  Tentu saja sebuah tujuan Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi luhur dan berguna bila program-program masa depan di dasari oleh pilosophi pembangunan yang berfokus pada pembangunan Sumber Daya Manusia Pembangun Bangsa yang berkwalitas, sehat dan berjiwa Pancasila yang kuat.

Itulah jawaban atas Qua Vadis Papua.
  Merdeka bukan segalanya bagi Papua, karena tanpa merdeka sekalipun Papua exist dan maju dalam kapasitas warga Negara Indonesia yang berkwalitas mengisi pembangunan Papua dan Pembangunan Indonesia bahkan menjadi anggota masyarakat dunia yang berkwalitas internasional.***


*Penulis Pemerhati masalah Sosial Politik Papua