Senin, 27 Februari 2017

Jokowi dan Soal Papua

Oleh : Frans Maniagasi *
PRESIDEN Jokowi dan masalah Papua  menjadi penting karena sudah hampir 70 tahun ( 1945 – 2015) Indonesia merdeka, belum tuntas diselesaikan. Padahal kasus Aceh dan Papua identik – kedua wilayah ini sama sama menuntut pemisahan diri dari RI. Soal Papua belum juga memperoleh prioritas penyelesaian, terkesan ada diskriminasi yang dilakukan oleh Jakarta terhadap dua daerah ini.

Pada saat awal kampanye Pemilihan Presiden 2014 lalu di Jayapura, Presiden Jokowi,  masih Capres pada saat itu di Kantor Sinode GKI ( Gereja Kristen Injili) se Tanah Papua, didepan pimpinan Gereja terbesar dan tertua di Papua itu,  berjanji untuk melakukan upaya – upaya penyelesaian  masalah Papua. Janji dan komitmen itulah yang mesti direalisasikan dalam era pemerintahan Jokowi – JK. Jangan biarkan rakyat Papua mencari solusi masalahnya dengan caranya sendiri. Kalau hingga rakyat mencari solusinya sendiri maka negara tanpa sadar sedang menggiring wilayah ini untuk mengalami desintegrasi dari Republik Indonesia. Jika Papua lepas dari RI bukan karena kemauannya semata, tapi justru didorong oleh ketidak- seriusan  Jakarta menyelesaikan soal  Papua. Dalam kekhawatiran itulah maka Presiden Jokowi berkemauan politik menjadikan agenda Papua sebagai salah satu program prioritas dari  Kabinet Kerjanya.
   Menurut pendapat saya, ada dua cara untuk menyelesaikan permasalahan Papua. Pertama, penyelesaian dalam konteks NKRI dan  kedua, diluar kerangka RI. Pertama, dalam kerangka NKRI maka tak ada alternatif lain  yaitu dilakukan “percakapan bersama” antara Jakarta – Papua. Sudah pasti ada konsekuensi,  ada berbagai tawaran yang dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan  rekonsiliasi yang diterima oleh kedua belah pihak baik Jakarta maupun Papua dengan tujuan menciptakan Papua Tanah Damai.
   Kedua, sebaliknya bila penyelesaian diluar kerangka NKRI, maka dapat saja Jakarta akan digiring untuk mengakui kesalahan – kesalahan yang dilakukan  akibat kejahatan kemanusiaan atas nama  negara baik dari aspek pelanggaran HAM maupun Ecosoc – sebab komunitas internasional menilai bahwa RI telah gagal memberikan kenyamanan, keamanan dan kesejahteraan bagi sekelompok warga minoritas yang adalah pemilik sah dari negara ini telah diabaikan hak haknya, yang semestinya negara berkewajiban memberikan proteksi kepada mereka. Seperti kasus kasus Timor Timur dimana masyarakat internasional mengintervensi dan menekan Jakarta untuk melakukan referendum dengan alasan dan argumentasi bahwa negara telah gagal memberikan perlindungan terhadap kemanusiaan dan keadilan untuk penduduk asli sesuai Konvensi PBB mengenai Proteksi terhadap Indegenius People. Hal ini bisa saja terjadi, kapan waktunya tergantung bagaimana Pemerintah Pusat menyadari pentingnya penyelesaian soal Papua.
   Argumentasinya, selama dua puluh tahun terakhir telah lahir besar, tumbuh dan berkembang secara sosiologis satu generasi baru intelektual Papua yang berpendidikan tinggi baik dalam dan luar negeri yang sangat kritis, yang menyatu dan berinteraksi dengan pergerakan di pusat pusat kekuasaan dan berkolaborasi dengan civil socitey di Jakarta dan diluar negeri. Mereka sangat menguasai teknologi informasi, komunikasi , dunia maya dan  internet sehingga mereka berkolaborasi ke manca negara. Generasi baru yang  memiliki tradisi dan pandangan politik yang berbeda dengan generasi tua sebelumnya yang tidak  terkungkung dengan nostalgia masa lalu, yang tidak terbelenggu dalam pragmatisme ideologi sempit  warisan Belanda.  Generasi baru yang memiliki visi yang berbeda tentang masa depan Papua, berpikiran obyektif,  rasional dan progresif tujuan mereka hanya satu yaitu mewujudkan emansipasi Papua. Dan generasi ini secara kritis belajar pula dari konstruksi awal sejarah Indonesia merdeka yang dijadikan sebagai basis referensi bahkan pengalaman empiris  kekurangan para pengelola negara ini dalam memanajemen pemerintahan dan pembangunan Indonesia. 
   Generasi baru intelektual Papua inilah yang kini bermarkas dibeberapa wilayah dunia dari Amerika Serikat, Eropa, Australia, Pasifik Selatan dan Jakarta. Didalam negeri sayap sayap perjuangan untuk menegakkan emansipasi dilakukan dengan berbagai kampanye penegakan HAM ( selembaran, pamflet, buku dan brosur),  aksi aksi protes dan demo diseluruh kota studi baik di Papua, Sulawesi hingga  Jawa. Mereka berada dipusat pusat kekuasaan dunia dan dalam negeri telah membangun solidaritas dan kesamaan persepsi untuk memperjuangkan dan menginternasionalisasikan isyu Papua. 
   Papua movement ( gerakan dan pemikiran),  dari generasi baru intelektual Papua tersebut telah mewarnai bahkan telah merepotkan Pemerintah Indonesia, diplomat – diplomat kita diluar negeri kewalahan menghadapi dan membendung aksi aksi dan tuntutan Papua merdeka. Begitu intensnya soliditas pemikiran dan gerakan mereka memobilisasi kelompok kelompok masyarakat sipil internasional guna memperoleh dukungan untuk pembebasan Papua dari Indonesia. Ditambah lagi terbatasnya  kebebasan berbicara, hak demokrasi  rakyat di Papua serta masih tertindasnya rakyat didaerah ini, merupakan amunisi untuk gerakan ini  memperkokoh perjuangan mewujudkan tujuan emansipasi Papua.
    Derasnya Papua movement dan keterbatasan rakyat diwilayah ini untuk mengekspresikan hak berbicara dan  demokrasinya merupakan keprihatinan sekaligus kekhawatiran oleh R. William Liddle ( seorang Indonesianis) Profesor dari Ohio State University AS, dalam artikelnya yang berjudul Tiga Tantangan Internasional, di Majalah Minguan Tempo ( 26/10/2014) ia menyatakan bahwa salah satu soal yang  akan dihadapi oleh pemerintahan Presiden Jokowi lima tahun kedepan adalah,  jika tidak dicarikan upaya penyelesaian masalah Papua, pada suatu saat akan menimbulkan sebuah ledakan politik yang besar di Papua. Karena rakyat diwilayah ini sudah lama melakukan perlawanan terhadap Jakarta. Untuk itu tak ada pilihan lain bagi  Pemerintahan Presiden Jokowi mesti serius menyelesaikan soal  Papua. Soal Papua bukan masalah pembangunan an sich, bukan masalah kesenjangan sosial dan ekonomi, tapi persoalan menempatkan harkat dan martabat kemanusiaan yang mesti dihargai dan dihormati dalam kesetaraan sebagai satu bangsa.
    Mereka belajar dari pengalaman Timor Timur, Aceh  bahkan gerakan gerakan pembebasan lain didunia untuk  menggugat kembali masalah pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 ( The Act Of Free Choice), mereka menyampaikan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan tentang berbagai kejahatan dan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan aparat keamanan kita di Mahkama Internasional di Den Haag Belanda. Mereka juga menolak kebijakaan Otonomi Khusus Papua ( UU 21/2001).  Pergerakan ini jika tidak dicermati dengan baik dan tidak dikelola tuntutan penyelesaian soal Papua bisa mengarah kepada krisis Papua. Kita masih ingat diawal reformasi 1998 – 2000 yang lalu, sebagai bangsa kita dihadapkan - nyaris -  Papua lepas dari RI menyusul Timor Timur (1999). Kita mesti mengedepankan rasa dan perasaan publik Papua membangun prasangka positif guna menyelesaikan masalah mereka.
    Desakan publik dan tokoh tokoh Papua maupun intelektual Indonesia  lainnya agar Presiden Jokowi membuka ruang untuk sebuah percakapan bersama merupakan pikiran politis untuk direalisasikan. Kita butuh kewenangan Presiden untuk memfasilitasi solusi masalah Papua secara  elegan yang menempatkan konstitusi dan kehormatan rakyat sebagai taruhan bagi keutuhan bangsa ini. Kita butuh kearifan seorang Jokowi sebagai Presiden untuk bisa mengatasi soal Papua. Kepastian penyelesaian masalah Papua jangan menjadi komoditas politik belaka, apalagi dengan mempersoalkan lembaga yang otoritatif dan yang bertanggungjawab untuk memfasilitasi dialog Jakarta – Papua tapi negaralah  yang  berkewajiban mengupayakan  solusi masalah Papua. 
Pada akhirnya sejarah memberikan pelajaran penyatuan masyarakat dan tanah Papua dalam NKRI membutuhkan dukungan dan mobilisasi dalam dan luar negeri. Politik Sukarno untuk menggabungkan wilayah ini masuk menjadi bagian integral dari RI diperebutkan disetiap periode pemerintahan dari satu kabinet ke kabinet lainnya.
   Sukarno merebut wilayah ini  tidak saja memobilisasi pasukan dan provokasi politiknya lewat pidatonya baik di Indonesia maupun difora internasional termasuk di PBB tapi juga Sukarno sukses ” memanusiaakan” manusia Papua atau Irian pada waktu itu ( terlepas dari maksud dan tujuan politiknya), Sukarno berhasil membangun nation and character building ke – indonesiaan di Papua lewat simbolisasi tarian lenso di Istana Bogor dengan merangkul dan  mengundang para tokoh dan pemuda Papua menari bersamanya dengan menggandeng putri putri Bung Karno seperti Megawati, Rachamawati dan Sukmawati.  Maka dalam fungsi dan peran yang hampir sama Megawati selaku mantan Presiden dan Ketua Umum PDIP dapat  melakukan hal yang identik dengan mendorong Jokowi sebagai Presiden untuk menyelesaikan soal Papua. Tidak saja mbak Mega ngotot untuk Jokowi harus mencalonkan  Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) sebagai satu satunya calon Kapolri beberapa waktu lalu,  mengapa tidak putri Bung Karno ini  dapat melakukan hal yang sama untuk Papua. Saya hanya mengingatkan kasus BG dan kasus – kasus lainnya tidak akan meruntuhkan keutuhan negara RI, tapi Papua lepas dari Indonesia akan merubah wajah dan peta negara ini didunia. Maka baik mbak Mega dan Presiden Jokowi berkewajiban menyelesaikan soal Papua, sebagai kado menyambut HUT RI ke 70.

** Frans Maniagasi, Pengamat masalah Papua. 

Smart City Pilihan Ideal Mengembangkan Kota Jayapura Ke Depan

Penulis: Fachruddin Pasolo * ----
Kota Jayapura boleh dikatakan sebagai Kota tergolong berusia tua.  Terhitung memasuki tahun 2016 ini usianya mencapai 106 tahun atau satu abad lebih.  Suatu rentang waktu yang terbilang bukan waktu yang pendek.  Kota yang pada awalnya bernama Numbay itu, kemudian berubah menjadi Hollandia berasal dari kata (bahasa Belanda) Holl = Lengkung, teluk, Land = tanah, tempat.
 Jadi Hollandia artinya tanah yang melengkung atau tempat / teluk yang berteluk. Konon geografis Kota Jayapura hampir sama dengan garis pantai utara negeri Belanda itu, mengilhami Kapten Sache memberikan nama tersebut pada tanggal 7 Maret 1910. Kini Numbay berganti nama sampai empat kali ; Hollandia – Kota Baru – Sukarnapura – Jayapura, yang sekarang dipakai adalah “ JAYAPURA” dan direncanakan lagi kembali ke nama awal :Port Numbay.
 Salah satu musuh besar dalam mengembangkan kota yang berusia tua adalah kecenderunganya menuju Kota Mati (Dead City).  Fenomena banyak melanda kota-kota di Indonesia dan Dunia.  Di Indonesia misalnya pernah dan masih di alami olah kota Bandung dan Semarang, Ibu Kota Provinsi Jawa Barat dan Tengah. Sedangkan kota-kota besar lainnya di dunia, seperti London (Inggris), Moulborne (Aus) dan Tokyo (Jepang).  
 Salah satu indicator yang menunjukan Kota itu menuju kota maty (dead city) adalah ketidak seimbangan entropi kota.  Entropi dalam kota mati yakni ketidak seimbangan antara demand (input) dan supply (out put).  Dalam kasus praktis misalnya adanya migrasi tanpa disertai dengan ketersediaan lapangan kerja dan perumahan, menjadi masalah yang terus menerus membebani suatu kota, sehingga menyebabkan kota tersebut terkesan kotor akibat banyaknya perumahan kumuh, sampah dan intensitas kriminalitas yang tinggi. Dua fenomena ini kini nampak dan menghantui masalah Kota Jayapura. Atau pelayanan pemerintah yang panjang berbelit serta tidak adanya ketepatan waktu dalam pengurusan sesuatu,menyebabkan masyarakatnya  mengambiljalan pintas dalam penyelesaiannya. Maka munculah fenomena KKN.
 Oleh karena itu belajar dari pengalaman tersebut, beberapa kota di Indonesia dan dunia mulai melirik “Konsep Smart City”sebagai upaya mengatasi permasalahan tersebut. Secara defenisi Smart City adalah sebuah konsep kota cerdas yang membantu masyarakatnya dengan mengelola sumber daya yang ada dengan efisien dan memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat atau mengantisipasi kejadian yang tak terduga. Komponen yang penting menunjang Smart City adalah sumber informasi dan menggunakan teknologi yang canggih untuk mempermudah kehidupan.

Dimensi Smart City
Adapun dimensi Smart City meliputi: (1) smart ekonomi: Produktivitas tinggi, kewiraswasta, dan kemampuan untuk transformasi (2) smart mobility: Infrastruktur ICT yang kuat dan Sistem transportasi yang berkelanjutan, (3) smart environment: Sumber manajemen yang berkelanjutan, mencegah polusi, melindungi lingkungan, (4) smart people: Keragaman, kreativitas dan partisipasi dalam kehidupan public, (5) smart living: Fasilitas budaya, kualitas tempat tinggal, kesehatan dan isu keamanan dan (6) smart governance: strategi dan perspektif politik, transparansi dan komunitas partisipasi dalam membuat keputusan.  Sedangkan komponen pendukungnya adalah komunikasi Nirkabel,  Desain algoritma, Signal Prediksi & Klasifikasi, teori Informasi, ketersediaan Software Architecture, Corba, middleware, speech recognition, pengolahan citra, gambar pengakuan, sensor desain, kalibrasi, Motion deteksi, suhu, sensor tekanan, accelerometers, adaptif kontrol, filter Kalman, jaringan Komputer, pemrosesan parallel, sistem operasi.  Untuk mengoperasikannya diperlukan : Sumber energi tidak  hanya energi listrik, tetapi juga boleh energi mekanik. Beberapa sumber energi terdapat di alam antara lain adalah gerak, sumber cahaya, panas, dan gravitasi bias dimanfaatkan. Untuk sumber energi buatan dapat menggunakan baterai atau bahkan sumber energi eksternal seperti PLN.
 Sensor sebagai  perangkat yang membutuhkan perangkat lain dalam beroperasi. Misalnya, peralatan GPS yang bisa dipakai membutuhkan teknologi lainnya seperti satelit atau triangulasi BTS. Akuator peralatan yang aktif. Ia membutuhkan sumber daya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sensor karena ia harus melakukan sebuah aksi.
 Selain itu, ia memerlukan pemrosesan sederhana agar bisa menampilkan informasi yang dibutuhkan. Jaringan infrastruktur penghubung dan protokol pertukaran data. Infrastruktur penghubung erat kaitannya dengan topologi jaringan dan berbagai masalah yang terkait di dalamnya. Protokol pertukaran data adalah bagaimana aplikasi antar perangkat (sensor, aktuator, dan middleware) saling berkomunikasi satu sama lain. Middleware infrastruktur pelayan yang memroses data-data dalam lingkungan pintar sehingga dapat dinterpretasikan. Contoh middleware adalah data center, server, dan layanan antara. Terakhir adalah aplikasi bagaimana aplikasi dapat beradaptasi terhadap keadaan yang berubah-ubah.
 Dari dimensi dan factor pendukungnya, bukan suatu hal yang sulit bagi Kota Jayapura memanfaatkan konsep tersebut, seiring dengan itikad baik pemerintah pusat dan investasi besar-besaran pihak PT TELKOM di Indonesia Timur. Layanan e-ofice, e-puskesmas dan lainya bisa terbantu dengan mengaplikasikan konsep ini. Pendataan migrasi pun bisa dilakukan melalui aplikasi e-penduduk di pelabuhan atau bandara, sehingga memudahkan pengontrolannya.  Hanya saja tantangan awal yang dihadapi barangkali bagaimana mempersiapkan phisikologi masyarakat serta mengatasi dampak yang mungkin ditimbulkan kemudian.
 Pendek kata bagaimana warga kota (SDM) memilki skil dan pengetahuan yang cukup. Namun demikian dengan komitmen dari pemerintah kota melalui pengaturan regulasi serta kesungguhan warga kota, konsep ini bisa terimplementasi dengan baik.  Hal yang sederhana misalnya dengan memanfaatkan open-open space yang telah dibangun dilengkapi dengan wi-fi kerjasama dengan pihak Telkom, barangkali langkah awal untuk memulai penerapam konsep ini di beberapa titik, agar warga kota tidak gaptek dengan teknologi internet. Dan pada akhirnya melalui sentuhan teknologi konsep ini juga akan mampu menambah Pendapatan Asli Daerah Kota Jayapura.  Selamat Hari Ulang Tahun Kota Jayapura ke 106. Waniambe!

*) Kadispenda Kota Jayapura/Dosen UNIYAP Jayapura, tinggal di Angkasapura-Jayapura

Kampanye Berintegrasi

Penulis : Sombuk Musa Yosep* -----
Pilkada serentak di Indonesia  telah memasuki tahapan kampanye yang akan berlangsung kurang lebih tiga bulan lamanya. Itulah waktu yang disiapkan oleh regulasi Pemilu bagi  pasangan calon kepala daerah di tingkat Provinsi dan kabupaten/kotamadya dan tim kampanye yang mendukungnya dapat menyampaikan visi, misi, dan program kepada khalayak pemilih (voters)  sebagai tawaran atau janji yang akan dilaksanakan apabila mereka terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur atau bupati dan wakil bupati dalam masa jabatan 5 tahun ke depan. Besar harapan para insan demokrasi bahwa event kampanye dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan mengedepankan cara-cara yang mengindikasikan kedewasaan berpolitik dari pelaku kampanye tersebut.

PKPU No. 7/2015 telah mengatur bahwa  pelaksanaan kampanye itu dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang mengepankan suasana dialogis, bukan  mobilisasi, antara pasangan kandidat dan para pemilih dengan harapan  terbangunnya rasionalitas politik   dalam memilih pemimpin di daerahnya.  Oleh sebab itu, bentuk-bentuk kampanye yang bersifat pengumpulan massa dalam bentuk rapat umum dihindari sedapat mungkin dan diperbolehkan oleh peraturan hanya satu kali selama masa kampanye.  Dengan perkataan lain, sangat diharapkan terciptanya aktivitas kampanye Pemilukad yang berintegritas dan bermartabat.
Namun demikian,  disadari bahwa karena pada hakekatnya Pemilu itu adalah sebuah kontestasi politik untuk menggapai kekuasaan,   para kandidat cenderung berusaha dengan segala cara untuk meraih dukungan dari pemilih dara hari pemilihan (voting day).  Tidak jarang para kandidat bertindak  eksesif atau melampaui batas/rambu-rambu aturan yang berlaku.   Dalam hal ini, perilaku politik dan strategi menggapai dukungan maksimal agar memenangkan Pemilu sangat menentukan tercapainya kompetisi politik yang berkualitas dan bermartabat. 
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para kandidat dan masyarakat umum  agar ajang kampanye lebih memberi makna positif bagi kemajuan demokrasi dalam konteks  Pilkada Serentak 2015.

v Pertama,  para kandidat dan tim kampanyenya fokus pada penyampaian visi dan missinya sejalan dengan rencana jangka panjang pembangunan daerah, persoalan dasar, dan kondisi obyektif daerah. Publik akan menilai apakah ada rasionalitas dalam visi dan misi yang diajukan oleh pasangan calon dan apakah dalam kurun waktu lima tahun ke depan mereka  dapat mencapainya; 
v Kedua, para  kandidat dan tim kampanyenya hendaknya sekuat mungkin menghindari upaya untuk menyerang kekurangan atau menjelek-jelekan pasangan calon lain (black campaign). Selain tidak produktif, paslon akan kehilangan waktu dan fokus pada upaya meyakinkan pemilih berdasarkan visi, misi dan program andalannya. Selain itu black campaign beresiko dipidana, bahkan konflik terbuka;   

v Ketiga, kampanye yang sehat ditujukan  membangun rasionalitas pemilih dalam menjatuhkan pilihannya. Namun demikian, dalam praktek ditemukan kampanye bersifat eksessif (jor-joran) karena dukungan finansial yang kuat.  Proses seperti ini harus dikendalikan, dan oleh sebab itu setiap paslon harus bisa transparan dan akuntable dalam hal sumber pendanaan kampanyenya. Di era keterbukaan saat ini, akuntabilitas dalam dana kampanye adalah sebuah keniscayaan;

v Keempat , para kandidat dan tim kampanye harus patuh pada aturan main (the rule of the game)  kampanye dalam hal jadwal, tempat, bentuk/metode, sasaran, serta menghindari hal-hal yg dilarang dalam peraturan dan perundang-undangan kampanye.  Selain  dapat meningkatkan kualitas kampanye, kepatuhan ini juga akan menghindarkan paslon dari sejumlah masalah baik  yang terkait dengan pencitraan negatif di masyarakat maupun bersifat administratif bahkan, lebih jauh lagi masalah pidana.  

v Kelima,  politik uang  (money politics) dalam kampanye. Praktek ini praktek yang sering dipergunakan dalam kampanye dengan mengambil beberapa bentuk seperti pembagian barang, uang, alat produksi, dan sebagainya untuk merebut simpati dari pemilih. Selain licik, money politics akan menjerat pasangan calon itu sendiri dengan penerapan pidana kampanye, bahkan ketika terpilih dan sudah menduduki jabatan sebagai kepala daerah.   

Keenamabuse of power dari para kandidat yang tergolong incumbent.  Kandidat ini tetap masih menduduki posisinya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah pada saat kampanye berlangsung.  Berbeda dengan ASN (Aparatur Sipil Negara), anggota legislatif dan pegawai BUMN/D yang harus berhenti dari jabatannya 60 hari sejak ditetapkan menjadi calon,  kandidat  incumbent/petahana hanya diberikan ijin cuti pada saat jadwal kampanyenya berlaku.   Kadang-kadang, para kandidat incumbent tergiur untuk menggunakan jabatannya, misalnya menyerahkan paket bantuan pemerintah sebagai bupati/wakil bupati di masa kampanye, atau meresmikan fasilitas fisik dan sebagainya di masa kampanye, dan lain sebagainya sehingga memberikan kesan bahwa kampanyenya ‘bukan janji, tapi bukti’.  Ada juga kemungkinan penggunaan sarana dinas termasuk pelibatan pegawai negeri sipil.

Harapan publik adalah bahwa kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon dan tim kampanyenya dapat berlangsung penuh kedewasaan dan bebas dari intrik-intrik yang justru akan
menghambat bahkan mengkerdilkan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.  Kampanye diharapkan dapat membangun rasionalitas pemilih berdasarkan visi, misi, program dan kapasitas dari pasangan calon untuk dapat mencapai visi dan misi yang ditawarkan.  Dengan lain perkataan, kiranya kampanye berintegritas dapat menghindarkan pemilih untuk membeli ‘kucing dalam karung’ .

 *Sombuk Musa Yosep, penulis adalah Anggota KPU Provinsi Papua


 ( dipublikasi di Cenderawasih Pos pada 27 September 2015)

Mencermati Kebijakan Transfer Nontunai Dalam APBN 2016

Penulis : Hans Z. Kaiwai *----
Beberapa tahun terakhir, masalah belum optimalnya penyerapan anggaran masih menjadi tantangan fiskal di daerah. Saat ini dengan adanya peningkatan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa  dalam APBN 2016 menutut pemerintah daerah untuk mempercepat penyerapan anggarannya. Pada tahun 2016, pemerintah daerah, yang tidak menggunakan Dana Transfer dan Dana Desa dari pemerintah pusat secara maksmimal dan cenderung memarkir dana tersebut di bank, perlu mencermati adanya kebijakan transfer nontunai dalam APBN 2016.
 Payung hukum kebijakan tersebut diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN 2016. Disana diatur bahwa “penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dapat dilakukan dalam bentuk tunai dan nontunai” dan “bagi daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah tidak wajar, dilakukan konversi penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk nontunai”.
 Selanjutnya untuk mengimplementasikan kebijakan transfer nontunai tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.7/2015 tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk Nontunai. Dimana kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong penyerapan APBD yang optimal dan tepat waktu, dan mengurangi uang kas dan/atau simpanan pemerintah daerah di bank dalam jumlah yang tidak wajar.
 Kebijakan transfer nontunai ini dikuatirkan dapat mempengaruhi likuiditas perbankan di daerah. Walaupun demikian, hal ini dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan fiskal yang dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah dalam memarkir anggaran transfer di perbankan, terutama ketika telah dilakukan penguatan desentralisasi fiskal melalui peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
 Ketika mengamati postur APBN 2016 dari sisi belanja, kita mendapati adanya perubahan yang cukup mendasar dibandingkan APBN sebelumnya. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai Rp 723,3 triliun, naik Rp 79,4 triliun (12 persen) dari pagu anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa APBNP 2015. Sementara itu, pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) ditingkatkan dari 58,8 triliun pada APBNP 2015 menjadi Rp 208,9 triliun dalam APBN 2016 atau naik Rp 150,1 triliun (255 persen).
 Belanja yang ekspansif pada APBN 2016 dimaksudkan untuk meningkatkan anggaran infrastruktur di daerah dalam upaya memperkuat fondasi pembangunan yang berkualitas dan mewujudkan misi membangun Indonesia dari pinggiran. Pengalokasian dan penyaluran belanja negara yang besar ke daerah ini tentu harus dikelolah dengan baik agar mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dana Menganggur
Kita mengetahui bersama bahwa dalam beberapa tahun anggaran terakhir, adanya simpanan pemerintah daerah di bank dalam jumlah yang tidak wajar. Dana menganggur pemerintah daerah, di seluruh Indonesia, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
 Misalnya, pada tahun 2013, simpanan pemerintah daerah di bank sebesar Rp 92,4 triliun meningkat menjadi Rp 113,2 triliun di tahun 2014. Dan pada tahun terakhir yaitu tahun 2015, jumlah simpanan pemerintah daerah mencapai Rp 291,5 triliun di bulan September.
 Dari amatan terhadap pola pergerakan simpanan pemerintah daerah di bank, biasanya meningkat pada bulan April, kemudian meningkat lagi pada bulan Juni, dan akan mencapai puncaknya pada bulan September. Pola pergerakan simpanan seperti ini ada hubungannya dengan pola tahapan penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
 Disamping itu, masih adanya tantangan klasik dalam pola penyerapan anggaran. Biasanya belanja pemerintah daerah menumpuk pada triwulan III dan IV. Sementara itu, adanya dana menganggur pemerintah daerah di perbankan yang cukup besar bahkan dalam jumlah yang tidak wajar.
Walaupun pada akhirnya anggaran tersebut dapat dibelanjakan dengan sangat cepat pada dua bulan terakhir (November, Desember). Namun pola penyerapan anggaran seperti ini tidak sehat dan perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas belanja pemerintah daerah.

Kebijakan Transfer Nontunai
Untuk mengantisipasi kembali terjadi dana mengganggur di tahun 2016 seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah telah merumuskan kebijakan transfer nontunai dalam APBN 2016.  Konversi penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk transfer nontunai dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
 Dimana berdasarkan kebijakan tersebut, daerah yang patut dikonversi Transfer DBH dan DAU-nya dalam bentuk transfer nontunai adalah daerah yang memiliki saldo kas dan setara kas melebihi belanja operasi dan 50% belanja modal untuk kurun waktu 3 bulan berikutnya. Dimana data untuk menentukan daerah layak konversi diperoleh dari laporan posisi kas bulanan dan ringkasan realisasi APBD bulanan.
 Misalnya, posisi kas daerah bulan Februari Rp 100, sementara rencana pengeluaran operasi dan belanja modal 3 bulan berikutnya (April, Mei, Juni) masing-masing Rp 25, atau total Rp 75, maka adanya dana menganggur sebesar Rp 25. Dan jika rata-rata nasional dana menganggur sebesar Rp 23, maka daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah layak konversi pada penyaluran Triwulan I (bulan Maret).
 Untuk itu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Papua perlu mencermati dan mengantisipasi dalam mengelolah manajemen kas daerah, sehingga nantinya tidak masuk dalam daerah yang ditentukan sebagai daerah yang mendapatkan transfer nontunai DBH dan DAU.
 Kiranya dengan adanya kebijakan pengendalian dana menganggur melalui kebijakan transfer nontunai DBH dan DAU ini, akan mengakibatkan semakin berkurangnya akumulasi dana menganggur pemerintah daerah di perbankan. Dan sebaliknya semakin meningkatnya penyerapan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Dan juga semakin optimalnya penyerapan APBD sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.


Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih,
Ekonom Kementerian Keuangan.



Jumat, 17 Februari 2017

Hukum Bukan Sekadar Ilmu, tapi Juga Gerakan

Penulis : Mahfud MD* -----
RABU tengah hari, (23/9), saya baru mendarat di Kuala Lumpur,  Malaysia. Saya berada di sana untuk memenuhi janji  menyampaikan khotbah Idul Adha di KBRI keesokan harinya. Di sana saya sekaligus berbicara tentang ”Islam dan Kebangsaan” dengan  warga NU dan komunitas Gusdurian yang menggelar acara diskusi di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia.
 Saat makan siang, Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur Herman Prayitno menyampaikan berita duka itu. ”Adnan Buyung Nasution wafat, Pak,” katanya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Sehebat apa pun manusia, setinggi apa pun kedudukannya, sebanyak apa pun kekayaannya, akhirnya akan kembali kepada-Nya.
 Adnan Buyung Nasution atau akrab disapa Bang Buyung sudah kembali kepada-Nya. Bang Buyung kini tinggal menjadi kenangan indah bagi dunia penegakan hukum di negeri ini. Saya mengenal nama Bang Buyung sejak masih menjadi mahasiswa tingkat sarjana muda (tingkat III) pada awal 1980-an.
 Namanya begitu moncer di seantero Indonesia sebagai advokat dan perannya sebagai pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang penuh idealisme itu. Bang Buyung menyadarkan kita bahwa Indonesia ini membutuhkan banyak advokat atau pengacara yang berintegritas dan profesional.    Sebab, banyak orang miskin yang diperlakukan sewenang-wenang dan disiksa tanpa mendapat pembelaan hukum.
 Bang Buyung mengajarkan, hukum bukan sekadar pasal-pasal dan cara menafsirkannya agar Sinkron secara horizontal dan vertikal. Di balik hal-hal yang teknis-prosedural seperti itu, ada yang lebih penting: keadilan sebagai sukma hukum.
 Hukum tidak bertumpu pada otak atau logika semata, tapi juga pada bisikan hati nurani  agar hukum bisa ditegakkan sesuai dengan sukmanya, yaitu keadilan.  Tanpa menjadi dosen resmi, saat itu Bang Buyung telah mengajari para pelajar bidang hukum bahwa hukum itu bukan sekadar ilmu, tapi juga gerakan.  Gerakan membela kaum yang lemah. Gerakan menegakkan keadilan.
 Melalui berbagai kegiatannya, Bang Buyung telah melahirkan banyak pejuang penegak hukum, bukan hanya para pembelajar hukum sebagai ilmu. Dia berkeliling ke berbagai tempat untuk mengampanyekan gerakannya dalam penegakan hukum dan keadilan. Dari binaannyalah lahir tokoh-tokoh pejuang hukum di berbagai tempat.
 Di Jakarta, misalnya, ada nama Todung Mulya Lubis dan Abdul Rahman Saleh. Di Jogjakarta ada nama Artidjo Alkostar, Dahlan Thaib, Kamal Firdauz, dan Henry Yosodiningrat. Di Jawa Timur ada nama Zaidun, Munir,  dan lain-lain. Otto Hasibuan dan Bambang Widjojanto juga jebolan LBH hasil besutan Bang Buyung.
 Bang Buyung juga mampu memancing orang dari luar fakultas hukum untuk menjadi pejuang-pejuang hukum. Sebutlah Mulyana W. Kusumah yang orang FISIP UI, Hendardi yang lulusan ITB, atau Teten Masduki yang lulusan IKIP.
 Pasca peluncuran LBH pada 1979/1980 oleh Bang Buyung, dunia penegakan hukum di Indonesia menjadi meriah. Di kampus-kampus banyak mahasiswa yang mengidolakan dan ingin menjadi advokat seperti Bang Buyung. Kalau Bang Buyung hadir dalam sidang atau berdiskusi di kampus, banyak mahasiswa yang histeris mengelu-elukannya.
 Seruan nya selalu konsisten, ”Kalian harus berjuang menegakkan hukum dan ke adilan. Negara kita ini negara hukum.” Pada awal 1980-an saya termasuk salah seorang yang sering mengejar acara-acara Bang Buyung. Penampilannya selalu memukau. Logikanya bagus.
 Sikapnya  tegas, bahkan terkesan garang. Seusai kuliah, saya sering diundang dalam acara-acara penting Bang Buyung, baik acara temu ilmiah maupun acara keluarga. Saya juga selalu diundang pada hari ulang tahunnya. Bahkan diundang untuk berbicara atau memberikan sambutan dalam acara-acara penting yang diadakan nya.
 Karena rasa hormat saya pula, saya menyempatkan diri hadir saat Bang Buyung dikukuhkan sebagai guru besar pada Melbourne Law School, The University of Melbourne, Australia. Meski begitu, saya juga sering mengkritik Bang Buyung, baik langsung maupun melalui SMS.
 Bahkan  juga menulis di koran. Saat dia membela terdakwa korupsi, saya kritik dia dengan mengingatkan bahwa dia mengajari kita untuk menegakkan keadilan. Dia menjawab, ”Saya tak pernah membela kejahatan atau korupsinya. Saya membela hak-haknya  agar tidak diperlakukan sewenang-wenang.” Dulu Bang Buyung memanggil  saya dengan nama saya saja, Mahfud. Tapi, sesudah saya menjadi menteri, sejak 2000-an dia memanggil saya ”adik” atau ”dinda”. Meski begitu, dia selalu korek dan bersikap sebagai profesional sejati.
 Ketika menangani perkara di Mahkamah Konstitusi dan saya yang memimpin sidang, Bang Buyung tetap berlaku hormat terhadap pengadilan. Setiap diberi kesempatan berbicara, Bang Buyung selalu berdiri dengan penuh hormat, memulai pembicaraan dengan membungkuk hormat, dan mengakhirinya dengan membungkuk pula. Saya yang kalau bertemu dengannya di luar sidang biasanya dipanggil ”Mahfud” atau ”adik” saja, di dalam sidang Bang Buyung memanggil saya ”yang mulia” dengan serius, tanpa dibuat-buat.

 Sebenarnya, sebelum terbang ke Malaysia, saya sudah berjanji dengan Todung Mulya Lubis untuk bertemu dengan Bang Buyung. Bang Buyung sudah mengiyakan. Tapi, Allah telah memanggilnya sebelum pertemuan itu berlangsung. Selamat jalan, Bang Buyung. Sejarah dunia penegakan hukum akan mencatat nama Abang dengan tinta emasnya. Beristirahatlah di sana dengan tenang. (*)  
(In Memoriam Adnan Buyung Nasution)

*Guru Besar Fakultas Hukum UII
Jogjakarta dan Mantan Ketua
Mahkamah Konstitus

Jokowi dan Ide-Ide "Gila" Untuk Papua

Penulis : Dr. Neles Tebay * -----
PRESIDEN  Joko Widodo, yang secara populernya dikenal dengan nama Jokowi, telah mengunjungi Tanah Papua, 8-11 Mei 2015. Dalam kunjungannya yang pertama tahun ini,dia melakukan berbagai kegiatan di beberapa daerah yakni di Jayapura, Merauke, Manokwari, dan Sorong.
 Merefleksikan kembali kunjungan Presiden Jokowi ini, dia secata jelas terlihat sebagai orang yang berpikir “out of the box”. Dia berjiwa besar, berpikir besar, dan berkomitmen untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang saya kategorikan sebagai ide-ide “gila”, demi suatu perubahan yang besar di Tanah Papua. Sebagai seorang visioner (a man with vision), dia mempunyai visi yang cemerlang tentang masa depan Papua.
Papua sudah menjadi tanah konflik selama 52 tahun berintegrasi ke dalam Republik Indonesia, sejak 1 Mei 1963. Tetapi Presiden Jokowi punya ide “gila” dimana dia mau memperbaharui Papua dari Tanah Konflik menjadi Tanah Damai. Dia menegaskan, “Kita ingin menciptakan Papua dan Papua Barat sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera” (Kompas, 10/5). Papua yang damai ingin diwujudkannya melalui cara-cara yang “gila” pula.
 Presiden Jokowi memahami bahwa upaya mewujudkan Papua yang damai mesti didukung oleh infrastruktur yang memadai. Oleh sebab itu, pemerintah pusat mengalokasikan dana sebanyak Rp 6 Triliun untuk infrastruktur, seperti pembangunan jalan dan jembatan, pengairan dan irigasi, sanitasi dan air minun, dan Perumahan. Jokowi berkomitmen untuk menghubungkan seluruh Papua dengan membangun Jalan Trans Papua sepanjang 3986 Km dan diharapkann rampung tahun 2019.
 Ide “gila” yang satu ini tidak pernah terlintas dalam benak semua Presiden sebelumnya yakni pembangunan rel kereta api di Bumi Cenderawasih. Melihat kondisi geografis yang berat, banyak orang mengamini bahwa membangun jalan raya biasa saja tidak mungkin, apalagi rel kereta api. Bagi seorang Jokowi, seluruh dataran Papua dapat dihubungkan dengan rel kereta api, mulai dari kota Sorong di Provinsi Papua Barat hingga kota Jayapura di Provinsi Papua.
 Pembangun pelabuhan laut seluas 7000 Ha yang terpadu dengan sentra power plan, pelabuhan, dan kawasan industri di Sorong, dan pembukaan lahan persawahan seluas 1,2 juta hektar di Merauke merupakan ide-ide besar lainnya.
 Presiden Jokowi mengkombinasikan ide-ide “gila” ini dengan kebijakan-kebijakan populis yang menaikkan tingkat kesejahteraan rakyat. Dia memperlihatkan pentingnya peningkatan kesejahteraan rakyat demi terwujudnya perdamaian melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dibagikan kepada sejumlah warga kota Jayapura.
 Suatu ide besar yang disambut gembira dunia internasional adalah pembukaan akses bagi wartawan asing ke Papua. Jokowi sebagai satu-satunya Presiden Indonesia yang berani mengizinkan wartawan asing dengan bebas masuk ke Tanah Papua.
 Pemberian Grasi kepada lima orang narapidana politik (napol) Papua, yang dipandang sebagai separatis yang adalah musuh Negara Indonesia, juga merupakan suatu ide “gila”. Jokowi meyakini bahwa penahanan para napol ini tidak menyelesaikan konflik Papua. Dia memilih jalan dialog, bukan jalur hukum, dalam upaya mengatasi dimensi politik dari konflik Papua. Pemberian grasi ini dilakukan, bukan sebagai upaya pencitraan Jokowi, melainkan sepenuh hati dan tulus untuk menciptakan Papua yang damai.
 Presiden Jokowi meminta TNI-POLRI untuk meninggalkan pendekatan keamanan dan menggunakan pendekatan kesejahteraan. Tanah Papua ingin dijadikan negeri yang damai, maka ”jangan dipanas-panasi lagi,” pinta Presiden.
 Jokowi bahkan mempunyai ide “gila” yang lain yakni ingin berdialog dengan OPM, termasuk dengan Goliat Tabuni selaku pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Satu tantangan dialog yang perlu diatasi, menurut Jokowi, adalah adanya ketidakpercayaan antara TNI-POLRI dan warga sipil.
 Menurut pengamatan kami, sikap ketidakpercayaan terasa juga dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, orang Asli Papua dan warga Papua yang berasal dari luar Tanah Papua, dan antara rakyat Papua dan Pemerintah Pusat. Sudah tentu bahwa ketidakpercayaan tersebut menghambat tidak hanya dialog antara Pemerintah dengan berbagai pihak melainkan juga partisipasi aktif dan penuh dari warga Papua dalam pelaksanaan ide-ide besar di atas.
 Guna menghancurkan ketidakpercayaan dan membangun kepercayaan dari rakyat, Pemerintah Daerah pada dua provinsi dan 40 kabupaten/kota bersama Pemeritah Pusat mempersiapkanngun seluruh warga Papua, baik orang asli Papua maupun paguyuban dari luar Papua yang hidup di Papua, untuk secara bersama berdiskusi tentang indikator-indikator Papua Tanah Damai, mengidentifikasi masalah-masalah yang menghambat perdamaian, dan menemukan solusi-solusi yang realistis dan terukur demi terwujudnya Papua yang damai. Diskusi ini perlu dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota pada Provinsi Papua dan Papua Barat, sehingga seluruh warga Papua dapat mempunyai visi dan persepsi yang sama tentang Papua Tanah Damai.
 Dalam kunjungan berikutnya, entah kapapun waktunya, Presiden Jokowi dapat melakukan monitoring atas pelaksanaan ide-ide “gila” dan tahapan-tahapan dialog demi perwujudan Papua Damai. Dengan demikian, Presiden Jokowi memainkan peranannya sebagai kapten yang bertanggungjawab penuh atas pelayaran kapal Papua menuju pelabuhan Tanah Damai. #

*Neles Tebay adalah dosen STFT Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) di Abepura.

Antropolog (Tukang?) dan Sang Liyang

Penulis : I Ngurah Suryanan* -----
SALAH satu perbincangan (wacana) yang tidak habis-habisnya diperdebatkan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora, dalam hal ini ilmu antropologi, adalah yang berhubungan dengan relasinya dengan orang lain yang menjadi subyek dari kerja seorang antropolog. Sang liyan (orang lain) di luar diri mereka menjadi pertanyaan penting tentang subyektifitas (baca: posisi dan keberpihakan) antropolog dalam melihat isu-isu yang menjadi kajiannya. Perbincangan ini mengerucut kepada isu metodologi dan lebih jauh adalah ontologi (menjadi) dari ilmu antropologi dan antropolog itu sendiri. Secara metodologi sudah sering didiskusikan bahwa ilmu-ilmu humaniora (antropologi) berakitan erat dengan subjektifitas manusia dan kebudayaannya. Antropologi membangun pengetahuannya dari subyeknya yaitu rakyat itu sendiri. Alih-alih mengatasnamakan rakyat, antropolog dituntut untuk berpihak dan bersama rakyat membangun pengetahuannya.