Selasa, 01 Maret 2016

Pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi papua Adalah Sebuah Alternatif Politik, Bukan Jawaban Atas Aspirasi Politik Rakyat Papua


Penulis:  Drs. Lodewyk Nero , M.Si *

INTEGRASI Papua ke dalam Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah suatu agenda politik yang dapat diterima secara praktek Internasional, tetapi bagi rakyat dan masyarakat Papua Janji kemerdekaan oleh Belanda dan Janji Kesejahteraan orang Papua oleh Indonesia adalah merupakan sona baru dalam perjuangan menjawab gerakan cargo cultus seperti diuraikan JRG. Djopari dalam buku Gerakan Organisasi Papua Merdeka, bahwa tumbuhnya paham nasionalisme Papua di Irian Jaya mempunyai sejarah yang panjang dan pahit, bahwa sebelum dan selama perang dunia ke-II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan millionerian mesianic dan cargo cultus, mungkin yang paling terbuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan KORERI di kepulauan Biak, gerakan WERE atau WEGE yang terjadi di Enarotali dan gerakan SIMON TONGGKAT yang terjadi di Jayapura.
Sejak Irian Jaya kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu melalui penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Negara Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, hingga saat ini berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan terciptanya kesejahteraan rakyat, belum mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya menampakan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir segala sektor kehidupan terutama pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infstruktur dalam berbagai level di atas Tanah Papua.
Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.
Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentu akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidak puasaan.
Ketimpangan sosial ekonomi, dimana Papua dikenal sebagai Daerah yang memiki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tapi dalam kenyataan banyak rakyat Papua yang mati kelaparan, hidup dalam ikatan lingkaran kemiskinan yang akut, miskin, tidak berdaya, sakit, lapar dan haus.
Progres pembangunan Daerah yang stagnan, hasil kekayaan alam dan tambang seperti emas, perak dan tembaga lebih banyak diarahkan untuk kepentingan pusat kekuasaan dan perusahaan multinasional. Rakyat Papua merasa tidak puas dengan pemerintah pusat, kualitas sumber daya manusia Papua sangat rendah, angka human devolopmen index masih rendah dan isu sentral mengenai pelanggaran HAM di Papua marak sejak diberlakukannya Daerah Oprasi Militer (DOM) di Papua berkaitan dengan seperatisme.
Fakta dan fenomena tersebut diatas yang memicu ketidak puasaan rakyat Papua terhadap pemerintah pusat yang pada akhirnya menimbulkan ancaman disintegrasi Bangsa di Provinsi Papua.
Sejalan dengan semangat reformasi diberbagai aspek kehidupan politik, pemerintahan dan ekonomi di Indonesia pada tahun 1999, berbagai komponen masyarakat Papua menyampaikan rasa ketidak puasan, kekecewaan masyarakat Papua atas perlakuan diskriminatif, ketidak adilan dan pelanggaran HAM.
Sebagai tanggapan positif dari pemerintah pusat, maka diterbitkanlah Undang-undang nomor: 45 Tahun 1999 tentang pembentukan propvinsi Irian Jaya tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat serta beberapa Kabupaten baru antara lain Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.
Masyarakat Papua pada saat itu menetang upaya pemerintah pusat terhadap pembentukan Provinsi, tetapi menerima pemekaran Kabupaten, dan menilai pemekaran Provinsi tidak lebih dari upaya memecah belah dan menguasai Papua (politik De fire it empera).
Yang terjadi adalah semakin meningkat dan kuatnya instabilitas politik/ disintegrasi yang berpuncak pada tanggal 1 Desember 1999 berlangsung upacara pengibaran bendera Papua (Bintang Kejora) atau suatu bendera simbol kemerdekaan Bangsa Papua yang pernah dipersiapkan pada tahun 1961 oleh masyarakat Papua dan pemerintah Belanda dalam rangka kemerdekaan Bangsa Papua.
Ancaman disintegrasi semakin kuat dan berkembang dengan diadakannya Musyawarah Besar (MUBES) Rakyat Papua dan Konggres Nasional Papua II dari tanggal 29 Mei s/d 4 Juni 2000, kemudian hasilnya disampaikan oleh Ketua Tim 100 TOM BEINAL kepada Presiden Republik Indonesia B. J. HABIBIE pada tanggal 26 februari 2000 di Istana Negara yang isinya berbunyi : KAMI BANGSA PAPUA BARAT MENYATAKAN DIRI KELUAR DARI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) UNTUK MERDEKA DAN BERDAULAT PENUH DI ANTARA BANGSA-BANGSA LAIN DI MUKA BUMI INI.
Usaha masyarakat Papua untuk memisahkan diri ini adalah akumulai dari kekecewan masyarakat Papua terhadap berbagai rancangan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat dan rakyat Papua selama 36 tahun berintegrasi (1963 – 1999).
Jawaban resmi pemerintah dalam merespont pernyataan politik masyarakat dan rakyat Papua ketika itu melalui Presiden Republik Indonesia B. J. HABIBIE dalam komunikasi politik itu adalah : PULANG DAN RENUNGKAN KEMBALI PERNYATAAN POLITIK MASYARAKAT DAN RAKYAT PAPUA TERSEBUT.
Sejak dialog nasional antara rakyat Papua yang diwakili Tim 100 dengan pemerintah Republik Indonesia yang di wakili oleh Presiden Republik Indonesia B. J. HABIBIE inilah awal mula terjadinya komunikasi politik yang mengkomunikasikan dan menyatukan dua kutub yang berbeda yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan istilah “O” atau “M” ( Otonomi atau Merdeka).
Pernyataan politik masyarakat dan Rakyat Papua yng telah dikomunikasikan secara demokratis dan di jawab secara politik oleh pihak pemerintah terus berjalan ke kutubnya masing-masing yaitu : masyarakat dan rakyat Papua tetap menghendaki untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sementara pemerintah pusat/Indonesia tetap melanjutkan kebijakan reformasi pemerintahan, diantaranya penataan ulang kebijakan otonomi Daerah, hasilya lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sebagai pengganti  UU. No. 5 Tahun 1974 yng sarat sentralistik, yang kemudian direvisi menjdi UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Strategi kebijakan pemerintah dalam menata ulang kebijkan Otonomi Daerah seperti yang diuraikan diatas, dilancarkan dan diupayakan dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada bagian lain masyarakat dan rakyat Papua tidak mau dibohongi lagi dengan kebijakan Otonomi model apapun dan terus berkaca ke fenomena integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa lalu yang menjadi pengalaman dan kenyataan pahit yang terus membayangi keberadaan Papua di dalam Negara Keatuan Republik Indonesia (NKRI), maka pada tanggal 26 Februari 2000, masyarakat dan rakyat Papua melalui Tm 100 kembali menghadap Presiden B. J. HABIBIE dan menyampaikan hasil perenungan yang diminta pihak pemerintah melalui Presiden yang salah satu bunyi hasil perenungan adalah : KAMI MENOLAK OTONOMI SELUAS-LUASNYA, PEMEKARAN PROVINSI IRIAN JAYA DAN PEMEKARAN KABUPATEN OTONOM DENGAN DALIL APAPUN SERTA MENOLAK SEMUA BENTUK GULA-GULA POLITIK BERUPA TAWARAN JABATAN POLITIK DAN BIROKRASI, BAIK DITINGKAT NASIONAL/PUSAT MAUPUN DITINGKAT LOKAL/DAERAH SEBAGAI STRATEGI UNTUK MELUMPUHKAN PERJUANGAN BAGI KEMERDEKAAN BANGSA PAPUA BARAT.
Fenomena pemerintahan berperspektif sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Tanah Papua sejak dahulu sampai saat ini terkooktaf dalam dua pengaruh idiologi  dan yang akan terus mengikuti dinamika perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di Tanah Papua yaitu Idiologi Papua Merdeka yang ditanam oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda dan Idologi mengindonesiakan masyarakat dan rakyat Papua melalui janji mensejahterakan masyarakat dan rakyat Papua melalui kebijakan otonomi Daerah, maka pertanyaan globalnya adalah :
Seberapa efektifkah kebijakan Otonomi khusus Papua dalam penyelesaian masalah Papua dan dapat mengsejahterakan masyarakat dan rakyat Papua ?
Jawaban terhadap pertanyaan global bersifat refleksi ini semoga dapat terjawab dalam forum rapat kerja para birokrat yang didesaian oleh Gunernur Papua dalam RAKER Gubernur dan Para Bupati sebagaimana terucap dalam pidato Gubernur Papua pada acara Pengambilan sumpah/Janji dan pelantikan para Bupati terpilih hasil Pilkada serentak tanggal 17 Febuari 2016 dan juga yang sangat penting adalah bagaimana respont pemerintah pusat dalam menggrend desaian kebijakan otonomi Daerah yang bersifat nasional maupun Otonomi khusus Papua yang bersifat lex spesialis agar dapat mengeliminir Idologi Papua Merdeka. 
Semoga pemberian Otonomi Khusus Papua sebagai alternatif politik dan bukan jawaban atas penyampaian aspirasi politik masyarakat dan rakyat Papua ini dapat memantapkan integrasi poltik di Provinsim Papua dan semakin mensejahterakan rakyat Papua dan bukan menjadi alat politik yang pada suatu ketika akan muncul isu “ O “ (Otonomi) atau “ M “ (Merdeka) dikemudian hari.Semoga!***

*Penulis adalah : PNS Pemda Kota Jayapura dan Alumni Sekolah Pamong Praja.


0 komentar:

Posting Komentar