(Sebuah
Refleksi oleh klasis GKI Jayapura dalam menyambut Hari Lingkungan Hidup)
Oleh: Pdt. Anike Mirino*
Makna
Hutan Bagi Masyarakat Papua
Bagi masyarakat lokal Papua, Hutan dan laut dipandang sebagai sumber kehidupan. Hampir
seluruh kebutuhan masyarakat di ambil dari hutan dan laut. ketergantungan
masyarakat ini sudah ada sejak zaman dahalu sebelum mereka mengenal dunia luar,
sampai sekarangpun masyarakat memandang hutan sebagai gudang makanan, kehidupan
masyarakat local yang hidup di pesisir pantai bergantung kepada hutan sagu dan
hutan manggrof, menokok sagu, menangkap ikan dan berburu secara tradisional.
Masyarakat yang bertempat tinggal di pegunungan juga bergantung kepada ubi-ubian
dan berburu secara tradisional.
Laut
sebagai sumber kehidupan bagi manusia dan Biota laut lainnya telah mengalami
kerusakan cukup parah akibat pemboman,bencana alam diakibatkan tsunami, kerusakan
hutan manggrof, dan pembangunan yang tidak memiliki analisa masalah dampak
lingkungan, pembuangan sampah, limbah indstri dan rumah tangga.
Disamping hutan berfungsi sebagai sumber
makanan bagi masyarakat local, karena hutan telah menyiapkan makanan local
seperi sagu, hutan juga berfungsi sebagai sumber bahan obat-obatan karena ada
obat-obat tradisional yang diambil dari hutan untuk menyembuhkan orang sakit.
Bahkan sumber asesoris budayapun diambil dari hutan, untuk menjalankan upacara
adat bagi seluruh masyarakat di Papua dan juga ada tempat di kawasan hutan yang
digunakan untuk ritual adat tertentu.
Kita dapat bayangkan kalau hutan ini hancur atau habis maka kehidupan
masyarakat local pun akan menjadi sulit dan akan menderita.
Saat ini perkembangan lingkungan hidup berupa
hutan,laut dan kekayaan alam yang sesungguhnya berfungsi sebagai penunjang
kehidupan manusia, telah mengalami kerusakan berat. Faktor lain juga menambah
tingkat kerusakan ini adalah pembuangan sampah, yang tidak teratur, polusi dari
asap-asap kendaraan bermotor, dan lain-lain.
Bentuk Pengakuan
Negara Terhadap Hutan Masyarakat Papua sebagai satu kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kesatuan masyarakat Hukum
Adat masyarakat Papua sangat berbeda dari masyarakat Indonesia pada umumnya,
karena hidup dan karya orang Papua selalu di dalam hutan dan sangat bergantung
pada kekayaan hasil hutan. Hutan yang dikelola oleh masyarakat Papua adalah
aset yang tak ternilai harganya, merupakan warisan leluhur secara
turun-temurun. Hutan bagi orang papua adalah ibu, surga berada di telapak kaki
ibu. Itu sebabnya Orang asli Papua sangat menghormati, menghargai dan menjaga
hutannya sebagai anugerah yang diberikan Tuhan bagi orang Papua. Dalam
pemanfaatannya tidak dilakukan secara serampangan tetapi dikelola dengan sistim
hukum adat. Hutan di Papua sangat berkaitan dengan hak kepemilikan yang diatur
dengan hukum adat, karena kepemilikannya secara komunal. Itu sebabnya ketika
aktifitas pembukaan hutan secara besar-besaran di Papua, pasti akan berbenturan
dengan ketentuan adat yang bisa berdampak positif maupun negatif. Dalam praktek
pengelolaan hutan di Papua, masyarakat asli pemilik hutan dan hak ulayat selalu
menjadi korban, dan seolah-olah hal ini sudah biasa dan dianggap wajar sehingga
dalam prosesnya pihak-pihak terkait termasuk pemerintah di dalamnya sering
mengabaikan faktor perlindungan, pendampingan, pembinaan dan pengawasan bagi
kepentingan masyarakat pemilik hutan dan hak ulayat.
Padahal sejumlah Regulasi
yang dibuat oleh Negara sangat jelas memberi pengakuan dan memposisikan
masyarakat hukum adat pemilik hak ulayat. Negara mengakui keberadaan hutan
adat, masyarakat hukum adat, dan hak ulayat masyarakat adat. Sekedar memberi
ringkasan pada pemahaman negara terhadap status hukum adat, hutan adat dan hak
ulayat masyarakat adat, Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada
apabila memenuhi tiga unsur, yaitu :
1.
Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang
masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya seharihari;
2.
Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang
menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
3.
Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu
terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan
tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan
hukum adat tersebut
Beberapa Regulasi yang selama ini menjadi polemik dalam prakteknya
dimasyarakat :
1.
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada Pasal 1
ayat 6 dalam ketentuan umum dikatakan bahwa: Hutan adat adalah hutan negara
yang berada dalam wilayah masyatakat hukum adat, sehingga walaupun hutan adat
diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara, tetapi sebenarnya negara
mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 67 ayat 2
dinyatakan, bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah
2.
Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air juga
mencantumkan pengakuan terhadap masyarakat adat atas hak ulayat. Pasal 6 ayat
(2) mengatur bahwa penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah
dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum
adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
3.
Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mewajibkan
kepada pengusaha di bidang perkebunan yang mengajukan permohonan hak atas satu
wilayah tertentu untuk terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan masyarakat
hukum adat yang memegang hak ulayat atas suatu wilayah. Hal ini secara tegas
disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perkebunan yang berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal tanah yang
diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hokum adat yang menurut
kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.”
Masih banyak lagi
Regulasi yang dibuat oleh Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, namun dalam prakteknya hanya menjadi penghias lembaran kertas alias
formalitas sebagai sebuah syarat. Dengan banyaknya kasus ilegal loging, ilegal
fhising di Papua adalah bukti bahwa penerapan regulasi tidak sejalan dengan
kaidah filosofi dan pemaknaan regulasi tersebut, maka wajarlah kalau dikatakan
peraturan dibuat untuk dilanggar bukan untuk dipatuhi. Pelaku pelanggarannya
dibiarkan terstruktur bagai mafia kayu, karena ternyata mafia kayu biasa bebas
beraksi di hutan-hutan adat milik masyarakat hukum adat Papua sampai hari ini
karena ada mafia regulasi....dosanya bukan hanya pada pemain atau cukong hutan
kayu, tetapi dosa yang terbesar dipikul adalah pada mafia regulasi. Karena
Firman Tuhan mengatakan, apabila kamu sudah mengetahuinya, tetapi kamu tetap
dengan sengaja melakukannya maka dosamu tidak akan diampuni. Lebih baik
bersikap jentel seperti seorang penjahat yang mengakui dosanya kepada Tuhan
Yesus ketika nyawanya di ujung tanduk dan diselamatkan oleh Tuhan Yesus, dari
pada bersikap sepeti ahli taurat dan orang farisi yang mengadili Tuhan Yesus,
pada hal tidak didapati kesalahan apapun sebagaimana pengakuan Herodes.
Dampak Pengabaian
Kesatuan Hukum Adat dan Fenomena Pembangunan Kota Jayapura.
1.
Kota Jayapura sebagai ibu kota Provinsi Papua, menjadi kota tujuan
dan kota transit bagi migrasi penduduk dari luar Papua.
2.
Kota Jayapura merupakan Kota dengan Pertumbuhan Penduduk tertinggi
di dunia, oleh sebab itu tidak heran bila Ruang Kota Jayapura tidak mampu
menampung arus penduduk yang masuk ke Kota Jayapura setiap hari,
3.
Pembangunan yang tidak memperhatikan tata ruang Kota Jayapura,
menyebabkan estetika dan keindahan kota Jayapura terabaikan. Kepentingan pelaku
ekonomi dan pebisnis kelas kakap sampai kelas teri saling bersaing untuk
mendapat ruang dan kesempatan menggunakan lahan dan tanah dengan mengabaikan
kepentingan umum, kepentingan masyarakat adat dan kepentingan pribadi.
4.
Transaksi Jual beli tanah di kota Jayapura sangat tinggi, hampir satiap
jengkal tanah di Kota Jayapura telah dipasang papan nama pemilik yang bukan
marga dari suku-suku asli pemilik hak ulayat. Konflik jual beli tanah antara
pembeli dengan broker tanah, pembeli dengan penggarap dan penyewa, dan antara
pemilik dengan pembeli sudah biasa terjadi.
5.
Pertumbuhan Ruko dan Mall di pinggir jalan utama atau jalan
protokol sangat subur, tanah pemukiman dan pekarangan rumah yang tadinya luas
dan indah menghiasi jalan protokol tiba-tiba berubah menjadi tumbuhan yang
dinamanya ruko dan mall.
6.
Kawasan perbukitan, daerah resapan dan lereng-lereng gunung
Jayapura yang dulunya hijau kini dihiasi oleh bangunan rumah berbagai bentuk
dari yang mewah sampai yang kumuh....
7.
Hampir setiap sudut Kota Jayapura berubah fungsi menjadi tempat
perdagangan dan pasar, bahkan pinggiran jalan protokol maupun jalan arteri dan
jalan penghubung ditutupi oleh aktifitas warung, gerobak dorong, motor penjajak
dagangan, sampai tukang ojek dan supir taksi rental dan taksi antara kota yang
berjuang mengais rejeki.....menyebabkan ruang bagi pejalan kaki semakin
sulit.....
Pembangunan yang semakin
semrawut di Kota Jayapura yang mengabaikan fungsi Tata Ruang Kota
Jayapura, telah mengakibatkan rusaknya
lingkungan Kota yang semakin parah, sehingga wajarlah kalau ini menjadi lampu
hijau atau peringatan bagi kita semua bahwa Kota Jayapura dapat dikategorikan
sebagai Kota Darurat Bencana dan Wabah harus ditanggapi serius oleh kita semua
yang hidup dan mencintai Kota ini.
Masih teringat dengan
jelas di ingatan kita, Kisah tragis di malam Tahun Baru 2012,
Hujan deras yang mengguyur Kota Jayapura menjelang malam
pergantian tahun mengakibatkan banjir di sekitar kawasan Entrop dan pusat Kota
Jayapura, Selasa (31/12). Hujan yang turun sejak sore hari dan berlangsung
sekitar empat jam tersebut membuat air di Kali Entrop meluap dan melintas di
atas jembatan serta menggenangi Jalan Raya Abepura-Entrop hingga di depan
Kompleks Assalam, Entrop. Selain itu, banjir juga terlihat terjadi di beberapa
titik di sekitar Entrop seperti PTC dan daerah pertokoan di samping Balai
Wartawan.
Banjir yang terjadi di
sekitar kawasan Entrop ini mengakibatkan terjadinya antrian panjang kendaraan
baik dari arah Jayapura maupun dari arah Hamadi. Pasalnya kendaraan tidak dapat
melintas di Jembatan Entrop yang tergenang air hingga pinggang orang dewasa dan
arus air sangat kencang. Genangan air juga terjadi di sekitar daerah PTC Entrop
akibat meluapnya kali yang berada di samping Mapolsek Japsel. Air bercampur
lumpur tersebut tidak hanya menggenangi Mapolsek Japsel dan Koramil, tetapi
juga dalam kawasan PTC. Akibat genangan air tersebut, aparat Polsek Japsel
terpaksa menutup jalur jalan di depan PTC
Catatan Kristis di
Kota Jayapura menjadi cermin bagi kita bahwa :
Sakitnya atau rusaknya planet bumi disebabkan oleh ulah manusia sendiri yaitu
dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara
memanfaatkan dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan
destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan mengandung aspek
pengrusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Sayangnya kesadaran akan semakin rusaknya
lingkungan hidup mulai muncul sesudah
perang dunia kedua dan mulai mengglobal tiga dekade yang lalu ketika alam
terlanjur rusak berat atau sakit parah. Ketika itu manusia makin menyadari
bahwa sumber-sumber alam (khususnya non renewable resources) semakin menipis.
Pengalih fungsian hutan misalnya, hutan
selain sebagai sumber bahan baku untuk diolah menjadi bahan produk, juga
dikonversi menjadi lahan - pertanian. Pengrusakan ini diperberat oleh polusi
atau pencemaran. Untuk menjaga kesuburan lahan pertanian digunakan pupuk kimia
dan untuk menjaga panen dari serangan hama digunakan pestisida secara
besar-besaran sehingga produksi pertanian meningkat, akibat yang dari
penggunaan pupuk kimia secara berlebihan berdampak pada kesehatan manusia yang
mengkonsumsi hasil pertanian. bersama dengan industri dan transportasi yang
dibangun untuk meningkatkan produksi dan distribusi, membentur alam dalam
bentuk polusi. Akibatnya sumber alam semakin menipis, kemampuan daya dukung
alam berkurang dan mengancam kehidupan manusia sendiri.
Apa
kata teologi atau etika Kristen?
Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa
manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa
manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan
tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar
Allah (Imago Dei) dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan
bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral
dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi ia diberikan kekuasaan
untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya
seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.
1.
Kesatuan manusia dengan alam
Alkitab menggambarkan kesatuan manusia
dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah
membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala
binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut adam. Nama
itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, adamah yang berarti warna
merah kecoklatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam
bahasa Latin manusia disebut homo, yang juga mempunyai makna yang berkaitan
dengan humus, yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan
bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait mengkait dengan manusia: manusia
diciptakan dari tanah (Kej 2:7; 3:19,23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej 3:19; Maz 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan
hidup) hidup saling bergantung - sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu,
kalau manusia merusak alam maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya
sendiri.
2.
Kepemimpinan manusia atas alam
Walaupun manusia dengan alam saling
bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan
unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah
dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh
ciptaan yang lain (Kej 1:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan
hidupnya (Kej 2:15). Jadi manusia mempunyai kuasa yang lebih besar
daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang
dimahkotai kemulian dan hormat (Maz 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama
Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah.
Ia adalah citra maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Dan karena ia menjadi
wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan
perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus
dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa yaitu Allah. Itu sebabnya manusia
tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja
lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan care taker. Maka sebaiknya
manusia memberlakukan secara seimbang. Artinya pengelolaan dan pemanfaatan
sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.
Kata mengelola
dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani abudah, yang sama
maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah
seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya
kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan
secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah
yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup
manusia, termasuk hal mengelola (abudah) dan memelihara (samar) lingkungan
hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.
3.
Kegagalan manusia memelihara alam
Alkitab mencatat secara khusus adanya
"keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti Allah dan
karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak
bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah tetapi juga dengan sesamanya
dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama
ciptaan" tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya".
Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk
dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan
(utilistik materialistik). Manusia hanya memperhatikan tugas menguasai tetapi
tidak memperhatikan tugas memelihara. Dengan demikian manusia gagal melaksanakan
tugas kepemimpinannya atas alam.
Secara teologis dapat dikatakan bahwa akar
kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang
dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental
loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekedar untuk memenuhi
kebutuhannya tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain,
manusia berdosa adalah manusia yang hakekatnya berubah dari "a needy
being" menjadi "a greedy baing". Kegagalan dalam melaksanakan
tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam
mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-keinginannya.
4.
Hubungan baru manusia - alam
Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah
dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia
dengan alam. Atas dasar itu maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah
dipulihkan.
Dalam iman Kristen hubungan baru manusia
dengan alam bukan saja hubungan dominio (menguasai) tetapi juga hubungan
comunio (persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah berinkarnasi itu
menggunakan pula unsur-unsur alam yaitu "air, anggur dan roti" dalam
sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru manusia dengan Allah.
Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang baik harus tercermin dalam
hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Allah harus
tercermin dalam persekutuan dengan alam.
1.
Solidaritas dengan alam
Karena manusia dengan lingkungan hidup
adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan hubungannya oleh Tuhan Yesus
Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus (2 Kor 5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan
alam. Hubungan solider (sesama ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam
mestinya diperlakukan dengan penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan
penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya
juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena-mena,
tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau
punah. Manusia tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap
sesama makhluk. Dengan cara itu manusia dan alam secara bersama (koperatif) menjaga
dan memelihara ekosistem. Contoh konkrit: manusia berdisiplin dalam membuang
sampah atau limbah (individu, rumah tangga, industri, kantor dan sebagainya)
agar tidak mencemari lingkungan dan merusak ekosistem. Pencemaran/polusi
mestinya dicegah, diminimalkan dan dihapuskan supaya alam tidak sakit atau
rusak. Kita bertanggung jawab atas kesehatan dan kesegaran alam kita.
Sikap
solider dengan alam dapat pula ditunjukkan dengan sikap hormat dan menghargai
(respek) terhadap alam. Tidak berarti alam disembah, tetapi alam dihargai
sebagai ciptaan yang dikaruniakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia,
sekaligus yang menjadi cerminan kemuliaan Allah: Dengan menghargai alam berarti
menghargai Sang Pencipta dan Sang Penebus.
2.
Pelayanan yang bertanggung jawab (stewardship)
Alam adalah titipan dari Allah untuk
dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi
sekaligus adalah rumahnya. Maka sumber-sumber alam diberikan kepada manusia
tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan
sumber-sumber alam itu secara bertanggung jawab. Memanfaatan/penggunaan
sumber-sumber alam haruslah dilihat sebagai bagian dari pelayanan. Alam
digunakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan
kebutuhan lingkungan yaitu menjaga ekosistem. Tetapi alam juga digunakan dengan
memperhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi yang akan datang.
Memanfaatkan alam adalah bagian dari
pertanggungjawaban talenta yang diberikan/ dipercayakan oleh Tuhan kepada
manusia (Mat 25:14-30 par.). Allah: telah mempercayakan alam ini
untuk dimanfaatkan dan dipakai. Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk
disuburkan dan dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal. Oleh
karena itu maka alam mesti dipelihara dan keuntungan yang dapat dari alam
sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam
3.
Pertobatan dan pengendalian diri
Kerusakan lingkungan berakar dalam
keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya manusia yang dikuasai dosa
keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara teologis dapat
dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis
moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. Dengan demikian
setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang
berarti tindakan dosa. Dalam arti itu maka upaya pelestarian lingkungan hidup
harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan pengendalian diri. Dilihat dari sudut
pandang Kristen maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang pertama dan utama
adalah mempraktekkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan dan
pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan
keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.
Usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai
ibadah kepada Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern
alias materialisme/mamonisme. Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud
kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu
penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan
Alam ini berfungsi ekumenis (untuk didiami)
oleh seluruh ciptaan lainnya. Alam ini rumah kita. Kata-kata ekonomi, ekumene
dan ekologi berakar dalam kata Yunani oikos artinya rumah. Ekonomi berarti
menata rumah, itulah tugas pengelolaan kebutuhan hidup. Ekumene berarti
mendiami rumah. Itulah tugas penataan kehidupan yang harmonis. Ekologi berarti
mengetahui/menyelidiki rumah. Itulah tugas memahami tanggung jawab terhadap
alam.#
Selamat
Memperingati Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2015
______________
*Penulis adalah Sekretaris
Keadilan Perdamaian Klasis GKI Jayapura
( artikel ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos - Juni 2015)