PRESIDEN Jokowi dan masalah Papua menjadi penting karena sudah hampir 70 tahun ( 1945 – 2015) Indonesia merdeka, belum tuntas diselesaikan. Padahal kasus Aceh dan Papua identik – kedua wilayah ini sama sama menuntut pemisahan diri dari RI. Soal Papua belum juga memperoleh prioritas penyelesaian, terkesan ada diskriminasi yang dilakukan oleh Jakarta terhadap dua daerah ini.
Pada saat awal kampanye Pemilihan Presiden 2014 lalu di Jayapura, Presiden Jokowi, masih Capres pada saat itu di Kantor Sinode GKI ( Gereja Kristen Injili) se Tanah Papua, didepan pimpinan Gereja terbesar dan tertua di Papua itu, berjanji untuk melakukan upaya – upaya penyelesaian masalah Papua. Janji dan komitmen itulah yang mesti direalisasikan dalam era pemerintahan Jokowi – JK. Jangan biarkan rakyat Papua mencari solusi masalahnya dengan caranya sendiri. Kalau hingga rakyat mencari solusinya sendiri maka negara tanpa sadar sedang menggiring wilayah ini untuk mengalami desintegrasi dari Republik Indonesia. Jika Papua lepas dari RI bukan karena kemauannya semata, tapi justru didorong oleh ketidak- seriusan Jakarta menyelesaikan soal Papua. Dalam kekhawatiran itulah maka Presiden Jokowi berkemauan politik menjadikan agenda Papua sebagai salah satu program prioritas dari Kabinet Kerjanya.
Menurut pendapat saya, ada dua cara untuk menyelesaikan permasalahan Papua. Pertama, penyelesaian dalam konteks NKRI dan kedua, diluar kerangka RI. Pertama, dalam kerangka NKRI maka tak ada alternatif lain yaitu dilakukan “percakapan bersama” antara Jakarta – Papua. Sudah pasti ada konsekuensi, ada berbagai tawaran yang dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan rekonsiliasi yang diterima oleh kedua belah pihak baik Jakarta maupun Papua dengan tujuan menciptakan Papua Tanah Damai.
Kedua, sebaliknya bila penyelesaian diluar kerangka NKRI, maka dapat saja Jakarta akan digiring untuk mengakui kesalahan – kesalahan yang dilakukan akibat kejahatan kemanusiaan atas nama negara baik dari aspek pelanggaran HAM maupun Ecosoc – sebab komunitas internasional menilai bahwa RI telah gagal memberikan kenyamanan, keamanan dan kesejahteraan bagi sekelompok warga minoritas yang adalah pemilik sah dari negara ini telah diabaikan hak haknya, yang semestinya negara berkewajiban memberikan proteksi kepada mereka. Seperti kasus kasus Timor Timur dimana masyarakat internasional mengintervensi dan menekan Jakarta untuk melakukan referendum dengan alasan dan argumentasi bahwa negara telah gagal memberikan perlindungan terhadap kemanusiaan dan keadilan untuk penduduk asli sesuai Konvensi PBB mengenai Proteksi terhadap Indegenius People. Hal ini bisa saja terjadi, kapan waktunya tergantung bagaimana Pemerintah Pusat menyadari pentingnya penyelesaian soal Papua.
Argumentasinya, selama dua puluh tahun terakhir telah lahir besar, tumbuh dan berkembang secara sosiologis satu generasi baru intelektual Papua yang berpendidikan tinggi baik dalam dan luar negeri yang sangat kritis, yang menyatu dan berinteraksi dengan pergerakan di pusat pusat kekuasaan dan berkolaborasi dengan civil socitey di Jakarta dan diluar negeri. Mereka sangat menguasai teknologi informasi, komunikasi , dunia maya dan internet sehingga mereka berkolaborasi ke manca negara. Generasi baru yang memiliki tradisi dan pandangan politik yang berbeda dengan generasi tua sebelumnya yang tidak terkungkung dengan nostalgia masa lalu, yang tidak terbelenggu dalam pragmatisme ideologi sempit warisan Belanda. Generasi baru yang memiliki visi yang berbeda tentang masa depan Papua, berpikiran obyektif, rasional dan progresif tujuan mereka hanya satu yaitu mewujudkan emansipasi Papua. Dan generasi ini secara kritis belajar pula dari konstruksi awal sejarah Indonesia merdeka yang dijadikan sebagai basis referensi bahkan pengalaman empiris kekurangan para pengelola negara ini dalam memanajemen pemerintahan dan pembangunan Indonesia.
Generasi baru intelektual Papua inilah yang kini bermarkas dibeberapa wilayah dunia dari Amerika Serikat, Eropa, Australia, Pasifik Selatan dan Jakarta. Didalam negeri sayap sayap perjuangan untuk menegakkan emansipasi dilakukan dengan berbagai kampanye penegakan HAM ( selembaran, pamflet, buku dan brosur), aksi aksi protes dan demo diseluruh kota studi baik di Papua, Sulawesi hingga Jawa. Mereka berada dipusat pusat kekuasaan dunia dan dalam negeri telah membangun solidaritas dan kesamaan persepsi untuk memperjuangkan dan menginternasionalisasikan isyu Papua.
Papua movement ( gerakan dan pemikiran), dari generasi baru intelektual Papua tersebut telah mewarnai bahkan telah merepotkan Pemerintah Indonesia, diplomat – diplomat kita diluar negeri kewalahan menghadapi dan membendung aksi aksi dan tuntutan Papua merdeka. Begitu intensnya soliditas pemikiran dan gerakan mereka memobilisasi kelompok kelompok masyarakat sipil internasional guna memperoleh dukungan untuk pembebasan Papua dari Indonesia. Ditambah lagi terbatasnya kebebasan berbicara, hak demokrasi rakyat di Papua serta masih tertindasnya rakyat didaerah ini, merupakan amunisi untuk gerakan ini memperkokoh perjuangan mewujudkan tujuan emansipasi Papua.
Derasnya Papua movement dan keterbatasan rakyat diwilayah ini untuk mengekspresikan hak berbicara dan demokrasinya merupakan keprihatinan sekaligus kekhawatiran oleh R. William Liddle ( seorang Indonesianis) Profesor dari Ohio State University AS, dalam artikelnya yang berjudul Tiga Tantangan Internasional, di Majalah Minguan Tempo ( 26/10/2014) ia menyatakan bahwa salah satu soal yang akan dihadapi oleh pemerintahan Presiden Jokowi lima tahun kedepan adalah, jika tidak dicarikan upaya penyelesaian masalah Papua, pada suatu saat akan menimbulkan sebuah ledakan politik yang besar di Papua. Karena rakyat diwilayah ini sudah lama melakukan perlawanan terhadap Jakarta. Untuk itu tak ada pilihan lain bagi Pemerintahan Presiden Jokowi mesti serius menyelesaikan soal Papua. Soal Papua bukan masalah pembangunan an sich, bukan masalah kesenjangan sosial dan ekonomi, tapi persoalan menempatkan harkat dan martabat kemanusiaan yang mesti dihargai dan dihormati dalam kesetaraan sebagai satu bangsa.
Mereka belajar dari pengalaman Timor Timur, Aceh bahkan gerakan gerakan pembebasan lain didunia untuk menggugat kembali masalah pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 ( The Act Of Free Choice), mereka menyampaikan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan tentang berbagai kejahatan dan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan aparat keamanan kita di Mahkama Internasional di Den Haag Belanda. Mereka juga menolak kebijakaan Otonomi Khusus Papua ( UU 21/2001). Pergerakan ini jika tidak dicermati dengan baik dan tidak dikelola tuntutan penyelesaian soal Papua bisa mengarah kepada krisis Papua. Kita masih ingat diawal reformasi 1998 – 2000 yang lalu, sebagai bangsa kita dihadapkan - nyaris - Papua lepas dari RI menyusul Timor Timur (1999). Kita mesti mengedepankan rasa dan perasaan publik Papua membangun prasangka positif guna menyelesaikan masalah mereka.
Desakan publik dan tokoh tokoh Papua maupun intelektual Indonesia lainnya agar Presiden Jokowi membuka ruang untuk sebuah percakapan bersama merupakan pikiran politis untuk direalisasikan. Kita butuh kewenangan Presiden untuk memfasilitasi solusi masalah Papua secara elegan yang menempatkan konstitusi dan kehormatan rakyat sebagai taruhan bagi keutuhan bangsa ini. Kita butuh kearifan seorang Jokowi sebagai Presiden untuk bisa mengatasi soal Papua. Kepastian penyelesaian masalah Papua jangan menjadi komoditas politik belaka, apalagi dengan mempersoalkan lembaga yang otoritatif dan yang bertanggungjawab untuk memfasilitasi dialog Jakarta – Papua tapi negaralah yang berkewajiban mengupayakan solusi masalah Papua.
Pada akhirnya sejarah memberikan pelajaran penyatuan masyarakat dan tanah Papua dalam NKRI membutuhkan dukungan dan mobilisasi dalam dan luar negeri. Politik Sukarno untuk menggabungkan wilayah ini masuk menjadi bagian integral dari RI diperebutkan disetiap periode pemerintahan dari satu kabinet ke kabinet lainnya.
Sukarno merebut wilayah ini tidak saja memobilisasi pasukan dan provokasi politiknya lewat pidatonya baik di Indonesia maupun difora internasional termasuk di PBB tapi juga Sukarno sukses ” memanusiaakan” manusia Papua atau Irian pada waktu itu ( terlepas dari maksud dan tujuan politiknya), Sukarno berhasil membangun nation and character building ke – indonesiaan di Papua lewat simbolisasi tarian lenso di Istana Bogor dengan merangkul dan mengundang para tokoh dan pemuda Papua menari bersamanya dengan menggandeng putri putri Bung Karno seperti Megawati, Rachamawati dan Sukmawati. Maka dalam fungsi dan peran yang hampir sama Megawati selaku mantan Presiden dan Ketua Umum PDIP dapat melakukan hal yang identik dengan mendorong Jokowi sebagai Presiden untuk menyelesaikan soal Papua. Tidak saja mbak Mega ngotot untuk Jokowi harus mencalonkan Komjen Polisi Budi Gunawan (BG) sebagai satu satunya calon Kapolri beberapa waktu lalu, mengapa tidak putri Bung Karno ini dapat melakukan hal yang sama untuk Papua. Saya hanya mengingatkan kasus BG dan kasus – kasus lainnya tidak akan meruntuhkan keutuhan negara RI, tapi Papua lepas dari Indonesia akan merubah wajah dan peta negara ini didunia. Maka baik mbak Mega dan Presiden Jokowi berkewajiban menyelesaikan soal Papua, sebagai kado menyambut HUT RI ke 70.
** Frans Maniagasi, Pengamat masalah Papua.