Selasa, 29 Desember 2015

Corak Produksi Manusia Papua Dulu dan Kini

Oleh : Julian Howay*

  BERAWAL dari sejarah geologinya. Sebelum zaman pencarian es yang terjadi sekitar 80.000-12.000 tahun lalu, pulau Papua, benua Australia dan Pulau Tasmania membentuk satu benua besar bernama Daratan Sahul (Sahul Island). Sejarah geologi inilah yang menyebabkan ada kemiripan komposisi mineral batuan, bentang alam, iklim, hingga flora dan fauna diantara pulau-pulau yang semula membentuk Daratan Sahul.    
  Melalui sejumlah penemuan arkeologi, diperkirakan manusia telah menghuni Benua Sahul sekitar 50.000-25.000 tahun lalu. Nenek moyang mereka adalah kelompok manusia prasejarah yang diperkirakan keluar atau berasal dari pusat peradaban awal umat manusia di Afrika dengan melalui jalur panjang hingga sampai ke Benua Sahul. Mereka adalah kelompok manusia yang berasal dari ras Oseanik Negritos, ras Carpetarians, ras Murrayan dan ras Melanesia Purba. 
  Kelompok manusia yang datang secara bertahap tersebutlah yang membawa kebudayaan mesolitik, neolitik dan mesolitik. Mereka inilah yang kemudian menjadi nenek moyang penghuni benua Australia (orang Aborigin), pulau New Guinea hingga Pulau Tasmania. 
Setelah zaman pencarian es berlalu, pulau Papua tetap menjadi bagian dari planet dunia dengan kondisi geografis yang menampakan kerumitan untuk di jelajahi. Pulau ini memiliki panjang sekitar 2.700 km dan lebar 900 km, dengan luas keseluruhan mencapai  892.000 km persegi sehingga menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland (dikuasai kerajaan Denmark) dan terbesar pertama untuk kategori pulau berpenduduk. 
  Dalam banyak hal pulau New Guinea (Papua) adalah wilayah istimewa yang sejak berabad-abad lamanya terselubung misteri. Karena itu dianggap sebagai pulau besar yang belum dikenal seperti halnya benua Australia di selatan (tera Australia incognita), terutama bagi para penjelajah dari luar. Kisah-kisah awal mengenai pulau ini bagai dongeng yang menjadi buah bibir orang.   
Pada abad VI dan VII Sesudah Masehi pulau ini kemudian dikenal oleh para pedagang dan pelaut Persia, Gujarat dan India sehingga mereka menyebutnya “Dwipanta” atau “Samudranta” yang berarti “Ujung Samudera” atau “Ujung Lautan”. Selanutnya di abad VIII, seorang pedagang China bernama Chou Yu Kuan menyebut pulau ini dengan nama “Tungki” sebagai daerah asal rempah-rempah dan hasil hutan, selain itu juga dengan sebutan “Janggi” yang juga berarti wilayah yang dihuni orang-orang berkulit hitam.
  Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pedagang-pedagang Majapahit, Cina, Gujarat, dan India lebih dulu singgah di Papua. Bangsa Eropa yang pertama singgah di Papua adalah bangsa Portugis yang kemudian disusul oleh Spanyol, Inggris, dan Belanda. Faktor pendorong adanya penjelajahan dan penemuan benua baru itu sesungguhnya dipengaruhi oleh usaha mencari emas, rempah-rempah, kejayaan dan penginjilan Kristen atau yang dikenal dengan spirit 3G (Gold, Glory dan Gospel).
Penjelajahan itu kemudian membuat pelaut Portugis Jorge de Meneses menyebut pulau ini dengan nama “Papua” yang dalam bahasa Melayu berarti orang berambut keriting. Kemudian Alvero de Saavedra pada tahun pada 1528 menyebutnya “Isle del Oro” atau “Pulau Emas”. Pada abad XVI sesudah masehi atau antara tahun 1500-1800, Antoneo D’Abreuw pada 1511 dan Francesco Serano pada 1521 menyebut pulau ini dengan nama “Os Papuas” atau “Ilha de Papo Ia”. 
Kemudian antara tahun 1526-1527 pelaut Portugis, Don Jorge de Meneses menamai pulau ini “Papua” yang diketahui dari catatan Antonio Figa Veta, seorang juru tulis pada pelayaran Magellhaens (seorang pelaut yang terkenal di dunia). Nama itu diketahui Figa Veta saat singgah di Tidore dimana bahasa Tidore “Papo Ia” artinya “Tidak Bergabung” atau “Tidak Bersatu”, sedangkan bahasa Melayu artinya “Rambut Keriting”.
Selanjutnya pelaut Spanyol Ynigo Ortiz de Retes pada abad XVI menyebut pulau ini dengan nama Nova Guinea” atau “Guinea Baru” karena penduduknya mirip orang-orang Guinea, sebuah wilayah eks koloni Portugis yang pernah ia singgahi sebelum tiba di Papua. Nama ini pula yang kemudian diadopsi Belanda yang menyebut Papua sebagai “Nieuw Guinea” dari istilah Spanyol “Nova Guinea”.  
   pulau besar ini nantinya sekitar 40% atau hampir separuhnya pernah berada dibawah kolonisasi Belanda yang dimulai secara teratur dan resmi pada tahun 1898 (Joh Rauws, Onze ZendingsVelden:1919,2). Sedangkan bagian yang lain dari pulau ini pernah dikuasai Inggris (bagian selatan) dan Jerman (bagian utara). Namun saat meletus Perang Dunia I di tahun 1914, Inggris melalui Australia berhasil mengambil alih bagian utara yang tadinya di duduki Jerman.  
  Seiring berjalannya waktu, pulau Papua terbagi menjadi dua wilayah negara yang berbeda: Papua New Guinea (PNG) di sebelah timur yang memperoleh kemerdekaannya dari Inggris di tahun 1975, memiliki luas wilayah 476.000 km persegi. Sedangkan di sebelah barat adalah West Papua (Papua) dengan luas 416.000 km persegi atau seluas 3,5 kali luas pulau Jawa. Papua adalah wilayah berkas koloni Belanda yang kemudian menjadi wilayah kolonisasi Indonesia sejak 1 Mei 1963. 
Pembagian kekuasaan atas Pulau Papua antara Belanda dan Inggris semula didasarkan pada pada Perjanjian Den Haag, 16 Mei 1895. Perjanjian itu kemudian ditegaskan kembali dalam dua perjanjian: antara Pemerintah Indonesia dan Australia (1974) maupun Pemerintah Indonesia dan PNG pada 1984, tanpa merubah kesepakatan awal (J. R Mansoben, 1995:26). 

Corak Produksi
  Identifikasi corak produksi ibarat kompas yang menentukan kemana arah suatu masyarakat bangsa berkembang. Atau ibarat mikroskop yang dapat melihat ukuran-ukuran bakteri (makluk mikroskopis) yang menjadi penyebab penyakit dalam tubuh manusia. Demikian halnya bila hendak menilai tahapan perkembangan manusia Papua, perlu diidentifikasi corak produksinya.    
  Meskipun manusia Papua diperkirakan telah menghuni pulau Papua sekitar 50.000-25.000 tahun silam dan telah bersentuhan dengan para penjelajah dari luar pada abad VI dan VII, namun hal itu tidak terlalu mempengaruhi corak produksi mereka pada masa-masa pra-kapitalisme. Demikian pula hingga memasuki era kapitalisme yang dibawa oleh kolonisasi Belanda hingga Indonesia. 
  Pada masa pra kapitalisme, corak Produksi Masyarakat Papua adalah Komunal Primitif atau Masyarakat Tribal (tribal society) yang sedang berdialektika dan merangkak menuju corak produksi Masyarakat Perbudakan (slavery society) sebagai sebuah tatanan sosial peradaban baru. Dimana dalam corak produksi masyarakat tribal, pembagian kerja masyarakat ini masih bersandar pada pola-pala pembagian kerja tradisional yang ada dalam keluarga. 
  Cara mendapatkan makanannya adalah dari tingkat terendah: menangkap ikan di sungai, beternak sederhana, memelihara binatang buas seperti babi hutan, ayam liar, meramu sagu, dan sebagainya hingga sampai yang tertinggi bercocok tanam. Pola ini juga masih identik dengan ciri masyarakat subsisten Papua dewasa ini.
  Struktur masyarakat tribal ini terdiri dari keluarga, kepala keluarga laki-laki dan budak (terutama pada suku-suku di pesisir pantai utara yang sudah menerapkan kepemilikan budak di masa-masa pra kapitalisme). Sementara pada corak Produksi Masyarakat Perbudakan ditandai dengan sistem sosial kepemilikan budak. Pola ini umumnya pernah terjadi di Eropa dalam tahapan perkembangan masyarakatnya (Karl Marx,  The German Idiology).
  Sedangkan tipe perbudakan di Papua lahir sebagai akibat kontradiksi yang terjadi dalam sistem sosial masyarakatnya. Misalnya karena adanya konflik (perang suku) untuk menguasai sumber daya yang tersedia, motif kekayaan, pengaruh politik, wanita, hingga perluasan wilayah kekuasaan. Konflik kemudian menyebabkan penundukan klan yang satu oleh klan yang lain melalui perang suku. 
  Dimana klan yang kalah dijadikan budak, dilucuti hak-haknya sebagai manusia merdeka. Perbudakan juga bisa lahir akibat seseorang yang tidak mampu membayar hutang sehingga harus menyerahkan dirinya sebagai hamba (babu, pesuruh, pembantu) untuk melunasi hutang tersebut. Status itu dapat melekat seumur hidup atau kemudian para budak dapat menjadi manusia merdeka setelah ditebus (penebusan). 
  Pada fase masuknya era kapitalisme di Papua, dapat dikatakan bahwa corak produksi masyarakat Papua umumnya juga tidak terlalu banyak berubah. Sebab sebagian besar masyarakat Papua masih melakukan aktivitas yang berkaitan dengan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai masyarakat subsisten (berkebun, meramu, nelayan, beternak, menangkap ikan di sungai dan lain-lain). Hanya sebagian kecil saja yang telah beralih ke profesi pegawai (birokrat), buruh atau kaum pemilik modal (kapital) yang notabene telah menjadi janin borjuasi yang masih lemah produktifitasnya meski telah memiliki alat-alat produksi. 
  Dengan begitu dalam fase sejarah perkembangan nenek moyang orang Papua hingga hari ini, dapat dikatakan bahwa orang Papua telah mengalami tahapan perkembangan kebudayaan (peradaban) yang begitu lambat (lama) dibanding masyarakat Eropa atau Asia lainnya yang sudah berkembang corak produksinya sekian ratus tahun bahkan ribuan tahun. 
Dimana tahapan perkembangan mereka umumnya telah melewati fase pertama Masyarakat Komunal Primitif (Masyarakat Tribal), fase kedua Masyarakat Perbudakan, fase ketiga Masyarakat Feodal hingga menuju fase keempat Masyarakat Kapitalis saat ini. Di Eropa Barat misalnya, selama 300 tahun telah terjadi suksesi atau pergantian sistem sosial dalam masyarakatnya. Bahkan di Eropa Timur dan Tengah sudah terjadi empat kali pergantian sistem sosial meskipun musim dan suhu tidak berubah. 
  Sementara di Papua tahapan perkembangan masyarakat itu tidak berlangsung demikian. Yang terjadi adalah manusia Papua dengan corak produksi masyarakat komunal (tribal society) dipaksa melompat masuk ke tahapan corak produksi Masyarakat Kapitalis tanpa melalui fase corak produksi Masyarakat Perbudakan dan Masyarakat Feodal secara alamiah dan teratur. Hal inilah yang sering disebut sebagai lompatan peradaan (the jump of the civilization).
  Memang dalam teori kebudayaan, lompatan peradaban dapat saja menghasilkan penyesuaian-penyesuain (adaptasi) sebagai proses dialektika kebudayaan untuk menghasilkan kebudayaan baru dari hasil interaksi kebudayaan lama dengan kebudayaan luar. Namun pada masyarakat yang mengalami lompatan peradaban secara tidak wajar biasanya akan mengalami apa yang disebut kejutan budaya (culture shock). 
  Dengan ekses negatifnya berupa keterasingan dan marginalisasi secara psikologis maupun fisik. Ini terjadi karena di dalam diri mereka telah tertanam sindrom inferioritas: perasaan minder, inlander, tidak mau bersaing, mengalah, pasrah pada keadaan, merasa kalah sebelum bersaing hingga takut mengambil resiko untuk maju. 
  Pemikir Frantz Fanon dalam analisisnya menyebutkan bahwa perasaan dan sikap-sikap inferioritas dapat terjadi akibat suasana penindasan (kolonisasi), penguasaan, eksploitasi, penghisapan dan penundukan oleh bangsa (ras) atau manusia yang merasa diri lebih dominan (superior) terhadap manusia yang lemah dan dikuasai. Pihak yang lemah-lah yang kemudian menjadi subjek inferior terhadap pihak yang superior.   
  Berkaitan dengan mengapa begitu lambatnya tahapan perkembangan kebudayaan orang Papua hingga hari ini? Tentu hal ini tidak terlepas dari perkembangan tenaga produktif masyarakat Papua yang juga berjalan sangat lambat sejak era kolonialisme dan kapitalisme Belanda hingga Indonesia. Sebab perkembangan alat kerja, teknologi dan ilmu pengetahuan sangat berpengaruh, selain karena faktor kesulitan dan kendala geografis.#

 ____________
*)  Penulis adalah wartawan dan pegiat sosial. Anggota departemen pendidikan dan kajian Gerakan Rakyat Demokratik Papua (GARDA-P). 
    

Sabtu, 12 Desember 2015

Sekilas Makna Perayaan Natal

Oleh Gasper Muabuay *

PERINGATAN akan kelahiran Yesus Kristus oleh umat kristiani sedunia dirayakan setiap tahun pada 25 Desember. Diperkirakan Natal mulai dirayakan secara luas pada abad ke-5 di eropa sebagai makna peringatan akan kelahiran Yesus Kristus sesuai pemaknaan dari Injil Matius dan Lukas. Alkisah kelahiran bayi laki-laki Yesus Kristus melalui bunda Maria dari perantaraan Roh Kudus yang kita imani itu, di Betlehem yang disebut juga sebagai kota Daud tempat asal keturunan bangsa Yahudi dari silsilah Yesus Kristus.
Natal sendiri berasal dari bahasa Portugis yang berarti "kelahiran" yang adalah hari raya umat Kristen yang diperingati setiap tahun pada tanggal 25 Desember untuk mensyukuri kelahiran Yesus Kristus tersebut. Natal sejak itu dirayakan dalam kebaktian malam kudus pada tanggal 24 Desember dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember.
 Sehubungan itu, telah menjadi kebiasaan dimana perayaan natal dilakukan oleh umat kristen selama masa-masa menjelang peringatan hari kelahiran Yesus Kristus 25 Desember sesuai masa Adven itu. Selama ini telah digelar perayaannya menjelang/mendahului tanggal  25 Desember sebagai tanggal penentuan perayaan kelahiaran Yesus Kristus. Seperti lazimnya di Indonesia atau Papua selama ini, perayaan natal mulai digelar pada 1 Desember sampai 23 Desember.
 Hal ini dilakukan umat Kristen dengan alasan, mengingat jika dalam satu jemaat gereja atau komunitas Kristen misalnya, di bulan desember itu biasanya akan ada banyak jadwal perayaan natal menjelang 25 Desember oleh persekutuan dalam satu jemaat gereja dan komunitas Kristen tertentu.
Makna Berbagi Kasih Natal
Peringatan Natal juga memiliki beberapa tradisi di dunia, misalnya yang berasal dari warga kristen Barat dan kemudian contoh yang baik itu diadopsi pergelarannya oleh kita semua warga Kristen se-dunia. Diantaranya, misalnya menyiapkan pohon Natal; mengirim Ucapan Selamat Natal lewat sebuah Kartu Natal (Christmas Card);  Bertukar Hadiah antara teman dan Anggota Keluarga; serta mewujudkan kisah tentang peran Santa Klaus atau Sinterklas.
 Sinterklas yang dikisahkan memiliki brewok putih/hitam, berwajah putih/hitam dan berjubah merah atau warna serasi lainnya sangat mengagumkan anak-anak untuk dikenang seumur hidup mereka. Setelah memberikan hadiah, Sinterklas juga memberikan petuah dan wejangan syarat-syarat kehidupan yang dipesankan kepada anak-anak agar bisa dengar-dengaran nasihat orang tua, rajin ke sekolah minggu, rajin belajar di sekolah, rajin berdoa kepada Tuhan Yesus dan lain sebagainya. Sehingga dengan semua simbol-simbol peringatan itu, mengimani dan mengamini perayaan menjelang Natal atau sesudahnya menjadi lebih berarti dalam nuansa kehidupan kita yang merayakan hari kelahiranNya setahun sekali itu.
SK Gubernur Papua Tentang Hari Libur Masa Adven Natal
Sehubungan pembahasan di kalimat depan dan sesuai pengertian umum, kata Adven dalam Gereja Kristen adalah nama periode sebelum Natal. Nama Adven diambil dari kata Latin Adventus yang artinya adalah Kedatangan. Sehingga Natal selain merupakan suatu perayaan suka cita besar pada setiap 25 Desember, juga sebagai ucapan syukur umat Kristiani se-jagad atas peringatan tahunan menyambut kedatangan Sang Juru  Selamat Tuhan Yesus Kristus ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa-dosa. Seperti dijelaskan sebelumnya, hal ini juga sesuai dengan makna yang terfirmankan di dalam Alkitab Kristen.
 Sehubungan itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan, seperti yang kita telah tahu bersama, Pemerintah Provinsi Papua melalui SK Gubernur Papua Nomor 188.4/437/Tahun 2014 Tentang Hari-hari Libur Resmi di Wilayah Provinsi Papua Tahun 2015 telah menetapkan Tanggal 1 Desember 2015 dan seterusnya di setiap tahun adalah Cuti Bersama Masa Raya Advent memasuki Natal. Hal ini menurut penulis adalah satu kebijakkan pemerintah Provinsi Papua yang logis,  tepat dan strategis untuk diterapkan di Papua dengan penambahan satu hari libur bersama di daerah yang memiliki status Otonomi Khusus. Gubernur Papua dan Wakil Gubernur Papua yang didukung DPRP dan MRP bersama jajaran Muspida plus lainnya, juga nampak cukup bijaksana dan cerdas telah menetapkan Surat Keputusan tersebut bagi kebutuhan seluruh masyarakatnya.
Kemudian yang dimaksud dengan “Cuti Bersama” di sini adalah “Libur Bersama”. Artinya walaupun terlaksanakan dalam konteks masa-masa penantian atau masa-masa raya Adven menuju peringatan kedatangan Putera Natal Yesus Kristus. Namun liburan bersama yang telah dicetuskan pemerintah Provinsi Papua tersebut dapat dinikmati oleh semua orang, seperti pegawai pemerintah, anak-anak sekolah, mahasiswa, swastawan serta yang ada dan bermukim di bagian Tanah Papua ini. Juga penting untuk diingat pula bahwa hari libur regional 1 Desember ini adalah merupakan yang pertama kali dalam sejarah pemerintahan di Papua, sehingga wajib pula dihargai, dihayati dan dinikmati oleh kita semua dalam satu ruang suka cita dan damai sejahtera di negeri ini. Sebab juga merupakan satu arti penting pengejawantahan dari Injil masuk di Tanah  Papua sejak tahun 1855 dalam bentuk pekabaran Injil Kristus bagi kemajuan orang-orang Papua, termasuk membawa kabar kesukaan kelahiran Yesus Kristus yang kita boleh merayakannya setiap tahun sampai sekarang ini. Selamat merayakan masa-masa raya Adven Natal  menjelang kelahiran Yesus Kristus di Provinsi Papua. Immanuel-Syaloom! 

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial
( Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos 2015)

Jumat, 13 November 2015

Pembelajaran dari Bencana Asap dan Embun Beku

Dr. Hariman Dahrif, S.Pi, MTP*)

DISAAT belahan barat negeri ini terkapar dengan bencana asap, semua pikiranpun diarahkan ke sana.  Seakan-akan bagian Indonesia yang sedang ditimpah musibah dan bencana hanya wilayah tersebut.  Sampai-sampai kunjungan Presiden ke AS pun dipersingkat.  
Pada hal di saat yang sama di belangan timur negeri ini juga tertimpa bencana atau musibah tetapi kalau diperhatikan pendekatan penanganannya sangat berbeda.  Penanganan bencana asap begitu menterang, tidak hanya melibatkan TNI tetapi juga negera-negara luar.  Sementara  bencana embun beku mungkin sifatnya lokal sehingga cukup dengan penanganan lokal saja.  
 Namun bila cara pikir kita berpijak seperti itu, sesungguhnya pemerintah melakukan kekeliruan atau kesalahan.  Namanya bencana atau musibah mestinya perlakuan penanganannya sama, sebab antara bencana asap dan embun beku substansinya sama, yakni berakibat pada hilangnya nyawa anak manusia.   Bahkan bencana embun beku mestinya lebih diprioritaskan karena menyangkut harga diri bangsa bukan sebaliknya.  Bencana asap terjadi hampir pasti disebabkan  oleh faktor kesengajaan  dan nafsu serakah pengusaha-pengusaha sawit.  
 Dan hampir semua pengusaha itu berasal dari Singapura atau Malaysia.  Jadi kalau asap menganggu Negara tersebut itualah bagian dari “kualat” (kutukan) karena ulah mereka sendiri. Penangananya pun mestinya sederhana yakni “tegakan hukum” selesai!. Sebaliknya bencana embun beku terjadi  karena faktor alam dan bias kebijakan diluar dari kesengajaan.  Mestinya bencana seperti ini bisa dihindari kalau saja pemerintah khususnya pemerintah daerah di wilayah-wilayah tersebut bergaya pemerintahan tanggap dan antisipatif.   
 Kisah bencana asap dan embun beku sebenarnya bukan sesuatu yang baru terjadi.  Bencana embun beku misalnya pernah terjadi di masa pemerintahan Prsiden  SBY bahkan bahkan mungkin sebelumnya, tapi kita tidak mendatanya dengan baik.  Pada waktu itu sang Presiden langsung tanggap bahkan berkunjung di wilayah tersebut. Kebetulan wilayah yang mendapatkan bencana tersebut adalah Yahukimo.  
 Tidak cukup itu saja Presiden pun mendatangkan ahli pertanian dan salah satu hasilnya direkayasanya plasma nutfah tanaman ubi jalar dengan nama spesise diabadikan dari nama sang Presiden itu sendiri.  Kalau demikian mengapa bencana ini terus dan selalu berulang terjadi!.  Sebelum menjawabnya ada baiknya penulis mengajak pembaca sekalian menerawang masa lalu dari  kebiasaan masyakarat kita dalam menghadapi masa-masa sulit (paceklik) seperti itu dan membandingkan dengan apa yang dilakukan pemerintah dewasa ini.  
 Masyarakat Papua khususnya suku-suku yang hidup di Pegunungan seperti halnya masyarakat lainnya di dunia (indogenius poeple), biasanya memiliki kearifan-kearifan lokal dalam mempertahankan hidupnyas sekalipun dalam masa sulit.  Dan kalau kita cermati pada masyarakat tersebut terdapat modal dan model tersebut.  Seperti dilaporkan Aditjondro (1988) bahwa di masyarakat Pegunungan terdapat kebiasaan menanam (culvination) dan menyimpan bahan makanan yang tidak saja ramah lingkungan tetapi juga sangat higenis.  
 Contohnya pola tanamam bedeng pada masyarakat Paniai atau Asmat meskipun wilayahnya terdiri atas rawa tetapi mereka bisa manfaatkan untuk bercocok tanam (bête).   Sayangnya atas nama pembangunan (modernisasi) kebiasaan tersebut perlahan-lahan hilang.  Demikian pula di Sumatera dan Kalimantan terdapat Suku Anak Dalam dan Dayak yang memilki kearifan lokal dalam perlindungan hutan.  Oleh karena itu hal yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut menurut penulis, adalah:
1) Pendokumentasian data dan informasi serta publikasinya yang kontinyu dan terus menerus
Bencana memang tidak dapat diprediksi, yang kita lakukan adalah waspada!, Tetapi bila kita telisik lebih jauh beberapa bencana itu biasanya juga terjadi periodik, sehingga mudah diramalkan.  Contoh bencana beberapa angin kencang di dunia, kini bisa diramalkan dan bisa dihindari.  
 Bencana gempa di Jepang kini mereka bisa atasi melalui penelusuranb data dan informasi yang lengkap.  Bencana tsunami di Biak tahun 1996 lalu, menurut data dari Jepang sesungguhnya kejadian berlangsung periodik setiap 100 tahun.  Bencana asap maupun embun beku yang tengah terjadi menurut penulis merupakan bencana yang periodik dan bisa diramalkan, sehingga bisa diatasi secara dini.  
 Musibah ini datang akibat pergerakan Elnino di sebelah selatan Samudera Indonesia sehingga menyebabkan musim panas di belahan barat dan kita di Papua pasti mendapatkan tempratur dingin.  Dan ini sudah dipublikasikan oleh Badan Meteorologi sebagaimana dahulu pernah terjadi pada masa pemerintahan SBY.  Sekali lagi untuk mengantisipasinya melalui data dan informasi yang terpublikasi secara terus-menerus dan tindakan nyata untuk mengantisipasinya.
2) Refomulasi Kebijakan kearah yang tepat
Kebiasaan kita kalau ada bencana baru ada penanganan.  Sifatnya seperti pemadam kebakaran atau santa clause.  Pada hal bencana yang terjadi biasanya akibat kesalahan kita sendiri.  Inilah fenomena dalam penanganan bencana, yang selalu melahirkan kebijakan instan. 
 Sangat jarang kita berpikir cegah tangkal dan deteksi dini dalam penanganan becana, sehingga kebijakan yang dilahirkan solutif dan permanen.  Timbulnya bencana embun beku mkisalnya adalah  buah dari kesalahan kebijakan kita.  Memandang kuno terhadap kearifan lokal mereka lalu kita memperkenalkan Raskin atau bantuan-bantuan tunai ke masyarakat, mungkin hal yang mestinya pemerintah tidak lakukan lagi.  
 Seyogyanya kebijakan itu memperkuat kekuatan lokal bukan memberungusnya, dengan dalih pembangunan itu sendiri.  Pada kasus embun beku mungkin upaya riset dan rekayasa teknologi merupakan pilhan kebijakan tepat. Ingatlah sesungguhnya pembangunan itu untuk masyarakat dan dari merekalah baiknya pemerintah belajar lalu mendorongnya ke hal yang lebih baik.  Inilah defenisi paripurna dari pembangunan itu sendiri, (Todaro, 1998).  Semoga bencana embun beku di Papua ini tidak terjadi lagi!.  Selamat merenungi hari Pangan se-Dunia,! 

*) Pemerhati Sosial Ekonomi serta isu-isu kebangsaan di Papua, tinggal di Aryoko-Jayapura; harimandarif@yahoo.co.id, Dosen di UNIYAP Papua.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos November 2015)

Jumat, 11 September 2015

Hari Olahraga Nasional: Moment Melejitnya Olahraga

M.F.P. Putra*
BULAN September ini, khususnya pada tanggal 9, bangsa Indonesia akan merayakan Hari Olahraga Nasional (Haornas). Momen tersebut seyogianya menjadi trigger (pemicu) bangkitnya olahraga Nasional. Tentu saja, secara khusus bagi olahraga di Papua!
 Penulis sadar bahwa masyarakat acapkali melihat kemajuan olahraga dari indikator capaian medali yang diperoleh. Misalnya, apabila berlaga di PON maka yang menjadi rujukan utama adalah berapa medali yang didapat; begitu pula apabila berlaga pada event internasional, seperti Sea Games, Asian Gemes, dan Olimpiade. Perolehan medali di atas seakan-akan menjadi parameter tunggal untuk membaca kemajuan pembangunan olahraga suatu daerah atau Negara.
 Sunguhpun demikian, hal di atas tidaklah salah namun simpulan yang didasarkan hanya pada satu indikator—seperti perolehan medali—hemat penulis terlalu premature. Untuk melihat kemajuan pembangunan olahraga di suatu daerah atau Negara, penulis berargumen tidak hanya mendasarkan pada perolehan medali dalam event yang diikuti namun perlu refleksi secara komprehensif.
 Pergumulan penulis dengan beberapa akademisi ilmu keolahragaan (sport science) membawa pada simpulan bahwa setidaknya terdapat empat indikator untuk melihat bagaimana kemajuan pembangunan olahraga pada suatu daerah atau Negara. Keempat indikator tersebut termaktub dalam Sport Development Index (SDI) atau Indeks Pembangunan Olahraga (IPO). Tulisan tersebut akan mencoba menyarikan secara ringkas tentang SDI karya anak Bangsa.
Konsep Sport dan Development
Sebelum membahas lebih jauh, akan didiskusikan terlebih dahulu tentang konsep “sport” dan “development”. Secara harfiah istilah “olahraga” bukanlah terjemahan langsung dari istilah “sport” yang berasal dari bahasa Inggris. Istilah “olahraga” yang digunakan di Indonesia berasal dari bahasa Jawa, yaitu “olah” dan “raga”. Suku kata “olah” bermakna berlatih atau melakukan kegiatan; suku kata “raga” berarti fisik atau jasmani. Dengan dasar itu, berolahraga secara sederhana dapat dipahami sebagai melakukan aktivitas fisik.
 Pertanyaannya, apakah aktivitas seperti berjalan ke pasar, bersepeda ke tempat kerja, atau bahkan mencangkul di ladang dapat diartikan sebagai bentuk berolahraga? Tentu saja tidak. Meskipun di dalamnya terkandung aktivitas fisik, namun karena tidak dilakukan secara sengaja dan sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial maka jelas hal tersebut bukan termasuk aktivitas olahraga (lihat UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional)!
Sementara itu, istilah “pembangunan” dapat diartikan sebagai suatu proses, cara, dan perbuatan membangun. Dalam konteks ini, membangun, bermakna proses membuat sesuatu. Proses sendiri mengandung ciri adanya serangkaian tindakan, interaksi, pembuatan, perubahan atau pengolahan yang menghasilkan sesuatu. Dengan demikian istilah pembangunan lebih mengacu pada proses dan bukan pada hasil.
Lalu, bagaimana jika kedua istilah di atas digabungkan, yakni menjadi “pembangunan olahraga”? Untuk menjawab itu, penulis akan mencuplik dari Mutohir dan Maksum (2007). Dasarnya adalah karena orang yang mengagas konsep SDI pertama kali adalah mereka. Bahkan dalam berbagai kesempatan diskusi ilmiah seperti seminar dan konfrensi, baik Nasional maupun internasional, pakar dari Amerika, Inggris, Australia, Jepang, Korea, Thailand, dan Malaysia memuji karya kedua Putra Indonesia ini yang pertama kali menelorkan konsep SDI. Lebih jauh lagi mereka mengakui Indonesia sebagai the leading nation.
Sport Develompent Index (SDI)
Dalam berbagai kesempatan dengan penulis, Maksum menyampaikan bahwa gagasan tentang konsep SDI lahir dari sebuah diskusi ringan antara Mutohir dan Maksum kala itu. Mereka berdua saling lempar pertanyaan untuk menjawab persoalan olahraga secara ilmiah. Singkat cerita, sebagai seorang akademisi mereka tidak puas apabila kemajuan pembangunan olahraga dilihat dari perolehan medali saja.
  Oleh karena itu, mereka melakukan studi untuk menemukan indikator pembangunan olahraga. Dari studi tersebut, ditemukan empat dimensi dasar, yaitu: ruang terbuka olahraga, Sumber Daya Manusia (SDM), partisipasi dan kebugaran. Dimensi-dimensi tersebut pada tataran tertentu merupakan prasyarat dasar (dimensi ruang terbuka dan SDM), prasyarat aksi (dimensi partisipasi), dan prasyarat keluaran (dimensi kebugaran).
Partisipasi merupakan prasyarat aksi dari ketiga pilar pembinaan, yaitu olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Kendati demikian, prasyarat aksi membutuhkan prasyarat dasar berupa ruang terbuka yang digunakan melakukan aktivitas. Hanya saja, agar aktivitas yang dilakukan menjadi terarah, diperlukan SDM yang dapat mengarahkan kegiatan olahraga menjadi lebih konstruktif. Hasil yang dicapai dari terjadinya kegiatan di atas, setidaknya adalah kebugaran jasmani. Astrand, seorang sport scientist dari Swedia, dalam Scientific Congress Asian Games di Bangkok tahun 1996, menyatakan bahwa salah satu syarat utama membangun prestasi olahraga adalah terbentuknya masyarakat yang bugar. Jadi, keempat dimensi dalam SDI saling terkait satu sama lain dan bukan out of the context.
 Muncul pertanyaan, bukankah masih terdapat banyak dimensi lain yang mencerminkan pembangunan olahraga? Tentu saja, ya. Tetapi perlu diingat bahwa banyak dimensi pembangunan olahraga yang tidak tersedia ukurannya, seperti, partisipasi terbuka dalam pendanaan kegiatan olahraga, sukarelawan (volunteer) olahraga, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep SDI dipandang lebih ilmiah dan komprehensif bila dibandingkan dengan konsep “medali” yang selama ini dijadikan indikator tunggal keberhasilan olahraga. 
Merajut Pembangunan Olahraga
Setidaknya, pengalaman Indonesia pada kurun waktu 48 tahun belakangan ini dapat dijadikan pelajaran berharga. Membangun olahraga membutuhkan totalitas dan komitmen kolektif. Tidak bisa hanya dengan cara instan, apalagi manajemen “asal jalan”. Membangun olahraga perlu dilakukan secara sistematis dan sustainable. Sejatinya, prestasi dalam olahraga merupakan suatu yang observable dan measurable. Artinya, jika pembinaan olahraga dilakukan dengan scientific approach mulai dari talent scouting hingga proses pembinaan disertai dengan upaya mencermati para kompetitor, maka dapat dipastikan tingkat keberhasilannya.
Dari kaca mata kesisteman, kualitas hasil (output) ditentukan oleh kualitas masukan (input) dan kualitas proses yang terjadi. Hasil yang selama ini kita dapatkan merupakan konsekuensi logis dari sub-sistem yang kurang (mungkin istilah yang tepat TIDAK) optimal, yaitu dari input dan proses.
Dari sisi input, kita kekurangan calon atlet yang berkualitas, baik dari segi anthropometrik, fisiologis, maupun psikologis. Khusus untuk aspek anthropometrik dan fisiologis, penulis melihat hal itu tidak menjadi persoalan yang fundamental di Papua karena masyarakat Papua memiliki antropometrik dan fisiologis yang dapat dikatakan atletis. Diakuai bahwa mungkin pandangan ini debatable tapi penulis sangat menghargai perbedaan pandangan tentang itu.
Pada aspek psikologis, berdasarkan pengalaman penulis yang melakukan tes mental atlet muda Jawa Timur, banyak hal yang perlu ditata ulang (reformasi mental) dari atlet-atlet muda kita. Elka Graham, legenda renang Australia, mengatakan: “in training everyone focuses on 90 percent physical and 10 percent mental, but in the races it’s 90 percent mental because there’s very little that separates us physically at the elite level”. Bagaimana dengan mental atlet Papua? Sampai dengan detik ini penulis belum memperoleh informasi ilmiah tentang itu.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa kita kekurangan calon atlet berkualitas? Tanpa bermaksud menyederhanakan suatu yang memang tidak sederhana, penulis berargumen bahwa rendahnya budaya olahraga (sport culture) yang berintikan pada partisipasi adalah hulunya. Hal ini diperparah dengan sistem perekrutan yang kurang kredible dan akuntable, karena masih suburnya budaya “like and dislike”.
Dari sisi proses, acapkali masih menerapkan budaya “jalan pintas” dalam menghasilkan sesuatu. Lihat jerman! Mereka menjadi digdaya dalam sepakbola bukan didapat secara instan namun merupakan hasil dari proses panjang ketika tahun 2002 DFB (induk organisasi sepakbola Jerman) merevolusi metode pembinaan pemain dan pengembangan akademi sepakbola. Misalnya, mewajibkan setiap klub bundesliga 1 dan 2 mendirikan akademi sepakbola, DFB mendirikan121 pusat sepakbola Nasional yang khusus mendidik pemain berusia muda (10-17 tahun), metode latihan juga dibedakan menurut umur, yaitu menggunakan kurikulum berdasarkan penelitian mahasiswa dari Universitas Koln. Sekali lagi, itu bukanlah instan tapi adanya proses dan inventasi besar yang konon dalam kurun waktu 10 tahun saja menghabiskan dana sekitar 455 juta poundsterling (setara sekitar 6,3 triliun).
Akhirnya, semoga kita tidak salah dalam melakukan pembangunan olahraga. Pembangunan keolahragaan perlu ditempatkan dalam bingkai yang proporsional agar bukan hanya medali semata yang meningkat tapi kualitas manusianya juga meningkat, baik secara intelektual, sosial, dan spiritual. ***     

Penulis adalah Dosen FIK UNCEN
Email: putra.uncen@gmail.com

Kamis, 10 September 2015

Memaknai "Yubelium VS Yubelium" 50 Tahun Masuknya Injil di Apahapsili Kabupaten Yalimo

Oleh : Dr.Drs. Gasper Liauw, M.Si *

MARAKNYA penggunaan kata “Yubelium” 50 tahun pada  perayaan hari  gerejani, perayaan lahirnya institusi pendidikan baik yang dilaksanakan di beberapa kota antara lain,  Wamena dan Jayapura pada semester pertama tahun 2015, yang terekspose secara komprehensif  baik melalui harian Cenderawasih Pos maupun TVRI Lensa Papua, melalui  Publikasi Panitia Pelaksana Perayaan, Kotbah Hamba Tuhan maupun  sambutan  Pejabat Pemerintah dan politisi, dengan mengelaborasi kata Yubelium secara panjang lebar  yang disambut dengan sorak sorai dari  Panitia Pelaksana Perayaan, anggota jemaat maupun dari komunitas pendidikan yang diakhiri dengan sesi foto bersama didepan spanduk kegiatan, menjadi fenomena menarik untuk diulas dalam kaitannya dengan Perayaan 50 Tahun Injil Masuk tanggal 10 September 2015 di Apahapsili Kabupaten Yalimo. Fenomena tersebut, akan diulas dalam kepentingan, mengubah pragmatisme semu  menjadi pragmatisme positif.

Telaahan Kritis Kata “Yubileum” VS “Yubelium”.
Fakta di atas telah berdampak pada Rapat terbatas pada bulan Juli 2015 antara penulis selaku Anggota Badan Pekerja Am Sinode Wil X GKI Di Tanah Papua dengan Panitia Perayaan 50 Tahun masuknya Injil di Apahapsili tanggal 10 September 2015, pada ruang kerja Sekretaris Daerah Kabupaten Yalimo di Elelim, yang antara lain membicarakan persiapan akhir pelaksanaan kegiatan dimaksud. Diskusi terjadi pada rencana pembuatan spanduk kegiatan dan Undangan, penulis menawarkan agar menggunakan kata Yubileum bukan Yubelium, karena kata Yubelium arti katanya sulit ditemukan, namun beberapa anggota panitia tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa kata tersebut sudah biasa diucapkan oleh   masyarakat pada umumnya. Namun dari Pihak Klasis Yalimo Utara, menyampaikan fakta menarik bahwa surat dari Pewarta Injil di Jerman, menyebut perayaan masuknya Injil di Apahapsili dengan kata “Iubileum”.
Akhirnya Penulis, menyampaikan bahwa menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia “ tidak ditemukan kata Yubelium dan yang ditemukan hanyalah kata Yubileum. Kutipannya demikian, Yu.bi.le.um/Yubileum/n Perayaan untuk memperingati ulang  tahun suatu peristiwa pd bilangan tahun tertentu (msl ke-25, ke-50) yg dirayakan secara khusus. Anehnya, walaupun telah diungkapkan dokumen sumber dari kata Yubileum, namun hasil rapat tersebut tidak dapat memutuskan kata Yubileum yang digunakan, karena mayoritas peserta rapat lebih berpegang teguh pada sebuah kebiasaan serta mudah dalam penyebutan yaitu Yubelium.
Dari realita di atas, informasi ini kiranya dapat menjadi evaluasi bagi seluruh pihak yang berkepentingan terhadap pewarisan nilai-nilai positif kepada pihak lain atau generasi penerus agar memberikan respon secara positif terhadap tulisan ini sehingga dapat mencerdaskan kita semua untuk mau mentranformasikan jatidiri kita dari perspektif pragmatisme semu menjadi pragmatisme positif.

Makna Esensial Yubileum, 50 Tahun Injil Masuk  Di Apahapsili.
Dengan berpegang teguh pada prinsip rasionalitas, maka YUBILEUM, yang menjadi momentum penting dalam mempertontonkan lahirnya peradaban baru orang Papua khususnya Suku Yali, tentunya tidak dapat dipungkiri akan  jasa dan eksistensi para misionaris (bule dan non bule) pada 50 tahun lalu di wilayah Pemerintahan Distrik Apahapsili dan sekitarnya. Karena dari titik koordinat itulah, buah pekabaran injil 50 tahun lalu,  telah melahirkan para pemimpin di aras gereja, politisi, dan pejabat pemerintah yang  telah mengkreasikan kapasitas dirinya dengan sejumlah keterbatasan yang dimilikinya untuk memajukan bangsa Indonesia dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam frame NKRI.
Dengan mengacu pada News. Okezone.com,30 Agustus 2015 dengan judul  Amien Rais : Ribuan Bule di Papua Membahayakan Indonesia. Pernyataan tersebut tentunya dapat  menimbulkan multitafsir dari berbagai kalangan dan dikuatirkan   hanya untuk tujuan pragmatisme semu dengan menyudutkan kalangan tertentu. Irisan-irisan pragmatisme semu tersebut, hendaknya tidak merembes pada perayaan Yubileum 50 tahun masuknya injil di Apahapsili Kabupaten Yalimo, yang juga menghadirkan puluhan orang bule dari Jerman.
Kehadiran para misionaris (orang bule) dan anak cucunya pada Yubileum 50 tahun masuknya Injil di Apahapsili, hendaknya disikapi dengan pragmatisme positif, artinya janganlah dicurigai sebagai salah satu  tujuan untuk membangun strategi ketidakpatuhan dan ketidaktaatan pada pesan dari lagu Indonesia Raya. Namun justru kehadiran orang asing, baik dalam rangka Pekabaran Injil maupun  pelayanan sebagai seorang  pilot pada penerbangan swasta, seperti AMA, MAF, JAYASI yang dengan setia melayani seantero Tanah Papua terutama di Pegunungan Tengah Papua telah terbukti secara empirik, meringankan bangsa ini untuk mengimplementasikan Tema 70 Tahun HUT RI yaitu “AYO KERJA”  demi memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi Indonesia.
Gerakan Langkah Yang Harus Dilakukan.
 Nawa Cita  dari Presiden RI Joko Widodo yang tercermin secara sistematis dan terstruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, telah menjadi acuan bagi Pemerintah untuk mewujudkan kerangka pendanaan yang efisien sehingga efektifitas dari seluruh harapan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun tersebut benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, walaupun dalam gradasi dan tingkat keadilan dalam kesejahteraan yang bersifat relatif.
Dalam konteks yang lebih spesifik, khususnya Cita 1, dari Nawa Cita yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, adalah : Cita 1 tersebut harus menjadi kalimat kunci yang wajib dipegang teguh oleh Panitia Perayaan yang  merencanakan dan mendesain  suksesnya Yubileum, 50 tahun masuknya Injil di Apahapsili untuk selalu menjalin koordinasi dengan pemerintah daerah maupun dengan unsur TNI dan Polri sehingga para pihak yang  sengaja melakukan politisasi  dengan membuat rencana aksi, untuk mengacaukan Yubeliun  50 tahun masuknya Injil di Apahapsili yang dirayakan secara khusus tersebut,akan lari meninggalkan arena perayaan milik Tuhan.
Dengan demikian,   pada pasca Yubileum 50 tahun Injil masuk di Apahapsili suasana kesejukan dan damai sejahtera akan selalu menjadi karakteristik bagi seluruh umat Tuhan di Tanah Papua. Sebagai bahan perenungan bagi para pihak yang selalu ingin memecah kerukunan umat beragama  di Tanah Papua,  camkanlah nasihat dari Konfusius, yaitu “Pelajarilah kebenaran di pagi hari, dan meninggallah dengan bahagia di malam hari “. Karena dalam dimensi kehidupan, ternyata lahir, berkarya dan mati berada pada sebuah garis lurus yang harus dilalui oleh setiap insan manusia. Akhirnya, Selamat merayakan Yubileum 50 Tahun masuknya Injil  di Apahapsili Kabupaten Yalimo pada 10 September 2015.****

*Penulis adalah 
Anggota BPAM Wil X Sinode GKI Di Tanah Papua yang juga Sekretaris Daerah Kabupaten Yalimo
(tulisan ini sudah terbit di harian Cenderawasih Pos edisi 2015)

Jumat, 04 September 2015

Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat Papua

Penulis : M.F.P.Putra*
PADA tanggal 9 September 1983, tepatnya di Kota Solo, telah dicanangkan gerakan Nasional tentang panji olahraga yang berbunyi seperti judul di atas. Tidak berselang lama, yakni tahun 1985 dikeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 67 tentang Hari Olahraga Nasional (HAORNAS) yang diperingati secara Nasional oleh masyarakat setiap tanggal 9 September.
Untuk memperingati Haornas kali ini, Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) UNCEN, akan menyelengarakan rangkaian kegiatan mulai dari bulan September sampai dengan Oktober. Misalnya, senam bersama (Indonesia sehat, Wayase, Yospan, Zumba Dance), donor darah, lari 5 Km, bola voli antar SLTA se-Kota dan Kabupaten Jayapura, serta seminar olahraga Nasional. 
Penulis melihat bahwa rangkaian kegiatan di atas merupakan salah satu wujud untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat di Papua. Munculnya perilaku gerak (olahraga) hakikatnya merupakan interaksi antara individu dan lingkungan (person-world system). Seseorang yang memiliki keinginan untuk berolahraga, sangat boleh jadi tidak akan mewujudkan perilaku berolahraga jika lingkungan di sekitarnya tidak mendukungnya. Di sinilah pentingnya penciptaan lingkungan yang mendukung seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan olahraga. 
Penulis menilai bahwa Prof. Dr. Sutoro (Dekan FIK Uncen) dan Dr. Tri Setyo Guntoro (Pakar olahraga FIK Uncen) memandang bahwa penciptaan lingkungan yang memungkinkan setiap orang melakukan aktivitas olahraga pada dasarnya merupakan bentuk kewajiban, sehingga FIK Uncen berupaya aktif untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Nah, rangkaian kegiatan di atas diyakini sebagai media yang efektif untuk menggalakkan panji olahraga Nasional. Di samping itu, kegiatan di atas juga mempunyai misi untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan masyarakat Papua. 
Pertanyaannya, bagaimana tingkat kebugaran masyarakat di Papua? Hasil studi tahun 2004 yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga (Komnas Penjasor) menemukan bahwa tingkat kebugaran masyarakat Papua masih jauh dari harapan. Padahal, kebugaran menjadi faktor yang penting dalam rangka meningkatkan kualitas serta produktifitas masyarakat. Coba bayangkan! Apa jadinya bila suatu masyarakat kondisi tubuhnya cepat lelah dan mudah mengantuk? Tentu mereka tidak akan bisa produktif dalam bekerja dan berkarya. Bila itu yang terjadi maka alih-alih masyarakat menjadi maju, yang ada justru mereka akan menjadi beban Negara dan menghambat kemajuan.
Untuk mewujudkan masyarakat yang bugar dan mengikuti pola hidup sehat, tidak cukup hanya mendasarkan pada kemauan orang-perorang, tetapi perlu dibudayakan. Dalam arti perlu diciptakan kondisi sedemikian rupa (rekayasa sosial) yang memungkinkan bagi setiap orang untuk melakukan kegiatan olahraga.
Tantangan ke depan
Para akademisi di FIK Uncen percaya bahwa tantangan hidup yang bakal dihadapi ke depan oleh masyarakat akan semakin menantang. Sebagai contoh, digulirkannya Asean Free Trade Area (AFTA) akan membuat barang-barang hilir mudik dengan bebas se-Asean. Artinya, persaingan dalam perdagangan menjadi ketat karena kita akan diserbu barang-barang dari luar negeri yang mungkin harganya lebih rendah namun kualitasnya lebih tinggi, sehingga daya saing barang dalam negeri menjadi lemah. 
  Apakah hanya itu? Tentu saja tidak. Persaingan antar manusianya juga akan dipertaruhkan. Misalnya, tenaga kerja dari luar Negeri akan masuk ke Indonesia dan bersaing dengan tenaga kerja lokal. Meskipun pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperketat masuknya barang dan tenaga kerja luar, tetap saja hal ini menjadi kegalauan di tengah masyarakat.
 Berdiam diri dan pasrah tentu tidak menyelesaikan masalah tapi justru akan menjadi sumber masalah baru. Itu artinya kita harus sadar bahwa di era sekarang ini, kualitas manusia baik jasmani maupun rohani akan menjadi indikator kuat tentang daya saing bangsa yang selanjutnya akan menentukan kemajuan serta tingkat kesejahteraan masyarakat. Lihat pengalaman Negara-negara yang telah mengalami kemajuan, umumnya tidak disebabkan oleh kekayaan alam yang dimiliki, melainkan kualitas manusianya. Jepang misalnya, meskipun memiliki sumber daya alam yang terbatas dan diperparah dengan kondsi kehancuran berat akibat perang dunia ke II, namun Jepang mampu bangkit menjadi Negara industri terkemuka di dunia. Tepat kiranya argumen yang mengatakan bahwa keberhasilan suatu Negara bersaing dengan Negara lain akan sangat ditentukan oleh sejauhmana Negara yang bersangkutan mempersiapkan dan meningkatkan kualitas manusianya.   
Peran olahraga
 Memang benar bahwa olahraga tidak mampu memberikan garansi bahwa seseorang akan mapan dalam hal ekonomi, namun melalui olahraga resiko terkena penyakit dapat diminimalisir yang selanjutnya hal ini akan menghemat secara ekonomis. Pada hari kesehatan dunia, 7 April 2002, Direktur Jenderal WHO Gro Harlem Brundtland menyatakan: “Physical activity (sport) is a fun and easy way to improve our health and well-being. It does not have to cost anything and everyone, whether young or old, can participate. It is an effective way to prevent cardiovascular disease, diabetes, obesity and two million deaths per years resulting from conditions related to physical inactivity”.
Martin (2010), ilmuan dari University of Western Australia melakukan kajian tentang pengaruh aktivitas fisik (olahraga) terhadap capaian prestasi akademik. Premis dasar yang ia miliki adalah “olahraga yang dilakukan secara tepat akan merangsang perkembangan intelegensi anak, yang selanjutnya akan meningkatkan prestasi akademik anak di sekolah”. Dari uraian di atas jelas akan mengugurkan pendapat yang mengatakan bahwa olahraga adalah aktivitas yang menghambur-hamburkan waktu dan mengganggu perkembangan intelektual seseorang. 
Bertalian dengan produktivitas kerja dan daya saing maka olahraga memiliki posisi yang strategis. Tidak dapat dipungkiri bahwa rutin berolahraga maka akan meningkatkan kebugaran serta kesehatan pelakukanya. Bagi para pekerja di perkantoran, pabrik, dan tempat lainnya kebugaran dan kesehatan merupakan prakondisi mewujudkan kinerja yang optimal. Sebab, dengan kondisi tubuh yang sehat, mereka memiliki daya tahan terhadap stress, berbagai penyakit degenaratif dapat dicegah, dan kegiatan sehari-hari dapat dijalani dengan penuh gairah (Crum, 2004). Dengan demikian produktivitas akan semakin meningkat. 
 Selanjutnya bila mereka memasuki usia lanjut dan mereka tetap melakukan olahraga yang dapat menjaga kesehatan serta kebugarannya, maka mereka akan lebih siap menghadapi usia tua (Kim, 2004). Karena mereka lebih mandiri, kuat, dan ceria sehingga proses penuaan dapat diperlambat. Dengan demikian harapan hidup (life expectancy) mereka semakin meningkat (Anderson, et.al., 2000).
 Kiranya, mungkin kita perlu bersepakat bahwa manusia yang bugar dan sehat merupakan prasyarat pembangunan. Mustahil menggerakkan roda pembangunan yang mengarah pada peningkatan produktivitas tanpa ada kesiapan sumber daya manusia yang bugar dan sehat secara fisik serta mental. Karena itu, upaya mewujudkan menusia yang bugar dan sehat menjadi urgen. Dengan begitu, menggalakkan panji olahraga Nasional dipandang relevan dengan konteks kekinian dan perlu menjadi agenda rutin bersama ke depannya.#

___________
*Penulis adalah Dosen FIK UNCEN
  Email: putra.uncen@gmail.com

(Tulisan ini Pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos Septembr 2015)

Kamis, 03 September 2015

Mengenang Sang Pencetus Otsus Dan Penikmat Otsus Di Tanah Papua

Oleh : Mesak Solossa*
TULISAN ini mengangkat seorang pemimpin yang patut di contohi oleh pemimpin Papua masa kini dan yang akan datang.
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua lahir dari sosok pemimpin senderhana rakyat sejahtera yakni  Dr.Jakubus Perviddya Solossa, Drs., M.Si. Dengan pemahaman dan strategi yang dimilikinya mampu membuat gagasan untuk mencari penyelesaian politik yang menyeluruh terhadap masalah Papua. 
 Ketika Dr. J.P.Solossa menjabat sebagai anggota MPR RI, dalam persidanan sosok pemimpin yang patut di contohi ini meminta kepada pimpinan bahwa bagaimanapun, cara apapun masalah Papua harus dibahas secara khusus, sehingga di jawab dan dibuat dalam ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999  tentang garis – garis besar haluan negara tahun 1999 – 2004. 
 Tentang Papua Tap MPR tersebut mengamatkan sebagai berikut integrasi bangsa dipertahangkan di dalam wadah kesatuan Repoblik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan social budaya masyarakat Papua melalui penetapan otonomi khusus yang diatur dengan undang – undang.
 Proses yang dilakukan sehingga mencapai ketetapan MPR RI tersebut tidaklah mudah membalik telapak tangan, J.P. Solossa dan kawang – kawangnya yang menjabat sebagai anggota MPR asal Papua waktu itu mengerahkan suluruh upaya untuk mencapainya. Hal ini dilakukan karena suhu Politik sangat panas, bahwa rakyat Papua menuntut memisahkan diri dari Repoblik Indonesia, karena ada sebab  diantaranya : Akibat sengketa politik Indonesia VS belanda berkepanjangan, Ketimpangan ekonomi, Ketimpangan social dan Pelanggaran HAM.
 Melihat kondisi tersebut, mau tidak mau harus dicari solusi hokum dan solusi politik agar masalah tersebut dapat dipecahkan secara bermartabat dalam rangka memperkukuh integritas nasional negara kesatuan Repoblik Indonesia. Solusi hukum yang tepat adalah ketetapan MPR RI yang kedudukannya dibawah undang – undang dasar, ketetapan tersebut merupakan solusi politik karena produk yang dihasilkan MPR itu sekaligus merupakan solusi perwujudan dan komitmen seluruh rakyat Indonesia melalui wakil – wakilnya yang duduk di MPR RI.
 Jakubus Perviddya Solossa dilantik pada tanggal 23 november 2000 sebagai Gubernur Irian Jaya, seiring waktu berjalan kondisi politik di Papua terus memanas, maka pemimpin terbaik ini mengumpulkan tokoh – tokoh Papua melakukan pertemuan, pada dasarnya membicarakan tentang langkah – langkah apa yang perlu di ambil dalam rangka mewujudkan amanat MRP RI No.IV/1999. Pertemuan ini dilakukan dengan satu komitmen yang kuat, yaitu melalui pemberlakuan otonomi khusus integritas nasional NKRI di Papua harus dipertahangkan, dimantapkan dengan mengakomodir, menyalurkan dan membuat Draf RUU Otsus serta berbagai tuntutan rakyat Papua kedalam sistem hokum negara kesatuan repolik indonesia.
 Seluruh proses dijalangkan demi kepentingan rakyat Papua. J.P. Solossa melakukan pembahasaan dengan pihak pemerintah pusat, dengan mengunakan dukumen RUU yang merupakan produk DPR RI. Pada tanggal 20 oktober 2001, rancangan  Undang – undang tersebut disahkan dalam sidang paripurna DPR RI dan tanggal 21 November 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani UU Repoblik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Dengan diterbitkan UU. No. 21/2001 berarti secara formal telah tersedia suatu landasan legal yang sangat memadai untutuk mempercepat pembangunan dan menyelesaikan masalah yang terjadi di Papua.
Peletakan Dasar Otsus Pada Masa Kepemimpinan Gubernur J.P. Solossa (2002 - 2004)
Suatu gebrakan yang mengejutkan hati orang asli papua (OAP) dengan mengangkat harkat dan martabat (OAP) didalam bingkai Negara Kesatuan Repoblik Indonesia adalah salah satu keberhasilah J.P. Solossa sebagai pemimpin yang mengerti kehendak rakyat Papua. Masyarakat Papua semakin merasa menjadi bagaian integaral bangsa Indonesia, hal ini dilihat dari meningkatnya nasionalisme Indonesia di kalangan orang – orang asli Papua.
 Pendekatan yang dilakukan pada masa kepemimpinan J.P. Solossa dalam melaksanakan otonomi khusus pada tiga tahun adalah memberikan perhatian kepada pelayanan publik yang diwaktu lalu kurang mendapat perhatian yang memadai dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur. Ini tidak berarti hal – hal lain tidak memperoleh perhatian misalnya pengakuan akan hak – hak masyarakat adat, penyelesaian masalah HAM dan penataan. Perhatian tetap diberikan kepada aspek – aspek tersebut, namun didasari bahwa,, keberhasilan keempat aspek yang disebutkan di atas akan menentukan keberhasilan pelaksanaan program lain seperti yang diamanatkan pada UU No.21/2001.
1. Pendidikan
Melalui pelaksanaan otsus selama tiga tahun telah diberikan bantuan pengganti SPP, biaya operasional sekolah, biaya EBTA dan biaya EBTANAS kepada semua sekolah dari tingkat SD, SLTP. SMU/SMK diseluruh Papua, dengan tidak membedakan sekolah itu negeri maupun swasta. Pemerintah Provinsi Papua juga telah menyerahkan bantuan uang tunai dan sarana/prasarana dalam bentuk gedung, tambahan ruang belajar, penempata guru, laboratorium dan peralatan kepada yayasan pendidikan yang menjadi mitra pemerintahan. Hal – hal yang dikemukakan tersebut merupakan contoh-contoh usaha yang harus dilakukan untuk mulai menekan pembiayaan dilakukan oleh masyarakat sampai ke tingkat serendah-rendahnya.
 Dengan memanfaatkan alokasi dana otsus untuk pendidikan selama tiga tahun, secara bertahap J.P. Solossa, menekankan kepada pemerintah kabupaten/kota suapaya berusaha meningkatkan mutu pelayanan pendidikan di Papua dengan perhatian mutu pelajaran matematika, ilmu pengetahuan alam dan bahasa inggris, juga bantuan untuk meningkatkan penyelengaraan asrama-asrama peserta didik, karena dengan memberikan kebijakan ini dapat memberikan terobosan strategis dalam meningkatkan mutu SDM Papua. J.P. Solossa juga memanfaatkan dana otsus dengan membangun sekolah-sekolah kejuruan, termasuk bidang- bidang yang merupakan keungulan Papua, misalnya SMK kelautan dan SMK pertanian. JP.Solossa menyadari bahwa sekolah-sekolah kejuruan adalah salah  jawaban atas tuntutan pasar tenaga kerja terhadap tenaga terdidik yang berketerampilan, dan maih banyak yang dilakukan.
2. Kesehatan
Peningkatan secara singnifikan terhadap pelayanan kesehatan, tetutama adalah dalam hal pengadaan obat sampai ke daerah pelosok, salah satu prestasi yang mengembirakan adalah bahwa dengan berbagai upaya yang dilakukan selama tiga tahun pelaksanaan otsus waktu itu dinas kesehatan Provinsi Papua suadah hamper tidak pernah lagi menerima laporan dari puskesmas pembantu teantang kekurangan obat.
 Selain bantuan obat, secara bertahap Pemerintah Provinsi Papua melengkapi sarana dan prasarana pelayanan dipuskesmas-puskesmas, akibatnya, jumlah puskesmas yang dapat melakukan kegiatan operatif terbatas telah meningkat pada tahun pertama pelaksanaan otsus. Diberikanya  bantuan rujukan bagi masyarakat yang membutuhkan rujukan pelayanan kesehatan dirumah sakit di kota, kerja sama bantuan rujukan ini dilakukan oleh pemerintah Provinsi dengan operator-operator penerbangan misi. Peningkatan perbaikan gizi memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, peningkatan kualitas tenaga kesehatan dan perhatian diarahkan untuk meningkatkan penanggulangan persebaran HIV/AIDS di Papua.
3. Ekonomi Kerakyatan
Salah satu fenomena yang menonjol pada masa itu adalah keterlibatan orang-orang asli Papua dalam mengelola sumberdaya alam, terutama sumberdaya hutang, diwaktu lalu, hutang diekspolitasi oleh para pengusaha yang berasal dari luar, sedangkan pemilik hak ulayat cenderung hanya menjadi penonton dan tidak sedikit yang menjadi korban, namun   Pemerintah Provinsi memanfaatkan otsus member perhatian sepenuhnya sehingga (OAP) mengelola hutan sebagai salah satu unit usahanya. 
 Pembangunan sub-sektor perkebunan, salah satu sumber pendapatan tunai para petani Papua adalah dari pengusahaan tanaman-tanaman perkebudanan, seperti pengembangan komoditi kakao di kabupaten jaapura, yapen waropen, sorong dan maokwari, serta kopi di jayawijaya. Selama tiga tahun otsus, J.P. Solossa membangun pabrik-pabrik es mini diberbagai lokasi di Papua selain itu upaya meningkatkan operasionalisasi pangkalan – pangkalan pendaratan ikan dan diberikan pelatihan bagi pengembangan usaha perikanan seperti bagi kelompok usaha bersama dengan pengadaan peralatan dan pemberian modal usaha. Masih banyak yang lainnya.
4. Infrastruktur
Salah satu kegiatan srategis utama yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Papua sejak dimulainya otsus pada tahun 2002 adalah merencanakan dan melaksanakan upaya penerobosan isolasi fisik daerah melalui pembangunan dan pemeliharaan prasarana jalan dan jembatan, hal ini dilakukan karena salah satu faktor kritis penentu keberhasilan pembangunan SDM Papua adalah sangat terbatasnya ketersediaan prasarana dan sarana angkutan.
 Setelah tanggal 19 desember 2005 J.P  wafat. Apakah ada pemimpin Papua seperti J.P.Solossa? Namun yang ada elite - elite pemerintah Papua penikmat dan rakyat Papua tidak sejahtera. bayangkah apabila pencetus otsus ini masih bersama kita saat ini, bagaimana pembangunan di Papua?. 
 Jadi lebih kongkritnya adalah persoalan pembangunan di Papua dibutuhkan seorang pemimpin yang berani merangkul, merencanakan, mempertimbangkan resiko dan mampu berkoordinasi dengan bawahannya dalam mengimplementasikan. Semua ini sudah dirancang dan dalam proses peletakan dasar otsus oleh bung J.P. Solossa selama 3 tahun (2002-2004), namun apa yang terjadi dengan otsus setelah tahun 2005 – sekarang?, rakyat Papua menilai otsus gagal.
 Agar orang Papua tidak menjadi penonton, budak, anak jalanan, dan miskin di atas tanah ini, pemerintah Papua tidak bisa hanya dengan bermain wacana saja, sementara fakta di tengah masyarakat akar rumput tidak ada perubahan.***
_______________________________________________________
Penulis adalah Pemerhati Masyarakat Papua
e-mail    : solossa_mesak@yahoo.co.id
( artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos Oktober 2015)


   

Selasa, 04 Agustus 2015

Menjadikan Papua Ibu Kota Kedua

Oleh Bambang Setiaji *
TRAGEDI Tolikara mungkin tidak perlu terjadi bila keadaan Papua tidak setertinggal sekarang. Bayang-bayang Papua akan melepaskan diri karena ketidakadilan kemajuan yang  dicapai antara wilayah barat dan Papua pun tidak selebar ini. 
 Hal  seperti itu bukanlah tanpa alasan. Tidak mudah membangun Papua. Wilayahnya sangat luas. Provinsi Papua dan Papua Barat se luas 3,2 kali luas Pulau Jawa dengan jumlah penduduk 3,6 juta atau 2,5 persen penduduk Jawa. Bila kemajuan Papua hanya diserahkan kepada swasta tanpa cam pur tangan negara, tentu butuh waktu yang sangat lama dan mungkin akan terlambat.
 Swasta akan selalu mempertimbangkan pasar. Usaha akan ditempatkan di lokasi yang secara relatif  paling murah yang merupakan perpaduan biaya dan pasar. Dengan penduduk hanya 3,6 juta dan wilayah yang begitu luas, menempatkan industri di Papua tentu kurang menarik jika dibandingkan dengan di Jawa 
Pindahkan Beberapa Kantor Kementerian
Perkembangan internet akhir-akhir ini merupakan keajaiban yang menyatukan Indonesia. Tetapi, pasar yang riil tetap bersandar pada jumlah penduduk tertentu. Bagaimana cara menjadikan Papua semaju barat? Tidak ada jalan lain kecuali memindahkan sumber kemajuan ke pulau tersebut. Selama ini, Papua hanya menjadi sasaran transmigrasi. Hal itu membawa sedikit kemajuan Papua. Tetapi, tetap terlalu lama untuk mengejar kemajuan di bagian barat.
 Untuk membuat lompatan sejajar dengan Indonesia Barat, dari sisi negara, satu-satunya jalan adalah memindahkan beberapa kementerian dan kantor wakil presiden. Dengan demikian, yang dipindahkan adalah puncak kemajuan itu, baik dalam arti  ekonomi, politik, maupun birokrasi.
 Dengan memindahkan secara fisik beberapa kantor kementerian, sejak pembangunan kantor tersebut, kemajuan sudah terjadi di Papua. Setelah masa investasi berakhir, akan terbentuk pasar berkualitas yang cukup.
 Infrastruktur yang dibangun akan semakin efisien dalam arti penggunaan yang cukup. Demikian lah campur tangan negara  dalam waktu yang relatif singkat. Transmigrasi kurang diminati warga Papua karena membuat kemajuan melambat dan tidak membawa market yang spektakuler  yang bisa membuat industri di Papua mencapai skala keekonomian.
 Industri  yang paling dekat dikembangkan di Papua adalah industri primer, ternak sapi sebagai pengganti impor daging penyuplai seluruh kebutuhan daging Nusantara. Selanjutnya, industri perikanan laut dengan tingkat pencemaran yang masih rendah.  Untuk itu, diperlukan infrastruktur pelabuhan dan cool storage  untuk membawa daging ke barat. 
 Jadi, tahap membangun Papua adalah menciptakan pasar dan user infrastruktur berkualitas dengan bantuan negara dengan memindahkan beberapa kementerian dan kantor Wapres. Tahap berikutnya adalah pembangunan industri primer kombinasi negara dan swasta.  Selanjutnya, industri infrastruktur dasar semen, barang galian, dan logam dasar. Tentu saja, jasa-jasa seperti perbankan, hotel, restoran, dan pendidikan menyertai setiap tahap tersebut.
Cicak Putus Ekornya 
Mengapa Papua harus dibangun dengan cepat? Siapa saja yang berkunjung ke Papua dan berusaha memahami apa yang terjadi pasti setuju dengan kata ”cepat” ini. Kebetulan, Papua suka melukis cicak seperti aborigin di Australia. Cicak bisa putus ekornya dan bukan kepalanya. 
Lihatlah rumah sakit ortopedi, sangat banyak orang yang patah kaki dan tangan yang ternyata memang rawan patah. Anatomi biologi sama dengan anatomi politik, ekonomi, dan sosial. Apa yang terjadi pada Papua dari proposal terbuka ini? Papua akan maju melompat tidak natural dan lama, yang membuat siapa pun tidak sabar, baik dalam negeri maupun luar negeri.
 Masyarakat Papua akan bangga karena tidak lagi menjadi ekor, tetapi ibu kota kedua. Dengan demikian, nasionalisme meningkat. Hal itu akan menjadi multikultur yang menarik swasta. Industri pun datang secara sukarela dan akan menghilangkan banyak prasangka. #

______________
*) Penulis adalah  Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos- Agustus 2015)




Hal-hal yang Luar Biasa pada Kasus Tolikara

Oleh: Neles Tebay *)

PADA tanggal 17/7, 2015, terjadi aksi kekerasan dimana puluhan kios dan rumah dibakar yang apinya merembes hingga terbakarnya sebuah mushola, dan satu pemuda tewas dan 10 orang warga sipil menderita luka karena penembakan di Karubaga, ibu kota Kabupaten Tolikara.  Aksi kekerasan pembakaran dan penembakan ini, kami sebut “Kasus Tolikara”.
 Berdasarkan pengalaman selama ini, kami menemukan empat hal yang luar biasa pada Kasus Tolikara. Hal-hal tersebut tidak pernah terjadi dalam sejarah Papua dan, menurut pengamatan kami, baru pertama kali terjadi pada Kasus Tolikara.
 Pertama,  menurut sepengetahuan kami, tidak pernah ada satu kekerasan yang terjadi pada hari raya keagamaan, entah apa pun agamanya, di Tanah Papua. Warga Papua sangat menghormati hari raya dari semua agama. Oleh sebab itu aksi kekerasan berupa pembakaran kios dan penembakan terhadap warga sipil yang terjadi pada hari raya Idul Fitri 1436 H, merupakan peristiwa yang luar bisa.
 Kedua, sekalipun terjadi di daerah terpencil yang dapat dijangkau hanya melalui pesawat kecil bermesin tunggal, Kasus Tolikara menarik perhatian dan reaksi yang luar biasa dari seluruh nusantara. Reaksinya bukan hanya beragam, tetapi juga berasal dari berbagai kalangan, mulai dari orang kecil hingga Presiden. Semua organisasi keagamaan memberikan tanggapan atas Kasus Tolikara. Reaksi yang paling banyak datang dari luar Tanah Papua. Banyaknya reaksi dan tanggapan terhadap suatu kekerasan yang terjadi di Tanah Papua merupakan sesuatu yang pertama kali terjadi dalam sejarah Papua.
 Kasus Tolikara bukanlah satu-satunya kekerasan yang terjadi di Tanah Papua. Warga Papua telah mengalami banyak konflik kekerasan. Tidak sedikit orang yang telah dibunuh dan terbunuh melalui kekerasan. Sejarah Papua telah diwarnai oleh berbagai macam kekerasan. Aksi-aksi kekerasan masih terus terjadi hingga kini. Sebagai akibatnya, Tanah Papua sudah diidentikan sebagai tanah konflik. Sekalipun telah terjadi banyak aksi kekerasan selama ini, warga Papua tidak pernah melihat reaksi yang luar biasa seperti yang terjadi pada Kasus Tolikara.
  Sebagai salah satu kasus perbandingannya adalah ketika empat pemuda tewas tertembak dan 18 warga sipil lainya menderita luka tembak, 8/12, 2014, di Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai. Kasusnya belum dituntaskan hingga kini. Banyak pihak di Papua memberikan reaksi dan tanggapan, tetapi reaksi dari luar Papua tidak terdengar. Kami hanya memperkirakan bahwa banyak pihak di provinsi-provinsi lain tidak memberikan tanggapannya bukan karena tidak mau menyatakan solidaritas kemanusiaan dengan para korban yang adalah Warga Negara Indonesia tetapi karena informasi tentang penembakan  tersebut tidak tersebar luas dan diketahui oleh banyak pihak.
 Ketiga, patut diakui bahwa Kasus Tolikara menjadi satu-satunya kasus kekerasan di Tanah Papua yang menarik perhatian dan kunjungan dari pejabat tinggi baik dari Provinsi Papua maupun, dan terutama, dari Pemerintah Pusat di Jakarta. Begitu Kasus Tolikara meledak, Kapolda Papua dan Pangdam XVII Cenderawasih mengunjungi Tolikara. Setelah itu, Kapolri melakukan kunjungan ke sana, diikuti oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, dan  Menkopolhukam.
 Pada kasus kekerasan lain yang terjadi di Tanah Papua selama ini, tidak banyak pejabat, terutama dari Pemerintah Pusat, yang langsung pergi ke tempat kejadian perkara. Tetapi pada Kasus Tolikara, banyak pejabat turun langsung ke Karubaga. Semua kunjungan ini patut diberikan apresiasi karena memperlihatkan kepekaan dan komitment mereka untuk menyelesaikan Kasus Tolikara secara komprehensif, tidak parsial. 
 Keempat, kami mengamati bahwa delapan institusi telah mengumumkan kepada publik niatnya untuk melakukan investigasi terhadap Kasus Tolikara. Kedelapan institusi tersebut adalah POLRI, Komnas HAM RI, Kementerian Agama, Komisi II DPR RI, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Forum Silahturrahmi Tamir Masdjid dan Mushala Indonesia (Fahmi Tamami), dan Komite Umat Untuk Tolikara Papua. Mungkin ada juga lembaga-lembaga lain yang mengambil inisiatif untuk melakukan investigasi di Tolikara tanpa mengumumkan terlebih dahulu melalui media masa dan media sosial.
 Hal yang luar biasa adalah bahwa semua lembaga yang ingin melakukan investigasi kasus ini berasal dari luar Tanah Papua, lebih tepatnya dari Jakarta. Hal ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah Papua, karena menurut pengamatan kami selama ini, sekalipun terjadi banyak aksi kekerasan di Tanah Papua tetapi tidak pernah ada lembaga dalam jumlah sebanyak ini yang berniat melakukan investigasi di lapangan.
 Kami memberikan apresiasi yang tinggi kepada semua pihak yang berkehendak untuk melaksanakan investigasi atas Kasus Tolikara. Banyaknya tim investigasi ini menandakan bahwa semua pihak menghendaki agar kebenaran tentang apa yang terjadi di lapangan diungkapkan secara transparan.
 Semoga kebenaran informasi yang didasarkan pada investigasi dapat membantu semua pihak untuk mendapatkan pencerahan, melihat masalah secara jernih, memperoleh pemahaman yang benar tentang peristiwa Tolikara, dan menyelesaikan kasus ini secara damai.#
____________
*) Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur di Abepura.

(artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - Agustus 2015)

Minggu, 05 Juli 2015

Mencermati Keinginan Gubernur Lukas Enembe

Oleh: Carlos Henriques*
SETELAH  cukup lama “tidak bersuara”  karena berhalangan akibat  mengalami sedikit  gangguan kesehatan, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, SIP,MH  untuk pertama kalinya kembali melambungkan suaranya di hadapan publik saat memimpin apel pagi di halaman Kantor Gubernur pada Senin (29/6).
 Nada suaranya tidak berubah sedikitpun: tegas, blak-blakan- tanpa sembunyi-sembunyi yang kadang membuat merah  kuping kebanyakan orang yang belum terbiasa dengan karakternya  sebagai “Anak Gunung- Anak Koteka” yang tengah menghembuskan  “badai gunung” untuk menyapu bersih praktek-praktek koruptif, manipulatif dan nepotisme dalam tubuh pemerintahan di tingkat provinsi hingga distrik dan kampung.
 Apa yang dibicarakan seorang Lukas Enembe selama ini semuanya bermuara pada satu titik yakni “terciptanya  kemandirian, kesejahteraan dan rasa keadilan bagi seluruh warga masyarakat di Tanah Papua terutama Orang Asli Papua”. Dia ingin agar dalam lima tahun masa pemerintahannya, amanat UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua dapat terwujud terutama adalah “Keberpihakan” bagi Orang Asli Papua.
 Sebuah Harian lokal pertama dan terbesar di Papua, sejak Senin,  29 Juni 2015 (saat memimpin apel pagi di halaman Kantor Gubernur Papua) hingga Sabtu (4/7), sangat gencar memberitakan  “suara Sang Gubernur” itu ke ranah publik.  Hampir setiap hari, begitu banyak kalangan memburu,  membeli dan membaca media cetak ini hanya untuk mengetahui apa saja yang dibicarakan oleh orang nomor satu di pemerintahan provinsi tertimur Indonesia ini.
 Beberapa pernyataan penting yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe dalam satu pekan terakhir ini patut dicermati secara kritis dan bijaksana,  di antaranya adalah: Pertama, Gubernur Lukas Enembe meminta agar orang tidak berpikir aneh-aneh tentang dirinya. Kedua, Gubernur menyatakan, Pemprov  Papua berhak mengelola Sumber Daya Alam  (SDA)  tanpa berkoordinasi dengan Pusat. Ketiga, aset PT Percetakan Rakyat Papua (PRP) sebaiknya dilelang saja karena tidak memberikan hasil atau kontribusi kepada pemerintah daerah. Keempat, Pembahasan Kontrak Karya Freeport harus dibicarakan di Papua dan melibatkan  Pemprov Papua.
 Apa yang disampaikan  seorang Lukas Enembe ini adalah ungkapan  keinginanya yang tulus  sebagai Gubernur Papua sekaligus Putra Asli Papua untuk kemandirian dan kesejahteraan rakyat terutama Orang Asli Papua.
 Namun, yang sangat disayangkan adalah, keinginan mulia seorang “Anak Tanah”  ini, ternyata tidak mampu diserap dan ditindaklanjuti secara nyata oleh para pembantunya di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kita harus jujur mengakui bahwa banyak sekali pimpinan SKPD saat ini ternyata  belum  mampu “membaca” keinginan Gubernur Lukas Enembe (dan Wakil Gubernur Klemen Tinal). Kalau “membaca” saja sudah tidak mampu, apalagi  melaksanakannya dalam tindakan nyata?
 “Saya harapkan untuk pimpinan SKPD agar mampu seirama dengan gubernur dalam menjalankan tugas, sehingga apa yang menjadi komitmen untuk membawa Provinsi Papua menuju Papua bangkit, Mandiri dan Sejahtera dapat terwujud,” kata Gubernur Lukas Enembe di Kantor Gubernur, Jumat (3/7).
 Apabila Gubernur Lukas Enembe berharap agar Pimpinan SKPD seirama dengan dirinya, berarti secara terbalik sebenarnya Beliau mengakui bahwa memang benar, ada pimpinan SKPD selama ini tidak seirama dengannya. Mengapa tidak seirama? Jawabannya berpulang kepada kemampuan diri  (profesionalisme) dan kesungguhan Hati (etos kerja) dari orang yang dipercayakannya  untuk memimpin SKPD di Provinsi ini.
Membedah secara kritis
Terkait  “berpikir aneh”. Berpikir aneh tidak bedanya dengan berpikir yang tidak lazim atau tidak semestinya atau berpikir di luar kebiasaan yang benar dan yang sebenarnya.
 Terdapat dua kemungkinan,  mengapa sampai orang berpikir aneh? Kemungkinan pertama, adalah  karena orang itu sendiri memang aneh dalam berpikir dan bertindak,  atau  lantaran ada kecemburuan ,  iri hati dan dendam masa lalu terhadap diri kita sehingga  akhirnya  orang itu berpikir aneh  tentang  diri kita- yang  sebenarnya tidak aneh.
 Kemungkinan kedua adalah,  kita sendirilah  yang berpikir, berbicara dan bertindak aneh,  yang akhirnya membuat orang sampai berpikir aneh tentang diri kita.
 Apa yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe agar orang tidak berpikir aneh tentang dirinya, sebenarnya Gubernur Lukas berbicara tentang kemungkinan pertama  yang tersebut  di atas.
 Gubernur Lukas Enembe pasti memiliki banyak informasi akurat terkait berbagai pemikiran aneh tentang dirinya sehingga sangat wajar apabila dia mengingatkan agar “orang tidak berpikir aneh-aneh tentang dirinya”. Sebaliknya, Gubernur Lukas tidak termasuk dalam kemungkinan kedua diatas, karena selama ini dia tidak berpikir, berbicara dan bertindak aneh-aneh. Apa yang dipikirkan, dibicarakan dan dikerjakan, semua itu demi kemandirian dan kesejahteraan seluruh warga masyarakat  Papua terutama Orang Asli Papua.
Walaupun demikian, kita juga tidak boleh melarang orang untuk berpikir aneh tentang Gubernur Lukas Enembe, karena  mungkin saja  selama Gubernur berhalangan, banyak  pimpinan SKPD yang telah diangkat dan dilantiknya pada dua tahun lalu itu, ternyata  tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya “duduk manis” di kala sang Pemimpinnya tidak berada di ibukota Provinsi Papua.
 “Aneh juga Gubernur kita yang satu ini. Sudah jelas-jelas mengetahui seorang Kepala SKPD tidak mampu berpikir apalagi bekerja, masih juga dipertahankan orang itu, sampai-sampai, para bawahan di kantor  menjadi bosan dan muak melihat pemimpin SKPDnya itu,” kata seorang warga masyarakat Kota Jayapura yang tidak mau disebut identitasnya di media.
 Tentang kewenangan Pemprov dalam mengelola SDA tanpa berkoordinasi dengan Pusat. Pernyataan Gubernur Lukas Enembe ini sudah benar karena Pemerintah Pusat telah memberikan banyak kewenangan kepada daerah untuk mengelola SDAnya dan memang sudah ada petunjuk resmi dari Pemerintah Pusat terkait hal ini.
 Namun demikian, dituntut kemampuan, kepiawaian atau profesionalsitas wartawan dalam memberitakan pernyataan Gubernur tersebut sehingga para pembaca (masyarakat) dapat menangkap secara utuh  dan benar pesan dan hikmat  di balik pernyataan Gubernur tersebut . Sebaliknya, apabila wartawan tidak profesional dalam memberitakan pernyataan Gubernur tersebut maka masyarakat luas akan langsung berpikir yang aneh-aneh tentang Gubernur.
 Apabila media tidak secara profesional memberitakan pernyataan Gubernur Lukas Enembe terkait kewenangan pengelolaan SDA oleh Pemprov maka kesan kuat yang terbaca adalah ada sedikit “semangat” pembangkangan terhadap Pemerintah Pusat. Padahal,seorang Gubernur/Kepala Daerah sebuah Provinsi adalah perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Pak Gubernur Lukas Enembe sedikitpun  tidak bermaksud  membangkang seperti  yang dipikirkan atau diduga orang! Dia seorang Anak Gunung yang  Tulus Hatinya!
 Oleh karena itu, ketika seorang wartawan menulis pernyataan Gubernur Lukas Enembe terkait kewenangan pengelolaan SDA oleh Pemprov maka pada alinea berikutnya dia harus memaparkan secara singkat, kewenangan itu diberikan oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk apa? Tertuang dalam keputusan apa? Kapan diberikan kewenangan itu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, masyarakat kita yang semakin kritis akibat pendidikan dan perkembangan Iptek, tidak sampai berpikir aneh-aneh tentang Gubernur kita yang kita cintai bersama.
 Perihal gagasan Gubernur Lukas Enembe  melelang  aset Percetakan Rakyat Papua (PRP) seharusnya dipahami secara bijaksana bahwa Gubernur sampai melontarkan gagasan tersebut akibat ketidakmampuan Pimpinan PRP itu sendiri dalam membaca dan menerapkan gagasan besar  seorang Lukas Enembe.
 Patut kita ketahui bahwa  sebuah  gagasan sederhana mendirikan PRP adalah setiap tahun hampir ratusan miliar rupiah mengalir keluar Papua hanya untuk membiayai  cetak kebutuhan administrasi  (ATK) di lingkungan Kantor Gubernur Papua. Tercatat, pada tahun 2005, dana yang keluar dari Kantor Gubernur Papua untuk mengurus cetak-mencetak saja sebasar  Rp20 Miliar. Itu, baru pada kantor gubernur, belum kantor-kantor  SKPD dan perusahaan swastalainnya. Maka, ada baiknya, didirikan PRP agar dana-dana tersebut  tidak sampai dibawa keluar Papua.
 Hal yang dituntut dari seorang Pemimpin PRP adalah kemampuan dan semangat  berwirausaha (enterpreneurship) untuk mengelola PRP demi mewujudkan gagasan Gubernur Lukas Enembe yakni terciptanya Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera!
 Bagaimana mungkin, di dalam semangat mengejar kebangkitan menuju kemandirian dan kesejahteraan itu, aset PRP dilelang? Jawabannya adalah: Daripada dilelang dan membuat pusing Gubernur Lukas Enembe, lebih baik Pemimpin PRPnya diganti oleh orang yang profesional dan berjiwa wirausaha. Masih banyak Anak Asli Papua yang saat ini memiliki profesionalisme di bidang percetakan dan berjiwa wirausaha asalkan ada kepercayaan sebagai sesama Anak Papua.
 Keputusan yang paling tepat saat ini, bukanya menjual aset PRP melainkan menggantikan pemimpin PRP yang lebih mumpuni. Jangan menjual lumbung padi, tetapi mengusir tikus yang memakan padi di dalam lumbung tersebut dengan seeokor kucing yang  matanya bersinar terang. Tikus hanya memakan habis padi di dalam lumbung, sedangkan kucing menjaga lumbung agar padi tidak dimaling tikus berdasi!
 Perihal  gagasan Gubernur Lukas Enembe agar pembahasan Kontrak Karya Freeport harus dibicarakan di Papua dan melibatkan  Pemprov Papua, patutlah kita cermati secara kritis, bijaksana dan sejuk.
 Inti dari pemikiran Gubernur Lukas Enembe ini adalah agar keuntungan Freeport itu benar-benar untuk kemandirian dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua khususnya Orang Asli Papua.
 Gagasan yang mulia ini, seharusnya dapat dibaca dan langsung dilaksanakan oleh para pembantunya terutama Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang hampir  setiap hari berurusan dengan Freeport dan Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kementerian ESDM.
 Ternyata, kepala SKPD Dinas ESDM Provinsi Papua belum profesional. Belum mampu membaca keinginan Gubernur Lukas Enembe. Kalau dia belum mampu membaca, bagaimana   melaksanakannya?
 Seharusnya, setelah Kepala Dinas ESDM ini mendengar gagasan Gubernur Lukas Enembe, maka langkah konkret yang dia tempuh adalah segera dan terus-menerus membangun komunikasi dengan pihak Kementerian ESDM di Jakarta dan PT Freeport Indonesia, baik di Jakarta maupun di Kantor Perwakilan PTFI Jayapura agar dua keinginan Gubernur Lukas Enembe dapat terlaksana yaitu Pertama, pembicaraan  Kontrak Karya Freeport berlangsung di Papua dan Kedua,  pembicaraan itu mengikutsertakan paling kurang Pemerintah Provinsi Papua yang dalam hal ini Gubernur Lukas Enembe.
 Apabila atas pertimbangan satu dan lain hal, pembicaraan tentang Kontrak Karya Freeport itu akhirnya berlangsung di luar Papua  (Jakarta) maka paling tidak,  permintaan kedua dari Bapak Gubernur  agar Pemprov Papua diikutsertakan dapat terlaksana ketika Chairman of the Board Freeport McMoRan.Inc (FCX) James R.Moffett didampingi  Presiden Direktur PTFI , Maroef Sjamsoeddin  bertemu Presiden Jokowidodo yang  saat itu didampingi Menteri ESDM Sudirman Said  pada Kamis (3/7) di Istana Kepresidenan,Jakarta membicarakan Kontrak baru Freeport.
 Yang terjadi adalah, pertemuan yang bersejarah dan sangat menentukan masa depan ekonomi Papua itu justru  tidak berlangsung di Papua  (tetapi di Jakarta) dan tidak mengikutsertakan Pemprov Papua.
 Betapa bangga dan puasnya seluruh lapisan masyarakat Papua ketika  mereka melihat melalui layar kaca televisi, membaca di berbagai media cetak serta mendengar Radio bahwa orang nomor satu di Provinsi Bapak Lukas Enembe,SIP,MH duduk bersanding dengan James R.Moffett dan Presiden Jokowidodo membahas Kontrak baru Freeport  yang beroperasi di atas Tanah Papua demi satu cita-cita mulia yaitu: Kebangkitan, Kemandirian dan Kesejahteraan rakyat Papua terutama Orang Asli Papua.
 Realitas berbicara lain! Melalui media massa, seluruh rakyat di Tanah Papua akhirnya mengetahui bahwa pembicaraan kontrak baru Freeport tidak berlangsung di Papua  tetapi di Jakarta dan tidak mengikutsertakan Gubernur Papua Lukas Enembe, SIP,MH. Jangan kan berbicara di Papua, diundang hadir pun, mungkin tidak! Mau apa lagi? Jawabannya sangat mudah yakni: Berpulang kepada kemampuan (profesionalitas) seorang Kepala Dinas ESDM Provinsi Papua hari ini.
 Apakah dengan kejadian ini, kita menjadi sangat emosional dan marah? Kita lantas mempersalahkan Pemerintah Pusat dan Freeport?  Semuanya sudah berlalu! Jarum jam, tentu saja tak mungkin berputar kembali!
 Ketika seorang pemimpin semakin banyak berbicara dan melontarkan gagasan -- namun tidak mampu ditangkap,dipahami,  dicerna dan dilaksanakan oleh para pembantunya --  maka ketika itu juga wibawa pemimpin itu semakin menurun. Ketika wibawa mulai menurun maka kepercayaan pun akan semakin pudar ditelan waktu.
 Kini,  genaplah  waktunya bagi kita untuk merangkul “lawan” menjadi “kawan seperjuangan” dalam  mengarungi sisa-sisa perziarahan ini, guna mendapatkan “oase baru” sebagai kekuatan bertarung pada ronde berikutnya. Di dalam berpolitik, tidak terdapat  kawan  atau  musuh abadi. Yang abadi hanyalah Kepentingan!#

___________
*Carlos Henriques: Pemerhati  pembangunan sosial,politik dan pluralisme Agama  di Papua.

( Artikel ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos - Juli 2015)