Sabtu, 28 Oktober 2017

Sumpah Pemuda Indonesia , Adakah Jong Papoea?

Oleh : John Al. Norotouw *)

Boeng Karno menyatakan Sumpah Pemuda Indonesia tahun 1928 bermakna revolusioner; berisi prinsip perjuangan yaitu unity (persatuan), maka kepada Pemuda Indonesia dimasa Indonesia merdeka dianjurkan “warisilah api-nya bukan abu-nya”. (Sumpah Pemuda ke 35, 28 Oktober 1963).

Warisilah apinya !!!!!
Hei Pemuda Indonesia, jangan mewarisi abunya, karena abu adalah sampah yang tak berguna, sedangkan api akan terus menerus mengobarkan semangat juang yang tak kunjung padam mengisi Kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
 Ketika Pemuda Indonesia menyadari pentingnya kekuatan Pemuda dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia, maka semangat untuk mengikat kekuatan pemuda nusantara yang berjuang sendiri-sendiri dalam bentuk pecahan Jong dimasing-masing daerah mereka, harus di padukan dalam sebuah semangat pemuda nasional Indonesia, dan kobarkan semangat api revolusi yang tak kunjung padam sampai Indonesia merdeka.
 Bila sejenak kita jejaki sejarah lahirnya Sumpah Pemuda, bahwa sesungguhnya pemuda Indonesia merupakan satu komponen bangsa Indonesia yang telah menyatakan tekad bulat dalam sebuah ikrar untuk meninggalkan segala perbedaan dan perasaan sukuisme atau daerahisme, golongan dan agama, yang lama terkenal dengan istilah Jong Jawa, Jong Sumatera, Jong Kalimantan, Jong Sulawesi, Jong Ambon, dan Jong lainnya, kedalam sebuah kesatuan Pemuda yang dinamakan Pemuda Indonesia. Tentu saja berbagai upaya untuk mewujudkan cita-cita Revolusi Indonesia, Pemuda menampilkan diri di garda revolusi terdepan sebagai kekuatan rakyat Indonesia yang siap menerima dan menjalankan tugas revolusi demi mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu merdeka.
 Keputusan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, yang kemudian terkenal dengan nama Sumpah Pemuda, atas prakarsa Prof. Moh. Yamin, rumusan ikrar itu berbunyi:
Pertama: Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe betoempah darah satoe, Tanah Indonesia.
Kedua: Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, Bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe berbahasa satoe, Bahasa Indonesia.

 Sumpah Pemuda Indonesia 1928 merupakan satu tonggak utama dan penting dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ikrar atau janji atau lebih masyur dengan istilah Sumpah ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menguatkan cita-cita berdirinya Negara kita yang tercinta, Indonesia. Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa ditanggal 28 Oktober 1928 ini bangsa Indonesia “lahir” dengan semangat perjuangan, semangat ingin bebas dari cengkraman penjajahan. Kondisi ketertindasan bangsa Indonesia selama ratusan tahun inilah yang mendorong para pemuda Indonesia untuk membulatkan tekad demi harkat dan martabat diri bangsa Indonesia.
 Semua pecahan organisasi Pemuda didaerah dengan nama Jong, disatukan kedalam kesatuan Pemuda Indonesia, sehingga ikrar Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 telah menyatukan seluruh suara, semangat dan kekuatan Pemuda se Indonesia, menjadi momentum kebangkitan nasional. Sesudah Indonesia merdeka, setiap tahun, Sumpah Pemuda diperingati secara nasional pada tanggal 28 Oktober.
Adakah Jong Papoea?
Pertanyaan ini menimbulkan banyak perdebatan yang serius terutama dikalangan orang Papua. Sejarah Papua mencatat bahwa Tanah Papua telah terus menerus berada dibawah kekuasaan penjajahan Kerajaan Belanda sejak tahun 1828 sampai dengan 1 Mei 1963. Hal mana, ada pandangan bahwa Papua tidak dapat dihubungkan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia ataupun secara khusus dengan Sumpah Pemuda Indonesia 1928 karena dalam kurun waktu tersebut perjuangan rakyat Indonesia hanya sampai di Maluku atau Ambon dibawah Kesultanan Tidore dan Ternate, karena itu Jong Ambon meliputi kesultanan tersebut. Orang Papua juga memperdebatkan kekuasaan kesultanan Tidore/Ternate berwilayah sampai negeri tertimur Indonesia yaitu Tanah Papua.
 Namun demikian, sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia tidak menjadikan sejarah itu momok untuk mengisi kemerdekaan yang sudah dicapai menuju Indonesia yang aman, adil dan makmur. Fakta sejarah di atas adalah merupakan perjalanan perkembangan baru dan peradaban serta proses modernisasi yang kian kuat mengisi kehidupan orang Papua.
 Perasaan anti pati terhadap integrasi Papua dalam Indonesia adalah sebab utama menghapus nilai-nilai luhur dari kebersamaan dalam semangat Pemuda Indonesia, dimana pemuda Papua termasuk dalam kesatuan jiwa raga pemuda Indonesia yang berjuang untuk merdeka. Meskipun pemuda Papua tersirat dalam Jong Ambon, kehadiran perwakilan pemuda-pemuda Papua di Kongres Pemuda Indonesia 27 – 28 Oktober 1928, di Batavia,  tidak dapat dihapus atau dilupakan dalam sejarah Indonesia dan perjuangan rakyat Indonesia terutama pemuda Indonesia untuk merdeka. Meskipun nama-nama mereka tidak se-populer seperti nama Moh. Yamin, Soegondo, Budi Utomo, atau W.R.Soepratman tetapi kehadiran pemuda Papua di Kongres Pemuda Indonesia, telah ikut mencetuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan menjadi duta Papua dalam revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Siapakah Pemuda Papua yang menghadiri Kongres Pemuda Indonesia, di Batavia ?
Ondofolo Ramses Ohee, seorang yang patut berbangga hati, bahwa kedua orang tuanya, masing-masing Poreu Abner Ohee dan Pouw Orpa Pallo, adalah pasangan suami isteri muda asal kampong Asei Besar, di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura. Orang ketiga adaah seorang pemuda asal pulau Yapen, Serui yang bernama Aitai Baitawi Karubaba, yang lahir pada tahun 1898 di Kampung Ambai- Serui.
 Perjuangan Pemuda Papua perlu dicatat bahwa menjelang agenda Sumpah Pemuda akan dilaksanakan diberangkatlah mereka dengan sebuah kapal yang bernama MIL, satu-satunya kapal yang melakukan perjalanan antara Hollandia dan Batavia, pada tanggal 14 Agustus 1928. Mereka singgah di Ternate, tempat dimana ada pusat Kesultanan Tidore, maka berkumpullah seluruh pemuda Indonesia wilayah Timur disana dibawah pecahan pemuda Jong Ambon.
 Perlu dicatat secara jelas bahwa perjuangan Indonesia merdeka tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan pemuda-pemuda Papua, dan seperti disinyalir bahwa pada hari Kongres Pemuda hendak dilaksanakan, mereka, bersama- seluruh pemuda dari daerah-daerah lain meninggalkan istana Bogor menuju Batavia, yaitu di Jalan Keramat Raya No. 166, Watervreden untuk bergabung dengan seluruh Pemuda Indonesia menyatakan atau mengikrarkan Sumpah Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928.
 Kini Indonesia dilanda berbagai keributan dis-integarasi dari dalam negeri, mempertanyakan perbedaan suku, warna kulit, rambut bahkan ideologi dan agama sekalipun. Bahkan banyak pihak berusaha mengklaim hak dan kebenaran atas diri sekelompok atau atas nama agama untuk mengklaim kepemilikannya atas Indonesia. Karenanya diharapkan kiranya bakti ketiga Duta Pemuda Papua meski tidak mengibarkan bendera Jong Papoea, tetapi dibawah panji Jong Ambon telah menyatakan diri hadir sebagai duta pemuda Papoea, maka wajarlah Pemerintah memulai sebuah langkah apresiasi kepada mereka, seperti bangunan monument atau pusara sebagai bukti sejarah kepada anak-cucu dan seluruh bangsa Indonesia. Langkah awal yang positip baru-baru ini telah dimulai oleh Dandim 1709 Yapen Waropen Letkol. Dedy Iswanto dengan melakukan penelusuran melalui keluarga dan kerabat  Aitai Karubaba dan mengunjungi makam Aitai Karubaba di Kampung Rondepi- pulau Urfarari Distrik Ambai.
 Warisilah Apinya jangan debunya. Bahwa pemuda Indonesia, sejak dulu dan sekarang, dalam berbagai partisipasi pembangunan bangsa, telah menjadi satu pilar yang kuat, akan datang dan akan pergi, akan menjadi abu karena itu panggilan kodrati Ilahi, tetapi Apinya, semangatnya, kiranya menjadi warisan abadi dalam tumbuh kembangnya pemuda Indonesia bersama Indonesia merdeka yang di milikinya. ***
Digahayu Sumpah Pemuda Indonesia ke 89.
Di dada yang kekar, di lengan kokoh, ku tanam merah putihku.
Kemiri, 24 Oktober 2017

*)Penulis adalah Pengamat Sosial Politik PApua
 

 

Sabtu, 14 Oktober 2017

Peningkatan Kapabilitas APIP, Pentingkah?

oleh Ardhian Prima Satya *)
Layaknya siswa-siswi yang akan menghadapi ujian kelulusan, beragam respon dapat muncul. Bagi mereka yang sungguh-sungguh belajar, ujian kelulusan menjadi ajang untuk membuktikan kemampuan. Tetapi, bagi mereka yang memilih untuk bersenang-senang di masa sekolah, ujian kelulusan merupakan momok yang menakutkan. Segala cara akan mereka upayakan untuk dapat lulus.
 Dari mencoba membeli jawaban, berdoa dengan sungguh-sungguh supaya pengawas ujian bukan orang yang ganas, sampai dengan menyiapkan strategi contek-mencontek yang menawan dan tanpa celah. Namun, semuanya akan “bubar jalan” bila pengawas ujian yang bertugas adalah pengawas yang terkenal  teguh berintegritas, menjunjung kejujuran dan disiplin. Kehadiran pengawas menjadi kunci, apakah siswa-siswi berlaku jujur dalam mengerjakan ujian kelulusan.
Pada dasarnya sebagian besar orang akan merasa terganggu apabila diawasi, walaupun respon masing-masing orang akan berbeda-beda. Ada yang merasa biasa saja ketika dirinya sedang diawasi, tetapi ada juga yang memilih untuk menghindar dan menolak. Semakin seseorang sadar akan perilakunya yang seenak sendiri, akan semakin keras kemauannya menghindari pengawasan. Dan tidak jarang ada pula yang berkamuflase seakan-akan mendukung pengawasan, tetapi untuk menyembunyikan penyimpangan yang telah dilakukan. Pola perilaku yang demikian juga dapat diamati dalam pelaksanaan pemerintahan.
 Sejak digagas tahun 2011 oleh BPKP, kapabilitas APIP belumlah sepopuler sekarang. Penilaian kapabilitas APIP dilakukan mengacu pada Internal Auditor Capability Model (IA-CM) yang diterapkan oleh The Internal Auditor Research Foundation (IIARF). Penilaian ini telah digunakan secara global di seluruh dunia dengan sedikit modifikasi dan penyesuaian dengan kondisi yang ada di Indonesia. Penilaian ini berfungsi untuk mengukur kemampuan secara kolektif dengan pemahaman secara rinci sehingga sanggup mengatasi titik kelemahan yang ada di dalam APIP.
 Hasil penilaian kapabilitas APIP tidak bersifat statis/kaku, tetapi dapat diupayakan peningkatannya, bahkan dapat menurun apabila tidak ada upaya implementasi dan institusionalisasi. Terdapat 6 (enam) elemen yang harus dipenuhi dari pernyataan-pernyataan yang ada yang harus dilengkapi dengan bukti. Hasil jawaban dari pernyataan-pernyataan tersebut yang akan menjadi dasar penilaian level kapabilitas APIP. Tingkatan tersebut dibagi ke dalam 5 (lima) kategori, dimulai dari level 1 (initial) - tingkat paling rendah, level 2 (infrastructure), level 3 (integrated), level 4 (managed) dan level 5 (optimizing), yang merupakan level tertinggi.
Di seluruh daerah di Provinsi Papua, peningkatan kapabilitas APIP belum pernah menggaung dan menggelegar sedemikian rupa sebelum KPK mulai ikut serta memberikan perhatian khusus. Dari hasil penilaian seluruh APIP di daerah Provinsi Papua, sampai dengan tahun 2017 ini, lebih dari 75% APIP masih berada di level 1 (initial), dengan kategori belum ada praktik yang tetap, tidak ada kapabilitas yang berulang dan tergantung pada kinerja individu alias APIP hanya sekedar ada.
 Sedangkan sisanya masuk kategori level 2 (infrastructure) di mana proses audit dilakukan secara tetap (rutin) dan berulang namun baru selaras sebagian dengan standar audit yang ada. Dengan kata lain, APIP yang ada belum dapat memiliki kemampuan untuk menilai kinerja pemerintah daerah, ketaatan akan peraturan, serta mendukung perwujudan pemerintahan yang efektif, efisien dan ekonomis. Gambaran tersebut mengindikasikan peluang terjadinya korupsi dan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah sangatlah tinggi. Dengan demikian, peningkatan kapabilitas APIP di seluruh daerah di Provinsi Papua sangatlah penting dan mendesak, sehingga tidak mengherankan bila KPK berkali-kali mengadakan pertemuan dengan seluruh jajaran pimpinan daerah yang ada akhir-akhir ini.
Tetapi, bagaimana pandangan kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah terhadap peningkatan kapabilitas APIP? Sebagaimana cerita di awal, pada dasarnya setiap orang merasa terganggu bila selalu diawasi. Konsekuensi dari upaya peningkatan kapabilitas APIP adalah meningkatnya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, realisasi peningkatan kapabilitas APIP dapat menjadi “pengganggu hidup” bagi kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah yang lain, terutama bila yang bersangkutan memiliki agenda-agenda tersembunyi atau “gerakan tambahan”.
 Bagi mereka, perhatian lebih yang diberikan KPK terhadap peningkatan kapabilitas APIP seperti makan buah simalakama. Enggan menyatakan komitmen penuh mendukung peningkatan kapabilitas APIP sama saja menyerahkan diri, tetapi bila menandatangani/mendukung berarti menyediakan diri “diganggu” oleh APIP. Walaupun demikian, ada pula kepala daerah yang memiliki komitmen (seakan-akan) tinggi, sangat mendukung peningkatan kapabilitas APIP dengan menandatangani komitmen peningkatan, menginisiasi tunas integritas di pemerintahannya, tetap saja menjadi pesakitan saat KPK melakukan OTT.
 Dalam beberapa kasus, “pemain” tak semata-mata kepala daerah, tetapi juga jajaran pimpinan daerah lainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila peran APIP/Inspektorat sampai saat ini dikebiri dengan berbagai cara. Adanya leveling Kapabilitas APIP tidak berarti banyak bagi perbaikan pemerintahan yang ada karena banyak upaya pemberangusan pengawasan demi memenuhi kepentingan “pemain” untuk mengeruk APBD demi pundi-pundi hartanya, atau untuk mempersiapkan diri jelang pemilukada yang mendatang. Sangat memungkinkan sebenarnya APIP mengetahui hal ini, tetapi tidak berani melapor karena mekanisme pelaporan tidak jelas, dan tidak mengetahui harus menyerahkan laporan ke mana, belum lagi bila harus mengumpulkan minimal dua bukti yang sahih dan kuat.
 Oleh karena itu, usulan penguatan kelembagaan APIP yang sedang ditindaklanjuti dengan pemberian laporan kepada pimpinan satu tingkat yang lebih tinggi pun hanya akan memberikan sedikit dampak bahkan mungkin masalah. Selama anggaran dan pengeloaan SDM masih ditentukan oleh kepala daerah, hal ini akan menjadi pemicu terjadnya perang kepentingan. Bila dilihat dari pelaksanaan fungsi, APIP Daerah bukan lagi menjadi aparat pengawasan internal, tetapi sudah menjadi eksternal. Peran APIP yang semula mata dan telinga kepala daerah sudah berubah menjadi pelapor tindakan kepala daerah. Hal ini akan menyebabkan kegaduhan baru dalam pemerintahan. Bila tidak diwaspadai, kejumawaan yang terpendam dan kemudian muncul setelah pemberian keleluasaan dan wewenang menjadi pelapor kepala daerah justru akan menjadi senjata makan tuan di kemudian hari.
 Dengan adanya perkembangan polemik tersebut di atas, secara tidak langsung mengisyaratkan peningkatan kapabilitas APIP tidak memiliki andil dalam upaya perbaikan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel. Banyak jajaran pimpinan daerah yang bertingkah seperti siswa-siswi yang sebisa mungkin mendapat “nilai” bagus tetapi menghalalkan segala cara, dan jangan sampai pengawas ujian mereka merupakan pengawas yang jujur, berintegritas dan berani menyatakan yang benar. Bila APIP adalah mata dan telinga pimpinan daerah, sekarang ini banyak kepala daerah yang memilih berjalan tanpa mempedulikan mata dan telinganya yang sedang sakit. Peningkatan kapabilitas APIP layaknya berupaya menyembuhkan mata dan telinga yang sedang sakit sehingga dapat berfungsi normal. Peningkatan kapabilitas APIP hanya akan menjadi sekedar wacana bila tidak diimbangi komitmen nyata dari kepala daerah dan jajaran pimpinan daerah.
 Peran masyarakat yang lebih aktif dan sadar akan pentingnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi sangatlah penting dan berdampak besar, sebagaimana yang terjadi di Korea Selatan baru-baru ini dan berujung pada pemakzulan Presiden Korea Selatan yang melakukan korupsi. Apabila tidak ada perhatian lebih dari masyarakat untuk meningkatkan fungsi pengawasan, maka upaya peningkatan kapabilitas APIP tidak akan berdampak dan hanya sekedar lalu. Bila masyarakat tidak berperan aktif, sama saja masyarakat bersedia menjadi korban dari korupsi. Bila KPK sudah mulai memberi perhatiannya kepada Papua, lalu bagaimana dengan masyarakat Papua sendiri?
 Peningkatan kapabilitas APIP merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas pengawasan pemerintahan yang ada, sehingga pembangunan yang ada dapat berjalan efektif, efisien dan ekonomis dan langsung berdampak pada masyarakat. Bila jajaran pimpinan daerah masih enggan atau setengah-setengah berkomitmen untuk meningkatkan kapabilitas APIP, masyarakat seharusnya tidak bisa tinggal diam. Masyarakat harus terus aktif dan membangun kesadaran untuk melakukan pemberantasan korupsi. 
*Penulis bekerja di BPKP Provinsi Papua


Rabu, 04 Oktober 2017

Menetapkan Prioritas Daerah Demi Pembangunan yang Terarah

Oleh Ardhian Prima Satya *)

Sesuai dengan Permendagri 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang tahapan, tatacara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah Pasal 59, dalam penyusunan rancangan awal RPJMD memuat indikator kinerja program prioritas yang disertai dengan kebutuhan pendanaan dan penetapan indicator kinerja daerah. Begitu juga di Pasal 92, Renstra OPD harus mencakup perumusan indikator kinerja OPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran RPJMD. Dari dua pasal di atas menunjukkan pentingnya menyusun indikator kinerja dalam sebuah pemerintah daerah.
Indikator kinerja yang dituangkan dalam RPJMD memuat seluruh tugas pokok dan fungsi dari setiap OPD yang ada di dalam pemerintah daerah. Dokumen ini seringkali dituangkan di dalam Bab IX dari RPJMD. Indikator kinerja yang tertera di dalam Bab IX inilah yang kemudian menjadi indikator kinerja OPD yang juga harus dituangkan di dalam Renstra OPD. Namun demikian, pemerintah daerah perlu menetapkan indikator kinerja program prioritas atau yang lebih sering dikenal dengan Indikator Kinerja Utama (IKU).
Dalam PermenPAN Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah pasal 1 ayat 11 menyatakan bahwa IKU adalah ukuran keberhasilan dari suatu tujuan dan sasaran strategis organisasi. Dengan kata lain, IKU merupakan indikator yang ditetapkan sebagai prioritas untuk dapat dicapai dalam 5 tahun ke depan dan menjadi panduan pelaksanaan pembangunan untuk mengukur keberhasilan pencapaian visi dan misi kepala daerah. Oleh karena itu, Indikator Kinerja Utama harus spesifik, dapat diukur, berorientasi hasil, dapat dicapai, relevan dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, serta berjangka waktu.
Dengan menetapkan IKU, pemerintah daerah sedang memfokuskan seluruh upaya untuk mencapai tujuan yang menjadi prioritas pembangunan dari kepala daerah. Apabila tidak ada IKU dalam suatu pemerintah daerah, sudah dapat dipastikan bahwa setiap upaya pemerintahan yang ada sedang tidak terarah dan pembangunan tidak akan menjadi optimal.
IKU dan Perjanjian Kinerja
IKU menjadi dasar penyusunan Perjanjian Kinerja antara kepala daerah dengan kepala OPD, maupun kepala daerah sendiri. IKU pemda, IKU OPD serta Perjanjian Kinerja wajib dipubilkasikan baik melalui website pemda maupun media massa lainnya. Publikasi tersebut sebagai upaya keterbukaan informasi, dan ketersediaan untuk dapat diawasi dan dipantau upaya kepala daerah membangun masyarakat.
Bukan saja berlaku pada tingkat kepala daerah, IKU juga harus disusun oleh kepala OPD. IKU OPD disusun berdasarkan indikator kinerja daerah yang menjadi prioritas OPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. IKU OPD juga harus selaras dengan IKU pemda dalam rangka mewujudkan keselarasan dan pencapaian tujuan bersama. IKU OPD menjadi panduan utama dalam penyusunan RKA OPD setiap tahunnya. Setiap program dan kegiatan yang berkaitan dengan pencapaian IKU menjadi prioritas OPD. Oleh karena itu, kepala OPD dan TAPD harus memperhatikan IKU pemda dan IKU OPD sebagai prioritas penyusunan RKA dan RAPBD.
Sebagai tindak lanjut dari RPJMD dan Renstra OPD yang memuat tentang IKU, pemda dan OPD wajib menyusun RKPD dan Renja yang juga mengacu dan mencantumkan IKU. RKPD dan Renja menjadi perwujudan rencana jangka pendek dari pemda dan OPD. Atau dengan kata lain, RPJMD dan Renstra OPD dibagi habis pencapaiannya tiap tahun yang kemudian dituangkan di dalam RKPD dan Renja. Begitu juga dengan IKU pemda dan IKU OPD.
IKU dan dampaknya
Permasalahan yang sering terjadi di Papua adalah belum ada penetapan IKU baik tingkat pemda maupun OPD. Hal ini menyebabkan tidak adanya Perjanjian Kinerja kepala daerah, maupun kepala OPD, tidak ada keselarasan antara RPJMD dan Renstra dengan RKPD dan Renja, serta tidak adanya penganggaran yang berbasis kinerja berdasarkan pencapaian IKU. Oleh sebab itu, sangat penting dan mendesak penyusunan IKU pemda maupun IKU OPD. Sejauh ini, jika terdapat dokumen IKU pemda maupun OPD, dokumen  tersebut hanya sebatas pelengkap, tetapi tidak digunakan secara menyeluruh dan sebagaimana mestinya dalam pemerintahan.
Dampak yang lebih jauh adalah penyusunan program dan kegiatan yang ada tidak dapat mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Sehingga tidak mengherankan apabila peningkatan kualitas pembangunan manusia, baik dari segi pendidikan, kesehatan, serta ekonomi tidak terwujud. Saat ini masih banyak pemerintah daerah yang memiliki APBD lebih dari 1 triliun, tetapi belum ada danpak yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
Apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini? IKU pemda dan OPD harus disusun. Kepala daerah melalui Bappeda melakukan pembahasan IKU pemda, selain itu Bappeda harus berkoordinasi dengan seluruh kepala OPD untuk menyusun IKU OPD sesuai dengan tupoksinya. IKU pemda disahkan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah, dan kemudian dipublikasikan. Sedangkan IKU OPD perlu direviu dan diverifikasi oleh Bappeda terkait keselarasannya dengan IKU pemda. IKU tersebut dijadikan dasar menyusun Perjanjian Kinerja Kepala Daerah dan Kepala OPD. IKU dan Perjanjian Kinerja dipublikasikan sehingga dapat dipantau banyak pihak.
Dari Perjanjian Kinerja yang sudah ditandatangani, baik kepala daerah dan kepala OPD, disusun Perjanjian Kinerja dari kepala OPD dengan tingkat eselon III dan eselon IV. Sehingga program dan kegiatan yang disusun dalam RKA sesuai dengan IKU OPD. Dengan melibatkan Inspektorat untuk melakukan reviu RKA akan semakin membantu kualitas keselarasan RKA dengan Perjanjian Kinerja dan IKU pemda.
Dengan adanya IKU diharapkan penyusunan RKA pun semakin berkualitas. Setiap prioritas pembangunan daerah mendapatkan porsi yang tepat dan cukup. Namun demikian diperlukan adanya pengawasan dan pemantauan pencapaian IKU, sehingga kemajuan pembangunan daerah dapat dipantau secara berkelanjutan. Pembangunan daerah yang terarah dan terukur pun dapat terwujud. ***

*) Penulis bekerja di BPKP Provinsi Papua