Selasa, 05 April 2016

Papua Zona Bebas Miras

Oleh: David Dapi
MASYARAKAT Papua patut berterima kasih kepada Pemerintah Provinsi Papua yang telah berhasil mengeluarkan Pakta tentang larangan peredaran miras di Papua. Rabu, 30 Maret 2016, Gubernur Papua yang didampingi Forkompinda dan Walikota bersama Muspida secara resmi menandatangani pakta integritas dan dengan tegas menolak produksi, pengedaran dan penjualan minuman keras (miras) di Papua. 
 Kebijakan yang ditempuh oleh Gubernur beserta Bupati/Walikota se-Papua ini merupakan sebuah langkah maju sekaligus menorehkan sejarah untuk Orang-orang Asli Papua. Sebagai masyarakat yang mendiami bumi Cenderawasi ini, saya menanggapinya sebagai sebuah tonggak sejarah. Adapun beberapa alasan yang melatarbelakanginya.
Orang-orang Papua-Generasi Muda Papua “terselamatkan”
Peredaran minuman keras (selanjutnya miras) di Papua ibarat peredaran air mineral. Orang-orang dengan bebas dan dengan gampang dapat membeli miras. Tempat-tempat penjualan miras menjamur di mana-mana. Menjamurnya tempat penjualan miras ini mengindikasikan bahwa kebutuhan orang untuk mengkonsumsi miras tergolong tinggi. 
 Jika diteliti, pengkonsumsi miras adalah orang-orang Papua yang nota benenya adalah juga anak-anak muda. Dengan adanya larangan resmi produksi, pengedaran dan penjualan miras ini maka secara tidak langsung orang-orang Papua teristimewa kaum muda dapat terselamatkan dari bahaya miras mengingat konsumsi miras yang berlebihan dapat merusak kesehatan dan berujung pada kematian. Di harapkan agar setelah pemberlakuan larangan ini, terciptalah generasi Papua yang bebas miras. 
 Tidak hanya itu saja masa depan generasi Papua menjadi semakin cerah karena mereka adalah tulang punggung pembangunan di tanah ini. Jika tidak maka, kita bisa membayangkan perkembangan Papua ke depan yang dipimpin oleh orang-orang yang kecanduan miras (alkoholit). Di atas semuanya, martabat manusia lebih berharga dari pada miras. Secara tidak langsung orang yang kecanduan miras tidak menghargai martabat luhurnya sebagai manusia. Manusia bukanlah budak dari miras.
Keputusan yang tegas
Keputusan Gubernur dan Bupati/Walikota se-Papua untuk menandatangani Pakta larangan produksi, pengedaran dan penjualan miras di Papua perlu diapresiasi. Betapa tidak, wacana tentang larangan miras ini berjalan cukup alot dan menuai pro dan kontra. Tentu saja ada pihak yang merasa dirugikan dan diuntungkan dari larangan miras ini. Komitmen Pemerintah Provinsi Papua untuk melarang peredaran miras ini pada akhirnya dapat terealisasi dengan baik. Inilah bukti dari sebuah keputusan yang tegas. Tentu saja masyarakat sangat mengharapkan agar ke depannya, keputusan itu tidak hanya hitam di atas putih tetapi harus terealisasi dengan sungguh-sungguh sehingga masyarakat dapat merasakan manfaatnya.
Perlu adanya fungsi kontrol
Salah satu usaha untuk mengawal jalannya larangan produksi, penjualan dan pengedaran miras ialah mengedepankan fungi kontrol dari berbagai elemen masyarakat. Pertama-tama fungsi kontrol itu tentu saja datangnya dari pemerintah beserta pihak keamanan dan masyarakat. 
 Jangan sampai terjadi bahwa oknum-oknum tertentu dari pihak pemerintah atau pihak keamanan yang lebih dahulu mengkonsumsi miras bahkan “melegalkan” peredarannya. Jika hal ini terjadi maka kredibilitas kinerja pemerintah dimata masyarakat menjadi luntur. Selain itu juga masyarakat perlu mentaati peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam kaitan dengan larangan miras ini. Ada perhatian timbal balik antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah mengontrol masyarakat dan masyarakat juga mengontrol pemerintah. 
 Sering kali pengalaman menunjukkan bahwa di satu sisi pemerintah dan pihak keamanan sudah menjalankan tugas untuk mengontrol peredaran miras di masyarakat. Setelah diketahui pengedarnya, langsung diamankan dan ditindak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Sementara itu di pihak lain, ketika masyarakat mendapat oknum pemerintah atau oknum keamanan terlibat dalam pengedaran miras atau konsumsi miras,  masyarakat takut karena merasa diintimidasi. Larangan miras ini akan benar-benar terwujud dengan baik jika pemerintah dan masyarakat mampu bekerja sama dengan baik khususnya dalam menjalankan fungsi kontrol masing-masing.
Sanksi
Larangan terhadap perjualan, produksi dan pengedaran miras memang jelas. Persoalan yang kemudian muncul ialah apakah setelah pemberlakuan larangan miras itu lantas Papua menjadi zona bebas miras? Tentu saja tidak. Perubahan mental bagi para baik produsen maupun alkoholit/konsumen tentu saja butuh waktu. Di satu pihak para konsumen atau alkoholit miras pasti berusaha untuk mencari miras jika timbul keinginan untuk miras. 
 Sementara itu di pihak lain, produsen atau pengedar miras akan mendapatkan penghasilan yang besar karena miras mereka laris terjual. Di hadapan situasi seperti bagaimana sikap pemerintah? Pada prinsipnya sebuah peraturan yang dikeluarkan maka bersamaan dengan itupun sanksi diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran. Pertanyaannya ialah sanski macam apakah yang dijatuhkan kepada pengedar, produsen dan orang yang kedapatan mengkonsumsi miras? Sehubungan dengan saksi yang diberikan, apapun bentuk sanksinya, perlu adanya ketegasan dalam pemberlakukan sanski iatu. 
 Tidak ada praktek main tebang pilih atau praktek diskriminatif dalam pemberian sangsi. Maksudnya ialah jika masyarakat yang kedapatan mengedar, membuat atau mengkonsumsi miras, maka sanksi yang diberikan kepadanya sesuai dengan pelanggaran yang diperbuatnya. Sementara itu jika oknum pihak keamanan atau oknum pemerintah yang melakukan pelanggaran maka sanksi yang diberikanpun cendrung diringankan bahkan diabaikan begitu saja. Sanksi yang diberikan harus seadil-adilnya tanpa diskriminasi. Sanksi jangan hanya tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Prinsipnya ialah setiap warga Negara sama di hadapan hukum.

Situasi lingkungan masyarakat menjadi aman dan kondusif
  Kenyataan menunjukkan bahwa situasi di beberapa daerah atau kota di Papua ini terasa tidak aman khususnya pada malam hari. Ketidaknyamanan itu disebabkan karena orang mabuk yang berkeliaran dan mengganngu orang yang sedang melakukan perjalanan. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa berbagai tindakan kriminal dan kejahatan yang terjadi di Papua ini sebagian besarnya dilakukan oleh orang-orang yang dipengaruhi oleh miras. Jika hal ini terjadi maka martabat manusia atau hidup manusia tidak dihargai sama sekali. 
 Orang dengan bebas mencelekai dan mencederai sesamanya yang lain. Akibatnya orang merasa tidak nyaman atau was-was ketika berada di jalan apalagi jalanan yang sunyi. Dengan adanya larangan miras ini maka diharapkan agar situasi kemanan di Papua ini khususnya pada malam hari menjadi aman dan kondusif. Orang bisa dengan bebas dan leluasa berjalan pada malam hari karena suatu tugas tertentu yang mendesak untuk dikerjakan. 
 Sejalan dengan larangan miras yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua ini, marilah kita menciptakan Papua sebagai tanah yang damai dan bebas dari Miras. Semoga lahirlah generasi-generasi penerus pembangunan Papua ke depan yang bebas dari miras sehingga terciptalah pribadi-pribadi Orang-orang Papua yang tidak diperbudak oleh miras. Semuanya itu bisa terwujud mengandaikan adanya kerjasama dari berbagai elemen yaitu pemerintah, keamanan, agama dan masyarakat.# 

__________
*Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana 
  Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur”, Abepura

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - April 2016)

Gereja Menjumpai Budaya Papua

Oleh Neles Tebay *)
GEREJA KATOLIK (selanjutnya baca: Gereja) Keuskupan Jayapura sejak hadir di Tanah Papua berhadapan dengan kebudayaan dari berbagai suku bangsa Papua. Lalu, bagaimana Gereja bersikap terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal yang dijumpainya selama 50 tahun berada di Bumi Cenderawasih?
Pengalaman selama lima dekade kehadiran Gereja memperlihatkan bahwa Gereja tidak mengambil sikap oposisi terhadap kebudayaan orang Papua. Juga tidak melakukan perlawanan terhadap budaya.

Gereja juga tidak melarang orang Papua merayakan pesta-pesta adat, ritual-ritual, dan upacara-upacara keagamaannya. Gereja Katolik tidak mengajarkan orang Papua meninggalkan tradisi kebudayannya hanya karena menjadi anggota Gereja.

Gereja tidak memandang orang setempat sebagai kafir. Kebudayaan mereka tidak dimengerti sebagai sesuatu yang jahat, yang menghancurkan orang setempat dan menghambat perkembangan mereka. Ritual-ritual keagamaannya tidak ditafsirkan sebagai ungkapan penyembahan berhala.

Menghormati Budaya

Gereja Katolik berkeyakinan bahwa orang Papua adalah ciptaan Tuhan, sama seperti setiap orang lain di seluruh dunia. Allah menempatkan orang-orang berkulit hitam dan rambut kriting di Tanah Papua sejak dahulu kala. Ketika agama Katolik masuk ke Papua bersama para misionaris, mereka tidak membawa Allah kepada orang Papua, karena Allah telah hadir dalam kebudayaan mereka, jauh sebelum agama-agama besar diperkenalkan kepada mereka. Justru Allah yang membawa Gereja, melalui para misionaris, ke Bumi Cenderawasih, dan Allah yang sama menerima kedatangan para misionaris di Pulau New Guinea ini. Karena diyakini bahwa Allah menciptakan orang Papua dan  hadir dalam sejarah perkembangan mereka, maka Gereja yakin bahwa kebudayaan lokal mempunyai nilai-nilai unggul, yang secara teologis, disebut benih-benih Sabda.

Gereja Katolik mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap kebudayaan dari suku-suku bangsa di Tanah Papua dan di seluruh dunia. Sikap positif ini juga yang memungkinkan Gereja untuk membuka dirinya kepada setiap kebudayaan lokal. Sikap keterbukaan ini memudahkan Gereja untuk berdialog dengan setiap kebudayaan lokal dimana pun dia berada. Gereja dengan sabar dan penuh kasih menyatakan rasa hormat terhadap setiap kebudayaan di Tanah Papua.

Mempelajari Kebudayaan

Keterbukaan Gereja terhadap kebudayaan lokal diperlihatkan, antara lain, dengan mempelajari kebudayaan lokal. Banyak misionaris yang berkulit putih dan berasal dari Eropa mengambil inisiatif pribadi untuk mempelajari kebudayaan setempat. Mereka meluangkan waktu untuk belajar bahasa daerah, bertanya kepada orang setempat tentang segala hal ikhwal yang berkaitan dengan praktek kebudayaan setempat, serta berupaya mendengarkannya dengan seksama dan berusaha memahaminya dengan tepat.

Melalui studi kebudayaan ini, Gereja berusaha memahami kebudayaan setempat, menemukan nilai-nilai unggul (positif) budaya setempat yang menjadi dasar utama yang menopang hidup masyarakat lokal, mengenal kekhasan dari setiap kebudayaan, dan mengetahui praktek-praktek budaya yang negatif. Gereja juga menerima dan menggunakan unsur-unsur budaya lokal dalam pelayanan Gereja. Guna membantu Gereja berkomunikasi dengan orang setempat dan memperlajari budaya setempat, ada misionaris yang membuat kamus bahasa daerah dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda.

Gereja menggunakan bahasa lokal dalam perayaan ibadahnya. Para misionaris menerjemahkan doa-doa, lagu-lagu, dan bahkan Alkitab dari bahasa Belanda ke dalam bahasa setempat. Karya-karya terjemahan ini memungkinkan orang setempat untuk berdoa kepada Allah dan menyanyikan lagu rohani dalam bahasa daerahnya, dan mendengarkan Firman Tuhan dalam bahasa yang dikenalnya. Dengan praktek ini, orang setempat tidak perlu susah payah belajar bahasa asing, entah bahasa Belanda atau Indonesia, hanya untuk berdoa kepada Allah. Mereka bisa dan dibiasakan oleh Gereja untuk berkomunikasi dengan Allah dalam bahasa daerah mereka. Dengan demikian, orang lokal dapat berdoa dimana saja dan kapan saja dalam bahasanya.

Selain menggunakan bahasa daerah, Gereja juga mengakomodir budaya setempat dengan mengggunakan ukiran-ukiran budaya setempat dalam Gedung Gereja. Lambang dan simbol budaya digunakan sebagai sarana pengungkapan iman umat. Gereja menggunakan nilai-nilai unggul dari budaya lokal dalam pewartaan. Semua praktek ini memperlihatkan bahwa Gereja Katolik menghormati orang setempat beserta kebudayaannya.
  
Memperbaharui Budaya

Gereja, tentunya, tidak meromatisir kebudayaan setempat. Gereja juga tidak mngajarkan orang Papua untuk hanya mempertahankan keaslian budayanya dan menolak perkembangan zaman. Gereja meyakini bahwa setiap kebudayaan, termasuk kebudayaan dari suku-suku bangsa Papua, mengandung unsur-unsur positif dan negatif. Oleh sebab itu, di satu pihak Gereja mengakomodir hal-hal positif dari budaya lokal. Tetapi pada pihak lain, Gereja menantang orang setempat untuk memperbaharui budayanya sendiri dalam terang Alkitab dan dengan mempertimbangkan perkembangan dan tuntutan zaman.

Gereja tidak memaksa penduduk setempat untuk memperbaharui budayanya, karena Gereja tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya atas penduduk lokal. Gereja berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan orang setempat untuk berkumpul dan melakukan diskusi dan refleksi, sehingga mereka dapat menemukan dan menilai sendiri praktek-praktek dalam budayanya yang ternyata menghambat perkembangan mereka sebagai manusia ciptaan Allah. Ketika mereka menemukan praktek budaya yang negatif, mereka berdiskusi dan mengambil keputusan sendiri untuk meninggalkan praktek-praktek tersebut. Dengan demikian penduduk lokal berperan sebagai subyek yang memperhabarui dan mengembangkan budayanya sendiri. Gereja menerima apa yang disumbangkan oleh budaya setempat dan memungkinkan orang setempat untuk memperbaharui sendiri budayanya.#

 ___________
*Neles Tebay adalah dosen pada STFT Fajar Timur di Abepura.

( Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - April 2016)

Jumat, 01 April 2016

Miras yang Akhirnya Dilarang

Penulis : Yaan Yoku *

MELALUI perdebatan yang luar biasa oleh peserta Rapat Kerja Daerah, akhirnya Pakta Integritas Pelarangan Minuman Keras ditandatangani oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP. MH bersama seluruh Forkompimda serta para bupati dan walikota dan seluruh Muspida di masing-masing kabupaten/kota pada momentum Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Bupati/Walikota se Provinsi Papua yang berlangsung di Sasana Krida Kantor Gubernur Provinsi Papua, Rabu (30/3).
 Tindakan tegas yang dilakukan oleh Gubernur adalah bagian dari sikap kepeduliannya terhadap nasib orang asli Papua yang semakin terpuruk karena miras. Miras telah menghancurkan tatanan hidup orang Papua dan sebelum terjadi pemusnahan terhadap orang asli Papua, Gubernur melakukan tindakan pencegahan dengan melakukan pelarangan terhadap peredaran miras di seluruh tanah Papua yang ditandai dengan penandatanganan pakta integritas pelarangan terhadap miras sesuai Perda Provinsi Papua nomor 15 tahun 2013.
 Banyak pihak pesimis terhadap komitmen yang telah dilakukan ini, tapi Gubernur dengan tegas menyatakan bahwa kapan lagi hal ini dilakukan, apakah kita harus menunggu sampai orang Papua semua meninggal baru kita tanda tangan berlakukan pelarangan miras, sehingga menurut Gubernur hal ini harus dilakukan saat ini karena dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh miras sangat buruk. Banyak kasus yang terjadi diakibatkan karena miras  berujung pada kematian serta kehancuran keluarga.
 Sikap tegas Gubernur patut mendapatkan apresiasi dan acungan jempol dari kita semua, tidak hanya itu, tapi apa yang telah di gagas ini harus mendapat dukungan dari seluruh masyarakat di tanah Papua, sebab hari ini banyak orang di Indonesia menganggap orang Papua pemabuk sehingga wilayah Indonesia bagian Timur menjadi pasar potensial penjualan miras. Sehingga apa yang di gagas ini mewakili masyarakat di ujung Timur Indonesia untuk menunjukkan kepada saudara-saudara kita yang lain bahwa orang Papua tidak seperti yang mereka bayangkan sebab kita memiliki harkat dan martabat serta harga diri sebagai sebuah bangsa.
 Memang pada tataran implementasi pasti tidak akan berjalan mulus sebab persoalan miras sama saja dengan mengurai benang kusut. Contoh kasus seperti yang diungkapkan Bupati Jayapura, selama masa kepemimpinannya, dua tahun beliau tidak mengeluarkan ijin penjualan miras di Kabupaten Jayapura, tapi selama dua tahun tersebut miras di jual bebas di kabupaten Jayapura dan tiap hari orang mabuk. Di Kabupaten Mamberamo Raya juga telah ditetapkan Perda Pelarangan Miras, tapi tetap masih saja orang mabuk dan miras di jual bebas.
 Karena itu, menyikapi hal ini harus ada komitmen bersama dari semua pihak untuk mengawal hal ini mulai dari tingkat Provinsi hingga sampai ke kabupaten/kota, agar pakta integritas pelarangan miras ini benar-benar dilakukan oleh semua lembaga yang berkompeten dalam hal ini, melalui tugas pokok dan fungsi masing-masing, sehingga Perda Provinsi Papua nomor 15 tahun 2013 ini dapat dilaksanakan dan diimplementasikan secara murni dan konsekuen di Bumi Cenderawasih.
 Salah satu strategi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua dalam mengawal implementasi pakta integritas dan Perda nomor 15 tahun 2013 adalah membentuk satgas anti miras yang akan mengawal dan mengawasi penjualan dan peredaran miras di toko-toko, bandara, pelabuhan, tempat-tempat hiburan dan di berbagai tempat yang dianggap rawan terhadap peredaran miras. Terlepas dari itu, keterlibatan dan partisipasi seluruh masyarakat sangat dibutuhkan agar proses ini dapat berjalan dengan baik sesuai harapan untuk mencapai tujuan. Memang dalam penegakkan aturan terkait pelaksanaan pelarangan miras, pasti akan berbenturan dengan berbagai kepentingan dan berbagai kalangan. Namun semua itu tidak boleh mengurangi tekad dan semangat serta komitmen kita untuk memberantas miras dari tanah Papua, sebab kalau bukan kita siapa lagi yang dapat melakukannya.
 Apa yang telah dilakukan ini dalam masa kepemimpinan Bapak Gubernur Lukas Enembe, SIP. MH dan Bapak Wakil Gubernur, Klemen Tinal, SE. MM merupakan sebuah catatan tersendiri yang akan dikenang oleh anak cucu kita, sebagai sebuah terobosan spektakuler dalam rangka mencegah pemusnahan orang Papua diatas tanahnya sendiri.
 Keberhasilan dari langkah dan terobosan ini akan ditentukan oleh kita sekalian seiring waktu yang berjalan, sebab para Pemimpin hanya meletakkan dasar dan pijakan awal bagi sebuah proses mencapai tujuan. Langkah majunya sangat ditentukan oleh peran dan tanggungjawab kita sekalian, kalau kita tidak peduli maka peristiwa akbar ini hanya akan menjadi catatan manis tanpa makna diatas kertas yang lebih bersifat ceremonial belaka.
 Tapi dari pengalaman pahit yang telah diakibatkan oleh miras, baik di tengah keluarga, masyarakat dan lingkungan, maka saya percaya harapan besar Bapak Gubernur tidak akan sia-sia, tapi akan memberikan hasil maksimal yang positif bagi sebuah upaya untuk membangun tanah Papua agar manusianya memiliki kualitas hidup dan kualitas intelektual yang bagus demi menggapai tantangan pembangunan kedepan untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
 Karena itu, gema pelarangan miras yang di mulai dari Sasana Krida ini, harus ditangkap dan dimulai sebagai sebuah komitmen dari lingkungan keluarga kita masing-masing, dari lingkungan kerja kita, dari lingkungan gereja, masjid, vihara dan pura, dari lingkungan belajar, dari lingkungan kerja kita, dan yang lebih penting hal ini harus menjadi sebuah komitmen dari para pemimpin lembaga penegak hukum, TNI-Polri, ormas, orsospol, paguyuban, institusi swasta serta seluruh komponen masyarakat, agar dampak buruk yang diakibatkan oleh miras ini dapat di cegah sehingga tidak terjadi suatu saat manusia hitam kulit dan keriting rambut ini hanya tinggal nama saja diatas tanah leluhurnya, yang diakibatkan karena latihan lain main lain.***


*Penulis adalah PNS  pada DISORDA Provinsi Papua
(tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos 2016)

Pentingkah Pendekatan Ilmiah Dalam Olahraga?

Oleh: Dr. Tri Setyo Guntoro, M.Kes*
In training everyone focuses on 90 percent physical and 10 perecent mental, but in the races it’s 90 percent mental because there’s very little that separates us physically at the elite level (Elka Graham, Australian swimming legend)

PERKEMBANGAN  zaman membawa banyak perubahan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam olahraga. Orang bijak mengatakan bahwa perubahan adalah keniscayaan, apabila kita tidak berubah maka kita akan digilas dengan perubahan.
 Jaman dahulu, yaitu pada tahun 1896 ketika Olimpiade dilaksanakan pertama kali, sangat bisa jadi pendekatan ilmiah masih belum menyentuh ranah olahraga kala itu. Oleh karenanya, faktor kualitas fisik menjadi hal yang dominan dari atlet. Bagaimana dengan sekarang? Tentu sangat berbeda.
 Dewasa ini, untuk mejadi atlet top maka bukan hanya kualitas fisik yang menjadi faktor penentu. Kualitas mental juga menjadi faktor yang krusial. Lihat apa yang dikatakan oleh Elka Graham di atas! Setiap orang cenderung hanya memfokuskan pada latihan fisik dan mengesampingkan latihan mental padahal di dalam lapangan, yaitu ketika bertanding faktor mental mejadi lebih besar pengaruhnya dalam menentukan hasil pertandingan.
 Pertanyaannya kemudian, bagaimana melatih mental agar atlet kita memiliki mental juara? Dalam disiplin ilmu psikologi olahraga disebutkan bahwa banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan atau memperbaiki mental atlet. Misalnya, latihan imajeri, konsentrasi, relaksasi, goal setting dan lain sebagainya. Dengan melakukan latihan mental tersebut maka mental atlet akan terbentuk dan sangat bisa jadi mereka akan memiliki mental juara.
 Kembali ke judul tulisan tersebut yaitu “pentingkah pendekatan ilmiah dalam olahraga?” Sebagai seorang akademisi saya menilai bahwa dengan persaingan yang semakin hari semakin ketat ini maka menggunakan pendekatan ilmiah menjadi suatu keharusan dalam mengintervensi prestasi olahraga. Apabila kita tetap bertahan dengan pendekatan konvensional atau tradisional maka saya berhipotesis bahwa prestasi olahraga kita akan stagnant dan yang lebih menghawatirkan adalah kita akan mengalami degradasi prestasi. Apakah itu bisa terjadi? Sangat mungkin akan terjadi karena kompetitor kita sudah menggunakan pendekatan ilmiah atau yag biasa disebut dengan sports science approache.
 Baru-baru ini saya dan Dekan FIK Uncen diundang menghadiri Workshop Program Indonesia Emas (Prima), High Performance Opertion Plan (Hipop) di Bandung. Dari workshop tersebut jelas semakin menguatkan argumentasi saya bahwa pendekatan ilmiah dalam olahraga menjadi keharusan dewasa ini ketika kita ingin prestasi olahraga meningkat.
 Dalam sports science akan dikupas antara lain tentang bergerak secara efektif dan efisien serta menghindari cedera. Hal ini masuk dalam bahasan kinesiologi dan biomekanika; Pengembangan mental juara serta mengurangi kegugupan (anxiety) ketika bertanding. Hal ini akan dibahas dalam psikologi olahraga; Peningkatan daya tahan baik aerob maupun anaerob serta kaitannya dengan sistem kardiorespirasi.
 Hal ini akan dibahas dalam fisiologi olahraga; Pola makan untuk para atlet, baik sebelum maupun sesudah bertanding bukan persoalan enak dan tidak atau tidak berselera . Hal ini akan dibahas dalam gizi olahraga. Sesunguhnya, masih banyak disiplin ilmu lainnya yang akan membantu kita dalam memahami dan meningkatkan performance olahraga.
 Perubahan pendekatan dalam pembinaan dan peningkatan prestasi perlu dilakukan ketika kita menghendaki prestasi tinggi dalam olahraga. Tanpa itu muskil rasanya prestasi yang optimal terwujud. Menyelengarakan workshop prestasi olahraga seperti yang dilakukan oleh Koni Papua kemarin patut diapresiasi (Cepos, 22/12/2015: Hal. 20). Kedepanya hal ini perlu dimasifkan karena melalui kegiatan semacam itu perubahan pola pikir dari para pelatih yang ada di Papua akan terjadi.
 Pelatih tidak hanya melatih dengan cara konvensional dan mengacu pada apa yang pernah mereka terima ketika dilatih yaitu pada saat menjadi atlet. Tapi program latihan yang dibuat perlu dikembangkan  berdasarkan data dengan mengacu pada pendekatan ilmiah. Apabila itu dilakukan maka prestasi hanya soal waktu saja.
 Dalam konteks olahraga, pelatih merupakan garda terdepan karena melalui mereka atlet-atlet ditempa dan dibina. Itu artinya, meningkatkan kompetensi serta keilmuan mereka menjadi prasyarat untuk membawa prestasi. Apabila mereka tidak diberdayakan maka prestasi adalah sebuah mimpi.
 Dr. Greg Wilson(2015), Sport Scientist asal Australia mengatakan “Indonesia is the  largest country in the world with population of 250 million people.... Indonesia should place  in SEA Games, top 5 in Asian Games and top 10 in the Olympic Games. This is Indonesia’s rightful place in world sport”.  Apa yang dikatakan oleh Wilson di atas bukanlah hisapan jempol semata. Ketika kita mampu mengelola olahraga dengan benar dan tepat maka prestasi yang dinanti besar kemungkinan akan mampu kita genggam dan itu perlu waktu dalam pembinaan.
 Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara mengelola olahraga yang benar dan tepat ? Tanpa bermaksud menyederhakan suatu yang memang tidak sederhana, saya berargumen bahwa ketika berbicara dalam konteks olahraga prestasi maka menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengelola olahraga menjadi pondasi yang kuat untuk mencapai prestasi. Tanpa itu, kita akan bergelut dengan malapraktik dalam olahraga, yaitu kita mengelola olahraga dengan salah. Semoga ini tidak terjadi, amin. ***

*Dosen FIK UNCEN