Kamis, 11 Agustus 2016

Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Dana Otonomi Khusus

Penulis : Yulianus Uropdana, SH. M.Hum
DALAM rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good and clean government) di provinsi Papua, hendaknya semua komponen anak bangsa di daerah ini berperan aktif melakukan perubahan-perubahan di segala aspek pembangunan berkelanjutan (sustainable development) demi menjawab tantangan-tantangan kehidupan sosial kemasyarakatan maupun masalah arus globalisasi yang terus merujuk pada pelemahan daya saing dan pengerokan sikap mental menuju instanisasi serta polariasai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlakuan kekhususan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah provinsi papua dalam bentuk pemberlakuan undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus (otsus) maupun beberapa produk regulasi (regulation) lainnya bermaksud mempercepat peningkatan taraf hidup melalui proses pendekatan pembangunan, sehingga keseimbangan kesejahteraan bisa dapat terwujud antara masyarakat provinsi papua dan masyarakat daerah Indonesia lainnya.
Salah satu bentuk kekhususan guna memperlancar akomodasi serta proses pembangunan sebagaimana diharapkan pemerintah adalah, semakin bertambahnya jumlah nilai uang otonomi khusus yang dianggarkan secara periodik ke rekening pemerintah di tingkat provinsi yang kemudian disalurkan ke setiap kabupaten dan kota di papua.
Memang uang bukan segala-galanya tetapi uang bisa dapat mengatur segala-galanya, sehingga terpenting bagi kita saat ini adalah melakukan tindakan Monitoring dan Evaluasi terhadap implementasi dana otonomi khusus yang selama ini di anggarkan untuk merealisasi program-program pembiayaan langsung maupun tidak langsung di seluruh tingkat pemerintahan yang ada. Monitoring dan evalusia bertujuan mereformasi, merevitalisasi dan mengintegrasikan rantai birokrasi dengan melihat keberhasilan program atas jumlah anggaran yang dikerjakannya.
Meninjau dan menilai kembali penggunaan anggaran sumber dana otonomi khusus atas keberhasilan dari kendala-kendala, peluang serta tantangan memungkinkan tercapainya efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, proporsionalitas, profesionalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah semakin nampak nantinya. Harapan optimisme akan terwujud, bila  pemerintah daerah konsisten membangun komunikasi efektif dan etika birokrasi serta transparansi anggaran sesuai dengan pos anggaran, tujuan dan manfaatnya.

A.    Pandangan Masyarakat
Dibenak masyarakat umum (awam) yang selalu di ingat dan diperbincangkan, bahkan memperbandingkan adalah pelakksanaan antara jumlah nilai uang dana otonomi khusus tahun terkait yang dibagikan pemerintah, dengan pelaksanaan tindakan nyata pemerintah (implementatif). Hal ini wajar saja karena pemerintah dianggap mengetahui masalah masyarakat, pengelolah dan pengguna anggaran, memiliki kewenangan serta kekuasaan mengatur dan memerintah. Lain sisi persepsi masyarakat juga memang dianggap keliru karena tingkat pemahaman maupun prinsip-prinsip pengelolaan anggaran tentu berbeda dengan apa yang pikirkan masyarakt umum. Baik menyangkut pembahasan dan penetapan anggaran, kas anggaran daerah, penghematan, prinsip periodesasi dan akuntability system pelaporan keuangan daerah.
Kurangnya sosialisasi membangun pemahaman tentang pelaksanaan pengelolahan dana otsus maupun sumber-sumber lain mengakibatkan masyarakat tetap bingung dan bisanya bertanya-tanya saja. Masyarakat sifatnya menunggu arahan dan tindakan nyata pemerintah karena logisnya dianggap mengetahui masalah maupun system keuangan pemerintahan daerah itu sendiri.
B.     Kendala-kendala
Pandangan masyarakat umum (awam) terhadap jumlah nilai nominal dan pelaksanaan dana otsus di daerah juga dipengaruhi oleh beberapa kendala mendasar, diantaranya sebagai berikut: kendala pertama adalah masalah sumber daya manusia, terutama berkaitan dengan nilai moral, etika, integritas, kapabilitas sumber daya manusia papua (terutama penyelenggara) yang notabene kurang dalam penguasaan ilmu dan pengetahuan, sehingga berpengaruh terhadap outputnya. Kendala kedua adalah, hilangnya fungsi control dan budget DPRD, sehingga terkesan terjadi ketidakseimbangan dalam membangun chek and blancise. Persoalan mandeknya fungsi control diprediksi anggota parlemen pun  kongkalikong membentuk mafia anggaran serta terlibat kompromi atur aman atas nama rakyat.
Letak geografis merupakan kendala ketiga, karena letak geografis dan topografi papua yang luas, unik dan antic menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menjangkau dan memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Di daerah pegunungan papua merupakan kawasan tersulit, sebab banyaknya gunung, pegunungan, dataran tinggi serta cuaca yang sering tidak bersahabat membuat anggaran penerbangan terus mendikte pemerintah (pengelola dana otsus). Persoalan ini sering terjadi karena menimbulkan ancaman keselamatan penerbang maupun masyarakat atau penumpang pesawat tersebut. Belum lagi penyebaran penduduk tidak merata dan terpencil memungkinkan jangkauan pelayanan terus saja menimbulkan ketidakpastian pelayanan. Kendala utama ke empat yang menimbulkan kebingungan terhadap penggunaan dana otsus adalah berkaitan dengan aksesbilitas, publikasi, dan akuntabilitas yang selama ini tertutup dan sulit diakses masyarakat umum.
Kendala utama kelima adalah terciptanya culture birokrasi koruptif, berjamaha dan manipulative yang mengarah pada penipuan data fiktif untuk memperkaya diri dibalik harapan perubahan masyarakat miskin kota maupun pedesaan. Belum lagi penempatan jasa konsultan keuangan yang berlebihan dan berlama-lama mengindikasikan terjadinya korupsi sistematis berjamaha di tingkat pemerintahan daerah, terutama tingkat kabupaten/kota di papua. Belum lagi persoalan birokrasi yang tertutup tanpa keterbukaan akses informasi serta pelelangan jabatan membuat tanda-tanda pemerintahan menuju perbaikan dipertanyakan.
C.       Solusi
Dari uraian latar belakang pandangan masyarakat dan kendala-kendala yang mempengaruhi kinerja pengelolah maupun pelaksanaan dana otsus di atas, langkah-langkah yang perlu dilakukan pemerintah (Gubernur, Bupati dan Walikota) adalah sebagai berikut: Pertama, pemerintah perlu mengadakan Lelang Jabatan sebagai bentuk reformasi birokrasi untuk melihat tingkat dedikasi, sikap integritas, kapabilitas serta sepak terjang perjalanan oknum calon pejabat seraca keseluruhan. Langkah ke dua adalah menanamkan paradigm positif  dan revolutif mental aparat birokrasi koruptif. Membangun paradigm positif diperuntukan terhadap aparat birokrasi lama (golongan besar dan berpengalaman lama kerja), sedangkan revolusi mental bagi pegawai-pegawai baru melalui kerjasama lembaga-lembaga terpercaya seperti KPK, BPK dan Kejaksaan Tinggi guna merekontruksi kembali pemerintahan bersih dan berwibawa sekaligus sinkronisasi vissi-missi Presiden dengan pemerintah daerah di seluruh tanah papua.
Langkah ke tiga adalah, perlu adanya keterbukaan Informasi bagi semua komponen di dunia maya atau pun mengumumkan di koran bisnis local dan atau tempel di dinding papan pengumuman dinas-dinas terkait menyangkut jumlah anggran, jenis kegiatan proyek, gambar dena. Lokasi dan sarana proyek serta perusahan (pihak ketiga) yang mengerjakan, lama kerja dan lain-lain sebagai bentuk keterbukaan informasi penggunaan dana 80%  atau pun 20% di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di papua.
Langkah keempat  adalah, mempertanggungjawabkan semua laporan kegiatan periodic sebagai bentuk akuntabilitas penggunaan dana otonomi khusus tepat guna dan tepat sasaran yang nantinya kembali di monitor serta dievaluasi bersama-sama berdasarkan lembar hasil kerja periode terakhir tersebut. Langkah-langkah seperti ini memungkinkan manfaat dana otonomi khusus semakin jelas dan tepat sasaran sesuai dengan rencan program yang diagendakannya.
Semoga optimisme kerjasama a secara professional dan proporsional semua komponen (tidak hannya aparat birokrat) semakin nampak dan maju menuju terciptanya pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa sesuai dengan yang diharapkan kita semua, sehingga puncaknya adalah terwujudnya masyarakat papua bangkit, maju dan sejahtera sesuai vissi-missi gubernur dan wakil gubernur terpilih saat ini, semoga.

Penulis adalah,

Anggota Lembaga Intelektual Tanah Papua dan Ketua HPPI Kab. Pegunungan Bintang 
(tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos 2015)

Rabu, 10 Agustus 2016

Menakar Kinerja Pemerintah Daerah di Papua

Penulis :  Ardhian Prima Satya *
PENGUKURAN kinerja dalam sektor swasta sangatlah penting. Hasil penilaian kinerja merupakan kunci utama bagi stakeholder maupun investor untuk dapat mengambil keputusan, melanjutkan investasinya ataupun menilai kemampuan manajerial perusahaan. Setiap perusahaan yang sudah berlabel go public bukan hanya wajib menyusun laporan keuangan dan mempublikasikannya, tetapi juga laporan kinerjanya setiap 1 tahun sekali.
  Di dalamnya tercantum informasi lengkap dan detil dari kienrja perusahaan tersebut. Dalam melaporkan kinerjanya perusahaan biasanya mengadopsi pengukuran kinerja Balanced Scorecard karya David P. Norton dan Robert S. Kaplan. Lalu bagaimanakah dengan penilaian kinerja pemerintah daerah?
 Dalam pelaksanaan pemerintahan, mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur merupakan dambaan banyak Kepala Daerah. Harapan itu dituangkan dalam Visi dan Misi sang pemimpin semenjak masa kampanye, sampai dengan masa akhir pemerintahan 5 tahunan. Namun, yang menjadi permasalahan berikutnya adalah bagaimana kita dapat mengukur pencapaian Visi dan Misi Kepala Daerah, dan apakah dampaknya benar dirasakan oleh masyarakat? Apakah setiap penggunaan APBD benar-benar berdampak pada pembangunan daerah dan masyarakat?
 Ada beberapa alat ukur yang dapat dijadikan indikator menilai capaian kinerja Kepala Daerah dalam melaksanakan pemerintahan di daerah. Sesuai yang tertuang dalam PermenPAN dan RB Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah pada Lampiran II dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahun, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Dengan menyusun LAKIP, pemerintah daerah diharapkan dapat menjabarkan bagaimana capaian kinerja output dan outcome sesuai dengan target kinerja yang disusun setiap tahunnya beserta realisasi anggarannya. Oleh sebab itu, salah satu alat menakar kinerja pemerintah daerah adalah dengan melihat LAKIP yang kemudian diikuti dengan hasil penilaian evaluasi SAKIP yang dilakukan oleh Kementerian PAN dan RB.
 Namun realita yang terjadi di lapangan, banyak pemerintah daerah yang belum menyusun LAKIP dan mengimplementasikan SAKIP dengan baik, terutama pada pemerintah-pemerintah daerah yang ada di Provinsi Papua. Dalam beberapa tahun terakhir, nilai terbaik evaluasi SAKIP dari pemerintah daerah yang ada di Provinsi Papua hanya masuk kategori nilai C atau “Kurang”            (30 – 50) dengan interpretasi bahwa sistem dan tatanan kurang dapat diandalkan, memiliki sistem untuk manajemen kinerja, akan tetapi perlu banyak perbaikan minor dan perbaikan yang mendasar (sesuai dengan kategori penilaian dari KemenPAN dan RB). Dengan demikian, dapat diidentifikasikan  bahwa kinerja pemerintah-pemerintah daerah di Provinsi Papua tidak memadai.
 Lalu, apakah ada dampak dari pencapaian 8 pemerintah daerah (tahun 2015) di Provinsi Papua yang telah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dengan pencapaian kinerjanya?
 Pemberian opini pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah merupakan sebuah predikat terhadap penyajian Laporan Keuangan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Semakin disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah, maka akan semakin baik opini yang akan diperoleh. Pemberian insentif dari Pemerintah Pusat yang memperoleh Opini WTP, menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mengupayakan pencapaian Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah menjadi WTP.
 Di sisi lain, pencapaian kinerja yang dilaporkan dengan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) justru sering ditinggalkan dan tidak dipedulikan. Salah satu faktor yang menjadi pemicu, baik disengaja maupun tidak, meng-“anak-tiri”-kan LAKIP adalah tidak adanya sanksi dan insentif yang “menarik” bagi pemerintah daerah yang memiliki kewajiban menyusun LAKIP dan menyerahkannya kepada Kementerian PAN dan RB.
 Pencapaian opini LKPD merupakan salah satu dari pencapaian kinerja yang biasanya merupakan satu Indikator Kinerja Utama yang hendak dicapai pemerintah daerah setiap tahunnya. Sehingga ketika opini yang diraih semakin baik, satu dari banyak sasaran strategis tercapai. Yang sering dilupakan justru sasaran-sasaran strategis lain yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti meningkatnya kesempatan kerja, meningkatnya angka melek huruf masyarakat, meningkatnya angka kelahiran bayi, meningkatnya partisipasi anak sekolah dan masih banyak lainnya.
 Bila digali lebih jauh, hubungan keterkaitan secara langsung antara Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) terletak pada penyajian anggaran dan realisasi anggaran. Karena data yang disajikan dalam LAKIP harus bersumber dari LKPD. Di dalam LAKIP diharapkan bahwa penyajian anggaran dan realisasi keuangan dapat dijabarkan secara rinci mengenai pencapaian kinerja secara outcome dalam upaya mencapai sasaran strategis yang telah disusun, bukan hanya realiasasi program dan kegiatan. Hanya saja, sejauh ini yang dapat teramati di lapangan, LAKIP yang disusun hanya menyajikan realisasi program dan kegiatan sehingga tidak tersaji informasi yang memadai mengenai pencapaian kinerja pemerintah daerah secara rinci.
 Tanpa adanya penyajian informasi yang memadai, lengkap dan terpercaya, maka akan sangat sulit bagi masyarakat untuk dapat menilai pemerintah daerahnya sedang berupaya menyejahterakan, memperbaiki kualitas hidupnya dan bekerja keras demi kepentingan masyarakat. Secara tidak langsung kita dapat menilai kinerja pemerintah daerah tersebut tidaklah memadai. Untuk itu, perlu adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari Kepala Daerah dan seluruh pegawai untuk memperbaiki kondisi ini. Berkomitmen untuk meningkatkan kinerja, mencapai Visi dan Misi yang telah digaungkan sejak masa kampanye.
 Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan reviu terhadap RPJMD secara berkala, mengevaluasi RENSTRA masing-masing OPD setiap tahun apakah selaras dan sesuai dengan RPJMD yang sudah disusun, memastikan bahwa target kinerja dari masing-masing OPD telah selaras dan sesuai dengan RPJMD, menyusun Perjanjian Kinerja dari Kepala OPD sampai dengan Eselon IV dalam upaya pencapaian kinerjanya dalam satu tahun kepada Kepala Daerah, melakukan pemantauan yang menyeluruh dan berkelanjutan mengenai capaian kinerja masing-masing OPD, mengoptimalkan Inspektorat Daerah untuk dapat melakukan reviu  terhadap LAKIP dan implementasi SAKIP di pemerintah daerah, serta menyusun LAKIP sesuai dengan PermenPANRB dan mengumpulkannya tepat waktu dengan informasi yang memadai, lengkap dan terpercaya. Kesediaan melakukan perbaikan bukan karena semata-mata menunggu adanya sanksi dan hadiah, tetapi kesadaran untuk bertanggung jawab atas kepercayaan masyarakat menduduki jabatan yang ada saat ini. Kalau tidak sekarang kapan lagi?
 Dengan perbaikan yang dilakukan sehingga tersaji LAKIP dengan informasi yang memadai, lengkap dan terpercaya, maka masyarakat dapat menakar kinerja pemerintah daerahnya dan mengetahui bahwa ada komitmen dari pemerintah daerah yang serius untuk menyejahterakan masyarakatnya.#

______________________
 *Penulis bekerja di BPKP Provinsi Papua 
(artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos)

Jumat, 01 Juli 2016

Menyikapi Tirai Peta Konflik Kekerasan di Papua

(Menyambut Hari Bhayangkara ke-69 )
Penulis : Ridwan al-Makassary dan Sopar Peranto *

SETIAP tanggal 1 Juli, kita merayakan hari jadi Kepolisian Republik Indonesia (Bhayangkara) di tanah air, termasuk di Papua. Murungnya, beberapa tahun terakhir adalah tahun yang tidak mudah bagi korps Kepolisian Republik Indonesia. Pelbagai kasus mendera institusi kepolisian, sejak kasus perseteruan penegakan korupsi antara Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), institusi Polri yang disinyalir termasuk salah satu lembaga yang terkorup, angka kriminalitas yang cenderung tinggi, tindakan indispliner anggota, dll, telah menempatkan institusi kepolisian dalam tanda tanya besar tentang profesionalitas, citra diri  dan kredibilitas. Singkatnya, Polri tengah diuji dengan “batu sandungan” pemulihan citra dan kredibilitas, di tengah menguatnya persepsi publik yang cenderung negatif terhadap eksistensi korps tersebut. 
 Untuk menyambut hari jadi Polri tersebut, kami khusus menyiapkan sebuah “kado” tulisan, sebagai bentuk kecintaan kami kepada kepolisian, tentang peta konflik kekerasan di Papua berdasarkan data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) hasil olahan the Habibie Center tahun 2014, yang diharapkan bisa membantu Kepolisian Daerah Papua untuk memahami secara holistik peta konflik kekerasan di Papua guna dicarikan strategi penciptaan ketertiban umum yang lebih tepat. 
 Data SNPK 2014 melaporkan telah terjadi 1.425 insiden kekerasan yang mengakibatkan 151 korban tewas, 1.478 cedera, 128 korban pemerkosaan, dan 200 bangunan rusak di Provinsi Papua. Pelbagai insiden kekerasan di Papua tersebut dominan terjadi di Kota Jayapura, Kabupaten Mimika, Kota Merauke, Kabupaten Jayapura, dan Nabire. Di samping itu, jika dilihat dampak tewas akibat kekerasan, Mimika menjadi wilayah yang cukup dominan, diikuti oleh Kota Jayapura, Kota Merauke, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Jayawijaya. 
 Data SNPK tersebut mencatat pola pesebaran insiden dan dampak kekerasan tersebut hampir serupa dengan yang terjadi pada 2013. Kondisi tersebut menunjukan bahwa pelbagai insiden kekerasan kerap muncul di kota/kabupaten di Papua yang mana konsentrasi pembangunan berada di wilayah tersebut. Di sisi lain, kota/kabupaten yang mana dampak tewas tinggi secara kuantitas dominan terjadi di wilayah-wilayah pegunungan, khususnya pegunungan tengah. Pola dan karakter pesebaran kekerasan di Papua ini penting diperhatikan karena relatif potret tersebut terjadi serupa di sepanjang tiga tahun terakhir. 
 Sepanjang tahun 2014, kekerasan di Papua didominasi insiden-insiden penganiayaan (54%), yang diikuti perampokan (18%), dan pengeroyokan (10%). Di sisi lain, insiden-insiden kerusuhan menjadi bentuk kekerasan yang menyumbang dampak tewas cukup besar, yakni sekitar 27% di Papua sepanjang tahun 2014. Salah satu contoh adalah insiden kerusuhan di Pasar Wouma, Jayawijaya, Papua pada Desember 2014. 
 Kerusuhan dipicu salah paham terkait peristiwa kecelakaan lalu lintas. Pihak keluarga korban kecelakaan yang tidak terima dengan kejadian tersebut melakukan aksi dengan membakar dan merusak dua mobil, kemudian melakukan penyerangan terhadap kelompok yang diduga sebagai pelaku. Aparat kepolisian dan TNI langsung turun ke lokasi kejadian dan berhasil menghentikan insiden tersebut dan mengamankan beberapa orang.  
 Pelbagai insiden kekerasan yang dominan terjadi di Papua sepanjang tahun 2014 adalah kriminalitas (70%), yang diikuti konflik (21%), KDRT (8%), dan Kekerasan Aparat (1%). Karena keterbatasan ruang hanya akan dibahas secara singkat dua jenis kekerasan yang menonjol di Papua, yaitu kriminalitas dan konflik identitas. Masalah separatisme akan dibahas tersendiri pada tulisan yang lain.
 Kriminalitas merupakan permasalahan krusial di Papua sepanjang tahun 2014. Data SNPK mencatat 986 insiden kriminalitas yang mengakibatkan 60 tewas, 666 cedera, 121 korban pemerkosaan, dan 93 bangunan rusak. Dari hasil analisis data SNPK, angka kriminalitas di Papua berada dalam urutan kelima dari seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2014. Di samping itu, dari laporan Indeks Intensitas Kekerasan The Habibie Center 2015, intensitas kriminalitas di Papua berada pada urutan ketiga, yakni setelah Sulawesi Utara dan Sumatera Selatan.
 Jika dilihat tren kriminalitas per bulan pada tahun 2014, insiden kriminalitas paling tinggi terjadi di Januari (113 insiden) dan paling rendah pada Desember 2014 (43 insiden).  Tingginya insiden di bulan Januari tampaknya berkaitan dengan perayaan tahun baru yang berlebih-lebihan dengan prilaku meminum keras yangg membuat mabuk.
  Sementara sedikitnya insiden di bulan desember karena bulan itu dimaknai sebagai bulan ibadah, karena perayaan natal. Kota Jayapura menjadi wilayah dimana insiden kriminalitas dengan kekerasan tercatat paling banyak terjadi. (61%) di Provinsi Papua. Melihat angka kriminalitas yang sangat tinggi tersebut, diperlukan upaya-upaya serius dan komprehensip dari para pemangku kepentingan guna mewujudkan Kota Jayapura yang aman dan damai sesuai dengan motto Kota Jayapura Hen Teccahi Yo Onomi Te’mar Ni Hanased (Membangun kota dengan satu hati untuk kemuliaan nama Tuhan). 
 Sementara itu, konflik identitas juga menonjol di Papua sepanjang tahun 2014. Data SNPK mencatat sebanyak 26 insiden kekerasan terkait konflik identitas terjadi sepanjang tahun 2014. Insiden tersebut mengakibatkan 12 tewas, 81 cedera, dan 7 bangunan rusak. Insiden-insiden kekerasan terkait konflik identitas di Papua memang terlihat terus-menerus terjadi setiap tahun. Dalam satu dasawarsa terakhir telah terjadi 206 insiden kekerasan yang mengakibatkan 118 tewas, 1.636 cedera, dan 106 bangunan rusak. 
 Jika dilihat rerata insiden dan dampak cedera, setiap satu insiden kekerasan yang terjadi akibat konflik identitas mengakibatkan setidaknya delapan orang cedera. Angka ini sangat besar jika dibandingkan kekerasan terkait konflik identitas di provinsi lainnya. Bahkan, dari hasil analisis data SNPK 2014, Papua merupakan wilayah yang sangat rentan terjadi kekerasan terkait konflik identitas dibandingkan provinsi lainnya. 
 Kekerasan terkait konflik identitas di Papua sepanjang tahun 2014 yang dominan adalah bentrokan atau penganiayaan antar-kelompok suku. Data SNPK mencatat 61% (16 insiden) adalah insiden terkait dengan kategori tersebut. Bahkan, seluruh dampak tewas konflik identitas merupakan akibat dari insiden-insiden kekerasan antar-kelompok suku. Jika dilihat dari pola persebaran konflik antar-kelompok suku di Papua, insiden kekerasan hanya terjadi di dua wilayah, yakni Kabupaten Mimika dan Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten Mimika menjadi wilayah yang dominan terjadi kekerasan antar-kelompok suku di sepanjang tahun 2014 dengan 15 insiden yang mengakibatkan 12 tewas, 65 cedera, dan lima bangunan rusak. 
 Sejauh ini peran Polda Papua untuk menjaga ketertiban umum dengan pendekatan dialogis sudah cukup baik dilakukan, mengikuti arahan Presiden Joko Widodo untuk penyelesaian Papua tidak dengan menggunakan kekerasan. Penting dicatat pula bahwa tantangan khusus di Papua juga menyangkut persoalan disintegrasi bangsa yang merupakan masalah nation building di tanah air, yang jarang dijumpai di kota-kota lain. Di sini, tuntutan profesionalitas anggota Polda di Papua mesti juga dibarengi dengan kesejahteraan prajurit dan dana operasional yang memadai. Singkatnya, adanya penurunan jumlah konflik kekerasan, termasuk kriminalitas dan konflik identitas di Papua beberapa tahun terakhir bukanlah sebuah kebetulan melainkan hasil kerja keras Polda Papua bersama warga masyarakat dengan dukungan aparat TNI dan Pemda. Papua sudah menikmati “damai negatif”, yaitu tidak ada perang atau konflik kekerasan, namun masih berjuang untuk “damai positif”, yaitu hadirnya keadilan, hak asasi manusia dan demokrasi. Perang Polda Papua terbilang cukup signifikan dalam hal ini.
 Pada akhirnya, penyelesaian konflik kekerasan yang komprehensif di Papua membutuhkan sinergi antara pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota dalam membangun Papua secara nyata dengan menjadikan orang Papua asli sebagai tuan rumah di tanah Papua menjadi sangat krusial. Sinergi ini penting dilandaskan pada rasa saling percaya di antara berbagai pihak. 
 Hal inilah yang dapat mempercepat kerja-kerja pembangunan di Tanah Papua. Seiring dengan itu, dialog damai antara para pemangku kepentingan, baik itu dari kalangan pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga kelompok-kelompok sipil bersenjata juga penting dikedepankan. Upaya tersebut penting dilakukan secara inklusif guna membuka ruang bagi seluruh elemen untuk mendorong kemajuan, pembangunan dan perdamaian di Tanah Papua.  Dengan komitmen, keseriusan, serta kerja-kerja bersama, niscaya Papua Tanah Damai (PTD) bukan hanya slogan semata, melainkan mencerminkan kondisi nyata dan berdenyut di tengah masyarakat.
Dirgahayu Polisi Republik Indonesia!!! 

Penulis: Ridwan al-Makassary adalah Dosen Jurusan Hubungan Internasional USTJ Papua dan Sopar Peranto adalah peneliti di The Habibie Center Indonesia
(tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos 2016)

Selasa, 05 April 2016

Papua Zona Bebas Miras

Oleh: David Dapi
MASYARAKAT Papua patut berterima kasih kepada Pemerintah Provinsi Papua yang telah berhasil mengeluarkan Pakta tentang larangan peredaran miras di Papua. Rabu, 30 Maret 2016, Gubernur Papua yang didampingi Forkompinda dan Walikota bersama Muspida secara resmi menandatangani pakta integritas dan dengan tegas menolak produksi, pengedaran dan penjualan minuman keras (miras) di Papua. 
 Kebijakan yang ditempuh oleh Gubernur beserta Bupati/Walikota se-Papua ini merupakan sebuah langkah maju sekaligus menorehkan sejarah untuk Orang-orang Asli Papua. Sebagai masyarakat yang mendiami bumi Cenderawasi ini, saya menanggapinya sebagai sebuah tonggak sejarah. Adapun beberapa alasan yang melatarbelakanginya.
Orang-orang Papua-Generasi Muda Papua “terselamatkan”
Peredaran minuman keras (selanjutnya miras) di Papua ibarat peredaran air mineral. Orang-orang dengan bebas dan dengan gampang dapat membeli miras. Tempat-tempat penjualan miras menjamur di mana-mana. Menjamurnya tempat penjualan miras ini mengindikasikan bahwa kebutuhan orang untuk mengkonsumsi miras tergolong tinggi. 
 Jika diteliti, pengkonsumsi miras adalah orang-orang Papua yang nota benenya adalah juga anak-anak muda. Dengan adanya larangan resmi produksi, pengedaran dan penjualan miras ini maka secara tidak langsung orang-orang Papua teristimewa kaum muda dapat terselamatkan dari bahaya miras mengingat konsumsi miras yang berlebihan dapat merusak kesehatan dan berujung pada kematian. Di harapkan agar setelah pemberlakuan larangan ini, terciptalah generasi Papua yang bebas miras. 
 Tidak hanya itu saja masa depan generasi Papua menjadi semakin cerah karena mereka adalah tulang punggung pembangunan di tanah ini. Jika tidak maka, kita bisa membayangkan perkembangan Papua ke depan yang dipimpin oleh orang-orang yang kecanduan miras (alkoholit). Di atas semuanya, martabat manusia lebih berharga dari pada miras. Secara tidak langsung orang yang kecanduan miras tidak menghargai martabat luhurnya sebagai manusia. Manusia bukanlah budak dari miras.
Keputusan yang tegas
Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota se-Papua untuk menandatangani Pakta larangan produksi, pengedaran dan penjualan miras di Papua perlu diapresiasi. Betapa tidak, wacana tentang larangan miras ini berjalan cukup alot dan menuai pro dan kontra. Tentu saja ada pihak yang merasa dirugikan dan diuntungkan dari larangan miras ini. Komitmen Pemerintah Provinsi Papua untuk melarang peredaran miras ini pada akhirnya dapat terealisasi dengan baik. Inilah bukti dari sebuah keputusan yang tegas. Tentu saja masyarakat sangat mengharapkan agar ke depannya, keputusan itu tidak hanya hitam di atas putih tetapi harus terealisasi dengan sungguh-sungguh sehingga masyarakat dapat merasakan manfaatnya.
Perlu adanya fungsi kontrol
Salah satu usaha untuk mengawal jalannya larangan produksi, penjualan dan pengedaran miras ialah mengedepankan fungi kontrol dari berbagai elemen masyarakat. Pertama-tama fungsi kontrol itu tentu saja datangnya dari pemerintah beserta pihak keamanan dan masyarakat. 
 Jangan sampai terjadi bahwa oknum-oknum tertentu dari pihak pemerintah atau pihak keamanan yang lebih dahulu mengkonsumsi miras bahkan “melegalkan” peredarannya. Jika hal ini terjadi maka kredibilitas kinerja pemerintah dimata masyarakat menjadi luntur. Selain itu juga masyarakat perlu mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam kaitan dengan larangan miras ini. Ada perhatian timbal balik antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah mengontrol masyarakat dan masyarakat juga mengontrol pemerintah. 
 Sering kali pengalaman menunjukkan bahwa di satu sisi pemerintah dan pihak keamanan sudah menjalankan tugas untuk mengontrol peredaran miras di masyarakat. Setelah diketahui pengedarnya, langsung diamankan dan ditindak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Sementara itu di pihak lain, ketika masyarakat mendapat oknum pemerintah atau oknum keamanan terlibat dalam pengedaran miras atau konsumsi miras,  masyarakat takut karena merasa diintimidasi. Larangan miras ini akan benar-benar terwujud dengan baik jika pemerintah dan masyarakat mampu bekerja sama dengan baik khususnya dalam menjalankan fungsi kontrol masing-masing.
Sanksi
Larangan terhadap perjualan, produksi dan pengedaran miras memang jelas. Persoalan yang kemudian muncul ialah apakah setelah pemberlakuan larangan miras itu lantas Papua menjadi zona bebas miras? Tentu saja tidak. Perubahan mental bagi para baik produsen maupun alkoholit/konsumen tentu saja butuh waktu. Di satu pihak para konsumen atau alkoholit miras pasti berusaha untuk mencari miras jika timbul keinginan untuk miras. 
 Sementara itu di pihak lain, produsen atau pengedar miras akan mendapatkan penghasilan yang besar karena miras mereka laris terjual. Di hadapan situasi seperti bagaimana sikap pemerintah? Pada prinsipnya sebuah peraturan yang dikeluarkan maka bersamaan dengan itupun sanksi diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran. Pertanyaannya ialah sanski macam apakah yang dijatuhkan kepada pengedar, produsen dan orang yang kedapatan mengkonsumsi miras? Sehubungan dengan saksi yang diberikan, apapun bentuk sanksinya, perlu adanya ketegasan dalam pemberlakukan sanski iatu. 
 Tidak ada praktek main tebang pilih atau praktek diskriminatif dalam pemberian sangsi. Maksudnya ialah jika masyarakat yang kedapatan mengedar, membuat atau mengkonsumsi miras, maka sanksi yang diberikan kepadanya sesuai dengan pelanggaran yang diperbuatnya. Sementara itu jika oknum pihak keamanan atau oknum pemerintah yang melakukan pelanggaran maka sanksi yang diberikanpun cendrung diringankan bahkan diabaikan begitu saja. Sanksi yang diberikan harus seadil-adilnya tanpa diskriminasi. Sanksi jangan hanya tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Prinsipnya ialah setiap warga Negara sama di hadapan hukum.

Situasi lingkungan masyarakat menjadi aman dan kondusif
  Kenyataan menunjukkan bahwa situasi di beberapa daerah atau kota di Papua ini terasa tidak aman khususnya pada malam hari. Ketidaknyamanan itu disebabkan karena orang mabuk yang berkeliaran dan mengganngu orang yang sedang melakukan perjalanan. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa berbagai tindakan kriminal dan kejahatan yang terjadi di Papua ini sebagian besarnya dilakukan oleh orang-orang yang dipengaruhi oleh miras. Jika hal ini terjadi maka martabat manusia atau hidup manusia tidak dihargai sama sekali. 
 Orang dengan bebas mencelekai dan mencederai sesamanya yang lain. Akibatnya orang merasa tidak nyaman atau was-was ketika berada di jalan apalagi jalanan yang sunyi. Dengan adanya larangan miras ini maka diharapkan agar situasi kemanan di Papua ini khususnya pada malam hari menjadi aman dan kondusif. Orang bisa dengan bebas dan leluasa berjalan pada malam hari karena suatu tugas tertentu yang mendesak untuk dikerjakan. 
 Sejalan dengan larangan miras yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua ini, marilah kita menciptakan Papua sebagai tanah yang damai dan bebas dari Miras. Semoga lahirlah generasi-generasi penerus pembangunan Papua ke depan yang bebas dari miras sehingga terciptalah pribadi-pribadi Orang-orang Papua yang tidak diperbudak oleh miras. Semuanya itu bisa terwujud mengandaikan adanya kerjasama dari berbagai elemen yaitu pemerintah, keamanan, agama dan masyarakat.# 

__________
*Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana 
  Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur”, Abepura

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - April 2016)

Gereja Menjumpai Budaya Papua

Oleh Neles Tebay *)
GEREJA KATOLIK (selanjutnya baca: Gereja) Keuskupan Jayapura sejak hadir di Tanah Papua berhadapan dengan kebudayaan dari berbagai suku bangsa Papua. Lalu, bagaimana Gereja bersikap terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal yang dijumpainya selama 50 tahun berada di Bumi Cenderawasih?
Pengalaman selama lima dekade kehadiran Gereja memperlihatkan bahwa Gereja tidak mengambil sikap oposisi terhadap kebudayaan orang Papua. Juga tidak melakukan perlawanan terhadap budaya.

Gereja juga tidak melarang orang Papua merayakan pesta-pesta adat, ritual-ritual, dan upacara-upacara keagamaannya. Gereja Katolik tidak mengajarkan orang Papua meninggalkan tradisi kebudayannya hanya karena menjadi anggota Gereja.

Gereja tidak memandang orang setempat sebagai kafir. Kebudayaan mereka tidak dimengerti sebagai sesuatu yang jahat, yang menghancurkan orang setempat dan menghambat perkembangan mereka. Ritual-ritual keagamaannya tidak ditafsirkan sebagai ungkapan penyembahan berhala.

Menghormati Budaya

Gereja Katolik berkeyakinan bahwa orang Papua adalah ciptaan Tuhan, sama seperti setiap orang lain di seluruh dunia. Allah menempatkan orang-orang berkulit hitam dan rambut kriting di Tanah Papua sejak dahulu kala. Ketika agama Katolik masuk ke Papua bersama para misionaris, mereka tidak membawa Allah kepada orang Papua, karena Allah telah hadir dalam kebudayaan mereka, jauh sebelum agama-agama besar diperkenalkan kepada mereka. Justru Allah yang membawa Gereja, melalui para misionaris, ke Bumi Cenderawasih, dan Allah yang sama menerima kedatangan para misionaris di Pulau New Guinea ini. Karena diyakini bahwa Allah menciptakan orang Papua dan  hadir dalam sejarah perkembangan mereka, maka Gereja yakin bahwa kebudayaan lokal mempunyai nilai-nilai unggul, yang secara teologis, disebut benih-benih Sabda.

Gereja Katolik mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap kebudayaan dari suku-suku bangsa di Tanah Papua dan di seluruh dunia. Sikap positif ini juga yang memungkinkan Gereja untuk membuka dirinya kepada setiap kebudayaan lokal. Sikap keterbukaan ini memudahkan Gereja untuk berdialog dengan setiap kebudayaan lokal dimana pun dia berada. Gereja dengan sabar dan penuh kasih menyatakan rasa hormat terhadap setiap kebudayaan di Tanah Papua.

Mempelajari Kebudayaan

Keterbukaan Gereja terhadap kebudayaan lokal diperlihatkan, antara lain, dengan mempelajari kebudayaan lokal. Banyak misionaris yang berkulit putih dan berasal dari Eropa mengambil inisiatif pribadi untuk mempelajari kebudayaan setempat. Mereka meluangkan waktu untuk belajar bahasa daerah, bertanya kepada orang setempat tentang segala hal ikhwal yang berkaitan dengan praktek kebudayaan setempat, serta berupaya mendengarkannya dengan seksama dan berusaha memahaminya dengan tepat.

Melalui studi kebudayaan ini, Gereja berusaha memahami kebudayaan setempat, menemukan nilai-nilai unggul (positif) budaya setempat yang menjadi dasar utama yang menopang hidup masyarakat lokal, mengenal kekhasan dari setiap kebudayaan, dan mengetahui praktek-praktek budaya yang negatif. Gereja juga menerima dan menggunakan unsur-unsur budaya lokal dalam pelayanan Gereja. Guna membantu Gereja berkomunikasi dengan orang setempat dan memperlajari budaya setempat, ada misionaris yang membuat kamus bahasa daerah dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda.

Gereja menggunakan bahasa lokal dalam perayaan ibadahnya. Para misionaris menerjemahkan doa-doa, lagu-lagu, dan bahkan Alkitab dari bahasa Belanda ke dalam bahasa setempat. Karya-karya terjemahan ini memungkinkan orang setempat untuk berdoa kepada Allah dan menyanyikan lagu rohani dalam bahasa daerahnya, dan mendengarkan Firman Tuhan dalam bahasa yang dikenalnya. Dengan praktek ini, orang setempat tidak perlu susah payah belajar bahasa asing, entah bahasa Belanda atau Indonesia, hanya untuk berdoa kepada Allah. Mereka bisa dan dibiasakan oleh Gereja untuk berkomunikasi dengan Allah dalam bahasa daerah mereka. Dengan demikian, orang lokal dapat berdoa dimana saja dan kapan saja dalam bahasanya.

Selain menggunakan bahasa daerah, Gereja juga mengakomodir budaya setempat dengan mengggunakan ukiran-ukiran budaya setempat dalam Gedung Gereja. Lambang dan simbol budaya digunakan sebagai sarana pengungkapan iman umat. Gereja menggunakan nilai-nilai unggul dari budaya lokal dalam pewartaan. Semua praktek ini memperlihatkan bahwa Gereja Katolik menghormati orang setempat beserta kebudayaannya.
  
Memperbaharui Budaya

Gereja, tentunya, tidak meromatisir kebudayaan setempat. Gereja juga tidak mngajarkan orang Papua untuk hanya mempertahankan keaslian budayanya dan menolak perkembangan zaman. Gereja meyakini bahwa setiap kebudayaan, termasuk kebudayaan dari suku-suku bangsa Papua, mengandung unsur-unsur positif dan negatif. Oleh sebab itu, di satu pihak Gereja mengakomodir hal-hal positif dari budaya lokal. Tetapi pada pihak lain, Gereja menantang orang setempat untuk memperbaharui budayanya sendiri dalam terang Alkitab dan dengan mempertimbangkan perkembangan dan tuntutan zaman.

Gereja tidak memaksa penduduk setempat untuk memperbaharui budayanya, karena Gereja tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya atas penduduk lokal. Gereja berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan orang setempat untuk berkumpul dan melakukan diskusi dan refleksi, sehingga mereka dapat menemukan dan menilai sendiri praktek-praktek dalam budayanya yang ternyata menghambat perkembangan mereka sebagai manusia ciptaan Allah. Ketika mereka menemukan praktek budaya yang negatif, mereka berdiskusi dan mengambil keputusan sendiri untuk meninggalkan praktek-praktek tersebut. Dengan demikian penduduk lokal berperan sebagai subyek yang memperhabarui dan mengembangkan budayanya sendiri. Gereja menerima apa yang disumbangkan oleh budaya setempat dan memungkinkan orang setempat untuk memperbaharui sendiri budayanya.#

 ___________
*Neles Tebay adalah dosen pada STFT Fajar Timur di Abepura.

( Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - April 2016)

Jumat, 01 April 2016

Miras yang Akhirnya Dilarang

Penulis : Yaan Yoku *

MELALUI perdebatan yang luar biasa oleh peserta Rapat Kerja Daerah, akhirnya Pakta Integritas Pelarangan Minuman Keras ditandatangani oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP. MH bersama seluruh Forkompimda serta para bupati dan walikota dan seluruh Muspida di masing-masing kabupaten/kota pada momentum Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Bupati/Walikota se Provinsi Papua yang berlangsung di Sasana Krida Kantor Gubernur Provinsi Papua, Rabu (30/3).
 Tindakan tegas yang dilakukan oleh Gubernur adalah bagian dari sikap kepeduliannya terhadap nasib orang asli Papua yang semakin terpuruk karena miras. Miras telah menghancurkan tatanan hidup orang Papua dan sebelum terjadi pemusnahan terhadap orang asli Papua, Gubernur melakukan tindakan pencegahan dengan melakukan pelarangan terhadap peredaran miras di seluruh tanah Papua yang ditandai dengan penandatanganan pakta integritas pelarangan terhadap miras sesuai Perda Provinsi Papua nomor 15 tahun 2013.
 Banyak pihak pesimis terhadap komitmen yang telah dilakukan ini, tapi Gubernur dengan tegas menyatakan bahwa kapan lagi hal ini dilakukan, apakah kita harus menunggu sampai orang Papua semua meninggal baru kita tanda tangan berlakukan pelarangan miras, sehingga menurut Gubernur hal ini harus dilakukan saat ini karena dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh miras sangat buruk. Banyak kasus yang terjadi diakibatkan karena miras  berujung pada kematian serta kehancuran keluarga.
 Sikap tegas Gubernur patut mendapatkan apresiasi dan acungan jempol dari kita semua, tidak hanya itu, tapi apa yang telah di gagas ini harus mendapat dukungan dari seluruh masyarakat di tanah Papua, sebab hari ini banyak orang di Indonesia menganggap orang Papua pemabuk sehingga wilayah Indonesia bagian Timur menjadi pasar potensial penjualan miras. Sehingga apa yang di gagas ini mewakili masyarakat di ujung Timur Indonesia untuk menunjukkan kepada saudara-saudara kita yang lain bahwa orang Papua tidak seperti yang mereka bayangkan sebab kita memiliki harkat dan martabat serta harga diri sebagai sebuah bangsa.
 Memang pada tataran implementasi pasti tidak akan berjalan mulus sebab persoalan miras sama saja dengan mengurai benang kusut. Contoh kasus seperti yang diungkapkan Bupati Jayapura, selama masa kepemimpinannya, dua tahun beliau tidak mengeluarkan ijin penjualan miras di Kabupaten Jayapura, tapi selama dua tahun tersebut miras di jual bebas di kabupaten Jayapura dan tiap hari orang mabuk. Di Kabupaten Mamberamo Raya juga telah ditetapkan Perda Pelarangan Miras, tapi tetap masih saja orang mabuk dan miras di jual bebas.
 Karena itu, menyikapi hal ini harus ada komitmen bersama dari semua pihak untuk mengawal hal ini mulai dari tingkat Provinsi hingga sampai ke kabupaten/kota, agar pakta integritas pelarangan miras ini benar-benar dilakukan oleh semua lembaga yang berkompeten dalam hal ini, melalui tugas pokok dan fungsi masing-masing, sehingga Perda Provinsi Papua nomor 15 tahun 2013 ini dapat dilaksanakan dan diimplementasikan secara murni dan konsekuen di Bumi Cenderawasih.
 Salah satu strategi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua dalam mengawal implementasi pakta integritas dan Perda nomor 15 tahun 2013 adalah membentuk satgas anti miras yang akan mengawal dan mengawasi penjualan dan peredaran miras di toko-toko, bandara, pelabuhan, tempat-tempat hiburan dan di berbagai tempat yang dianggap rawan terhadap peredaran miras. Terlepas dari itu, keterlibatan dan partisipasi seluruh masyarakat sangat dibutuhkan agar proses ini dapat berjalan dengan baik sesuai harapan untuk mencapai tujuan. Memang dalam penegakkan aturan terkait pelaksanaan pelarangan miras, pasti akan berbenturan dengan berbagai kepentingan dan berbagai kalangan. Namun semua itu tidak boleh mengurangi tekad dan semangat serta komitmen kita untuk memberantas miras dari tanah Papua, sebab kalau bukan kita siapa lagi yang dapat melakukannya.
 Apa yang telah dilakukan ini dalam masa kepemimpinan Bapak Gubernur Lukas Enembe, SIP. MH dan Bapak Wakil Gubernur, Klemen Tinal, SE. MM merupakan sebuah catatan tersendiri yang akan dikenang oleh anak cucu kita, sebagai sebuah terobosan spektakuler dalam rangka mencegah pemusnahan orang Papua diatas tanahnya sendiri.
 Keberhasilan dari langkah dan terobosan ini akan ditentukan oleh kita sekalian seiring waktu yang berjalan, sebab para Pemimpin hanya meletakkan dasar dan pijakan awal bagi sebuah proses mencapai tujuan. Langkah majunya sangat ditentukan oleh peran dan tanggungjawab kita sekalian, kalau kita tidak peduli maka peristiwa akbar ini hanya akan menjadi catatan manis tanpa makna diatas kertas yang lebih bersifat ceremonial belaka.
 Tapi dari pengalaman pahit yang telah diakibatkan oleh miras, baik di tengah keluarga, masyarakat dan lingkungan, maka saya percaya harapan besar Bapak Gubernur tidak akan sia-sia, tapi akan memberikan hasil maksimal yang positif bagi sebuah upaya untuk membangun tanah Papua agar manusianya memiliki kualitas hidup dan kualitas intelektual yang bagus demi menggapai tantangan pembangunan kedepan untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
 Karena itu, gema pelarangan miras yang di mulai dari Sasana Krida ini, harus ditangkap dan dimulai sebagai sebuah komitmen dari lingkungan keluarga kita masing-masing, dari lingkungan kerja kita, dari lingkungan gereja, masjid, vihara dan pura, dari lingkungan belajar, dari lingkungan kerja kita, dan yang lebih penting hal ini harus menjadi sebuah komitmen dari para pemimpin lembaga penegak hukum, TNI-Polri, ormas, orsospol, paguyuban, institusi swasta serta seluruh komponen masyarakat, agar dampak buruk yang diakibatkan oleh miras ini dapat di cegah sehingga tidak terjadi suatu saat manusia hitam kulit dan keriting rambut ini hanya tinggal nama saja diatas tanah leluhurnya, yang diakibatkan karena latihan lain main lain.***


*Penulis adalah PNS  pada DISORDA Provinsi Papua
(tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos 2016)

Pentingkah Pendekatan Ilmiah Dalam Olahraga?

Oleh: Dr. Tri Setyo Guntoro, M.Kes*
In training everyone focuses on 90 percent physical and 10 perecent mental, but in the races it’s 90 percent mental because there’s very little that separates us physically at the elite level (Elka Graham, Australian swimming legend)

PERKEMBANGAN  zaman membawa banyak perubahan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam olahraga. Orang bijak mengatakan bahwa perubahan adalah keniscayaan, apabila kita tidak berubah maka kita akan digilas dengan perubahan.
 Jaman dahulu, yaitu pada tahun 1896 ketika Olimpiade dilaksanakan pertama kali, sangat bisa jadi pendekatan ilmiah masih belum menyentuh ranah olahraga kala itu. Oleh karenanya, faktor kualitas fisik menjadi hal yang dominan dari atlet. Bagaimana dengan sekarang? Tentu sangat berbeda.
 Dewasa ini, untuk mejadi atlet top maka bukan hanya kualitas fisik yang menjadi faktor penentu. Kualitas mental juga menjadi faktor yang krusial. Lihat apa yang dikatakan oleh Elka Graham di atas! Setiap orang cenderung hanya memfokuskan pada latihan fisik dan mengesampingkan latihan mental padahal di dalam lapangan, yaitu ketika bertanding faktor mental mejadi lebih besar pengaruhnya dalam menentukan hasil pertandingan.
 Pertanyaannya kemudian, bagaimana melatih mental agar atlet kita memiliki mental juara? Dalam disiplin ilmu psikologi olahraga disebutkan bahwa banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan atau memperbaiki mental atlet. Misalnya, latihan imajeri, konsentrasi, relaksasi, goal setting dan lain sebagainya. Dengan melakukan latihan mental tersebut maka mental atlet akan terbentuk dan sangat bisa jadi mereka akan memiliki mental juara.
 Kembali ke judul tulisan tersebut yaitu “pentingkah pendekatan ilmiah dalam olahraga?” Sebagai seorang akademisi saya menilai bahwa dengan persaingan yang semakin hari semakin ketat ini maka menggunakan pendekatan ilmiah menjadi suatu keharusan dalam mengintervensi prestasi olahraga. Apabila kita tetap bertahan dengan pendekatan konvensional atau tradisional maka saya berhipotesis bahwa prestasi olahraga kita akan stagnant dan yang lebih menghawatirkan adalah kita akan mengalami degradasi prestasi. Apakah itu bisa terjadi? Sangat mungkin akan terjadi karena kompetitor kita sudah menggunakan pendekatan ilmiah atau yag biasa disebut dengan sports science approache.
 Baru-baru ini saya dan Dekan FIK Uncen diundang menghadiri Workshop Program Indonesia Emas (Prima), High Performance Opertion Plan (Hipop) di Bandung. Dari workshop tersebut jelas semakin menguatkan argumentasi saya bahwa pendekatan ilmiah dalam olahraga menjadi keharusan dewasa ini ketika kita ingin prestasi olahraga meningkat.
 Dalam sports science akan dikupas antara lain tentang bergerak secara efektif dan efisien serta menghindari cedera. Hal ini masuk dalam bahasan kinesiologi dan biomekanika; Pengembangan mental juara serta mengurangi kegugupan (anxiety) ketika bertanding. Hal ini akan dibahas dalam psikologi olahraga; Peningkatan daya tahan baik aerob maupun anaerob serta kaitannya dengan sistem kardiorespirasi.
 Hal ini akan dibahas dalam fisiologi olahraga; Pola makan untuk para atlet, baik sebelum maupun sesudah bertanding bukan persoalan enak dan tidak atau tidak berselera . Hal ini akan dibahas dalam gizi olahraga. Sesunguhnya, masih banyak disiplin ilmu lainnya yang akan membantu kita dalam memahami dan meningkatkan performance olahraga.
 Perubahan pendekatan dalam pembinaan dan peningkatan prestasi perlu dilakukan ketika kita menghendaki prestasi tinggi dalam olahraga. Tanpa itu muskil rasanya prestasi yang optimal terwujud. Menyelengarakan workshop prestasi olahraga seperti yang dilakukan oleh Koni Papua kemarin patut diapresiasi (Cepos, 22/12/2015: Hal. 20). Kedepanya hal ini perlu dimasifkan karena melalui kegiatan semacam itu perubahan pola pikir dari para pelatih yang ada di Papua akan terjadi.
 Pelatih tidak hanya melatih dengan cara konvensional dan mengacu pada apa yang pernah mereka terima ketika dilatih yaitu pada saat menjadi atlet. Tapi program latihan yang dibuat perlu dikembangkan  berdasarkan data dengan mengacu pada pendekatan ilmiah. Apabila itu dilakukan maka prestasi hanya soal waktu saja.
 Dalam konteks olahraga, pelatih merupakan garda terdepan karena melalui mereka atlet-atlet ditempa dan dibina. Itu artinya, meningkatkan kompetensi serta keilmuan mereka menjadi prasyarat untuk membawa prestasi. Apabila mereka tidak diberdayakan maka prestasi adalah sebuah mimpi.
 Dr. Greg Wilson(2015), Sport Scientist asal Australia mengatakan “Indonesia is the  largest country in the world with population of 250 million people.... Indonesia should place  in SEA Games, top 5 in Asian Games and top 10 in the Olympic Games. This is Indonesia’s rightful place in world sport”.  Apa yang dikatakan oleh Wilson di atas bukanlah hisapan jempol semata. Ketika kita mampu mengelola olahraga dengan benar dan tepat maka prestasi yang dinanti besar kemungkinan akan mampu kita genggam dan itu perlu waktu dalam pembinaan.
 Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara mengelola olahraga yang benar dan tepat ? Tanpa bermaksud menyederhakan suatu yang memang tidak sederhana, saya berargumen bahwa ketika berbicara dalam konteks olahraga prestasi maka menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengelola olahraga menjadi pondasi yang kuat untuk mencapai prestasi. Tanpa itu, kita akan bergelut dengan malapraktik dalam olahraga, yaitu kita mengelola olahraga dengan salah. Semoga ini tidak terjadi, amin. ***

*Dosen FIK UNCEN

Jumat, 04 Maret 2016

Deklarasi Metu Debi dan Wacana Pemekaran Provinsi Tabi

Oleh: : Drs. Lodiwyk Nero , MSi

 AROMA  Perayaan HUT Kota Jayapura dan HUT PI ke- 106 Tahun 2016, telah menggema keseantero Kota Hen Citahi Yo Onomi T’mar Nehanased, bersamaan  itu penulis coba merefleksi nuansa perayaan HUT Kota Jayapura dengan mengkaji Wacana Pemekaran Provinsi Tabi yang sempat diluncurkan oleh elit politik lokal anak-anak Tabi menjelang HUT Kota Jaypura dan HUT PI ke-103 Tahun 2013 yang melahirkan sebuah Deklarasi pada tanggal 10 Maret 2013 yang di kenal dengan nama DEKLARAI METU DEMI.
 Wacana Pemekaran Provinsi Tabi diluncurkan oleh pemuda-pemudi Tabi di Sentani menjelang HUT Kota Jayapura dan HUT PI  serta adanya inisiatif Walikota Jayapura untuk melakukan pertemuan antar Kepala Daerah Se Tanah Tabi  di Pulau Peradaban Orang Tabi yaitu di Pulau Metu Debi.
 Bagaimana hubungan logis antara Wacana Pemekaran Provinsi Tabi dan Deklarasi Metu Debi, maka tulisan ini coba menelusuri kemungkinan sebuah wacana menjadi cikal bakal lahirnya  Daerah Otonomi Baru yang dapat di green desain berdasarkan Deklarasi Metu Debi.
WACANA PEMEKARAN PROVINSI TABI.
 Dasar Hukum Kebijakkan Pemekaran atau pembentukkan Daerah Otonomi Baru adalah UUD’ 45, sebagaimana tercantum dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah yang dirumuskan dalam pasal 18 beserta penjelasannya yaitu : Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi pula dalam Daerah yang lebih kecil. Daerah-Daerah bersifat otonom (Streek dan local Rechtsgement schappen) atau bersifat Daerah administratif belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
 Sebagai tindak lanjut pasal 18 UUD’45, telah dikeluarkan beberapa Undang-undang yang mengatur tentang Pemerintah Daerah, mulai UU. No. 1 Tahun 1945 sampai saat ini berlaku UU. No. 32 Tahun 2004, yang kemudian di implementasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukkan, penghapusan dan penggabungan Daerah.
 Wacana pemekaran Provinsi Tabi yang digulirkan dalam momen perjalanan sejarah peradaban orang Tabi yang bertepatan dengan HUT Kota Jayapura dan HUT PI di pulau peradaban Metu Debi pada tanggal 7 dan 10 Maret 2013 yang lalu, sempat memunculkan perdebatan antara para birokrat yang tiap orang memberikan komentar dan opininya berdasakan latar belakang dan referensi yang dimilikinya, namun selaku anak-anak Tabi Wacana tersebut adalah wajar dan memliki dasar hukum dan pembentukan Daerah Otonomi Baru bukan hal tabu dalam perjalanan penyelenggaraan 
 Pemerintahan di Tanah Papua dan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Pemekaran Daerah merupakan isue yang penting dalam penyelenggaraan otonomi Daerah dewasa ini. Dalam pemekaran Daerah terdapat suatu proses mata rantai sistem administrasi pemerintahan mulai dari penelusuran aspirasi masyarakat, perencanaan, proses pembentukan organisasi, kelembagaan dan kegiatan pemerintahan.
 Terbentuknya Daerah Otonomi Baru membawah dampak terjadinya hubungan politik administrasi antara pusat dan Daerah dan Daerah-Daerah lainnya. Secara internal dengan dibentuknya suatu Daerah Otonomi Baru, maka lahir pula supra struktur politik yang terdiri dari elit politik, birokrasi, badan legislatif dan infra struktur politik yang terdiri dari berbagai lembaga kemasyarakatan berikut publiknya. Sedangkan secara eksternal, suatu Daerah Otonomi Baru menciptakan pula jalinan hubungan politik administrasi antara pemerintah pusat dan Daerah yang menjadi lingkungan kerja Daerah Otonomi Baru hasil pemekaran.
 Terkait adanya wacana pemekaran Propinsi Tabi bahwa pembentukan Daerah Otonomi Baru atau pemekaran Wilayah merupakan trend penyelenggaraan desentralisasi dalam rangka otonomi Daerah. Pemekaran Wilayah telah diatur berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah, namun kenyataannya tuntutan Daerah baik Propinsi maupun kabupaten dan kota selalu mengalir dan sulit membendungnya, dimana isu politik lebih dominan ketimbang tujuan pembentukan Daerah Otonomi Baru yang sesungguhnya, yaitu rentang kendali pelayanan  pemerintah atau mendekatkan pelayanan pemerintah dalam rangka mempercepat terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera lahir dan batin.
 Wacana pemekaran Propinsi Tabi yang digulirkan pada Tahun 2013 terkesan adanya kecenderungan yang lebih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik ketimbang pertimbangan  obyektif dan rasional. Jika Wacana pemekaran Propinsi Tabi dipandang memiliki kecenderungan pertimbangan politik ketimbang pertimbangan obyektif dan rasional, lalu muncul pertanyaan kalau demikian bagaimana mengsiasati Wacana pemekaran Propinsi Tabi menjadi sebuah kenyataan ?
DEKLARASI METU DEBI.
Salah satu butir dari tuju butir deklarasi Metu Debi yang dipelopori oleh Walikota Jayapura bersama 4 (empat) pimpinan Daerah se Tanah Tabi yang telah mencetuskan sebuah gagasan cerdas yaitu : Tanah Tabi akan dijadikan sebagai kawasan pembangunan terpadu. 
 Tata ruang suatu masyarakat ditentukan oleh sistem budaya antara lain meliputi pengetahuan, kepercayaan, norma dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Tata ruang pembangunan kawasan terpadu Tanah Tabi menjadi kata kunci pembangunan yang dapat di graind desain oleh 5 pimpinan Daerah yang kini memimpin 4 kabupaten dan 1 kota di kawasan Tanah Tabi.  Graind Desain pembangunan tanah Tabi dapat dimulai dengan pembangunan infrastruktur dasar pembangunan yang terdiri dari jalan utama, pelabuhan laut, lapangan terbang serta pusat pertumbuhan ekonomi berbasis komoditas perwilayahan. Artinya bahwa infrastruktur dasar pembangunan di desain berdasarkan satu master pland spesifik yaitu Jaringan jalan yang menghubungkan Kabupaten Mamberamo Raya sampai  Keroom.
 Forum Musrenbang Provinsi Papua dapat dijadikan wahana menyatukan ide dan gagasan dari kelima Kepala Daerah yang menyelenggarakan aktivitas pemerintahan di Negeri Matahari Terbit (Tanah Tabi). 
 Sejarah penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Jayapura telah dimulai pada tanggal 7 Maret 2010 dan bersamaan dengan itu juga telah tiba obor injil di atas Pulau peradaban orang Tabi  pada tanggal 10 maret 2010, kini diusianya yang ke 106 tahun 2016 kita dapat memutar jarum sejarah lalu menengok peristiwa-peristia sejarah masa lalu, mengenang jasa-jasa para tokoh-tokoh sejarahnya, mengenali pewarisnya lalu kita dapat melakukan rekonstruksi perjalanan sejarah ini menuju pemilihan kepemimpinan Kepala Daerah di lima wilayah pemerintahan yang tersebar di atas Tanah Tabi mulai dari Mamramo Raya sampai Keroom yang dikenal dengan istilah wilayah pemerintahan adat Tanah Tabi Negeri Matahari Terbit.
  HUT Kota Jayapura ke 106 Tahun 2016  bertepatan dengan Tahun politik dimana sebagian masyarakat di wilayah adat Tanah Tabi yang berdomisili di wilayah hukum Pemerintah Kota Jayapura akan mempersiapkan diri untuk terlibat dalam proses politik sebagai pintu masuk menetapkan pemegang kuasa 
 penyelenggaraan Pemerintahan berikut segala sumber dayanya. Didalam momen seperti ini selaku anak Tabi dari komunitas adat Port Numbai kami hendak memberikan pencerahan bagi kita semua untuk coba memberikan kajian-kajian terhadap apa saja keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh para pemegang kuasa penyelenggaraan Pemerintahan lima Tahun yang lalu dan apa saja kegagalan-kegagalannya, apa hambatannya dan apakah penyelenggaraan Pemerintahan selama ini telah menyentu akar persoalan yang terjadi di Tanah Tabi secara keseluruhan dan khusus di Negeri Hen Citahi Yo Onomi T’mar Nehanased , lalu berdasarkan kajian-kajian tersebut kita menentukan pilihan terhadap calon kandidat walikota Jayapura yang akan bemunculan dalam perebutan pemegang kuasa penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Jayapura dalam PILKADA pada tahun 2017 yang akan datang.
 Semoga pilihan kita adalah pilihan cerdas yang sekaligus akan menentukan dinamika dan trend penyelenggaraan Pemerintahan di atas Tanah peradaban yang diberkati Tuhan yaitu Negeri Matahari Terbit dibawah motto Daerah Hen Citahi Yo Onomi T’mar Nehanased menjadi nyata ditengah heterogenitas masyarakat yang menjadi meniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan motto Bineka Tunggal Ika.
 Akhirnya selamat merayakan HUT Kota Jayapura ke 106 tanggal 7 maret dan HUT PI tanggal 10 maret 2016, semoga doa para rasul orang Tabi menjadi insipirasi dalam menjalankan tugas dan kerja diatas Tanah Tabi dengan selalu takut akan Tuhan. Nensya Onomi Fai.#
___________
*Penulis adalah : PNS Pemda Kota Jayapura  Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan.
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos Maret 2016)

Selasa, 01 Maret 2016

Mencermati Kebijakan Transfer Nontunai Dalam APBN 2016

Penulis : Hans Z. Kaiwai


BEBERAPA tahun terakhir, masalah belum optimalnya penyerapan anggaran masih menjadi tantangan fiskal di daerah. Saat ini dengan adanya peningkatan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa  dalam APBN 2016 menutut pemerintah daerah untuk mempercepat penyerapan anggarannya. Pada tahun 2016, pemerintah daerah, yang tidak menggunakan Dana Transfer dan Dana Desa dari pemerintah pusat secara maksmimal dan cenderung memarkir dana tersebut di bank, perlu mencermati adanya kebijakan transfer nontunai dalam APBN 2016.
 Payung hukum kebijakan tersebut diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN 2016. Disana diatur bahwa “penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dapat dilakukan dalam bentuk tunai dan nontunai” dan “bagi daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah tidak wajar, dilakukan konversi penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk nontunai”.
 Selanjutnya untuk mengimplementasikan kebijakan transfer nontunai tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.7/2015 tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk Nontunai. Dimana kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong penyerapan APBD yang optimal dan tepat waktu, dan mengurangi uang kas dan/atau simpanan pemerintah daerah di bank dalam jumlah yang tidak wajar.
 Kebijakan transfer nontunai ini dikuatirkan dapat mempengaruhi likuiditas perbankan di daerah. Walaupun demikian, hal ini dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan fiskal yang dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah dalam memarkir anggaran transfer di perbankan, terutama ketika telah dilakukan penguatan desentralisasi fiskal melalui peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
 Ketika mengamati postur APBN 2016 dari sisi belanja, kita mendapati adanya perubahan yang cukup mendasar dibandingkan APBN sebelumnya. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai Rp 723,3 triliun, naik Rp 79,4 triliun (12 persen) dari pagu anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa APBNP 2015. Sementara itu, pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) ditingkatkan dari 58,8 triliun pada APBNP 2015 menjadi Rp 208,9 triliun dalam APBN 2016 atau naik Rp 150,1 triliun (255 persen).
 Belanja yang ekspansif pada APBN 2016 dimaksudkan untuk meningkatkan anggaran infrastruktur di daerah dalam upaya memperkuat fondasi pembangunan yang berkualitas dan mewujudkan misi membangun Indonesia dari pinggiran. Pengalokasian dan penyaluran belanja negara yang besar ke daerah ini tentu harus dikelolah dengan baik agar mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dana Menganggur
Kita mengetahui bersama bahwa dalam beberapa tahun anggaran terakhir, adanya simpanan pemerintah daerah di bank dalam jumlah yang tidak wajar. Dana menganggur pemerintah daerah, di seluruh Indonesia, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
 Misalnya, pada tahun 2013, simpanan pemerintah daerah di bank sebesar Rp 92,4 triliun meningkat menjadi Rp 113,2 triliun di tahun 2014. Dan pada tahun terakhir yaitu tahun 2015, jumlah simpanan pemerintah daerah mencapai Rp 291,5 triliun di bulan September.
 Dari amatan terhadap pola pergerakan simpanan pemerintah daerah di bank, biasanya meningkat pada bulan April, kemudian meningkat lagi pada bulan Juni, dan akan mencapai puncaknya pada bulan September. Pola pergerakan simpanan seperti ini ada hubungannya dengan pola tahapan penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
 Disamping itu, masih adanya tantangan klasik dalam pola penyerapan anggaran. Biasanya belanja pemerintah daerah menumpuk pada triwulan III dan IV. Sementara itu, adanya dana menganggur pemerintah daerah di perbankan yang cukup besar bahkan dalam jumlah yang tidak wajar.
Walaupun pada akhirnya anggaran tersebut dapat dibelanjakan dengan sangat cepat pada dua bulan terakhir (November, Desember). Namun pola penyerapan anggaran seperti ini tidak sehat dan perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas belanja pemerintah daerah.

Kebijakan Transfer Nontunai
Untuk mengantisipasi kembali terjadi dana mengganggur di tahun 2016 seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah telah merumuskan kebijakan transfer nontunai dalam APBN 2016.  Konversi penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk transfer nontunai dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
 Dimana berdasarkan kebijakan tersebut, daerah yang patut dikonversi Transfer DBH dan DAU-nya dalam bentuk transfer nontunai adalah daerah yang memiliki saldo kas dan setara kas melebihi belanja operasi dan 50% belanja modal untuk kurun waktu 3 bulan berikutnya. Dimana data untuk menentukan daerah layak konversi diperoleh dari laporan posisi kas bulanan dan ringkasan realisasi APBD bulanan.
 Misalnya, posisi kas daerah bulan Februari Rp 100, sementara rencana pengeluaran operasi dan belanja modal 3 bulan berikutnya (April, Mei, Juni) masing-masing Rp 25, atau total Rp 75, maka adanya dana menganggur sebesar Rp 25. Dan jika rata-rata nasional dana menganggur sebesar Rp 23, maka daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah layak konversi pada penyaluran Triwulan I (bulan Maret).
 Untuk itu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Papua perlu mencermati dan mengantisipasi dalam mengelolah manajemen kas daerah, sehingga nantinya tidak masuk dalam daerah yang ditentukan sebagai daerah yang mendapatkan transfer nontunai DBH dan DAU.
 Kiranya dengan adanya kebijakan pengendalian dana menganggur melalui kebijakan transfer nontunai DBH dan DAU ini, akan mengakibatkan semakin berkurangnya akumulasi dana menganggur pemerintah daerah di perbankan. Dan sebaliknya semakin meningkatnya penyerapan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Dan juga semakin optimalnya penyerapan APBD sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.


Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih,

Ekonom Kementerian Keuangan.

Otsus Papua Bukan Milik Elit

Penulis:  Bung Elias Idie*

WACANA Otonomi Khusus Papua  akhir-akhir  ini menjadi perbicangan menarik  antar  Pemerintah Pusat   dan Pemerintah Provinsi Papua  (baca; antar  Menteri Kordinator Politik,  Hukum dan Ham Republik Indonesia  dengan  Gubernur Provinsi Papua) Perbincangan   utama antar lain, Pemerintah Pusat ingin melakukan audit penggunaan Dana Otonomi Khusus yang selama ini dikucurkan bernilai triliunan rupiah, namun dinilai belum   diperuntukan secara baik dan proporsional untuk pembangunan di tanah ini. 
 Pendapat sebaliknya dari Pemerintah Provinsi Papua bahwa Pertama;  Dana Otonomi Khusus yang selama ini dikucurkan  sudah digunakan dengan baik, dengan mengalokasikan kepada   Pemerintah Daerah sebesar Delapan Puluh Persen (80%) untuk pembangunan di Daerah, Kedua; Jika Pemerintah Pusat menginginkan proses audit maka Otsus ini dikembalikan saja, karena Penggelontoran Dana Otonomi Khusus selama ini dirasa tidak cukup membangun Papua. Tentu pendapat ini, masih perlu diperdebatkan dengan pembuktian lebih jauh dan menyeluruh. 
Otsus Dikembalikan? Apakah Isi Otsus Hanya Mengatur  Uang?
Penyelenggaraaan roda pemerintahan di Provinsi Papua dalam kerangka Otonomi khusus sesuai ketentuan Undang-udang No. 21 Tahun 2001 bahwa  pertama;  Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. kedua; Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 
 Sehingga tentu saat ini, perdebatan antara Jakarta dan Papua berkaitan persoalan implementasi Undang-undag Otonomi Khusus,  harus dijelaskan kepada masyarakat apakah Undang-undang Otonomi Khusus  hanya mangatur tentang pembagian atau pengalokasian uang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah  Papua? atau ada kewenangan lain dalam Undang-undang tersebut, yang sejauh ini belum dapat dijabarkan? Perdebatan saat ini, dapat dilihat dalam dua makna; pertama; Pemerintah Pusat menjalangkan tanggungjawab sebagai penyelenggaraan pemerintahan ditingkat pusat, dimana mau memastikan keberhasilan pembangunan di daerah –daerah termasuk Papua, kedua; Menerapkan  prinsip akuntabilitas dan transparansi   penyelenggaraan pemerintahan dalam hal  penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 
 Pengamatan penulis seharusnya pemerintah Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat  Papua dan Majelis Rakyat Papua  menjelaskan kepada  masyarakat Papua bahwasannya Otonomi Khusus tidak saja kucuran dana triliunan rupiah namun juga ada kewenangan lain  yang diamanatkan oleh Undang-undang  tersebut,  kepada Pemerintah Provinsi,DPRP dan MRP untuk menjabarkan dalam bentuk  Perdasus dan Perdasi, misalkan persoalan Perekenomian, Hak Asasi Manusia, Pendidikan dan Kebudayaan, Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Sosial dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan, sehingga rakyat Papua memahami dan mengerti akan persoalan Otsus secara menyeluruh. 
  Misalnya  Persoalan Perekonomian; Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya diatur dengan Perdasus. Apakah sudah dijabarkan?
 Persoalan Hak Asasi  Manusia; Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan. memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan diatur dengan Perdasi.  Apakah sudah dijabarkan? 
Pemerintah Provinsi Papua,DPRP, MRP,  menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat bahwasannya inilah sekian Rancangan  Perdasus dan Perdasi, yang telah dirumuskan sebagai penjabaran pelaksanaan Undang-undang Otonomi  Khusus Papua, namun tidak bisa  diimplementasikan karena dengan berbagai pertimbangkan antara lain, misalnya;  Pemerintah Pusat menganggap sangat bertentangan dengan konstitusi atau melampui kewenangan pusat, namun secara subtansi memberikan dampak positif terhadap pembangunan di  Papua. Sehingga perdebatan menyangkut Otonomi Khusus Papua tidak menjadi persoalan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Provinsi Papua  semata, namun menjadi persoalan bersama. Seolah Otonomi Khusus hanya bertuan pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua, tetapi tidak bertuan pada rakyat Papua. 
Akar Masalah Otsus
Apa masalahnya sehingga implementasi Undang-undang Otsus ini tidak berjalan susuai  harapan dan cita-cita mulia para pengagas dan kita sebagai rakyat? Secara sederhana, dapat disimpulkan dalam dua soal umum yakni: satu, Pemerintah Pusat  (Jakarta) belum  memiliki kehendak baik (political will) untuk memajukan kesejahteraan rakyat Papua, tetapi lebih cenderung hanya mau menikmati kekayaan tanah Papua; dan kedua,Pemerintah Daerah (Papua)  belum  sepenuhnya menjabarkan  muatan Undang-undang Otonomi Khusus dalam bentuk program maupun  Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)   dan Peraturan Daerah (Perdasi) dengan muatan persoalan Ekonomi, Hak Asasi Manusis, Pendidikan dan Kebudayaan, Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Social dan Pengawsan. 
 Otsus ini kemudian diganggu oleh para elit politik yang tidak konsisiten dalam melaksanaannya.  Olehnya, Otsus “tidak lagi” menjadi solusi, tetapi memunculkan sejumlah masalah baru dan krusial. Kesejahteraan rakyat Papua yang menjadi tujuan suci otsus belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan. Demikian pula dengan infrastrukturnya sangat terbatas, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme  menjadi momok menakutkan  serta terbatasnya pemenuhan  kebutuhan dasar, bahkan indicator pembangunan manusia Papua pun sangat rendah dibawah rata-rata  nasional..
Tidak Harus Mengembalikan Otsus
Tentu rakyat Papua berharap jikalau memang ada kemauan dan niat luhur membangun negeri ini melalui pendekatan Undang-undang Otonomi Khusus menjelang 10 tahun batas akhir pemberlakuan, marilah secara bersama-sama  (baca;Pemerintah dan Rakyat) Papua  segera  melakukan beberapa tindakan antar lain, Pertama; Mengindentifikasi  keberhasilan pembangunan Papua selama  15 tahun penyelenggraan otonomi Khusus,Kedua; Melakukan Kajian terhadap kendala pembangunan Papua dalam pendekatan otonomi Khusus,Ketiga; Mendesain Tata Kelola  Pemerintahan yang bersifat Rekognisi –Subsidiaritas  dengan berpedoman pada Nawa Cita, Keempat; Menggagas Visi Baru Pembangunan Papua 2025.***

*Penulis adalah   : Mantan Ketua Cabang GMKI Jogjakarta Periode 2009-2011