Jumat, 11 September 2015

Hari Olahraga Nasional: Moment Melejitnya Olahraga

M.F.P. Putra*
BULAN September ini, khususnya pada tanggal 9, bangsa Indonesia akan merayakan Hari Olahraga Nasional (Haornas). Momen tersebut seyogianya menjadi trigger (pemicu) bangkitnya olahraga Nasional. Tentu saja, secara khusus bagi olahraga di Papua!
 Penulis sadar bahwa masyarakat acapkali melihat kemajuan olahraga dari indikator capaian medali yang diperoleh. Misalnya, apabila berlaga di PON maka yang menjadi rujukan utama adalah berapa medali yang didapat; begitu pula apabila berlaga pada event internasional, seperti Sea Games, Asian Gemes, dan Olimpiade. Perolehan medali di atas seakan-akan menjadi parameter tunggal untuk membaca kemajuan pembangunan olahraga suatu daerah atau Negara.
 Sunguhpun demikian, hal di atas tidaklah salah namun simpulan yang didasarkan hanya pada satu indikator—seperti perolehan medali—hemat penulis terlalu premature. Untuk melihat kemajuan pembangunan olahraga di suatu daerah atau Negara, penulis berargumen tidak hanya mendasarkan pada perolehan medali dalam event yang diikuti namun perlu refleksi secara komprehensif.
 Pergumulan penulis dengan beberapa akademisi ilmu keolahragaan (sport science) membawa pada simpulan bahwa setidaknya terdapat empat indikator untuk melihat bagaimana kemajuan pembangunan olahraga pada suatu daerah atau Negara. Keempat indikator tersebut termaktub dalam Sport Development Index (SDI) atau Indeks Pembangunan Olahraga (IPO). Tulisan tersebut akan mencoba menyarikan secara ringkas tentang SDI karya anak Bangsa.
Konsep Sport dan Development
Sebelum membahas lebih jauh, akan didiskusikan terlebih dahulu tentang konsep “sport” dan “development”. Secara harfiah istilah “olahraga” bukanlah terjemahan langsung dari istilah “sport” yang berasal dari bahasa Inggris. Istilah “olahraga” yang digunakan di Indonesia berasal dari bahasa Jawa, yaitu “olah” dan “raga”. Suku kata “olah” bermakna berlatih atau melakukan kegiatan; suku kata “raga” berarti fisik atau jasmani. Dengan dasar itu, berolahraga secara sederhana dapat dipahami sebagai melakukan aktivitas fisik.
 Pertanyaannya, apakah aktivitas seperti berjalan ke pasar, bersepeda ke tempat kerja, atau bahkan mencangkul di ladang dapat diartikan sebagai bentuk berolahraga? Tentu saja tidak. Meskipun di dalamnya terkandung aktivitas fisik, namun karena tidak dilakukan secara sengaja dan sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial maka jelas hal tersebut bukan termasuk aktivitas olahraga (lihat UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional)!
Sementara itu, istilah “pembangunan” dapat diartikan sebagai suatu proses, cara, dan perbuatan membangun. Dalam konteks ini, membangun, bermakna proses membuat sesuatu. Proses sendiri mengandung ciri adanya serangkaian tindakan, interaksi, pembuatan, perubahan atau pengolahan yang menghasilkan sesuatu. Dengan demikian istilah pembangunan lebih mengacu pada proses dan bukan pada hasil.
Lalu, bagaimana jika kedua istilah di atas digabungkan, yakni menjadi “pembangunan olahraga”? Untuk menjawab itu, penulis akan mencuplik dari Mutohir dan Maksum (2007). Dasarnya adalah karena orang yang mengagas konsep SDI pertama kali adalah mereka. Bahkan dalam berbagai kesempatan diskusi ilmiah seperti seminar dan konfrensi, baik Nasional maupun internasional, pakar dari Amerika, Inggris, Australia, Jepang, Korea, Thailand, dan Malaysia memuji karya kedua Putra Indonesia ini yang pertama kali menelorkan konsep SDI. Lebih jauh lagi mereka mengakui Indonesia sebagai the leading nation.
Sport Develompent Index (SDI)
Dalam berbagai kesempatan dengan penulis, Maksum menyampaikan bahwa gagasan tentang konsep SDI lahir dari sebuah diskusi ringan antara Mutohir dan Maksum kala itu. Mereka berdua saling lempar pertanyaan untuk menjawab persoalan olahraga secara ilmiah. Singkat cerita, sebagai seorang akademisi mereka tidak puas apabila kemajuan pembangunan olahraga dilihat dari perolehan medali saja.
  Oleh karena itu, mereka melakukan studi untuk menemukan indikator pembangunan olahraga. Dari studi tersebut, ditemukan empat dimensi dasar, yaitu: ruang terbuka olahraga, Sumber Daya Manusia (SDM), partisipasi dan kebugaran. Dimensi-dimensi tersebut pada tataran tertentu merupakan prasyarat dasar (dimensi ruang terbuka dan SDM), prasyarat aksi (dimensi partisipasi), dan prasyarat keluaran (dimensi kebugaran).
Partisipasi merupakan prasyarat aksi dari ketiga pilar pembinaan, yaitu olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi. Kendati demikian, prasyarat aksi membutuhkan prasyarat dasar berupa ruang terbuka yang digunakan melakukan aktivitas. Hanya saja, agar aktivitas yang dilakukan menjadi terarah, diperlukan SDM yang dapat mengarahkan kegiatan olahraga menjadi lebih konstruktif. Hasil yang dicapai dari terjadinya kegiatan di atas, setidaknya adalah kebugaran jasmani. Astrand, seorang sport scientist dari Swedia, dalam Scientific Congress Asian Games di Bangkok tahun 1996, menyatakan bahwa salah satu syarat utama membangun prestasi olahraga adalah terbentuknya masyarakat yang bugar. Jadi, keempat dimensi dalam SDI saling terkait satu sama lain dan bukan out of the context.
 Muncul pertanyaan, bukankah masih terdapat banyak dimensi lain yang mencerminkan pembangunan olahraga? Tentu saja, ya. Tetapi perlu diingat bahwa banyak dimensi pembangunan olahraga yang tidak tersedia ukurannya, seperti, partisipasi terbuka dalam pendanaan kegiatan olahraga, sukarelawan (volunteer) olahraga, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep SDI dipandang lebih ilmiah dan komprehensif bila dibandingkan dengan konsep “medali” yang selama ini dijadikan indikator tunggal keberhasilan olahraga. 
Merajut Pembangunan Olahraga
Setidaknya, pengalaman Indonesia pada kurun waktu 48 tahun belakangan ini dapat dijadikan pelajaran berharga. Membangun olahraga membutuhkan totalitas dan komitmen kolektif. Tidak bisa hanya dengan cara instan, apalagi manajemen “asal jalan”. Membangun olahraga perlu dilakukan secara sistematis dan sustainable. Sejatinya, prestasi dalam olahraga merupakan suatu yang observable dan measurable. Artinya, jika pembinaan olahraga dilakukan dengan scientific approach mulai dari talent scouting hingga proses pembinaan disertai dengan upaya mencermati para kompetitor, maka dapat dipastikan tingkat keberhasilannya.
Dari kaca mata kesisteman, kualitas hasil (output) ditentukan oleh kualitas masukan (input) dan kualitas proses yang terjadi. Hasil yang selama ini kita dapatkan merupakan konsekuensi logis dari sub-sistem yang kurang (mungkin istilah yang tepat TIDAK) optimal, yaitu dari input dan proses.
Dari sisi input, kita kekurangan calon atlet yang berkualitas, baik dari segi anthropometrik, fisiologis, maupun psikologis. Khusus untuk aspek anthropometrik dan fisiologis, penulis melihat hal itu tidak menjadi persoalan yang fundamental di Papua karena masyarakat Papua memiliki antropometrik dan fisiologis yang dapat dikatakan atletis. Diakuai bahwa mungkin pandangan ini debatable tapi penulis sangat menghargai perbedaan pandangan tentang itu.
Pada aspek psikologis, berdasarkan pengalaman penulis yang melakukan tes mental atlet muda Jawa Timur, banyak hal yang perlu ditata ulang (reformasi mental) dari atlet-atlet muda kita. Elka Graham, legenda renang Australia, mengatakan: “in training everyone focuses on 90 percent physical and 10 percent mental, but in the races it’s 90 percent mental because there’s very little that separates us physically at the elite level”. Bagaimana dengan mental atlet Papua? Sampai dengan detik ini penulis belum memperoleh informasi ilmiah tentang itu.
Mungkin muncul pertanyaan, kenapa kita kekurangan calon atlet berkualitas? Tanpa bermaksud menyederhanakan suatu yang memang tidak sederhana, penulis berargumen bahwa rendahnya budaya olahraga (sport culture) yang berintikan pada partisipasi adalah hulunya. Hal ini diperparah dengan sistem perekrutan yang kurang kredible dan akuntable, karena masih suburnya budaya “like and dislike”.
Dari sisi proses, acapkali masih menerapkan budaya “jalan pintas” dalam menghasilkan sesuatu. Lihat jerman! Mereka menjadi digdaya dalam sepakbola bukan didapat secara instan namun merupakan hasil dari proses panjang ketika tahun 2002 DFB (induk organisasi sepakbola Jerman) merevolusi metode pembinaan pemain dan pengembangan akademi sepakbola. Misalnya, mewajibkan setiap klub bundesliga 1 dan 2 mendirikan akademi sepakbola, DFB mendirikan121 pusat sepakbola Nasional yang khusus mendidik pemain berusia muda (10-17 tahun), metode latihan juga dibedakan menurut umur, yaitu menggunakan kurikulum berdasarkan penelitian mahasiswa dari Universitas Koln. Sekali lagi, itu bukanlah instan tapi adanya proses dan inventasi besar yang konon dalam kurun waktu 10 tahun saja menghabiskan dana sekitar 455 juta poundsterling (setara sekitar 6,3 triliun).
Akhirnya, semoga kita tidak salah dalam melakukan pembangunan olahraga. Pembangunan keolahragaan perlu ditempatkan dalam bingkai yang proporsional agar bukan hanya medali semata yang meningkat tapi kualitas manusianya juga meningkat, baik secara intelektual, sosial, dan spiritual. ***     

Penulis adalah Dosen FIK UNCEN
Email: putra.uncen@gmail.com

Kamis, 10 September 2015

Memaknai "Yubelium VS Yubelium" 50 Tahun Masuknya Injil di Apahapsili Kabupaten Yalimo

Oleh : Dr.Drs. Gasper Liauw, M.Si *

MARAKNYA penggunaan kata “Yubelium” 50 tahun pada  perayaan hari  gerejani, perayaan lahirnya institusi pendidikan baik yang dilaksanakan di beberapa kota antara lain,  Wamena dan Jayapura pada semester pertama tahun 2015, yang terekspose secara komprehensif  baik melalui harian Cenderawasih Pos maupun TVRI Lensa Papua, melalui  Publikasi Panitia Pelaksana Perayaan, Kotbah Hamba Tuhan maupun  sambutan  Pejabat Pemerintah dan politisi, dengan mengelaborasi kata Yubelium secara panjang lebar  yang disambut dengan sorak sorai dari  Panitia Pelaksana Perayaan, anggota jemaat maupun dari komunitas pendidikan yang diakhiri dengan sesi foto bersama didepan spanduk kegiatan, menjadi fenomena menarik untuk diulas dalam kaitannya dengan Perayaan 50 Tahun Injil Masuk tanggal 10 September 2015 di Apahapsili Kabupaten Yalimo. Fenomena tersebut, akan diulas dalam kepentingan, mengubah pragmatisme semu  menjadi pragmatisme positif.

Telaahan Kritis Kata “Yubileum” VS “Yubelium”.
Fakta di atas telah berdampak pada Rapat terbatas pada bulan Juli 2015 antara penulis selaku Anggota Badan Pekerja Am Sinode Wil X GKI Di Tanah Papua dengan Panitia Perayaan 50 Tahun masuknya Injil di Apahapsili tanggal 10 September 2015, pada ruang kerja Sekretaris Daerah Kabupaten Yalimo di Elelim, yang antara lain membicarakan persiapan akhir pelaksanaan kegiatan dimaksud. Diskusi terjadi pada rencana pembuatan spanduk kegiatan dan Undangan, penulis menawarkan agar menggunakan kata Yubileum bukan Yubelium, karena kata Yubelium arti katanya sulit ditemukan, namun beberapa anggota panitia tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa kata tersebut sudah biasa diucapkan oleh   masyarakat pada umumnya. Namun dari Pihak Klasis Yalimo Utara, menyampaikan fakta menarik bahwa surat dari Pewarta Injil di Jerman, menyebut perayaan masuknya Injil di Apahapsili dengan kata “Iubileum”.
Akhirnya Penulis, menyampaikan bahwa menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia “ tidak ditemukan kata Yubelium dan yang ditemukan hanyalah kata Yubileum. Kutipannya demikian, Yu.bi.le.um/Yubileum/n Perayaan untuk memperingati ulang  tahun suatu peristiwa pd bilangan tahun tertentu (msl ke-25, ke-50) yg dirayakan secara khusus. Anehnya, walaupun telah diungkapkan dokumen sumber dari kata Yubileum, namun hasil rapat tersebut tidak dapat memutuskan kata Yubileum yang digunakan, karena mayoritas peserta rapat lebih berpegang teguh pada sebuah kebiasaan serta mudah dalam penyebutan yaitu Yubelium.
Dari realita di atas, informasi ini kiranya dapat menjadi evaluasi bagi seluruh pihak yang berkepentingan terhadap pewarisan nilai-nilai positif kepada pihak lain atau generasi penerus agar memberikan respon secara positif terhadap tulisan ini sehingga dapat mencerdaskan kita semua untuk mau mentranformasikan jatidiri kita dari perspektif pragmatisme semu menjadi pragmatisme positif.

Makna Esensial Yubileum, 50 Tahun Injil Masuk  Di Apahapsili.
Dengan berpegang teguh pada prinsip rasionalitas, maka YUBILEUM, yang menjadi momentum penting dalam mempertontonkan lahirnya peradaban baru orang Papua khususnya Suku Yali, tentunya tidak dapat dipungkiri akan  jasa dan eksistensi para misionaris (bule dan non bule) pada 50 tahun lalu di wilayah Pemerintahan Distrik Apahapsili dan sekitarnya. Karena dari titik koordinat itulah, buah pekabaran injil 50 tahun lalu,  telah melahirkan para pemimpin di aras gereja, politisi, dan pejabat pemerintah yang  telah mengkreasikan kapasitas dirinya dengan sejumlah keterbatasan yang dimilikinya untuk memajukan bangsa Indonesia dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dalam frame NKRI.
Dengan mengacu pada News. Okezone.com,30 Agustus 2015 dengan judul  Amien Rais : Ribuan Bule di Papua Membahayakan Indonesia. Pernyataan tersebut tentunya dapat  menimbulkan multitafsir dari berbagai kalangan dan dikuatirkan   hanya untuk tujuan pragmatisme semu dengan menyudutkan kalangan tertentu. Irisan-irisan pragmatisme semu tersebut, hendaknya tidak merembes pada perayaan Yubileum 50 tahun masuknya injil di Apahapsili Kabupaten Yalimo, yang juga menghadirkan puluhan orang bule dari Jerman.
Kehadiran para misionaris (orang bule) dan anak cucunya pada Yubileum 50 tahun masuknya Injil di Apahapsili, hendaknya disikapi dengan pragmatisme positif, artinya janganlah dicurigai sebagai salah satu  tujuan untuk membangun strategi ketidakpatuhan dan ketidaktaatan pada pesan dari lagu Indonesia Raya. Namun justru kehadiran orang asing, baik dalam rangka Pekabaran Injil maupun  pelayanan sebagai seorang  pilot pada penerbangan swasta, seperti AMA, MAF, JAYASI yang dengan setia melayani seantero Tanah Papua terutama di Pegunungan Tengah Papua telah terbukti secara empirik, meringankan bangsa ini untuk mengimplementasikan Tema 70 Tahun HUT RI yaitu “AYO KERJA”  demi memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi Indonesia.
Gerakan Langkah Yang Harus Dilakukan.
 Nawa Cita  dari Presiden RI Joko Widodo yang tercermin secara sistematis dan terstruktur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, telah menjadi acuan bagi Pemerintah untuk mewujudkan kerangka pendanaan yang efisien sehingga efektifitas dari seluruh harapan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun tersebut benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, walaupun dalam gradasi dan tingkat keadilan dalam kesejahteraan yang bersifat relatif.
Dalam konteks yang lebih spesifik, khususnya Cita 1, dari Nawa Cita yaitu menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, adalah : Cita 1 tersebut harus menjadi kalimat kunci yang wajib dipegang teguh oleh Panitia Perayaan yang  merencanakan dan mendesain  suksesnya Yubileum, 50 tahun masuknya Injil di Apahapsili untuk selalu menjalin koordinasi dengan pemerintah daerah maupun dengan unsur TNI dan Polri sehingga para pihak yang  sengaja melakukan politisasi  dengan membuat rencana aksi, untuk mengacaukan Yubeliun  50 tahun masuknya Injil di Apahapsili yang dirayakan secara khusus tersebut,akan lari meninggalkan arena perayaan milik Tuhan.
Dengan demikian,   pada pasca Yubileum 50 tahun Injil masuk di Apahapsili suasana kesejukan dan damai sejahtera akan selalu menjadi karakteristik bagi seluruh umat Tuhan di Tanah Papua. Sebagai bahan perenungan bagi para pihak yang selalu ingin memecah kerukunan umat beragama  di Tanah Papua,  camkanlah nasihat dari Konfusius, yaitu “Pelajarilah kebenaran di pagi hari, dan meninggallah dengan bahagia di malam hari “. Karena dalam dimensi kehidupan, ternyata lahir, berkarya dan mati berada pada sebuah garis lurus yang harus dilalui oleh setiap insan manusia. Akhirnya, Selamat merayakan Yubileum 50 Tahun masuknya Injil  di Apahapsili Kabupaten Yalimo pada 10 September 2015.****

*Penulis adalah 
Anggota BPAM Wil X Sinode GKI Di Tanah Papua yang juga Sekretaris Daerah Kabupaten Yalimo
(tulisan ini sudah terbit di harian Cenderawasih Pos edisi 2015)

Jumat, 04 September 2015

Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat Papua

Penulis : M.F.P.Putra*
PADA tanggal 9 September 1983, tepatnya di Kota Solo, telah dicanangkan gerakan Nasional tentang panji olahraga yang berbunyi seperti judul di atas. Tidak berselang lama, yakni tahun 1985 dikeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 67 tentang Hari Olahraga Nasional (HAORNAS) yang diperingati secara Nasional oleh masyarakat setiap tanggal 9 September.
Untuk memperingati Haornas kali ini, Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) UNCEN, akan menyelengarakan rangkaian kegiatan mulai dari bulan September sampai dengan Oktober. Misalnya, senam bersama (Indonesia sehat, Wayase, Yospan, Zumba Dance), donor darah, lari 5 Km, bola voli antar SLTA se-Kota dan Kabupaten Jayapura, serta seminar olahraga Nasional. 
Penulis melihat bahwa rangkaian kegiatan di atas merupakan salah satu wujud untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat di Papua. Munculnya perilaku gerak (olahraga) hakikatnya merupakan interaksi antara individu dan lingkungan (person-world system). Seseorang yang memiliki keinginan untuk berolahraga, sangat boleh jadi tidak akan mewujudkan perilaku berolahraga jika lingkungan di sekitarnya tidak mendukungnya. Di sinilah pentingnya penciptaan lingkungan yang mendukung seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan olahraga. 
Penulis menilai bahwa Prof. Dr. Sutoro (Dekan FIK Uncen) dan Dr. Tri Setyo Guntoro (Pakar olahraga FIK Uncen) memandang bahwa penciptaan lingkungan yang memungkinkan setiap orang melakukan aktivitas olahraga pada dasarnya merupakan bentuk kewajiban, sehingga FIK Uncen berupaya aktif untuk memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Nah, rangkaian kegiatan di atas diyakini sebagai media yang efektif untuk menggalakkan panji olahraga Nasional. Di samping itu, kegiatan di atas juga mempunyai misi untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan masyarakat Papua. 
Pertanyaannya, bagaimana tingkat kebugaran masyarakat di Papua? Hasil studi tahun 2004 yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pendidikan Jasmani dan Olahraga (Komnas Penjasor) menemukan bahwa tingkat kebugaran masyarakat Papua masih jauh dari harapan. Padahal, kebugaran menjadi faktor yang penting dalam rangka meningkatkan kualitas serta produktifitas masyarakat. Coba bayangkan! Apa jadinya bila suatu masyarakat kondisi tubuhnya cepat lelah dan mudah mengantuk? Tentu mereka tidak akan bisa produktif dalam bekerja dan berkarya. Bila itu yang terjadi maka alih-alih masyarakat menjadi maju, yang ada justru mereka akan menjadi beban Negara dan menghambat kemajuan.
Untuk mewujudkan masyarakat yang bugar dan mengikuti pola hidup sehat, tidak cukup hanya mendasarkan pada kemauan orang-perorang, tetapi perlu dibudayakan. Dalam arti perlu diciptakan kondisi sedemikian rupa (rekayasa sosial) yang memungkinkan bagi setiap orang untuk melakukan kegiatan olahraga.
Tantangan ke depan
Para akademisi di FIK Uncen percaya bahwa tantangan hidup yang bakal dihadapi ke depan oleh masyarakat akan semakin menantang. Sebagai contoh, digulirkannya Asean Free Trade Area (AFTA) akan membuat barang-barang hilir mudik dengan bebas se-Asean. Artinya, persaingan dalam perdagangan menjadi ketat karena kita akan diserbu barang-barang dari luar negeri yang mungkin harganya lebih rendah namun kualitasnya lebih tinggi, sehingga daya saing barang dalam negeri menjadi lemah. 
  Apakah hanya itu? Tentu saja tidak. Persaingan antar manusianya juga akan dipertaruhkan. Misalnya, tenaga kerja dari luar Negeri akan masuk ke Indonesia dan bersaing dengan tenaga kerja lokal. Meskipun pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperketat masuknya barang dan tenaga kerja luar, tetap saja hal ini menjadi kegalauan di tengah masyarakat.
 Berdiam diri dan pasrah tentu tidak menyelesaikan masalah tapi justru akan menjadi sumber masalah baru. Itu artinya kita harus sadar bahwa di era sekarang ini, kualitas manusia baik jasmani maupun rohani akan menjadi indikator kuat tentang daya saing bangsa yang selanjutnya akan menentukan kemajuan serta tingkat kesejahteraan masyarakat. Lihat pengalaman Negara-negara yang telah mengalami kemajuan, umumnya tidak disebabkan oleh kekayaan alam yang dimiliki, melainkan kualitas manusianya. Jepang misalnya, meskipun memiliki sumber daya alam yang terbatas dan diperparah dengan kondsi kehancuran berat akibat perang dunia ke II, namun Jepang mampu bangkit menjadi Negara industri terkemuka di dunia. Tepat kiranya argumen yang mengatakan bahwa keberhasilan suatu Negara bersaing dengan Negara lain akan sangat ditentukan oleh sejauhmana Negara yang bersangkutan mempersiapkan dan meningkatkan kualitas manusianya.   
Peran olahraga
 Memang benar bahwa olahraga tidak mampu memberikan garansi bahwa seseorang akan mapan dalam hal ekonomi, namun melalui olahraga resiko terkena penyakit dapat diminimalisir yang selanjutnya hal ini akan menghemat secara ekonomis. Pada hari kesehatan dunia, 7 April 2002, Direktur Jenderal WHO Gro Harlem Brundtland menyatakan: “Physical activity (sport) is a fun and easy way to improve our health and well-being. It does not have to cost anything and everyone, whether young or old, can participate. It is an effective way to prevent cardiovascular disease, diabetes, obesity and two million deaths per years resulting from conditions related to physical inactivity”.
Martin (2010), ilmuan dari University of Western Australia melakukan kajian tentang pengaruh aktivitas fisik (olahraga) terhadap capaian prestasi akademik. Premis dasar yang ia miliki adalah “olahraga yang dilakukan secara tepat akan merangsang perkembangan intelegensi anak, yang selanjutnya akan meningkatkan prestasi akademik anak di sekolah”. Dari uraian di atas jelas akan mengugurkan pendapat yang mengatakan bahwa olahraga adalah aktivitas yang menghambur-hamburkan waktu dan mengganggu perkembangan intelektual seseorang. 
Bertalian dengan produktivitas kerja dan daya saing maka olahraga memiliki posisi yang strategis. Tidak dapat dipungkiri bahwa rutin berolahraga maka akan meningkatkan kebugaran serta kesehatan pelakukanya. Bagi para pekerja di perkantoran, pabrik, dan tempat lainnya kebugaran dan kesehatan merupakan prakondisi mewujudkan kinerja yang optimal. Sebab, dengan kondisi tubuh yang sehat, mereka memiliki daya tahan terhadap stress, berbagai penyakit degenaratif dapat dicegah, dan kegiatan sehari-hari dapat dijalani dengan penuh gairah (Crum, 2004). Dengan demikian produktivitas akan semakin meningkat. 
 Selanjutnya bila mereka memasuki usia lanjut dan mereka tetap melakukan olahraga yang dapat menjaga kesehatan serta kebugarannya, maka mereka akan lebih siap menghadapi usia tua (Kim, 2004). Karena mereka lebih mandiri, kuat, dan ceria sehingga proses penuaan dapat diperlambat. Dengan demikian harapan hidup (life expectancy) mereka semakin meningkat (Anderson, et.al., 2000).
 Kiranya, mungkin kita perlu bersepakat bahwa manusia yang bugar dan sehat merupakan prasyarat pembangunan. Mustahil menggerakkan roda pembangunan yang mengarah pada peningkatan produktivitas tanpa ada kesiapan sumber daya manusia yang bugar dan sehat secara fisik serta mental. Karena itu, upaya mewujudkan menusia yang bugar dan sehat menjadi urgen. Dengan begitu, menggalakkan panji olahraga Nasional dipandang relevan dengan konteks kekinian dan perlu menjadi agenda rutin bersama ke depannya.#

___________
*Penulis adalah Dosen FIK UNCEN
  Email: putra.uncen@gmail.com

(Tulisan ini Pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos Septembr 2015)

Kamis, 03 September 2015

Mengenang Sang Pencetus Otsus Dan Penikmat Otsus Di Tanah Papua

Oleh : Mesak Solossa*
TULISAN ini mengangkat seorang pemimpin yang patut di contohi oleh pemimpin Papua masa kini dan yang akan datang.
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua lahir dari sosok pemimpin senderhana rakyat sejahtera yakni  Dr.Jakubus Perviddya Solossa, Drs., M.Si. Dengan pemahaman dan strategi yang dimilikinya mampu membuat gagasan untuk mencari penyelesaian politik yang menyeluruh terhadap masalah Papua. 
 Ketika Dr. J.P.Solossa menjabat sebagai anggota MPR RI, dalam persidanan sosok pemimpin yang patut di contohi ini meminta kepada pimpinan bahwa bagaimanapun, cara apapun masalah Papua harus dibahas secara khusus, sehingga di jawab dan dibuat dalam ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999  tentang garis – garis besar haluan negara tahun 1999 – 2004. 
 Tentang Papua Tap MPR tersebut mengamatkan sebagai berikut integrasi bangsa dipertahangkan di dalam wadah kesatuan Repoblik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan social budaya masyarakat Papua melalui penetapan otonomi khusus yang diatur dengan undang – undang.
 Proses yang dilakukan sehingga mencapai ketetapan MPR RI tersebut tidaklah mudah membalik telapak tangan, J.P. Solossa dan kawang – kawangnya yang menjabat sebagai anggota MPR asal Papua waktu itu mengerahkan suluruh upaya untuk mencapainya. Hal ini dilakukan karena suhu Politik sangat panas, bahwa rakyat Papua menuntut memisahkan diri dari Repoblik Indonesia, karena ada sebab  diantaranya : Akibat sengketa politik Indonesia VS belanda berkepanjangan, Ketimpangan ekonomi, Ketimpangan social dan Pelanggaran HAM.
 Melihat kondisi tersebut, mau tidak mau harus dicari solusi hokum dan solusi politik agar masalah tersebut dapat dipecahkan secara bermartabat dalam rangka memperkukuh integritas nasional negara kesatuan Repoblik Indonesia. Solusi hukum yang tepat adalah ketetapan MPR RI yang kedudukannya dibawah undang – undang dasar, ketetapan tersebut merupakan solusi politik karena produk yang dihasilkan MPR itu sekaligus merupakan solusi perwujudan dan komitmen seluruh rakyat Indonesia melalui wakil – wakilnya yang duduk di MPR RI.
 Jakubus Perviddya Solossa dilantik pada tanggal 23 november 2000 sebagai Gubernur Irian Jaya, seiring waktu berjalan kondisi politik di Papua terus memanas, maka pemimpin terbaik ini mengumpulkan tokoh – tokoh Papua melakukan pertemuan, pada dasarnya membicarakan tentang langkah – langkah apa yang perlu di ambil dalam rangka mewujudkan amanat MRP RI No.IV/1999. Pertemuan ini dilakukan dengan satu komitmen yang kuat, yaitu melalui pemberlakuan otonomi khusus integritas nasional NKRI di Papua harus dipertahangkan, dimantapkan dengan mengakomodir, menyalurkan dan membuat Draf RUU Otsus serta berbagai tuntutan rakyat Papua kedalam sistem hokum negara kesatuan repolik indonesia.
 Seluruh proses dijalangkan demi kepentingan rakyat Papua. J.P. Solossa melakukan pembahasaan dengan pihak pemerintah pusat, dengan mengunakan dukumen RUU yang merupakan produk DPR RI. Pada tanggal 20 oktober 2001, rancangan  Undang – undang tersebut disahkan dalam sidang paripurna DPR RI dan tanggal 21 November 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani UU Repoblik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Dengan diterbitkan UU. No. 21/2001 berarti secara formal telah tersedia suatu landasan legal yang sangat memadai untutuk mempercepat pembangunan dan menyelesaikan masalah yang terjadi di Papua.
Peletakan Dasar Otsus Pada Masa Kepemimpinan Gubernur J.P. Solossa (2002 - 2004)
Suatu gebrakan yang mengejutkan hati orang asli papua (OAP) dengan mengangkat harkat dan martabat (OAP) didalam bingkai Negara Kesatuan Repoblik Indonesia adalah salah satu keberhasilah J.P. Solossa sebagai pemimpin yang mengerti kehendak rakyat Papua. Masyarakat Papua semakin merasa menjadi bagaian integaral bangsa Indonesia, hal ini dilihat dari meningkatnya nasionalisme Indonesia di kalangan orang – orang asli Papua.
 Pendekatan yang dilakukan pada masa kepemimpinan J.P. Solossa dalam melaksanakan otonomi khusus pada tiga tahun adalah memberikan perhatian kepada pelayanan publik yang diwaktu lalu kurang mendapat perhatian yang memadai dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur. Ini tidak berarti hal – hal lain tidak memperoleh perhatian misalnya pengakuan akan hak – hak masyarakat adat, penyelesaian masalah HAM dan penataan. Perhatian tetap diberikan kepada aspek – aspek tersebut, namun didasari bahwa,, keberhasilan keempat aspek yang disebutkan di atas akan menentukan keberhasilan pelaksanaan program lain seperti yang diamanatkan pada UU No.21/2001.
1. Pendidikan
Melalui pelaksanaan otsus selama tiga tahun telah diberikan bantuan pengganti SPP, biaya operasional sekolah, biaya EBTA dan biaya EBTANAS kepada semua sekolah dari tingkat SD, SLTP. SMU/SMK diseluruh Papua, dengan tidak membedakan sekolah itu negeri maupun swasta. Pemerintah Provinsi Papua juga telah menyerahkan bantuan uang tunai dan sarana/prasarana dalam bentuk gedung, tambahan ruang belajar, penempata guru, laboratorium dan peralatan kepada yayasan pendidikan yang menjadi mitra pemerintahan. Hal – hal yang dikemukakan tersebut merupakan contoh-contoh usaha yang harus dilakukan untuk mulai menekan pembiayaan dilakukan oleh masyarakat sampai ke tingkat serendah-rendahnya.
 Dengan memanfaatkan alokasi dana otsus untuk pendidikan selama tiga tahun, secara bertahap J.P. Solossa, menekankan kepada pemerintah kabupaten/kota suapaya berusaha meningkatkan mutu pelayanan pendidikan di Papua dengan perhatian mutu pelajaran matematika, ilmu pengetahuan alam dan bahasa inggris, juga bantuan untuk meningkatkan penyelengaraan asrama-asrama peserta didik, karena dengan memberikan kebijakan ini dapat memberikan terobosan strategis dalam meningkatkan mutu SDM Papua. J.P. Solossa juga memanfaatkan dana otsus dengan membangun sekolah-sekolah kejuruan, termasuk bidang- bidang yang merupakan keungulan Papua, misalnya SMK kelautan dan SMK pertanian. JP.Solossa menyadari bahwa sekolah-sekolah kejuruan adalah salah  jawaban atas tuntutan pasar tenaga kerja terhadap tenaga terdidik yang berketerampilan, dan maih banyak yang dilakukan.
2. Kesehatan
Peningkatan secara singnifikan terhadap pelayanan kesehatan, tetutama adalah dalam hal pengadaan obat sampai ke daerah pelosok, salah satu prestasi yang mengembirakan adalah bahwa dengan berbagai upaya yang dilakukan selama tiga tahun pelaksanaan otsus waktu itu dinas kesehatan Provinsi Papua suadah hamper tidak pernah lagi menerima laporan dari puskesmas pembantu teantang kekurangan obat.
 Selain bantuan obat, secara bertahap Pemerintah Provinsi Papua melengkapi sarana dan prasarana pelayanan dipuskesmas-puskesmas, akibatnya, jumlah puskesmas yang dapat melakukan kegiatan operatif terbatas telah meningkat pada tahun pertama pelaksanaan otsus. Diberikanya  bantuan rujukan bagi masyarakat yang membutuhkan rujukan pelayanan kesehatan dirumah sakit di kota, kerja sama bantuan rujukan ini dilakukan oleh pemerintah Provinsi dengan operator-operator penerbangan misi. Peningkatan perbaikan gizi memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, peningkatan kualitas tenaga kesehatan dan perhatian diarahkan untuk meningkatkan penanggulangan persebaran HIV/AIDS di Papua.
3. Ekonomi Kerakyatan
Salah satu fenomena yang menonjol pada masa itu adalah keterlibatan orang-orang asli Papua dalam mengelola sumberdaya alam, terutama sumberdaya hutang, diwaktu lalu, hutang diekspolitasi oleh para pengusaha yang berasal dari luar, sedangkan pemilik hak ulayat cenderung hanya menjadi penonton dan tidak sedikit yang menjadi korban, namun   Pemerintah Provinsi memanfaatkan otsus member perhatian sepenuhnya sehingga (OAP) mengelola hutan sebagai salah satu unit usahanya. 
 Pembangunan sub-sektor perkebunan, salah satu sumber pendapatan tunai para petani Papua adalah dari pengusahaan tanaman-tanaman perkebudanan, seperti pengembangan komoditi kakao di kabupaten jaapura, yapen waropen, sorong dan maokwari, serta kopi di jayawijaya. Selama tiga tahun otsus, J.P. Solossa membangun pabrik-pabrik es mini diberbagai lokasi di Papua selain itu upaya meningkatkan operasionalisasi pangkalan – pangkalan pendaratan ikan dan diberikan pelatihan bagi pengembangan usaha perikanan seperti bagi kelompok usaha bersama dengan pengadaan peralatan dan pemberian modal usaha. Masih banyak yang lainnya.
4. Infrastruktur
Salah satu kegiatan srategis utama yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Papua sejak dimulainya otsus pada tahun 2002 adalah merencanakan dan melaksanakan upaya penerobosan isolasi fisik daerah melalui pembangunan dan pemeliharaan prasarana jalan dan jembatan, hal ini dilakukan karena salah satu faktor kritis penentu keberhasilan pembangunan SDM Papua adalah sangat terbatasnya ketersediaan prasarana dan sarana angkutan.
 Setelah tanggal 19 desember 2005 J.P  wafat. Apakah ada pemimpin Papua seperti J.P.Solossa? Namun yang ada elite - elite pemerintah Papua penikmat dan rakyat Papua tidak sejahtera. bayangkah apabila pencetus otsus ini masih bersama kita saat ini, bagaimana pembangunan di Papua?. 
 Jadi lebih kongkritnya adalah persoalan pembangunan di Papua dibutuhkan seorang pemimpin yang berani merangkul, merencanakan, mempertimbangkan resiko dan mampu berkoordinasi dengan bawahannya dalam mengimplementasikan. Semua ini sudah dirancang dan dalam proses peletakan dasar otsus oleh bung J.P. Solossa selama 3 tahun (2002-2004), namun apa yang terjadi dengan otsus setelah tahun 2005 – sekarang?, rakyat Papua menilai otsus gagal.
 Agar orang Papua tidak menjadi penonton, budak, anak jalanan, dan miskin di atas tanah ini, pemerintah Papua tidak bisa hanya dengan bermain wacana saja, sementara fakta di tengah masyarakat akar rumput tidak ada perubahan.***
_______________________________________________________
Penulis adalah Pemerhati Masyarakat Papua
e-mail    : solossa_mesak@yahoo.co.id
( artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos Oktober 2015)