M.F.P. Putra*
BULAN September ini, khususnya pada
tanggal 9, bangsa Indonesia akan merayakan Hari Olahraga Nasional (Haornas).
Momen tersebut seyogianya menjadi trigger
(pemicu) bangkitnya olahraga Nasional. Tentu saja, secara khusus bagi olahraga
di Papua!
Penulis sadar bahwa
masyarakat acapkali melihat kemajuan olahraga dari indikator capaian medali
yang diperoleh. Misalnya, apabila berlaga di PON maka yang menjadi rujukan utama
adalah berapa medali yang didapat; begitu pula apabila berlaga pada event internasional,
seperti Sea Games, Asian Gemes, dan Olimpiade. Perolehan medali di atas
seakan-akan menjadi parameter tunggal untuk membaca kemajuan pembangunan
olahraga suatu daerah atau Negara.
Sunguhpun demikian, hal di
atas tidaklah salah namun simpulan yang didasarkan hanya pada satu
indikator—seperti perolehan medali—hemat penulis terlalu premature. Untuk
melihat kemajuan pembangunan olahraga di suatu daerah atau Negara, penulis
berargumen tidak hanya mendasarkan pada perolehan medali dalam event yang
diikuti namun perlu refleksi secara komprehensif.
Pergumulan penulis dengan
beberapa akademisi ilmu keolahragaan (sport
science) membawa pada simpulan bahwa setidaknya terdapat empat indikator
untuk melihat bagaimana kemajuan pembangunan olahraga pada suatu daerah atau
Negara. Keempat indikator tersebut termaktub dalam Sport Development Index (SDI) atau Indeks Pembangunan Olahraga
(IPO). Tulisan tersebut akan mencoba menyarikan secara ringkas tentang SDI
karya anak Bangsa.
Konsep Sport dan Development
Sebelum membahas lebih jauh, akan
didiskusikan terlebih dahulu tentang konsep “sport” dan “development”.
Secara harfiah istilah “olahraga” bukanlah terjemahan langsung dari istilah “sport” yang berasal dari bahasa Inggris.
Istilah “olahraga” yang digunakan di Indonesia berasal dari bahasa Jawa, yaitu
“olah” dan “raga”. Suku kata “olah” bermakna berlatih atau melakukan kegiatan;
suku kata “raga” berarti fisik atau jasmani. Dengan dasar itu, berolahraga secara
sederhana dapat dipahami sebagai melakukan aktivitas fisik.
Pertanyaannya, apakah
aktivitas seperti berjalan ke pasar, bersepeda ke tempat kerja, atau bahkan
mencangkul di ladang dapat diartikan sebagai bentuk berolahraga? Tentu saja
tidak. Meskipun di dalamnya terkandung aktivitas fisik, namun karena tidak
dilakukan secara sengaja dan sistematis untuk mendorong, membina, serta
mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial maka jelas hal tersebut bukan
termasuk aktivitas olahraga (lihat UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional)!
Sementara itu, istilah
“pembangunan” dapat diartikan sebagai suatu proses, cara, dan perbuatan
membangun. Dalam konteks ini, membangun, bermakna proses membuat sesuatu.
Proses sendiri mengandung ciri adanya serangkaian tindakan, interaksi, pembuatan,
perubahan atau pengolahan yang menghasilkan sesuatu. Dengan demikian istilah
pembangunan lebih mengacu pada proses dan bukan pada hasil.
Lalu, bagaimana jika kedua istilah
di atas digabungkan, yakni menjadi “pembangunan olahraga”? Untuk menjawab itu,
penulis akan mencuplik dari Mutohir dan Maksum (2007). Dasarnya adalah karena
orang yang mengagas konsep SDI pertama kali adalah mereka. Bahkan dalam berbagai
kesempatan diskusi ilmiah seperti seminar dan konfrensi, baik Nasional maupun
internasional, pakar dari Amerika, Inggris, Australia, Jepang, Korea, Thailand,
dan Malaysia memuji karya kedua Putra Indonesia ini yang pertama kali menelorkan
konsep SDI. Lebih jauh lagi mereka mengakui Indonesia sebagai the leading nation.
Sport Develompent Index (SDI)
Dalam berbagai kesempatan dengan
penulis, Maksum menyampaikan bahwa gagasan tentang konsep SDI lahir dari sebuah
diskusi ringan antara Mutohir dan Maksum kala itu. Mereka berdua saling lempar
pertanyaan untuk menjawab persoalan olahraga secara ilmiah. Singkat cerita,
sebagai seorang akademisi mereka tidak puas apabila kemajuan pembangunan
olahraga dilihat dari perolehan medali saja.
Oleh karena itu, mereka melakukan studi untuk
menemukan indikator pembangunan olahraga. Dari studi tersebut, ditemukan empat
dimensi dasar, yaitu: ruang terbuka olahraga, Sumber Daya Manusia (SDM),
partisipasi dan kebugaran. Dimensi-dimensi tersebut pada tataran tertentu
merupakan prasyarat dasar (dimensi ruang terbuka dan SDM), prasyarat aksi
(dimensi partisipasi), dan prasyarat keluaran (dimensi kebugaran).
Partisipasi merupakan prasyarat
aksi dari ketiga pilar pembinaan, yaitu olahraga pendidikan, olahraga rekreasi,
dan olahraga prestasi. Kendati demikian, prasyarat aksi membutuhkan prasyarat
dasar berupa ruang terbuka yang digunakan melakukan aktivitas. Hanya saja, agar
aktivitas yang dilakukan menjadi terarah, diperlukan SDM yang dapat mengarahkan
kegiatan olahraga menjadi lebih konstruktif. Hasil yang dicapai dari terjadinya
kegiatan di atas, setidaknya adalah kebugaran jasmani. Astrand, seorang sport scientist dari Swedia, dalam Scientific Congress Asian Games di
Bangkok tahun 1996, menyatakan bahwa salah satu syarat utama membangun prestasi
olahraga adalah terbentuknya masyarakat yang bugar. Jadi, keempat dimensi dalam
SDI saling terkait satu sama lain dan bukan out
of the context.
Muncul pertanyaan, bukankah
masih terdapat banyak dimensi lain yang mencerminkan pembangunan olahraga?
Tentu saja, ya. Tetapi perlu diingat bahwa banyak dimensi pembangunan olahraga
yang tidak tersedia ukurannya, seperti, partisipasi terbuka dalam pendanaan
kegiatan olahraga, sukarelawan (volunteer)
olahraga, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep SDI dipandang lebih ilmiah
dan komprehensif bila dibandingkan dengan konsep “medali” yang selama ini
dijadikan indikator tunggal keberhasilan olahraga.
Merajut Pembangunan Olahraga
Setidaknya, pengalaman Indonesia
pada kurun waktu 48 tahun belakangan ini dapat dijadikan pelajaran berharga.
Membangun olahraga membutuhkan totalitas dan komitmen kolektif. Tidak bisa
hanya dengan cara instan, apalagi manajemen “asal jalan”. Membangun olahraga
perlu dilakukan secara sistematis dan sustainable.
Sejatinya, prestasi dalam olahraga merupakan suatu yang observable dan measurable.
Artinya, jika pembinaan olahraga dilakukan dengan scientific approach mulai dari talent
scouting hingga proses pembinaan disertai dengan upaya mencermati para
kompetitor, maka dapat dipastikan tingkat keberhasilannya.
Dari kaca mata kesisteman, kualitas
hasil (output) ditentukan oleh kualitas masukan (input) dan kualitas proses
yang terjadi. Hasil yang selama ini kita dapatkan merupakan konsekuensi logis
dari sub-sistem yang kurang (mungkin istilah yang tepat TIDAK) optimal, yaitu dari input dan proses.
Dari sisi input, kita kekurangan
calon atlet yang berkualitas, baik dari segi anthropometrik, fisiologis, maupun
psikologis. Khusus untuk aspek anthropometrik dan fisiologis, penulis melihat
hal itu tidak menjadi persoalan yang fundamental di Papua karena masyarakat
Papua memiliki antropometrik dan fisiologis yang dapat dikatakan atletis.
Diakuai bahwa mungkin pandangan ini debatable
tapi penulis sangat menghargai perbedaan pandangan tentang itu.
Pada aspek psikologis, berdasarkan
pengalaman penulis yang melakukan tes mental atlet muda Jawa Timur, banyak hal
yang perlu ditata ulang (reformasi mental) dari atlet-atlet muda kita. Elka
Graham, legenda renang Australia, mengatakan: “in training everyone focuses on 90 percent physical and 10 percent
mental, but in the races it’s 90 percent mental because there’s very little
that separates us physically at the elite level”. Bagaimana dengan mental
atlet Papua? Sampai dengan detik ini penulis belum memperoleh informasi ilmiah
tentang itu.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa
kita kekurangan calon atlet berkualitas? Tanpa bermaksud menyederhanakan suatu
yang memang tidak sederhana, penulis berargumen bahwa rendahnya budaya olahraga
(sport culture) yang berintikan pada
partisipasi adalah hulunya. Hal ini diperparah dengan sistem perekrutan yang
kurang kredible dan akuntable, karena masih suburnya budaya “like and dislike”.
Dari sisi proses, acapkali masih
menerapkan budaya “jalan pintas” dalam menghasilkan sesuatu. Lihat jerman! Mereka
menjadi digdaya dalam sepakbola bukan didapat secara instan namun merupakan
hasil dari proses panjang ketika tahun 2002 DFB (induk organisasi sepakbola
Jerman) merevolusi metode pembinaan pemain dan pengembangan akademi sepakbola.
Misalnya, mewajibkan setiap klub bundesliga 1 dan 2 mendirikan akademi
sepakbola, DFB mendirikan121 pusat sepakbola Nasional yang khusus mendidik
pemain berusia muda (10-17 tahun), metode latihan juga dibedakan menurut umur,
yaitu menggunakan kurikulum berdasarkan penelitian mahasiswa dari Universitas
Koln. Sekali lagi, itu bukanlah instan tapi adanya proses dan inventasi besar
yang konon dalam kurun waktu 10 tahun saja menghabiskan dana sekitar 455 juta
poundsterling (setara sekitar 6,3 triliun).
Akhirnya, semoga kita tidak salah
dalam melakukan pembangunan olahraga. Pembangunan keolahragaan perlu
ditempatkan dalam bingkai yang proporsional agar bukan hanya medali semata yang
meningkat tapi kualitas manusianya juga meningkat, baik secara intelektual,
sosial, dan spiritual. ***
Penulis
adalah Dosen FIK UNCEN
Email:
putra.uncen@gmail.com