Jumat, 04 Maret 2016

Deklarasi Metu Debi dan Wacana Pemekaran Provinsi Tabi

Oleh: : Drs. Lodiwyk Nero , MSi

 AROMA  Perayaan HUT Kota Jayapura dan HUT PI ke- 106 Tahun 2016, telah menggema keseantero Kota Hen Citahi Yo Onomi T’mar Nehanased, bersamaan  itu penulis coba merefleksi nuansa perayaan HUT Kota Jayapura dengan mengkaji Wacana Pemekaran Provinsi Tabi yang sempat diluncurkan oleh elit politik lokal anak-anak Tabi menjelang HUT Kota Jaypura dan HUT PI ke-103 Tahun 2013 yang melahirkan sebuah Deklarasi pada tanggal 10 Maret 2013 yang di kenal dengan nama DEKLARAI METU DEMI.
 Wacana Pemekaran Provinsi Tabi diluncurkan oleh pemuda-pemudi Tabi di Sentani menjelang HUT Kota Jayapura dan HUT PI  serta adanya inisiatif Walikota Jayapura untuk melakukan pertemuan antar Kepala Daerah Se Tanah Tabi  di Pulau Peradaban Orang Tabi yaitu di Pulau Metu Debi.
 Bagaimana hubungan logis antara Wacana Pemekaran Provinsi Tabi dan Deklarasi Metu Debi, maka tulisan ini coba menelusuri kemungkinan sebuah wacana menjadi cikal bakal lahirnya  Daerah Otonomi Baru yang dapat di green desain berdasarkan Deklarasi Metu Debi.
WACANA PEMEKARAN PROVINSI TABI.
 Dasar Hukum Kebijakkan Pemekaran atau pembentukkan Daerah Otonomi Baru adalah UUD’ 45, sebagaimana tercantum dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah yang dirumuskan dalam pasal 18 beserta penjelasannya yaitu : Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi pula dalam Daerah yang lebih kecil. Daerah-Daerah bersifat otonom (Streek dan local Rechtsgement schappen) atau bersifat Daerah administratif belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
 Sebagai tindak lanjut pasal 18 UUD’45, telah dikeluarkan beberapa Undang-undang yang mengatur tentang Pemerintah Daerah, mulai UU. No. 1 Tahun 1945 sampai saat ini berlaku UU. No. 32 Tahun 2004, yang kemudian di implementasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukkan, penghapusan dan penggabungan Daerah.
 Wacana pemekaran Provinsi Tabi yang digulirkan dalam momen perjalanan sejarah peradaban orang Tabi yang bertepatan dengan HUT Kota Jayapura dan HUT PI di pulau peradaban Metu Debi pada tanggal 7 dan 10 Maret 2013 yang lalu, sempat memunculkan perdebatan antara para birokrat yang tiap orang memberikan komentar dan opininya berdasakan latar belakang dan referensi yang dimilikinya, namun selaku anak-anak Tabi Wacana tersebut adalah wajar dan memliki dasar hukum dan pembentukan Daerah Otonomi Baru bukan hal tabu dalam perjalanan penyelenggaraan 
 Pemerintahan di Tanah Papua dan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Pemekaran Daerah merupakan isue yang penting dalam penyelenggaraan otonomi Daerah dewasa ini. Dalam pemekaran Daerah terdapat suatu proses mata rantai sistem administrasi pemerintahan mulai dari penelusuran aspirasi masyarakat, perencanaan, proses pembentukan organisasi, kelembagaan dan kegiatan pemerintahan.
 Terbentuknya Daerah Otonomi Baru membawah dampak terjadinya hubungan politik administrasi antara pusat dan Daerah dan Daerah-Daerah lainnya. Secara internal dengan dibentuknya suatu Daerah Otonomi Baru, maka lahir pula supra struktur politik yang terdiri dari elit politik, birokrasi, badan legislatif dan infra struktur politik yang terdiri dari berbagai lembaga kemasyarakatan berikut publiknya. Sedangkan secara eksternal, suatu Daerah Otonomi Baru menciptakan pula jalinan hubungan politik administrasi antara pemerintah pusat dan Daerah yang menjadi lingkungan kerja Daerah Otonomi Baru hasil pemekaran.
 Terkait adanya wacana pemekaran Propinsi Tabi bahwa pembentukan Daerah Otonomi Baru atau pemekaran Wilayah merupakan trend penyelenggaraan desentralisasi dalam rangka otonomi Daerah. Pemekaran Wilayah telah diatur berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah, namun kenyataannya tuntutan Daerah baik Propinsi maupun kabupaten dan kota selalu mengalir dan sulit membendungnya, dimana isu politik lebih dominan ketimbang tujuan pembentukan Daerah Otonomi Baru yang sesungguhnya, yaitu rentang kendali pelayanan  pemerintah atau mendekatkan pelayanan pemerintah dalam rangka mempercepat terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera lahir dan batin.
 Wacana pemekaran Propinsi Tabi yang digulirkan pada Tahun 2013 terkesan adanya kecenderungan yang lebih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik ketimbang pertimbangan  obyektif dan rasional. Jika Wacana pemekaran Propinsi Tabi dipandang memiliki kecenderungan pertimbangan politik ketimbang pertimbangan obyektif dan rasional, lalu muncul pertanyaan kalau demikian bagaimana mengsiasati Wacana pemekaran Propinsi Tabi menjadi sebuah kenyataan ?
DEKLARASI METU DEBI.
Salah satu butir dari tuju butir deklarasi Metu Debi yang dipelopori oleh Walikota Jayapura bersama 4 (empat) pimpinan Daerah se Tanah Tabi yang telah mencetuskan sebuah gagasan cerdas yaitu : Tanah Tabi akan dijadikan sebagai kawasan pembangunan terpadu. 
 Tata ruang suatu masyarakat ditentukan oleh sistem budaya antara lain meliputi pengetahuan, kepercayaan, norma dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Tata ruang pembangunan kawasan terpadu Tanah Tabi menjadi kata kunci pembangunan yang dapat di graind desain oleh 5 pimpinan Daerah yang kini memimpin 4 kabupaten dan 1 kota di kawasan Tanah Tabi.  Graind Desain pembangunan tanah Tabi dapat dimulai dengan pembangunan infrastruktur dasar pembangunan yang terdiri dari jalan utama, pelabuhan laut, lapangan terbang serta pusat pertumbuhan ekonomi berbasis komoditas perwilayahan. Artinya bahwa infrastruktur dasar pembangunan di desain berdasarkan satu master pland spesifik yaitu Jaringan jalan yang menghubungkan Kabupaten Mamberamo Raya sampai  Keroom.
 Forum Musrenbang Provinsi Papua dapat dijadikan wahana menyatukan ide dan gagasan dari kelima Kepala Daerah yang menyelenggarakan aktivitas pemerintahan di Negeri Matahari Terbit (Tanah Tabi). 
 Sejarah penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Jayapura telah dimulai pada tanggal 7 Maret 2010 dan bersamaan dengan itu juga telah tiba obor injil di atas Pulau peradaban orang Tabi  pada tanggal 10 maret 2010, kini diusianya yang ke 106 tahun 2016 kita dapat memutar jarum sejarah lalu menengok peristiwa-peristia sejarah masa lalu, mengenang jasa-jasa para tokoh-tokoh sejarahnya, mengenali pewarisnya lalu kita dapat melakukan rekonstruksi perjalanan sejarah ini menuju pemilihan kepemimpinan Kepala Daerah di lima wilayah pemerintahan yang tersebar di atas Tanah Tabi mulai dari Mamramo Raya sampai Keroom yang dikenal dengan istilah wilayah pemerintahan adat Tanah Tabi Negeri Matahari Terbit.
  HUT Kota Jayapura ke 106 Tahun 2016  bertepatan dengan Tahun politik dimana sebagian masyarakat di wilayah adat Tanah Tabi yang berdomisili di wilayah hukum Pemerintah Kota Jayapura akan mempersiapkan diri untuk terlibat dalam proses politik sebagai pintu masuk menetapkan pemegang kuasa 
 penyelenggaraan Pemerintahan berikut segala sumber dayanya. Didalam momen seperti ini selaku anak Tabi dari komunitas adat Port Numbai kami hendak memberikan pencerahan bagi kita semua untuk coba memberikan kajian-kajian terhadap apa saja keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh para pemegang kuasa penyelenggaraan Pemerintahan lima Tahun yang lalu dan apa saja kegagalan-kegagalannya, apa hambatannya dan apakah penyelenggaraan Pemerintahan selama ini telah menyentu akar persoalan yang terjadi di Tanah Tabi secara keseluruhan dan khusus di Negeri Hen Citahi Yo Onomi T’mar Nehanased , lalu berdasarkan kajian-kajian tersebut kita menentukan pilihan terhadap calon kandidat walikota Jayapura yang akan bemunculan dalam perebutan pemegang kuasa penyelenggaraan Pemerintahan di Kota Jayapura dalam PILKADA pada tahun 2017 yang akan datang.
 Semoga pilihan kita adalah pilihan cerdas yang sekaligus akan menentukan dinamika dan trend penyelenggaraan Pemerintahan di atas Tanah peradaban yang diberkati Tuhan yaitu Negeri Matahari Terbit dibawah motto Daerah Hen Citahi Yo Onomi T’mar Nehanased menjadi nyata ditengah heterogenitas masyarakat yang menjadi meniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan motto Bineka Tunggal Ika.
 Akhirnya selamat merayakan HUT Kota Jayapura ke 106 tanggal 7 maret dan HUT PI tanggal 10 maret 2016, semoga doa para rasul orang Tabi menjadi insipirasi dalam menjalankan tugas dan kerja diatas Tanah Tabi dengan selalu takut akan Tuhan. Nensya Onomi Fai.#
___________
*Penulis adalah : PNS Pemda Kota Jayapura  Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan.
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos Maret 2016)

Selasa, 01 Maret 2016

Mencermati Kebijakan Transfer Nontunai Dalam APBN 2016

Penulis : Hans Z. Kaiwai


BEBERAPA tahun terakhir, masalah belum optimalnya penyerapan anggaran masih menjadi tantangan fiskal di daerah. Saat ini dengan adanya peningkatan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa  dalam APBN 2016 menutut pemerintah daerah untuk mempercepat penyerapan anggarannya. Pada tahun 2016, pemerintah daerah, yang tidak menggunakan Dana Transfer dan Dana Desa dari pemerintah pusat secara maksmimal dan cenderung memarkir dana tersebut di bank, perlu mencermati adanya kebijakan transfer nontunai dalam APBN 2016.
 Payung hukum kebijakan tersebut diatur dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang APBN 2016. Disana diatur bahwa “penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa dapat dilakukan dalam bentuk tunai dan nontunai” dan “bagi daerah yang memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam jumlah tidak wajar, dilakukan konversi penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk nontunai”.
 Selanjutnya untuk mengimplementasikan kebijakan transfer nontunai tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.7/2015 tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan/atau Dana Alokasi Umum (DAU) dalam bentuk Nontunai. Dimana kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong penyerapan APBD yang optimal dan tepat waktu, dan mengurangi uang kas dan/atau simpanan pemerintah daerah di bank dalam jumlah yang tidak wajar.
 Kebijakan transfer nontunai ini dikuatirkan dapat mempengaruhi likuiditas perbankan di daerah. Walaupun demikian, hal ini dipandang sebagai suatu instrumen kebijakan fiskal yang dapat mengontrol perilaku pemerintah daerah dalam memarkir anggaran transfer di perbankan, terutama ketika telah dilakukan penguatan desentralisasi fiskal melalui peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
 Ketika mengamati postur APBN 2016 dari sisi belanja, kita mendapati adanya perubahan yang cukup mendasar dibandingkan APBN sebelumnya. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa mencapai Rp 723,3 triliun, naik Rp 79,4 triliun (12 persen) dari pagu anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa APBNP 2015. Sementara itu, pagu Dana Alokasi Khusus (DAK) ditingkatkan dari 58,8 triliun pada APBNP 2015 menjadi Rp 208,9 triliun dalam APBN 2016 atau naik Rp 150,1 triliun (255 persen).
 Belanja yang ekspansif pada APBN 2016 dimaksudkan untuk meningkatkan anggaran infrastruktur di daerah dalam upaya memperkuat fondasi pembangunan yang berkualitas dan mewujudkan misi membangun Indonesia dari pinggiran. Pengalokasian dan penyaluran belanja negara yang besar ke daerah ini tentu harus dikelolah dengan baik agar mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dana Menganggur
Kita mengetahui bersama bahwa dalam beberapa tahun anggaran terakhir, adanya simpanan pemerintah daerah di bank dalam jumlah yang tidak wajar. Dana menganggur pemerintah daerah, di seluruh Indonesia, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
 Misalnya, pada tahun 2013, simpanan pemerintah daerah di bank sebesar Rp 92,4 triliun meningkat menjadi Rp 113,2 triliun di tahun 2014. Dan pada tahun terakhir yaitu tahun 2015, jumlah simpanan pemerintah daerah mencapai Rp 291,5 triliun di bulan September.
 Dari amatan terhadap pola pergerakan simpanan pemerintah daerah di bank, biasanya meningkat pada bulan April, kemudian meningkat lagi pada bulan Juni, dan akan mencapai puncaknya pada bulan September. Pola pergerakan simpanan seperti ini ada hubungannya dengan pola tahapan penyaluran dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
 Disamping itu, masih adanya tantangan klasik dalam pola penyerapan anggaran. Biasanya belanja pemerintah daerah menumpuk pada triwulan III dan IV. Sementara itu, adanya dana menganggur pemerintah daerah di perbankan yang cukup besar bahkan dalam jumlah yang tidak wajar.
Walaupun pada akhirnya anggaran tersebut dapat dibelanjakan dengan sangat cepat pada dua bulan terakhir (November, Desember). Namun pola penyerapan anggaran seperti ini tidak sehat dan perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitas belanja pemerintah daerah.

Kebijakan Transfer Nontunai
Untuk mengantisipasi kembali terjadi dana mengganggur di tahun 2016 seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah telah merumuskan kebijakan transfer nontunai dalam APBN 2016.  Konversi penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk transfer nontunai dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
 Dimana berdasarkan kebijakan tersebut, daerah yang patut dikonversi Transfer DBH dan DAU-nya dalam bentuk transfer nontunai adalah daerah yang memiliki saldo kas dan setara kas melebihi belanja operasi dan 50% belanja modal untuk kurun waktu 3 bulan berikutnya. Dimana data untuk menentukan daerah layak konversi diperoleh dari laporan posisi kas bulanan dan ringkasan realisasi APBD bulanan.
 Misalnya, posisi kas daerah bulan Februari Rp 100, sementara rencana pengeluaran operasi dan belanja modal 3 bulan berikutnya (April, Mei, Juni) masing-masing Rp 25, atau total Rp 75, maka adanya dana menganggur sebesar Rp 25. Dan jika rata-rata nasional dana menganggur sebesar Rp 23, maka daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah layak konversi pada penyaluran Triwulan I (bulan Maret).
 Untuk itu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Papua perlu mencermati dan mengantisipasi dalam mengelolah manajemen kas daerah, sehingga nantinya tidak masuk dalam daerah yang ditentukan sebagai daerah yang mendapatkan transfer nontunai DBH dan DAU.
 Kiranya dengan adanya kebijakan pengendalian dana menganggur melalui kebijakan transfer nontunai DBH dan DAU ini, akan mengakibatkan semakin berkurangnya akumulasi dana menganggur pemerintah daerah di perbankan. Dan sebaliknya semakin meningkatnya penyerapan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Dan juga semakin optimalnya penyerapan APBD sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.


Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih,

Ekonom Kementerian Keuangan.

Otsus Papua Bukan Milik Elit

Penulis:  Bung Elias Idie*

WACANA Otonomi Khusus Papua  akhir-akhir  ini menjadi perbicangan menarik  antar  Pemerintah Pusat   dan Pemerintah Provinsi Papua  (baca; antar  Menteri Kordinator Politik,  Hukum dan Ham Republik Indonesia  dengan  Gubernur Provinsi Papua) Perbincangan   utama antar lain, Pemerintah Pusat ingin melakukan audit penggunaan Dana Otonomi Khusus yang selama ini dikucurkan bernilai triliunan rupiah, namun dinilai belum   diperuntukan secara baik dan proporsional untuk pembangunan di tanah ini. 
 Pendapat sebaliknya dari Pemerintah Provinsi Papua bahwa Pertama;  Dana Otonomi Khusus yang selama ini dikucurkan  sudah digunakan dengan baik, dengan mengalokasikan kepada   Pemerintah Daerah sebesar Delapan Puluh Persen (80%) untuk pembangunan di Daerah, Kedua; Jika Pemerintah Pusat menginginkan proses audit maka Otsus ini dikembalikan saja, karena Penggelontoran Dana Otonomi Khusus selama ini dirasa tidak cukup membangun Papua. Tentu pendapat ini, masih perlu diperdebatkan dengan pembuktian lebih jauh dan menyeluruh. 
Otsus Dikembalikan? Apakah Isi Otsus Hanya Mengatur  Uang?
Penyelenggaraaan roda pemerintahan di Provinsi Papua dalam kerangka Otonomi khusus sesuai ketentuan Undang-udang No. 21 Tahun 2001 bahwa  pertama;  Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. kedua; Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 
 Sehingga tentu saat ini, perdebatan antara Jakarta dan Papua berkaitan persoalan implementasi Undang-undag Otonomi Khusus,  harus dijelaskan kepada masyarakat apakah Undang-undang Otonomi Khusus  hanya mangatur tentang pembagian atau pengalokasian uang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah  Papua? atau ada kewenangan lain dalam Undang-undang tersebut, yang sejauh ini belum dapat dijabarkan? Perdebatan saat ini, dapat dilihat dalam dua makna; pertama; Pemerintah Pusat menjalangkan tanggungjawab sebagai penyelenggaraan pemerintahan ditingkat pusat, dimana mau memastikan keberhasilan pembangunan di daerah –daerah termasuk Papua, kedua; Menerapkan  prinsip akuntabilitas dan transparansi   penyelenggaraan pemerintahan dalam hal  penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 
 Pengamatan penulis seharusnya pemerintah Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat  Papua dan Majelis Rakyat Papua  menjelaskan kepada  masyarakat Papua bahwasannya Otonomi Khusus tidak saja kucuran dana triliunan rupiah namun juga ada kewenangan lain  yang diamanatkan oleh Undang-undang  tersebut,  kepada Pemerintah Provinsi,DPRP dan MRP untuk menjabarkan dalam bentuk  Perdasus dan Perdasi, misalkan persoalan Perekenomian, Hak Asasi Manusia, Pendidikan dan Kebudayaan, Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Sosial dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan, sehingga rakyat Papua memahami dan mengerti akan persoalan Otsus secara menyeluruh. 
  Misalnya  Persoalan Perekonomian; Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya diatur dengan Perdasus. Apakah sudah dijabarkan?
 Persoalan Hak Asasi  Manusia; Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan. memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan diatur dengan Perdasi.  Apakah sudah dijabarkan? 
Pemerintah Provinsi Papua,DPRP, MRP,  menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat bahwasannya inilah sekian Rancangan  Perdasus dan Perdasi, yang telah dirumuskan sebagai penjabaran pelaksanaan Undang-undang Otonomi  Khusus Papua, namun tidak bisa  diimplementasikan karena dengan berbagai pertimbangkan antara lain, misalnya;  Pemerintah Pusat menganggap sangat bertentangan dengan konstitusi atau melampui kewenangan pusat, namun secara subtansi memberikan dampak positif terhadap pembangunan di  Papua. Sehingga perdebatan menyangkut Otonomi Khusus Papua tidak menjadi persoalan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Provinsi Papua  semata, namun menjadi persoalan bersama. Seolah Otonomi Khusus hanya bertuan pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua, tetapi tidak bertuan pada rakyat Papua. 
Akar Masalah Otsus
Apa masalahnya sehingga implementasi Undang-undang Otsus ini tidak berjalan susuai  harapan dan cita-cita mulia para pengagas dan kita sebagai rakyat? Secara sederhana, dapat disimpulkan dalam dua soal umum yakni: satu, Pemerintah Pusat  (Jakarta) belum  memiliki kehendak baik (political will) untuk memajukan kesejahteraan rakyat Papua, tetapi lebih cenderung hanya mau menikmati kekayaan tanah Papua; dan kedua,Pemerintah Daerah (Papua)  belum  sepenuhnya menjabarkan  muatan Undang-undang Otonomi Khusus dalam bentuk program maupun  Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)   dan Peraturan Daerah (Perdasi) dengan muatan persoalan Ekonomi, Hak Asasi Manusis, Pendidikan dan Kebudayaan, Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Social dan Pengawsan. 
 Otsus ini kemudian diganggu oleh para elit politik yang tidak konsisiten dalam melaksanaannya.  Olehnya, Otsus “tidak lagi” menjadi solusi, tetapi memunculkan sejumlah masalah baru dan krusial. Kesejahteraan rakyat Papua yang menjadi tujuan suci otsus belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan. Demikian pula dengan infrastrukturnya sangat terbatas, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme  menjadi momok menakutkan  serta terbatasnya pemenuhan  kebutuhan dasar, bahkan indicator pembangunan manusia Papua pun sangat rendah dibawah rata-rata  nasional..
Tidak Harus Mengembalikan Otsus
Tentu rakyat Papua berharap jikalau memang ada kemauan dan niat luhur membangun negeri ini melalui pendekatan Undang-undang Otonomi Khusus menjelang 10 tahun batas akhir pemberlakuan, marilah secara bersama-sama  (baca;Pemerintah dan Rakyat) Papua  segera  melakukan beberapa tindakan antar lain, Pertama; Mengindentifikasi  keberhasilan pembangunan Papua selama  15 tahun penyelenggraan otonomi Khusus,Kedua; Melakukan Kajian terhadap kendala pembangunan Papua dalam pendekatan otonomi Khusus,Ketiga; Mendesain Tata Kelola  Pemerintahan yang bersifat Rekognisi –Subsidiaritas  dengan berpedoman pada Nawa Cita, Keempat; Menggagas Visi Baru Pembangunan Papua 2025.***

*Penulis adalah   : Mantan Ketua Cabang GMKI Jogjakarta Periode 2009-2011

Pemberian Otonomi Khusus Bagi Provinsi papua Adalah Sebuah Alternatif Politik, Bukan Jawaban Atas Aspirasi Politik Rakyat Papua


Penulis:  Drs. Lodewyk Nero , M.Si *

INTEGRASI Papua ke dalam Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah suatu agenda politik yang dapat diterima secara praktek Internasional, tetapi bagi rakyat dan masyarakat Papua Janji kemerdekaan oleh Belanda dan Janji Kesejahteraan orang Papua oleh Indonesia adalah merupakan sona baru dalam perjuangan menjawab gerakan cargo cultus seperti diuraikan JRG. Djopari dalam buku Gerakan Organisasi Papua Merdeka, bahwa tumbuhnya paham nasionalisme Papua di Irian Jaya mempunyai sejarah yang panjang dan pahit, bahwa sebelum dan selama perang dunia ke-II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan millionerian mesianic dan cargo cultus, mungkin yang paling terbuka dari gerakan seperti itu adalah gerakan KORERI di kepulauan Biak, gerakan WERE atau WEGE yang terjadi di Enarotali dan gerakan SIMON TONGGKAT yang terjadi di Jayapura.
Sejak Irian Jaya kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu melalui penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Negara Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, hingga saat ini berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan terciptanya kesejahteraan rakyat, belum mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum sepenuhnya menampakan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir segala sektor kehidupan terutama pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infstruktur dalam berbagai level di atas Tanah Papua.
Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah masalah-masalah yang perlu diselesaikan.
Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentu akar masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan ketidak puasaan.
Ketimpangan sosial ekonomi, dimana Papua dikenal sebagai Daerah yang memiki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tapi dalam kenyataan banyak rakyat Papua yang mati kelaparan, hidup dalam ikatan lingkaran kemiskinan yang akut, miskin, tidak berdaya, sakit, lapar dan haus.
Progres pembangunan Daerah yang stagnan, hasil kekayaan alam dan tambang seperti emas, perak dan tembaga lebih banyak diarahkan untuk kepentingan pusat kekuasaan dan perusahaan multinasional. Rakyat Papua merasa tidak puas dengan pemerintah pusat, kualitas sumber daya manusia Papua sangat rendah, angka human devolopmen index masih rendah dan isu sentral mengenai pelanggaran HAM di Papua marak sejak diberlakukannya Daerah Oprasi Militer (DOM) di Papua berkaitan dengan seperatisme.
Fakta dan fenomena tersebut diatas yang memicu ketidak puasaan rakyat Papua terhadap pemerintah pusat yang pada akhirnya menimbulkan ancaman disintegrasi Bangsa di Provinsi Papua.
Sejalan dengan semangat reformasi diberbagai aspek kehidupan politik, pemerintahan dan ekonomi di Indonesia pada tahun 1999, berbagai komponen masyarakat Papua menyampaikan rasa ketidak puasan, kekecewaan masyarakat Papua atas perlakuan diskriminatif, ketidak adilan dan pelanggaran HAM.
Sebagai tanggapan positif dari pemerintah pusat, maka diterbitkanlah Undang-undang nomor: 45 Tahun 1999 tentang pembentukan propvinsi Irian Jaya tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat serta beberapa Kabupaten baru antara lain Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.
Masyarakat Papua pada saat itu menetang upaya pemerintah pusat terhadap pembentukan Provinsi, tetapi menerima pemekaran Kabupaten, dan menilai pemekaran Provinsi tidak lebih dari upaya memecah belah dan menguasai Papua (politik De fire it empera).
Yang terjadi adalah semakin meningkat dan kuatnya instabilitas politik/ disintegrasi yang berpuncak pada tanggal 1 Desember 1999 berlangsung upacara pengibaran bendera Papua (Bintang Kejora) atau suatu bendera simbol kemerdekaan Bangsa Papua yang pernah dipersiapkan pada tahun 1961 oleh masyarakat Papua dan pemerintah Belanda dalam rangka kemerdekaan Bangsa Papua.
Ancaman disintegrasi semakin kuat dan berkembang dengan diadakannya Musyawarah Besar (MUBES) Rakyat Papua dan Konggres Nasional Papua II dari tanggal 29 Mei s/d 4 Juni 2000, kemudian hasilnya disampaikan oleh Ketua Tim 100 TOM BEINAL kepada Presiden Republik Indonesia B. J. HABIBIE pada tanggal 26 februari 2000 di Istana Negara yang isinya berbunyi : KAMI BANGSA PAPUA BARAT MENYATAKAN DIRI KELUAR DARI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) UNTUK MERDEKA DAN BERDAULAT PENUH DI ANTARA BANGSA-BANGSA LAIN DI MUKA BUMI INI.
Usaha masyarakat Papua untuk memisahkan diri ini adalah akumulai dari kekecewan masyarakat Papua terhadap berbagai rancangan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat dan rakyat Papua selama 36 tahun berintegrasi (1963 – 1999).
Jawaban resmi pemerintah dalam merespont pernyataan politik masyarakat dan rakyat Papua ketika itu melalui Presiden Republik Indonesia B. J. HABIBIE dalam komunikasi politik itu adalah : PULANG DAN RENUNGKAN KEMBALI PERNYATAAN POLITIK MASYARAKAT DAN RAKYAT PAPUA TERSEBUT.
Sejak dialog nasional antara rakyat Papua yang diwakili Tim 100 dengan pemerintah Republik Indonesia yang di wakili oleh Presiden Republik Indonesia B. J. HABIBIE inilah awal mula terjadinya komunikasi politik yang mengkomunikasikan dan menyatukan dua kutub yang berbeda yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan istilah “O” atau “M” ( Otonomi atau Merdeka).
Pernyataan politik masyarakat dan Rakyat Papua yng telah dikomunikasikan secara demokratis dan di jawab secara politik oleh pihak pemerintah terus berjalan ke kutubnya masing-masing yaitu : masyarakat dan rakyat Papua tetap menghendaki untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sementara pemerintah pusat/Indonesia tetap melanjutkan kebijakan reformasi pemerintahan, diantaranya penataan ulang kebijakan otonomi Daerah, hasilya lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sebagai pengganti  UU. No. 5 Tahun 1974 yng sarat sentralistik, yang kemudian direvisi menjdi UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Strategi kebijakan pemerintah dalam menata ulang kebijkan Otonomi Daerah seperti yang diuraikan diatas, dilancarkan dan diupayakan dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada bagian lain masyarakat dan rakyat Papua tidak mau dibohongi lagi dengan kebijakan Otonomi model apapun dan terus berkaca ke fenomena integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa lalu yang menjadi pengalaman dan kenyataan pahit yang terus membayangi keberadaan Papua di dalam Negara Keatuan Republik Indonesia (NKRI), maka pada tanggal 26 Februari 2000, masyarakat dan rakyat Papua melalui Tm 100 kembali menghadap Presiden B. J. HABIBIE dan menyampaikan hasil perenungan yang diminta pihak pemerintah melalui Presiden yang salah satu bunyi hasil perenungan adalah : KAMI MENOLAK OTONOMI SELUAS-LUASNYA, PEMEKARAN PROVINSI IRIAN JAYA DAN PEMEKARAN KABUPATEN OTONOM DENGAN DALIL APAPUN SERTA MENOLAK SEMUA BENTUK GULA-GULA POLITIK BERUPA TAWARAN JABATAN POLITIK DAN BIROKRASI, BAIK DITINGKAT NASIONAL/PUSAT MAUPUN DITINGKAT LOKAL/DAERAH SEBAGAI STRATEGI UNTUK MELUMPUHKAN PERJUANGAN BAGI KEMERDEKAAN BANGSA PAPUA BARAT.
Fenomena pemerintahan berperspektif sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Tanah Papua sejak dahulu sampai saat ini terkooktaf dalam dua pengaruh idiologi  dan yang akan terus mengikuti dinamika perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di Tanah Papua yaitu Idiologi Papua Merdeka yang ditanam oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda dan Idologi mengindonesiakan masyarakat dan rakyat Papua melalui janji mensejahterakan masyarakat dan rakyat Papua melalui kebijakan otonomi Daerah, maka pertanyaan globalnya adalah :
Seberapa efektifkah kebijakan Otonomi khusus Papua dalam penyelesaian masalah Papua dan dapat mengsejahterakan masyarakat dan rakyat Papua ?
Jawaban terhadap pertanyaan global bersifat refleksi ini semoga dapat terjawab dalam forum rapat kerja para birokrat yang didesaian oleh Gunernur Papua dalam RAKER Gubernur dan Para Bupati sebagaimana terucap dalam pidato Gubernur Papua pada acara Pengambilan sumpah/Janji dan pelantikan para Bupati terpilih hasil Pilkada serentak tanggal 17 Febuari 2016 dan juga yang sangat penting adalah bagaimana respont pemerintah pusat dalam menggrend desaian kebijakan otonomi Daerah yang bersifat nasional maupun Otonomi khusus Papua yang bersifat lex spesialis agar dapat mengeliminir Idologi Papua Merdeka. 
Semoga pemberian Otonomi Khusus Papua sebagai alternatif politik dan bukan jawaban atas penyampaian aspirasi politik masyarakat dan rakyat Papua ini dapat memantapkan integrasi poltik di Provinsim Papua dan semakin mensejahterakan rakyat Papua dan bukan menjadi alat politik yang pada suatu ketika akan muncul isu “ O “ (Otonomi) atau “ M “ (Merdeka) dikemudian hari.Semoga!***

*Penulis adalah : PNS Pemda Kota Jayapura dan Alumni Sekolah Pamong Praja.