Kamis, 05 Februari 2015

Dari Gelap Jadi Terang, dan Perlahan Gelap?

(Refleksi Peringatan HUT Pekabaran Injil di Tanah Papua)

Oleh: Imanuel Itlay   
 SYUKUR bagi-Mu Tuhan. Dengan pengorbanan-Mu di Kayu Salib. Dosa kami ditebus. Kami telah berkenan kepada Bapa Allah. 2000 tahun lalu, Engkau bangkit dari wafat, dan mengutus roh dan memerintahkan kami untuk mengabarkan jalan keselamatan.
  Tanggal 5 Feberuari 1855 silam, Kabar tentang Yesus itu di bawa oleh Carl W Ottow dan Johan Gottlob Geissler di tanah Papua. Pulau Mansinam menjadi saksi bisu perjalanan pekabaran injil di tanah Papua.
 “Dalam Nama Allah kami menginjakan kaki di tanah ini (Papua)” begitu isi hati Ottow dan Geissler yang ketika itu dari dalam semak-semak usai sandar di Pulau Mansinam pukul 9 pagi.
  Saat matahari menyinari bumi. Sinar pagi itu membawa terang sekaligus berkat bagi tanah Papua. Kehadiran mereka membawa peradaban baru bagi bangsa Papua, dari keterbelakangan, keterasingan. Perang suku yang dulunya menjadi budaya perlahan dikikis.
  Perjalanan demi perjalanan membawa kabar ini dari kampung ke kampung, dari daerah satu ke daerah yang lain hingga akhirnya menyebar di seluruh bumi Cenderawasih.
  Kedatangan dua misionaris ini menjadi tonggak sejarah untuk tanah Papua. Selain membawa kabar gembira tentang Yesus, upaya lain yang dilakukan saat itu adalah menghadirkan pemerintahan di tanah Papua untuk menghentikan perlakuan Kesultanan Tidore dan VOC dalam bentuk pembunuhan, perampasan harta benda, pembakaran kampung-kampung penduduk asli Papua dan sesama etnis. (dikutip http://Mansinam.com).
 Tanggal 5 Februari 1855 – 5 Februri 2016. Kini usianya sudah 161 tahun. Umur ini sudah cukup tua. Dengan berbagai aliran agama, umat Kristiani yang ada di tanah Papua boleh dikata sudah mengenal Tuhan.
 Sejak masih dalam kandungan, mereka yang ada di pedalaman sampai yang ada di kota, generasi saat ini telah diberkati Tuhan dalam doa. Doa ibu, doa ayah, doa pendeta, doa pastor mengiringi seorang anak manusia hadir ke dunia.
  Saat bayi itu beranjak besar dan remaja hingga dewasa sampai mendapat pekerjaan bahkan urusan nikah pun disertai dengan doa. Ini pertanda bahwa lilin yang dinyalahkan di Pulau Mansinam dan upaya berbagai denomenasi gereja yang telah hadir di bumi Cenderawasih itu telah berhasil. Api lilin yang telah dinyalahkan di tanah Papua itu tetap menyalah.
  Namun, akhir-akhir ini cahaya yang telah menyinari pulau Papua kini mulai redup bahkan terkadang mati. Kegelapan sering menghampiri bumi Cenderawasih ini. Tangisan mama Papua masih terus membasahi tanah ini.
 Bunyi senapan masih terus mendengung ditelinga. Kabar saling serang antar warga di Timika, Wamena, Jayapura, Manokwari masih menjadi topik hangat di media.
 Di Paniai peluru menyasar tubuh anak sekolah. Mencabut nyawa mereka sekejab. Di Mbua mama-mama menangis, entah kenapa anak mereka datang memberi salam dan pergi untuk selamanya. Di waktu yang sama, Jakarta sibuk bicara pembagian hasil dari penggarukan tanah milik masyarakat Papua.
  Asap-asap duka membumbung tinggi, tangisan haru merambah hutan-hutan Papua. Asap dan suara duka kepergian generasi penerus yang mati di jalan-jalan usai meneguk minuman keras masih terdengar.
 Miras menjadi momok menakutkan. Perang suku, pembunuhan, pemerkosaan, runtuhnya hubungan dalam rumah tangga, pencurian merupakan buah dari penjualan Miras di tanah Papua.
Tapi sayang, pemerintah masih beri kesempatan kepada mereka yang siap meraup untung dari kehancuran masyarakatnya sendiri.
 Berita darah-darah masih menjadi headline di surat kabar, dan jadi santapan natizen di Facebook, dan WhatsAPP. Manusia seperti menjadi singa untuk sesama. Saling membunuh, saling menyerang, dan saling menganiaya. Ini seakan nilai kemanusiaan dan persaudaraan seakan-akan hilang diterkam emosi.
  Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), Kontras, LBH beberapa tahun terakhir ini terus berkicau membela hak-hak umat manusia.
  Sementara retorika dari pemimpin pemerintahan, aparat kepolisian, pemuka agama terus menyuarakan dan mendorong “Papua menjadi Zona Damai”. Sayangnya, entah mengapa manusia penghuni bumi Cenderawasih ini masih dirudung ketakutan.
  Muka mereka pucat entah karena tak tidur semalam usai ronda malam menjaga pencurian yang kian marak. Atau pucat sehabis nongkrong semalam karena mendengar informasi akan adanya serangan dari kelompok tertentu.
 Kasus korupsi, pelayanan pemerintahan yang tidak becus masih menjadi perbincangan hangat di para-para pinang, kedai kopi, hingga di rumah-rumah.
  Persoalan di bumi Cenderawasih seperti benang kusut yang secara kasat mata tak bisa diuraikan. Terang yang diimpikan oleh para Ottow dan Geissler seperti mulai redup. Dari gelap menjadi terang dan kini mulai gelap?
 Siapa yang bisa mempertahankan terang ini? Pertanyaan besar untuk semua pihak yang mendiami tanah Papua tercinta. Saya teringat ketika Yesus sebelum naik ke surga memerintahkan rasulnya yang isinya: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk,” (Markus 16:15). 
  Perintah ini bukan saja untuk kedua belas rasul Yesus saja, tetapi menjadi kewajiban umat manusia untuk merealisasikannya. Ottow dan Geissler menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang membawa kabar gembira itu.
  Manusia yang ada di Papua pun bisa melakukan hal serupa dan itu menjadi kewajiban umat Nasrani maupun umat lain. Menjadi Rasul Yesus membawa manusia Papua kepada terang itu.
 Adik, kaka, om, tanta, nene, tete. Gubernur, Bupati/Walikota, pengusaha, tokoh agama, kepala suku, guru-guru, para wartawan, pak polisi dan tentara sampai pemulung sampah. Siapapun dia yang ada, ikut berperan menjadi terang untuk orang lain, dan mewujudkan cita-cita “Damai” di tanah Papua.
   Mulai dari memperkuat tatanan hidup dari keluarga. Sebab dari keluargalah karakter seseorang itu terbentuk.
Para tokoh agama, selain mewartakan kabar Yesus dari mimbar-mimbar. Gereja diharap turun langsung mengalami bersama fenomena sosial yang dialami umat. Patut di ancungi jempol bagi teman-teman SKP HAM Papua yang turut berperan dalam menyelamatkan manusia Papua.
  Pemerintah pun jangan tutup mata, harus memikirkan Miras yang sering membuat manusia Papua tewas dan meninggal. Sudah saatnya mengambil kebijakan untuk penyelamatan umat manusia, dibanding menghasilkan uang dari darah manusia. #

___________
*) Penulis adalah  Jurnalis Cenderawasih Pos

 ( Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos _ Februari 2015)


Gereja Dan Masalah OPM Di Papua

Oleh: Marinus Yaung*)
MEMASUKI usia ke-160 tahun pekabaran injil Yesus Kristus, injil yang telah datang,menguasai dan mengubahkan kehidupan dan peradaban manusia Papua, sudah waktunya untuk gereja Tuhan - gereja sebagai organisasi dan juga sebagai umat Tuhan - merenungkan dan mengevaluasi keberadaan dirinya di tanah Papua sesuai dengan fungsi dan panggilannya. Apakah gereja Tuhan sudah menjadi solusi dan jawaban atas setiap persoalan umat manusia di Papua atau gereja hadir hanya untuk menghadirkan bencana kemanusian dan rusaknya moral,etika dan martabat manusia ?. Perkembangan sejarah Papua akan selalu dipengaruhi dan ditentukan oleh peran yang dimainkan gereja Tuhan. Pemerintah tidak bisa sendiri berdiri menyelesaikan masalah Papua tanpa melibatkan gereja Tuhan, karena tidak akan pernah bisa selesai masalah Papua kalau gereja membiarkan pemerintah jalan sendiri dengan cara dan metodenya. Inilah takdir papua sebenarnya yang suka tidak suka, terimah tidak terimah harus diakui oleh semua orang yang hidup di atas tanah ini.
  Sejarah dan peradaban Papua sangat jauh berbeda dengan peradaban sejaran dari wilayah – wilayah lain di nusantara. Peradaban Papua lahir dari hati anak – anak muda eropa abad ke- 19 yang mengasihi dan mencintai Tuhan Yesus dengan cara yang ajaib dan luar biasa. Dengan mengorbankan masa muda mereka untuk menjadi anugerah Tuhan yang ajaib bagi masyarakat Papua. Untuk melihat nasib sebuah bangsa kanibalis, peyembah berhala,ditaklukan oleh injil dan peradabannya diubahkan oleh Tuhan. Hanya injil yang bisa menaklukan hati manusia Papua yang keras. Takdir sejarah ini tidak bisa berubah dan dilupakan begitu saja oleh karena perubahan saman. Disinilah gereja Tuhan punya tanggung jawab dan panggilannya. Dengan sejarah peradaban yang sangat ajaib di mata kita, rasanya aneh dan tidak masuk akal ketika melihat realita sejarah papua hari ini.
   Posisi gereja Tuhan seperti mati suri, gereja sama skali tidak berdaya  menolong umat manusia keluar dari bencana kemanusian dan penderitaan hidup. Posisi malaikat maut pencabut nyawa lebih kuat pengaruhnya dibandingkan gereja Tuhan. Situasi krisis rohani seperti ini tidak dianggap serius gereja Tuhan. Malaikat maut pencabut nyawa telah membunuh ratusan ribuh nyawa manusia Papua dengan mengatas namakan pembangunan dan keamanan tanpa ada tidakan perlindungan dari gereja Tuhan. Puluhan ribuh jiwa manusia Papua juga saat ini sedang antri menuju kematian akibat tersambar pedang maut HIV/AIDS dari malaikat maut pencabut nyawa. Gereja Tuhan justru terlihat tunduk pada keinginan malaikat maut dengan terlibat dalam kampanye penggunaan kondom. Aneh tapi nyata, tapi itulah paradox gereja Tuhan di Papua. 
  Kekerasan demi kekerasan terus meningkat dalam skala yang semakin besar dan meluas. Ketika gereja Tuhan diam, tanpa sadar gereja Tuhan secara tidak langsung ikut mendukung dan terlibat dalam aksi kekerasan dan terror tersebut. Gereja Tuhan di papua tidak boleh tinggal diam dan bertahan pada logika rohani yang tidak alkitabia, dengan asumsi bahwa konflik dan kekerasan itu bukan bagian dari tugas dan panggilan gereja tuhan. Jangan perna lupa bahwa gereja Tuhan sedikitnya memiliki andil terhadap lahirnya persoalan demi persoalan sejak integrasi sampai saat ini di Papua. Sejarah integrasi Papua sudah mencatat bahwa, pertama, pemimpin gereja telah mengambil sikap untuk bertemu langsung dengan Presiden Soekarno dan sekaligus membuka pintu bagi masuknya Indonesia ke Papua.    
   Tindakan politik pemimpin gereja Papua ini tanpa sadar telah menjerumuskan mereka ke dalam konfrontasi politik Presiden Soekarno dengan presiden AS John Fitzgerald Kennedy awal tahun 1960-an. Gereja Tuhan di Papua telah memberikan “ pisau politik “ di tangan Soekarno untuk mengancam Kennedy soal posisi pemerintah AS terhadap masalah status politik Papua tahun itu. Akhirnya posisi kennedy berubah dari menentang Indonesia soal papua, jadi mendukung keinginan soekarno untuk menguasai Papua. Kedua, masuknya Indonesia ke Papua, tidak didukung sepenuhnya oleh seluruh umat Tuhan di Papua. Akibatnya lahir Organisasi Papua Merdeka ( OPM ) yang dimaksudkan untuk memperjuangkan hak hidup, hak bebas dan hak untuk mencapai kebahagian di atas tanah Papua yang telah dirampas oleh Negara. Negara melawan dengan terror, intimidasi, pembunuhan, pembantain dan segala bentuk kriminalisasi terhadap setiap aksi – aksi OPM. Konflik vertical antara rakyat papua dengan Negara, seharusnya bisa dikendalikan dan diselesaikan sedini mungkin kalau gereja Tuhan memainkan fungsi dan perannya dengan tepat dan benar. Gereja Tuhan di Papua tidak bisa menonton dan membiarkan OPM terus menerus berdiri berhadap – hadapan dengan TNI/Polri tanpa bergerak mencari solusi terhadap konflik berdarah ini. Gereja Tuhan harus mengambil posisi di tengah untuk segera mendamaikan dan mempersatukan pertikaian sesame anak bangsa di tanah ini. Gereja Tuhan tidak bisa tinggal diam dan tersanderah dengan retorika “ ini semua bagian dari kehendak Tuhan “, “ pemerintah itu datangnya dari Tuhan, karena itu tidak ada pemerintah yang salah, yang salah yang memprotes pemerintah “. Retorika – retorika seperti ini akan membuat gereja Tuhan mengalami impoten rohani dan memperkuat posisi malaikat maut pencabut nyawa di atas tanah Papua. 
   Gereja Tuhan merupakan satu – satunya harapan Tuhan Yesus untuk mengakhiri semua penderitaan orang papua dan mengubahkan nasib papua ke depan. Bukan pemerintah, bukan DPRP, bukan MRP, karena semua lembaga ini hasil buatan tangan manusia yang memiliki kuasa dan otoritas yang sangat terbatas sehingga sangat sulit meletakan tumpukan dan harapan masa depan Papua yang jauh lebih baik ke dalam tangan lembaga – lembaga Negara ini. Gereja TUhan dibentu oleh Tuhan sendiri dan diperlengkapi dengan kuasa dan otoritas ilahi yang tidak terbatas, sehingga seharusnya mampu berdiri menjadi solusi dan jawaban bagi penyelesain masalah Papua, termasuk menyelesaikan masalah OPM yang oleh Negara dipandang sebagai hambatan terbesar pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua. Gereja Tuhan harus bisa bangkit meluruskan persoalan keberadaan OPM di papua di mata pemerintah. Gereja Tuhan harus bisa memainkan dengan mahir pedang injilnya untuk menaklukan OPM dan sekaligus menaklukan Negara agar Negara tidak lagi memandang orang Papua itu musuh dan terus menerus mengedepankan pendekatan kekerasan dalam meyelesaikan konflik Papua.   
    Gereja Tuhan harus mampu merumuskan sebuah pendekatan baru dalam nuansa dan semangat injil untuk disampaikan ke pemerintah agar bisa dijadikan referensi dalam menyelesaikan masalah Papua. Seluruh pendekatan dalam penyelesain masalah papua tanpa melalui saringan injil, maka sampaikan kapanpun tidak akan perna bisa selesai. Inilah takdir tentang kekhususan Papua yang harus diterimah oleh semua pihak. Mungkin terkesan controversial bagi mereka yang logikanya lebih kuat dibandingkan hati nuraninya. Tetapi kalau serius mau membangun Papua dan sekaligus mau meyelesaikan Papua dengan hati, maka patokannya harus ke injil. Pada posisi inilah, gereja Tuhan harus berperan aktif dalam merumuskan konsep dan metode penyelesain masalah Papua berdasarkan saringan injil. Gereja Tuhan dalam memasuki usia pekabaran injil di Papua yang ke – 160 sudah harus keluar dari dinding gerejanya, tembok denominasinya,dan dari zona – zona kenyamanannya untuk berbuat sesuatu bagi penyelesaikan konflik dan terciptanya perdamain di Papua. Gereja Tuhan tidak ditakdirkan untuk menjadi penonton di dalam konflik Papua. Gereja Tuhan tidak dimaksudkan Tuhan hadir di Papua untuk menjadi museum rohani untuk memamerkan manusia  dan harta kekayaannya, melainkan harus menjadi rumah sakit rohani untuk menolong setiap umat manusia Papua yang sakit dan terluka oleh Negara dan oleh sesame. 
   Gereja Tuhan harus bisa hadir di tengah – tengah umat manusia di papua untuk memastikan duka cita dan penderitaan umat manusia berubah menjadi tari – tarian dan sorak sorai. Tidak ada lagi lembaga terbaik di tanah Papua yang kesanalah orang Papua berharap akan kelepasan dari penderitaan dan bencana kemanusian selain gereja Tuhan. Mungkin terkesan opini prestius dan pandangan liar yang masih belum diterimah public, tetapi inilah takdir sejarah papua yang telah diletakan Ottow dan Geissler di pulau mansinam, minggu pagi 5 februari 1855, dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini. Dengan kata lain, 2 ( dua ) anak muda eropa ini, telah menyerahkan sejarah dan peradaban Papua ke dalam pengendalian dan kedaulatan Tuhan. Apapun yang terjadi di Papua, baik di masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang semua ada dalam kendali dan pengawasan Tuhan. Tuhan hanya bisa bertindak kalau gereja Tuhan bertindak duluan dan sebaliknya, Tuhan tidak akan bertindak kalau gereja Tuhan tidak bertindak. 
   Memasuki usia ke – 160 tahun injil berkuasa di tanah ini, sudah saatnya gereja Tuhan bangkit untuk focus pada menyelesaikan masalah OPM dan segala macam masalah kemanusian lainnya di Papua. Malaikat maut sedang bergerak cepat membinasakan umat manusia di papua. Kalau gereja Tuhan tidak segera sadar diri dan kembali kepada panggilan gerejanya yang diamanatkan dalam kitab matius pasal 28 dalam Bible, gereja bangkit untuk menginjili Papua dengan injil, maka sejarah papua akan mencatat di masa yang akan datang bahwa perna di Papua hidup etnis Melanesia kulit hitam, tapi sudah terhapus etnis ini dari muka bumi karena bencana kemanusia berubah sakit penyakit dan kekejaman Negara yang berlansung secara masif, terstruktur dan systematis. Injil merupakan senjata ajaib dan dasyat yang dimiliki gereja Tuhan yang sanggup untuk menyelesaikan seluruh kompleksitas persoalan Papua dari integrasi sampai hari ini. Bangkitlah gereja Tuhan dengan pedang injilmu dan segera terlibat dalam penyelesain masalah Papua. Di dalam tanganmulah Gereja tuhan, umat manusia di tanah ini meletakan nasib dan harapannya. #

___________
 *) Penulis adalah Youth Pastor di Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Sentani dan Dosen  Hubungan Internasional Fisip UNCEN.

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - Februari 2015)

Menghidupkan Visi Papua Tanah Damai (Menyambut Hari Papua Tanah Damai)

Penulis : Ridwan al-Makassary*)


  TANGGAL  5 Februari 2015, kita kembali disapa oleh hari Papua Tanah Damai atau Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua. Namu, Papua, pulau Cenderawasih, sejak bergabung ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan referendum tahun 1969, terus dihantui ancaman konflik vertikal yang laten antara para pejuang Papua merdeka (OPM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam teori konflik, Papua mengalami konflik sosial yang berlarut-larut (proctracted social conflict). Selain itu, ancaman laten konflik bernuansa etnik-agama (communal conflict),yang akar tungganya adalah persoalan ketidakadilan dan marjinalisasi.
   Sejauh ini preferensi menggunakan pendekatan keamanan yang eksesif di Papua hanya menyelesaikan kompleksitas masalah secara parsial dan bahkan kerap menyuburkan dendam dan kemarahan yang menumpuk  bagi keluarga korban. Pendekatan agama, budaya (termasuk adat)—pendekatan dalam istilah Velix V. Wanggai, mantan staf khusus Presiden RI bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, “Menata Papua Dengan hati--kerap lebih berhasil dalam penciptaan “Papua Tanah Damai” namun belum dimaksimalkan oleh pihak pemerintah Indonesia, termasuk pada masa pemerintahan Joko Widodo. Kasus Paniai berdarah beberapa waktu lalu adalah bukti bahwa komitmen non-kekerasan masih tanda tanya.
   Proyek “Papua Tanah Damai”, sejatinya, dideklarasikan tahun 2002 oleh para pimpinan agama sePapua sebagai respons atas pengabaian hak-hak sipil dan politik (civil and political rights/CPR) serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, cultural and social rights/ESCR), pendekatan keamanan yang eksesif, kesenjangan kesejahteraan di Papua dan fenomena penghancuran rumah ibadah di luar Papua. Singkatnya permasalahan tersebut yang menjadi raison d’etre proyek Papua Tanah Damai”.     
  Forum Komunikasi Para Pimpinan Agama (FKPPA) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). sebagai deklarator dan membidani gagasan “Papua Tanah Damai” di antaranya telah melakukan beberapa kegiatan untuk terwujudnya perdamaian di antaranya dengan menetapkan tanggal 5 Februari sebagai Hari Damai di Papua dan 21 September sebagai Hari Damai Sedunia, beberapa kali seminar, dan studi banding ke Mindanau, dll. 
   Pdt. Hermann Saud, M.Th, Ketua FKPPA/FKUB Provinsi Papua, pada seminar tentang “Papua Tanah Damai” tanggal 4 Februari 2013, yang bertempat di kantor Gubernur Jayapura, menuturkan bahwa terdapat sejumlah tantangan kekinian dalam mewujudkan “Papua Tanah Damai” di antaranya suburnya sikap dogmatisme-skripturalisme keagamaan, tirani mayoritas dalam beragama, dan kooperasi yang rendah antara komunitas agama di bidang keduniaan, misalnya kesehatan, pendidikan dan ekonomi.
   Konflik vertikal adalah hal yang mesti dicari solusinya. Salah satunya dengan dialog. Bentuk dan kontennya mesti menyiratkan keinginan untuk menyatukan bukan semata-mata untuk memisahkan. Sementara itu, benih-benih konflik antara komunitas Muslim dan Kristen telah tumbuh sedemikian rupa. Hal tersebut ditandai dengan terpatrinya kecurigaan (suspicion) dan prasangka (prejudice) sebagian komunitas Kristen terhadap perkembangan Islam (Islamisasi) yang masif.  Sebaliknya komunitas Muslim juga mencurigai penguatan Kristenisasi seperti adanya gejala tuntutan pemberlakuan perda Injil di Manokwari, Papua Barat, beberapa waktu lampau. Di kota Jayapura, Papua, misalnya, terjadi penolakan sebagian warga Kristen terhadap menjamurnya bank-bank Syariat, bank Muamalat, Pusat Studi Islam dan rencana pembangunan masjid/musalla di Universitas Cenderawasih. Fenomena itu adalah akibat nyata kecurigaan dan prasangka tersebut. Bahkan, eksklusifisme keagamaan telah menggerakkan pendulum sejarah kerukunan antar agama yang terjalin baik di Pulau Papua ke titik ekstrem: Konflik antar iman.  Tahun 2007,  misalnya,  telah terjadi konflik skala kecil antara Muslim dan Kristen di Manokwari dan Kaimana, Provinsi Papua Barat. Konflik yang hingga hari ini masih menyisakan mimpi buruk (night mare) bagi warga di sana.
   International Crises Group (ICG), dalam laporannya Indonesia: Communal Tensions in Papua, Asia Report N°154 – 16 June 2008, menyebutkan beberapa faktor kunci yang menyebabkan konflik di Papua adalah migrasi kelompok-kelompok Muslim ke berbagai wilayah di tanah air; kemunculan kelompok-kelompok eksklusif baru di dalam dua komunitas (Islam dan Kristen) yang memandang satu sama lain sebagai musuh; akibat sisa-sisa ekslusifitas lama dari konflik Maluku, dan akibat dari pembangunan yang ekstensif di luar Papua.
  Pihak Islam moderat, seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menyadari betul signifikansi pembangunan moderatisme di antara komunitas agama-etnik dan adat yang berbeda terutama untuk mencegah penyebaran ajaran agama radikal yang dapat berujung pada konflik kekerasan. Memang, yang pernah terjadi sejauh ini  hanyalah konfrontasi ringan dan benih-benih kecurigaan antara komunitas agama dan etnis, seperti dipaparkan di atas. Meskipun demikian, ketika bangunan eksklusifitas semakin kuat dan hadirnya faktor pemicu, maka konflik kekerasan  yang melibatkan komunitas-komunitas agama, etnis dan adat sewaktu-waktu dapat terjadi.
   Secara teoritik, dalam upaya memperkuat proses pembangunan perdamaian, agama adalah salah satu faktor kunci yang dapat dipertimbangkan sangat penting selain ekonomi dan politik. Ketiga faktor tersebut kerap berkelindan dalam terjadinya konflik kekerasan. Apa yang disebut sebagai “ambivalence of the sacred” terdapat di semua tradisi agama besar (Abrahamic Religion), di mana ia tidak hanya berfungsi sebagai sumber perdamaian, melainkan juga dapat menjustifikasi konflik dan perang  (See Oliver Ramsbothan (et all), Contemporary Conflict Resolution, h. 31)
   Sementara itu, adat merupakan sebuah penanda penting dari eksistensi sebuah kelompok etnik dan budaya. Karenanya, adat mesti dilindungi sebab ia di antaranya dapat berfungsi untuk menyaring elemen-elemen budaya luar yang hadir untuk merusak dan menggerus budaya yang eksis.  Misalnya, radikalisme agama dapat mengancam eksistesi budaya yang eksis, dan juga praktik komunalitas eksklusif kerap ditolak oleh komunitas adat sebagai sesuatu yang asing. Di Papua terdapat 250 kelompok etnik, dialek, budaya,  dan wilayah adat. Orang asli (theindigenous people) terdiri dari ribuan marga  dengan stratifikasi dan strata sosial mereka (La Pona, Penduduk, “Otonomi Khusus dan Fenomena Konflik di Tanah Papua”, Jurnal Kependudukan Indonesia, 2008).
  Dalam nada yang sama, Velix V. Wanggai (2012, h. 294) dalam Pembangunan untuk Semua Mengelola Pembangunan Regional ala SBY, menuturkan bahwa “Adat telah mempersatukan manusia Papua yang berbeda keyakinan keagamaan dalam ikatan toleransi dan rasa hormat yang tinggi. Ikatan sosial dalam satu marga (fam), satu klan (keref) satu suku atau bahkan sama sekali tak memiliki hubungan darah maupun suku terasa sangat kuat satu sama lainnya”. Poinnya adalah adat sangat penting dalam proyek “Papua Tanah Damai”.
   Karenanya, memimpikan terwujudnya “Papua Tanah Damai” mesti memperhitungkan dan melibatkan partisipasi aktif agamawan, pemimpin etnik, pemuka adat yang memiliki otoritasi religi, etnik dan adat yang dalam terminology Weber disebut sebagai “charisma”. Pemimpin etnik/adat ini penting dilibatkan sebagai penggerak perdamiaan (peace drivers) oleh karena di Papua, terutama di wilayah pegunungan, eksistensi mereka sangat kuat. Sebagai prototype masyarakat patron-client, mereka ini memanggul tanggung jawab atas segala hajat hidup-mati anggota sukunya, namun saat yang sama ia menagih loyalitas total dari anggotanya. Ini yang menjelaskan kenapa penggunaan sistem noken dalam pilgub Papua yang baru saja digelar memperoleh legitimasinya. 
   Sebagai kesimpulan, visi Papua Tanah Damai meniscayakan pengarusutamaan cara berteologi yang moderat, inklusif, rasional di kalangan para pimpinan agama, etnik dan adat di Papua. Misalnya, pembumian teologi damai di kalangan Kristen seperti teologi pembebasan (liberation theology) di Amerika Latin, teologi hitam (black theology) di Afrika Selatan dan teologi Minjung di Korea. Poinnya adalah teologi yang menganjurkan damai, kerja sama dan melawan prinsip-prinsip korup, zalim, absolutisme kekuasaan. Islam, misalnya, bisa mengembangangkan teologi inklusif dan Islam akomodatif terhadap budaya-budaya lokal di Papua.  Sejauh ini pihak Kristen di Papua menggerakkan teologi damai sesuatu yang dibutuhkan dalam pembangunan perdamaian yang sinambung. Jika ini bisa dimaksimalkan, maka visi Papua Tanah Damai bukanlah sesuatu yang utopis. ***

*)Penulis adalah Dosen Jurusan Hubungan Internasional USTJ Jayapura, yang sedang mengikuti training perdamaian internasional di Rotary Peace Center Universitas Chulalongkorn, Thailand.

( Tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos 2015)



Memaknai Kembali Visi Papua Tanah Damai

(Menyambut hari Papua Tanah Damai, 5 Februari 2016)
Oleh: Ridwan al-Makassary
TAHUN 2015 yang baru kita lewati adalah tahun yang suram dan menyedihkan bagi citra kerukunan  agama di Tanah Papua. Masih tertanam kuat di rerimbun ingatan akan kasus Insiden Tolikara 17 Juli 2015, yang cukup menghancurleburkan persepsi orang tentang kerukunan yang telah terjalin kokoh selama 200-an tahun antara penganut Kristen dan Muslim di Tanah yang diberkati ini. Tidak sampai di situ, kasus penolakan pembangunan Masjid Rahmatan Lil Alamin di Kota Manokwari oleh komunitas Kristen, yang hampir berujung bentrok menambah bopeng wajah kerukunan beragama di Tanah Papua.   
 Lebih jauh, mungkin beritanya tidak seheboh insiden Tolikara yang mengglobal, yaitu menjelang hari Raya Natal, Maulid Nabi Muhammad SAW dan tahun baru 2016 di Kota Jayapura suasana tegang sempat tercipta oleh karena Ja’far Umar Thalib (JUT) dan santrinya yang berusia puluhan ditengarai berada di Koya Barat, Kota Jayapura, di Distrik Muara Tami. 
 Sempat terjadi insiden kecil antara pemuda pondok natal dengan pengikut Ja’far Umar Thalib karena masalah Towa (speaker) yang saling “berkompetisi” antara kidung pujian dan azan (panggilan) sholat. Sesuatu yang menurut saya, semestinya bisa dikomunikasikan secara kekeluargaan antara kedua belah pihak. Selain itu, saya tetap berpandangan bahwa Papua tetap menjadi contoh toleransi jenial di Indonesia, terbukti meraih peringkat ke-3 Harmony Award  tahun 2015 untuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tingkat Provinsi di tanah air.
 Namun, masalah  JUT itu terlanjur menjadi isu publik (public issues), kalau meminjam istilah dari C. Wright Mills, oleh karena menerbitkan perasaan ketakutan dan keresahan yang kuat  menggayuti benak sebagian besar umat beragama, yang damba pada kerukunan yang telah terjalin baik. 
 Hal-hal yang merisaukan publik, terutama mengingat jejak rekam JUT di Kota Ambon dan Yogyakarta. Keterlibatan beliau memimpin Laskar Jihad di Ambon dan bagaimana sepak terjangnya  di sana, serta kisahnya di Yogyakarta 2 tahun lalu, yang pengikutnya melakukan demonstrasi yang cenderung anarkhis—berdasarkan cerita seorang pejuang Interfaith di Kota Gudeg itu, telah menakutkan para pimpinan umat beragama di Tanah Papua, khususnya di Kota Jayapura.
  Saya yang ketika itu menjadi moderator dalam Acara Semiloka FKUB Kota Jayapura di Hotel Sahid (pertengahan Desember 2015)  juga kaget bersama para peserta karena pak Walikota Jayapura, Dr, Drs, Benhur Tommy Mano, MM, pemimpin pluralis dari negeri matahari terbit, menyampaikan kepada kami bahwa ada berita kehadiran mantan pemimpin perang di Ambon yang sudah 2 bulan berada di Kota Jayapura dan sempat ada keributan antara pemuda pondok natal dengan pengikut JUT. Mengingat menjelang Natal dan Tahun Baru 2016, serta bayangan kelam Insiden Tolikara sempat membuat kanopi ketakutan di kalangan umat beragama.
 Saya dan tim (Ketua: Pak Syamsuddin, Thoha Al-Hamid, Dr. Toni Wanggai, ketua MUI Kota) untuk ke lapangan yang dibentuk Walikota dalam rapat Muspida di kantor Walikota telah meninjau lokasi dan melakukan rapat terbatas dengan stakeholder di Koya Barat dan juga menemui JUT di rumah kontrakannya. 
 Secara singkat, pertemuan kami dengan JUT dan timnya lebih bernuansa silaturahmi dan ingin mengetahui lebih jauh tujuannya jauh-jauh ke Jayapura. Ternyata dari penuturannya dia hendak membangun pesantren sejenis pesantrennya di Kota Yogyakarta dengan alas an moral Indonesia telah rusak dan akan diperbaiki lewat pesantrennya. Demikian alas an yang dia kemukakan. Tapi, menurut saya, berdasarkan data-data yang valid yang saya peroleh bisa jadi itu hanya alas an karena orang ini berbahaya yang telah menciptakan terror di kota Amboon dan Poso. 
 Berkat kesigapan aparat keamanan, Pemkot, FKUB dan kerjasama pemuda lintas iman  dalam menjaga gereja di malam natal, Jayapura bisa melalui tiga peristiwa penting yang disebut di atas secara damai. Perkembangan terakhir, JUT masih bergeming di Kota Jayapura untuk membangun pesantren, meskipun  dalam rapat Majelis Ulama Indonesia di Kota Jayapura, 27 Desember 2015, Ormas Islam menolak idenya untuk membangun pesantren dan bersikukuh tetap di Kota Jayapura sehingga ada surat “pengusiran” dari pemerintah kota. Saya berpandangan sebaikanya dengan penolakan dari Ormas Islam itu cukup menjadi bukti bahwa kehadirannya di Kota Jayapura meresahkan dan mestinya ada pilihan sadar untuk meninggalkan Kota Jayapura sesegera mungkin.
 Karenanya, menyambut hari Papua Tanah Damai  kita mesti mereflesikan kembali dua pristiwa penting tentang hari  Papua Tanah Damai tersebut. Pertama, peristiwa historik pada 5 Februari 2002, di mana para pimpinan agama yang tergabung dalam Forum Komunikasi Para Pimpinan Agama menyepakati deklarasi Papua Tanah Damai. 
 Raison d’tre  kelahiran visi Papua Tanah Damai sebagai respons atas pengabaian hak-hak sipil dan politik (civil and political rights/CPR) serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, cultural and social rights/ESCR), pendekatan keamanan yang eksesif, kesenjangan kesejahteraan di Papua dan fenomena penghancuran rumah ibadah di luar Papua. Selain itu, bagaimana mencegah terjadinya konflik bernunasa agama seperti terjadi di Ambon dan Poso. Cara memaknai dalam era kekinian adalah menjaga Papua Tanah Damai untuk tidak dicederai, di antaranya oleh orang seperti JUT.
  Sejauh ini, terdapat 4 tantangan dan ancaman kerukunan di Tanah Papua: Satu, primordialisme keagamaan yang berlebihan. Misalnya, kehadiran JUT masuk dalam kategori ini. Kedua, Primordialisme etnik berlebihan. Ketiga, Marjinalisasi orang asli Papua, di mana sejauh ini mereka belum merasakan manfaat dari pembangunan. Keempat, perubahan sosial akibat ledakan transmigran yang datang ke Papua.
 Secara khusus di Jayapura, FKUB kota Jayapura, FKUB Provinsi Papua dan Sub Divisi Hukum dan KUB Kanwil Kementrian Agama Papua menghidupkan kembali visi Papua Tanah Damai dengan mengadakan kegiatan-kegiatan kerukunan dan toleransi. 
 FKUB kota Jayapura bekerjasama dengan Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura melaksanakan workshop “Mewujudkan Kota Jayapura sebagai Kota Toleransi di Tanah Papua”. Saya yang dipercaya memandu workshop membagi peserta yang jumlahnya 70 orang (pemimpin agama, paguyuban, skpd)  dibagi 3 kelompok dan mendiskusikan 3 poin: Satu, ancaman terhadap toleransi di Kota Jayapura; kedua, faktor positif pencegah intoleransi di Kota Jayapura; dan pernyataan sikap untuk mewujudkan kota Jayapura sebagai kota toleransi di Tanah Papua.
 Menurut saya, para peserta sangat antusias dan bahkan meminta waktu tambahan untuk berdiskusi. Beberapa poin penting adalah semua peserta yang hadir dalam diskusi menolak kehadiran Ja’far Umar Thalib dan meminta para Ondoafi jangan menjual tanahnya untuk pembangunan pesantren, karena pemahaman yang cenderung radikal dan jejak rekam yang menakutkan di Ambon. Poin lain, kegiatan positif semacam ini mesti sering dilakukan dengan audiens yang lebih luas sehingga kota Jayapura bisa menjadi kota toleransi di Tanah Papua.  
 Lebih jauh saya berpandangan bahwa dari segi sosiologis dan resolusi konflik, kehadiran Ja’far Umar Thalib sudah menjadi public issue, dan juga apa yang disuarakan oleh peserta dapat dilihat terbagunnya kesadaran umat beragama untuk mencegah konflik (conflict prevention), karena mereka khawatir terhadap paham radikal, suka mengkafir-kafirkan pihak di luar kelompok mereka dan jejak masa silam uztas Ja’far Umar Thalib dan pengikutnya yang membuat takut. 
 Pungkasannya, dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan kerukunan seperti tergambar di atas, Papua Tanah Damai adalah visi yang dapat menyatukan umat beragama untuk merengkuh perdamaian dan kerukunan di Papua, surga kecil yang jatuh ke bumi.***

Penulis: staf khusus FKUB Papua dan Dosen Jurusan Hubungan Internasional USTJ Papua.  
( artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos Februari 2016)

Rabu, 04 Februari 2015

Melawan Lupa, Jelang HUT PI Ke 160 Di Tanah Papua

Oleh: Yan Christian Warinussy *)

   TANGGAL 5 Februari 2015 mendatang, Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua bersama seluruh umatnya dan segenap rakyat Papua beserta denominasi gereja-gereja akan merayakan ulang tahun ke 160, masuknya Injil di Tanah Papua. 
  Kabar sukacita itu telah di bawa masuk seiring dengan mendaratnya 2 (dua) orang Zendeling (Penginjil) asal Jerman, Carl Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler di pantai pasir putih di Pulau Mansinam, di depan bibir Teluk Doreh, yang kini dikenal dengan nama Teluk Doreri.
   Kala itu mereka berjumpa dengan wajah-wajah sangar dan tidak bersahabat dari penduduk Pulau tersebut yang bahasanyapun belum diketahui oleh Ottow dan Geissler, yang saat itu hanya ditemani seorang anak muda bernama Fritz (12) yang adalah anak dari guru di Ternate yang diserahkannya kepada kedua zendeling guna menjai pelayan mereka. 
  Kedua Zendeling tersebut sempat dipandang oleh orang asli Pulau Mansinam tersebut sebagai orang asing yang hendak datang untuk merampas kebebasan mereka,sehingga cepat atau lambat keduanya harus disingkirkan. 
  Perjalanan Ottow dan Geissler dari negeri Jerman ke Tanah Papua kala itu (1855) berlangsung dalam waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana ditulis dalam buku : Fajar Merekah di Tanah Papua : Hidup dan Karya Rasuk Papua Johann Gottlob Geissler (1830-1870) dan warisannya untuk masa kini, yang disunting oleh Pdt.DR.Rainer Scheunemann, terbitana Panitia Jubelium Emas 150 Tahun Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua, tahun 2004.
  Perjalanan panjang ke Tanah Papua dimulai dari Berlin-Jerman ke Belanda pada tahun 1852 yang menurut catatan Geissler, Tanah Papua (New Guinea) adalah tanah tujuan dan kerinduannya.Dari Berlin ke Belanda perjalanan mereka sebagian besar ditempuh dengan berjalan kaki untuk menghemat biaya.
  Pada tanggal 26 Juni 1852 malam hari, Ottow dan Geissler berangkat  dari Rotterdam, Belanda menuju Batavia (kini Jakarta) dengan menumpang kapal Abel Tasman. 
  Tanggal 7 Oktober 1852 mereka tiba di dengan selamat di Batavia dan kesabaran mereka diuji, karena mereka harus menunggu disana selama kurang lebih 2 (dua) tahun, yaitu tepatnya pada bulan April 1854 barulah ada kesempatan untuk mereka meninggalkan Batavia untuk menuju tanah kerinduan mereka, yaitu Papua.
  Kenapa mereka menuju Pulau Mansinam? Karena di Batavia ada seorang saudagar muda bernama Ring yang telah mendirikan sebuah perkumpulan misi, dan dia mendapat informasi, bahwa di Pulau kecil Mansinam dekat Manokwari hidup orang-orang yang terbuka. Menurut catatan bahwa waktu itu (1854), Tanah Papua tertutup dan penduduknya dianggap buas dan menolak orang asing.
  Perjalanan dari Batavia menuju ke Ternate, wilayah otoritas pemerintahan Kesultanan Tidora waktu itu, dimana Sultan Tidore sendiri  tidak keberatan apabila kedua rasul tersebut datang ke Mansinam. Hal itu ditandai dengan diberikannya surat jalan kepada kedua sendeling oleh Sultan Tidode yang oleh penduduk Pulau Mansinam diakui kekuasaannya di bawah Pemerintahan Belanda saat itu.
  Pelayaran dari Ternate dengan menumpang kapal Ternate pada bulan Januari 1855 itu akhirnya tiba di Pulau Mansinam pada tanggal 5 Februari 1855 tepat pukul 6 pagi bersamaan dengan fajar yang merekah di ufuk Timur Tanah Papua, jangkar kapal dibuang untuk berlabuh di Teluk Doreh.
  Keberadaan merka kemudian di Pulau Mansinam ketika itu, dimulai dengan tinggal sementara waktu di sebuah gubuk peninggalan pelaut di tepi pantai pulau tersebut dan mereka berupaya dapat mencapai pantai Mnukwar (kini Manokwari) dengan mulai membuat perahu.
  Ketika mereka berhasil membuat sebuah perahu yang dapat mengantar mereka berdayung hingga tiba di bibir pantai Manukwar, mereka mendapati seluruh pantai dipenuhi hutan rimba. Sehingga merka beberapa hari harus bekerja menebangi pohon-pohon dan pada malam harinya mereka mendayung kembali ke Mansinam.
  Akibat keras bekerja itu, maka mereka bertiga (ootow, Geissler dan Fritz) sempat jatuh sakit secara beruntun, walau akhirnya mereka bisa pulih setelah diserang penyakit malaria waktu itu. Akan tetapi semangat mereka untuk membuka tabir peradaban hidup Orang Papua yang dipandang primitif, sangar, buas dan tidak bersahabat telah mendorong mereka untuk terus kuat bertahan dan bekerja selama mungkin.
  Hasilnya untuk kepentingan komunikasi, maka mereka mempelajari bahasa lokal penduduk Mansinam, yaitu Bahasa Numfor (Mafoor), dan mereka juga berhasil menyusun sebuah kamus berisi 1500 kata dalam bahasa Numfor yang diserahkannya kepada komisi ilmu pengetahuan Belanda yang diutus ke Mansinam pada tahun 1858.
  Dengan modal memahami bahasa Numfor inilah dengan ditambah pemahaman atas bahasa Melayu, maka proses penginjilan dapat berjalan dengan semakin baik di Pulau Mansinam dan Manokwari, sebagai tempat pertama Injil Kristus mulai ditanamkan oleh kedua Rasul tersebut. 
   Hal itu terbukti nyata, ketika mereka berdua dapat mengajarkan Doa Bapa Kami dalam bahasa Numfor yang menjadi alat ampuh untuk semakin mendekatkan pemahaman dan hubungan mereka dalam konteks penginjilan dengan orang-orang asli di Pulau Mansinam pada masa tersebut.
  Tantangan dalam penginjilan juga dihadapi bukan saja dari penduduk asli PUlau Mansinam saja, tetapi juga dari para bajak laut yang seringkali datang ke Pulau tersebut dengan tujuan merampok dan membunuh. 
  Ottow dan Geissler seringkali terlibat dalam upaya mereka membela penduduk pulau Mansinam dengan mengejar dan berupaya membebaskan para tawanan bajak laut tersebut. 
  Pembebasan itu tidak dicapai dengan cara-cara mudah, karena kedua zendeling juga harus terlibat pertarungan fisik yang sengit dan melelahkan dengan para bajak laut tersebut. Ini menjadi bukti betapa tantangan yang dihdapi para zendeling tersebut tidak mudah dan sangat berat saat itu.
   Pada tanggal 9 November 1862, Ottow meninggal dunia di Manokwari dan dimakamkan dimakamkan, hingga kuburnya masih ada saat ini di Kwawi, Manokwari. Kemudian Geissler wafat pada tanggal 11 Juni 1870 di Siegen, Jerman.
   Meskipun kedua zendeling tersebut sudah wafat,  tetapi buah dari pekerjaan mereka yang pertama kali mendaratkan Injil di Pulau Mansinam, Tanah Doreri tersebut hingga saat ini telah berbuah dan bertambah banyak memenuhi seluruh persada Tanah Papua. Sehingga senantiasa diperingati oleh kalangan Gereja Kristen maupun dengan dukungan pemerintah daerah ini sebagai suatu waktu dimana peradaban orang-orang asli Papua telah dirubah dari sebutan dahulu sebagai bangsa biadab menjadi bangsa yang beradab dan memiliki martabat dan hak asasi yang sama dengan seluruh penduduk bumi ini.***

*Penulis adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari - Sekretaris Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan pada Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari - Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada - Anggota Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua - Salah satu Pembela HAM (Human Right Defender/HRD) di Tanah Papua. 

( Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - Februari 2015)

Senin, 02 Februari 2015

Imsi dan Manggo Membuka Pintu Bagi Injil di Lembah Grime dan Nawa

(Sebuah Refleksi Pada Perayaan HUT Pekabaran Injil Ke 160 Di Tanah Papua)

Oleh : John Lensru *)

  BESOK tanggal 5 Pebruari 2015, kita, khususnya warga Kristiani di Tanah Papua akan merayakan Hari Ulang Tahun Pekabaran Injil yang ke 160 tahun di Tanah Papua. Sudah pasti, para Pendeta, Vikaris, Penginjil, Guru Jemaat dan Penatua yang memimpin ibadah HUT PI akan menyebut nama Ottow dan Geissler sebagai Rasul orang Papua. Bahkan sikap masyarakat Numfor (penduduk pribumi) di pulau Mansinam terhadap kedua insan tersebut, baik positif maupun negatif akan diuraikan secara panjang lebar. Semuanya itu dilakukan, dengan satu tujuan yaitu : untuk mengajak kita melihat dan/atau merenungkan bagaimana Kuasa Roh Allah menggerakan, baik hamba-hamba-Nya dari Eropa, maupun anak-anak-Nya di Tanah Papua, untuk berusaha menanamkan benih Injil di Tanah Papua yang dimulai dari pulau Mansinam.
   Tak ada salahnya, pada moment HUT PI ke 160 ini juga kita menceriterakan dan/atau merenungkan hal yang sama yang terjadi di kampung/ daerah kita masing-masing, khususnya tentang bagaimana Roh Allah menggerakan nenek-moyang/leluhur kita bersama hamba-hamba-Nya, untuk memberitakan dan/atau menanamkan benih Injil di kampung/ daerah kita masing-masing. Berikut ini, penulis akan menyampaikan sekilas tentang bagaimana penduduk pribumi Papua dari Lembah Grime dan Nawa berusaha merebut benih Injil untuk ditanam di daerahnya, di bawah judul “Imsi Dan Manggo Membuka Pintu Bagi Injil Di Lembah Grime Dan Nawa”    
   Imsi Dan Manggo, adalah nama kedua tokoh adat dari Lembah Grime, khususnya dari kampung Imeno, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura. Nama lengkapnya, adalah Imsi-dikie dari keret Dekeniap dan Manggo-dewem-temang dari keret Maimbu/Giay. Setelah Injil masuk di Nimboran, khususnya di kampung Imeno yang ditandai dengan pembaptisan pada tanggal 16 Pebruari 1936, maka pada saat itu Manggo-dewem-temang dibaptis dengan nama : Abraham, sehingga lengkapnya dipanggil : Manggo Abraham Giay. Sedangkan rekannya Imsie-dikie tidak dibaptis, sehingga dia tetap dipanggil dengan nama adat Imsie-dikie Dekeniap.
   Ketika pengaruh modernisasi mulai masuk di wilayah lembah Grime dan Nawa pada awal abad ke 20, tepatnya pada tahun 1900-an, yang diawali dengan kegiatan para pemburu burung kuning/Cenderawasih, maka Imsi, Manggo serta Nenu dan teman-teman pemuda Genyem lainnya mulai tampil dan memainkan peran sebagai katalisator modernisasi yang tangguh pada saat itu, karena terlibat langsung dalam aktivitas perburuan burung Cenderawasih dan berbagai aktivitas modernisasi lainnya, termasuk kegiatan dari Team Expedisi Wichmann & Lorenzt pada tahun 1903. 
    Sedari tahun 1900 hingga tahun 1918 atau selama kurang lebih 18 tahun mereka terlibat dalam kegiatan perburuan burung kuning/Cenderawasih bersama pemuda-pemuda dari Maluku, Sangir Talaud, Tobelo dan Ternate yang dipimpin oleh Asang dan Badoun. Disamping bekerja sebagai tenaga porter dan/atau penunjuk jalan, mereka juga belajar bahasa Melayu ragam Maluku serta latihan menembak dengan menggunakan senjata api. Lama-kelamaan mereka mahir sehingga dapat tampil sebagai penembak-penembak burung Cenderawasih yang ulung. Hasil buruannya dijual kepada para pedagang yang dikoordinir oleh J.M.Dumas (seorang pedagang asal Cina/Hongaria ??) di Metudebi, yang pada saat itu menjadi pusat perdagangan buluh burung Cenderawasih dan hasil hutan lainnya.
   Mereka mulai memburu burung Cenderawasih dari Lembah Grime, Nawa, terus ke daerah Mamberamo, Arso, Waris serta daerah perbatasan dan sekitarnya, kemudian kembali ke pangkalannya yang pada saat itu dibuka di kampungnya Nenu Demotekay di Waitebu/Singgri, Genyem. Berbulan-bulan mereka di rimbah raya, tinggalkan anak isteri di kampung, demi memburu burung Cenderawasih dengan upah berupa garam, korek api, kain, cermin, pisau, dan bahan kontak lainnya. 
    Pada suatu saat, setelah mereka kembali dari perburuan, dan sebelum membawa hasil buruannya untuk dijual di Metudebi, mereka beristirahat di kampung Waitebu/Singgri. Pada saat itu, isteri Nenu memberikan sepucuk surat kepada para pemburu Maluku yang dititipkan oleh teman-teman mereka dari Demta. Ketika para pemburu membaca surat tersebut, maka menangislah mereka dengan terseduh-seduh, karena isi suratnya menceriterakan, bahwa isteri dan anak dari salah seorang teman mereka sudah meninggal dunia.
    Melihat peristiwa itu, maka Nenu dan teman-temannya dari Nimboran menjadi heran dan masing-masing bertanya, apa gerangan sehingga teman-teman mereka dari Maluku menangis terseduh-seduh? Tak ada yang marah atau pukul mereka, tapi mereka menangis terseduh-seduh. Nenu yang bisa berbahasa Melayu ragam Maluku pun mulai memberanikan diri dan bertanya kepada Asang dan Badoun, tentang alasan mereka menangis. Asang dan Badoun menceriterakan, bahwa isteri dan anak dari salah satu teman mereka telah meninggal dunia. Nenu pun bertanya lagi, siapa yang memberitahukan/ menyampaikan berita kematian itu ? Asang dan temannya menjawab, bahwa kami baca dalam surat ini, sambil menunjukan selembar kertas yang bercoretan huruf-huruf. Nenu dan teman-temannya tetap penasaran dan ingin tahu lebih lanjut, sehingga Nenu menjemput surat dari tangan temannya dan menempelkannya pada telinga dengan harapan bisa mendengar berita kematian itu. Namun surat yang adalah selembar kertas yang bercoretan huruf-huruf, tetap membisu di telinga Nenu.
    Memperhatikan gerakan Nenu yang demikian, maka sadarlah teman-teman mereka dari Maluku, bahwa Nenu dan teman-temannya dari Nimboran tidak mengerti tentang arti “surat”. Maka Asang dan Badoun mulai menjelaskan, bahwa ini adalah surat, yaitu selembar kertas yang diatasnya ditulis berita kematian dengan huruf oleh keluarga mereka di Maluku. Kemudian surat ini dikirim dengan menggunakan kapal laut kepada mereka melalui Demta. Untuk menulis surat ini, kami diajar oleh Guru Belanda. Kalau kalian (orang Nimboran) ingin tulis dan baca seperti kami, kalian harus pergi minta guru kepada Pendeta dan Pemerintah Belanda di Hollandia, supaya guru itu bisa mengajar kalian orang Nimboran sehingga orang Nimboran juga bisa tahu menulis dan membaca seperti kami.
    Setelah mengikuti penjelasan dari Asang dan temannya, maka pada saat itu Nenu dan teman-temannya dari Nimboran menjadi sadar, bahwa selama ini mereka dibohongi oleh para pemburu (orang Maluku) untuk mencari burung Cenderawasih. Berbulan-bulan mengembara di hutan rimba, naik-turun gunung, digigit nyamuk, kehujanan serta basah kuyup dan kedinginan, hanya untuk kepentingan para pedagang. Sebab itu, keesokan harinya, Nenu meniup triton petanda mengundang semua teman-temannya untuk datang menemuinya di kampung Waitebu/Singgri. Kepada teman-temannya yang terlibat dalam aktivitas perburuan burung Cenderawasih, termasuk Imsi-dekie dan Manggo-dewem-temang dari kampong Imeno, Nenu menjelaskan, bahwa kita dibohongi oleh teman-teman kita dari Maluku dengan diajak untuk memburu burung Cenderawasih. Sebaiknya kita hentikan kegiatan pemburuan burung Cenderawasih, dan kita harus segera ke Hollandia menemui Kepala Pemerintah dan Pendeta Belanda untuk meminta guru, supaya guru bisa mengajar anak-anak kita, sehingga anak-anak kita bisa tahu membaca dan menulis seperti orang-orang Maluku.
Setelah mengikuti penjelasan Nenu, maka mereka pun sepakat untuk menghentikan aktivitas perburuan burung kuning dan membuat rencana untuk mengunjungi pihak pemerintah dan zending di Hollandia. Kalau sebelumnya, mereka (orang-orang Grime dan Nawa) datang ke Hollandia untuk kepentingan perdagangan buluh burung Cenderawasih serta hasil hutan dan pengobatan bagi yang sakit dan/atau luka, tetapi sekarang kunjungan mereka ke Hollandia hanya untuk satu tujuan, yaitu meminta guru kepada zendeling Bijkerk dan J.A.Wasterval yang saat itu menjabat sebagai kontrolir pemerintah Belanda di Hollandia.
   Untuk itu, kira-kira pada hari Selasa tanggal 1 Oktober 1918, sekelompok pemuda Nimboran yang dipimpin oleh Imsi dan Manggo mulai berangkat dari kampung Imeno menuju pos Hollandia. Selama dua hari dalam perjalanan dan pada hari ke tiga (Kamis, 3 Oktober 1918) mereka tiba di Hollandia. Pada hari Jumat pagi tanggal 4 Oktober 1918, Imsi dan Manggo menemui Zendeling J.Bijkerk di rumahnya di Hollandia/Numbay. Bijkerk yang sudah biasa bergaul dengan mereka, tanpa ragu menerima kedua tokoh adat itu di rumahnya dan bertanya tentang maksud kedatangan mereka. 
   Kepada Bijkerk, Imsi dan Manggo menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka, yaitu : bahwa mereka berdua adalah tokoh adat dari kampung Imeno di Nimboran, yang datang menemui Bijkerk untuk meminta guru, guna mendidik anak-anak mereka (Nimboran), seperti yang terjadi pada tetangga mereka di pesisir pantai utara, khususnya di Demta. Keduanya juga menyatakan untuk siap membantu tenaga guru dengan memberikan perlindungan serta menyediakan tempat dan membangun rumah bagi guru. 
   Setelah mengikuti permintaan dan pernyataan Imsi dan Manggo, maka Bijkerk merasa, bahwa ini adalah panggilan Tuhan untuk memberitakan Injil di daerah pedalaman Nimboran. Sebab itu, dengan senang hati beliau menerima semua permintaan dari kedua tokoh adat itu dan berjanji akan berusaha untuk memenuhinya. Pada siang harinya, Bijkerk langsung melaporkan hasil pertemuannya itu secara ringkas kepada pihak Badan Pengurus Zending di Oegstgeest Negeri Belanda, melalui suratnya pada hari Jumat tanggal 4 Oktober 1918, bahwa “sebagai penutup surat ini, perlu saya melaporkan, bahwa tadi pagi saya dikunjungi oleh kepala kampung Imeno, sebuah kampung di daerah Nimboran yang padat penduduknya. Sebelumnya, mereka kunjungi saya untuk pengobatan dan saya menolong mereka dengan memberikan obat, bahkan pada tahun lalu (tahun 1917) saya menolong seorang pria yang terputus tangannya. Tapi kunjungan mereka sekarang, adalah untuk meminta tenaga guru bagi daerah Nimboran. Ini hal yang sangat menggembirakan. Kemungkinan, mereka dipengaruhi oleh perkembangan yang ada di daerah pantai, khususnya di Demta. Ini merupakan pintu masuk bagi Injil ke daerah pedalaman Nimboran yang harus kita manfaatkan secara baik dengan mempersiapkan segala sesuatu untuk memberitakan Injil ke daerah pedalaman.“ 
   Melalui surat atau laporan di atas, dapat diketahui, bahwa Bijkerk sangat senang dengan kunjungan Imsi dan Manggo, terutama permintaan dan/atau pernyataan mereka untuk minta tenaga guru yang menurut Bijkerk, merupakan gerbang (pintu masuk) bagi Injil ke daerah pedalaman Nimboran yang harus dimanfaatkan dengan cepat dan tepat. Namun karena keterbatasan tenaga dan dana, sehingga enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1924, Bijkerk bersama kedua temannya, yaitu Schneider dan De Neef mulai masuk ke daerah Nimboran. Mereka berhasil membuka Pos PI di Nimboran dan kemudian mereka memindahkan Pusat Pekabaran Injil dari Numbay ke Genyem. Karena Pos PI di Numbay telah dihancurkan oleh banjir sungai Anafre pada tanggal 23 Maret 1923.
    Sekalipun dalam konferensi para Zendeling pada Maret 1925 di Miei, sempat mempersoalkan pemindahan Pusat Pekabaran Injil ke Genjem, namun Zendeling Bijkerk tetap mempertahankan Genjem sebagai Pusat Pekabaran Injil yang baru untuk Tanah Tabi. Akhirnya peserta konferensi dan juga pihak Pengurus Zending di Belanda menyetujui untuk memindahkan Pusat PI dari Numbay ke Genjem. Salah satu hal yang mendorong Bijkerk untuk mempertahankan Genjem, karena Bijkerk sudah menjalin hubungan persaudaraan yang baik dan akrab dengan masyarakat adat di lembah Grime Nawa melalui Imsi dan Manggo selaku perwakilan mereka. 
   Selain itu, laporan Bijkerk juga turut memperkuat ceritera yang disampaikan oleh Imsi, Manggo dan Nenu kepada keturunannya tentang kunjungan mereka ke Hollandia untuk minta guru kepada Zendeling Bijkerk dan Kontrolir Wasterval. Sekalipun tak ada catatan/laporan tentang kunjungan Nenu dan kawan-kawannya kepada Kontrolir J.A.Wasterval, seperti yang dicatat dan/atau di laporkan oleh zendeling Bijkerk.
   Demikianlah sekilas catatan sejarah tentang kunjungan orang-orang dari Lembah Grime Nawa, khususnya Imsi, Manggo dan Nenu dari Nimboran ke Hollandia/Numbay pada tahun 1918, untuk meminta guru kepada pihak pemerintah dan zending yang diceriterakan oleh keturunannya serta diperkuat oleh surat Bjikerk pada tanggal 4 Oktober 1918, seperti yang tertera di atas.
   Kiranya catatan ini juga bisa dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita saat kita merayakan HUT PI ke 160 di Tanah Papua pada tanggal 5 Pebruari 2015, terutama kita merenungkan tentang bagaimana Kuasa Roh Allah menggerakan anak-anak-Nya, baik hamba-hamba-Nya dari Eropa, maupun leluhur kita untuk menghadirkan Kerajaan Allah di Tanah Papua pada umumnya, dan khususnya di kampung/daerah kita masing-masing. Tanpa kuat kuasa Roh Allah, mustahil Ottow, Geissler, Van Hasselt, dan kawan-kawanya bisa bertahan di Mansinam, hingga berita Injil bisa tersebar ke seluruh pelosok tanah Papua. Termasuk Imsi dan Manggo bisa tergerak untuk meminta guru kepada Zendeling Bijkerk di Numbay dan akhirnya pada tahun 1924, Bijkerk bersama kedua koleganya, yaitu Schneider dan De Neef bisa berhasil membuka Genjem sebagai Pusat Pekabaran Injil yang baru untuk tanah Tabi dan dari Genjem, Injil diberitakan terus hingga mencapai seluruh Tanah Tabi/MAMTA.
   Karena itu, di HUT PI yang berbahagia ini, kita patut memuji dan membesarkan nama Tuhan Allah semesta alam, bahwa“ Telah Kau cari akan daku dan kurindukan kasih-Mu. Ya, Tuhan Yesus brilah aku, di dalam kasih-Mu teduh. Terpilih dari dalam dunia, aku menjadi Tuhan punya.” Selamat Merayakan HUT Pekabaran Injil Yang Ke 160 Di Tanah Papua !!!



*) Penulis adalah Pemerhati Masyarakat Adat Di Tanah Papua
(pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos)