Selasa, 05 Januari 2016

Quo Vadis Implementasi Kebijakan Otsus Papua

( Sebuah Kajian Analitik 14 Tahun Perjalanan Otonomi Khusus )
Oleh Frans Pekey *)
TEPATNYA pada tanggal 02 Januari 2016 ini kembali menjadi hari bersejarah perjalanan implementasi 14 tahun kebijakan Otonomi Khusus di Papua, sejak Pemerintah Republik Indonesia mulai memberlakukan Kebijakan Otsus pada tanggal 02 Januari 2002 berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua .  
 Momentum ini menjadi awal dimulainya peradaban baru orang Papua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI, karena negara bangsa menjamin dan memberikan kepastian hukum bagi rakyat dan tanah Papua dalam menyelesaikan berbagai konflik di Papua yang berlangsung sejak jaman penjajahan, masa integrasi,  masa orde baru hingga memasuki masa reformasi. Jaminan kepastian hukum tersebut, termaktub dalam penjelasan umum UU No 21/2001 bahwa latarbelakang  pemberian status Otsus bagi Provinsi Papua (kini Provinsi Papua dan Papua Barat) adalah berangkat dari sejarah perjalanan hidup rakyat Papua yang mengalami berbagai keterpurukan dalam bidang politik dan pemerintahan, pertahanan dan keamanan, penegakkan hukum dan demokrasi, ekonomi dan sumberdaya alam, sosial dan budaya. Kesemuanya itu berimplikasi kepada otoritarian politik dan pemerintahan, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi hukum dan pembungkaman demokrasi,  kesenjangan ekonomi dan eksploitasi sumberdaya alam    yang massif, keterbelakangan, ketertinggalan dan keterisolasian, serta konflik perbedaan persepsi sejarah integrasi Papua kedalam NKRI.     
 Berkenaan dengan itu, dalam konteks kajian ini  melahirkan sebuah pertanyaan yaitu Bagaimana efektifitas implementasi kebijakan Otsus dan implikasinya bagi rakyat Papua selama 14 tahun? Untuk menjawab pertanyaan dimaksud, penulis mencoba menggunakan 2 (dua) perspektif yaitu :

A. Perspektif Evaluatif 
Perspektif ini ingin melihat dan mengevaluasi kembali 14 tahun perjalanan implementasi kebijakan otonomi khusus dan implikasinya bagi rakyat dan Tanah Papua yang dihimpun dari berbagai sumber, data dan fakta  sebagai berikut :  

1. Aspek Regulasi :  a) Banyak UU, PP, Perpres dan Peraturan Menteri yang tidak mengakomodasi kekhususan Papua, sehingga implementasinya bertentangan dengan UU Otsus Papua, seperti UU Sistem Diknas, UU Kesehatan, UU Perindustrian & Perdagangan, UU Kepegawaian (ASN), UU Kehutanan, UU Pertanahan, dan Peraturan lainnya; b) Masih ada PP, Perdasi, Perdasus dan Peraturan Gubernur yang belum dirumuskan untuk mengatur kekhususan sesuai amanat pasal-pasal dalam UU Otsus Papua, sehingga pelaksanaan Otsus pada aspek tersebut belum berjalan optimal; c) Perda di tingkat Kabupaten & Kota dalam kerangka pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua dalam berbagai bidang masih kurang dan terabaikan; d) Masih ada beberapa pasal dalam UU Otsus yang belum dilaksanakan, sehingga tidak bermakna bagi rakyat Papua, seperti pasal 2 (2,3) lambang2, pasal 4 kewenangan daerah, pasal 6 (2) badan legislatif, pasal 27 (1, 2) kepegawaian,  pasal 28 partai politik, pasal 32 Komisi Hukum Ad Hoc, pasal 41 penyertaan modal, pasal 45 hak asasi manusia, 46 komisi kebenaran dan rekonsiliasi, pasal 58 bahasa, pasal 61 kependudukan, pasal 65 (1) sosial, dan pasal 78 evaluasi pelaksanaan UU Otsus.   

2. Aspek Kelembagaan : a) Tidak ada lembaga atau institusi yang mengawal, mengevaluasi  dan mensupervisi efektivitas dan kekonstitenan jalannya UU Otsus sebagaimana diatur dalam pasal 78 UU 21/2001, sehingga otsus berjalan tak bertuan. Semua Lembaga yang ada hanya terbatas mengurusi kewenangan dan tugasnya sendiri;  b) Belum dibentuk kelembagaan sesuai amanat UU Nomor 21/2001 yaitu : pasal 45 tentang eksistensi Komnas HAM Papua dan pembentukan Pengadilan HAM Papua dengan KEPPRES demi perlindungan dan penenggakkan HAM rakyat Papua; pasal 46 tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  (KKR) dengan KEPPRES yang bertugas klarifikasi sejarah Papua  serta merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi di Papua; pasal 32 tentang pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc di Papua dengan Perdasi; c) Dalam beberapa aspek  hubungan kerja dan koordinasi antara lembaga Eksekutif, DPRP dan MRP belum seluruhnya seiring sejalan dan masih sarat konflik  kepentingan, benturan penafsiran dan ego lembaga sehingga sering menimbulkan kegaduhan dan kontravensi; d) Eksistensi dan kinerja lembaga MRP tidak berjalan optimal karena pembatasan kewenangan, kemampuan dan kapasitas anggota MRP yang masih rendah serta dukungan penganggaran yang terbatas; e) Pemerintah Provinsi Papua membentuk kelembagaan non Pemerintah di Papua yang cenderung mengambil alih tugas pemerintah dengan menggunakan 10 % dana otonomi khusus yang sangat besar, yang berpotensi penyelewengan penggunaan dana, pemborosan anggaran, duplikasi program dan penganggaran dg instansi teknis, duplikasi kelompok sasaran, serta dapat terjadi ketidakadilan dalam pembagian alokasi dana ataupun pelaksanaan program dan kelompok sasaran. Hal ini dapat berpotensi menimbulkan konflik baru di masa mendatang. 

3. Aspek Penyelenggaraan Pemerintahan dan Aparatur : a) Amanat UU 21/2001 bahwa Letak Otsus itu berada di Pemprov. Namun hubungan kerja antara Gubernur dengan  Bupati/Walikota tidak mencerminkan atasan dengan bawahan dalam kerangka Otsus, sehingga perlu dilakukan pemberian reward and punishment bagi Kabupaten dan Kota; b) Penyelenggaran Pemerintahan, pembangunan dan pelayanan di wilayah Pegunungan dan pinggiran perkotaan tidak berjalan optimal dan terabaikan, karena pejabat dan pegawainya cenderung tinggal dan menghabiskan waktu di perkotaan dan luar daerah; c) Penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi, Kabupaten, Kota, Distrik dan Kampung masih dominasi patologi birokrasi seperti tidak disiplin kerja, menghabiskan anggaran, berpikir kepentingan pribadi dan kelompok, pelayanan berbelit-belit, tidak ramah, dll sehingga rakyat belum merasakan layanan pemerintah dan manfaat otsus secara optimal.

4. Aspek Penganggaran : a) Secara global, jumlah dana otonomi khusus yang diberikan Pemerintah kepada Papua belum sebanding dengan kesenjangan ketertinggalan Papua dengan daerah lain, atau tingkat kesulitan dan topografi Papua yang amat sangat berat, serta mahalnya ongkos untuk pengerjaan proyek  di Papua, sehingga secara ekonomis nilai pemanfaatan uangnya menjadi kecil meskipun nominalnya trilyunan; b) Kebijakan pengalokasian anggaran antara Provinsi (20 %)  dengan Kabupaten dan Kota (80%) bertentangan dengan titik berat OTSUS yang ada di Pemerintah Provinsi Papua. Akibatnya Pemprov tidak berkemampuan banyak untuk membiayai program strategis pada bidang-bidang prioritas Otsus itu sendiri. Sementara itu, Kabupaten dan Kota mendapat alokasi dana otsus yang besar, tetapi tidak didukung dengan kapasitas, kesiapan,  mentalitas dan displin birokrat yang rendah sehingga berpotensi manipulasi dan korupsi; c) Masih dijumpai adanya duplikasi program dan penganggaran antara sumber dana otonomi khusus dengan sumber dana lainnya, sehingga berpotensi pemborosan dan penyelewengan anggaran pada Provinsi, Kabupaten dan Kota; d) Ketidakkonsistenan dalam prosentase pengalokasian dana otsus sesuai UU & Perdasus serta peruntukan & pemanfaatan dana Otsus bagi orang asli Papua;  e) Tata cara dan mekanisme dana pemberdayaan masyarakat orang Papua di Kabupaten-Kabupaten masih pendekatan bantuan uang tunai yang berpotensi konsumtif dari pada usaha produktif, sehingga mengarah kepada kepentingan pencitraan pejabat politik dari pada pemberdayaan & kemandirian rakyat; f) Pemanfaatan uang bagi sebagian besar orang Papua dominan konsumtif baik yang positif (kebutuhan keluarga) maupun konsumtif yang negatif (miras, hiburan, seks bebas) yang berakibat pada KDRT, penyakit IMS dan HIV/AIDS.    

5. Aspek Percepatan Pembangunan : Percepatan pembangunan di Papua akan memberi dampak yang positif bagi pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Papua menurut data BPS dan Bappenas (2013) masih bertengger pada urutan 33 dari 34 Provinsi di Indonesia meskipun dana pembangunan (dana otsus dan dana lain) sangat besar terserap di Papua     selama   14  tahun  Otsus.  Beberapa  fakta   dapat  dirilis : 
 a) Pembangunan  bidang pendidikan : penyediaan sarana dan prasarana semakin membaik, tetapi manajemen pendidikan dan operasional sekolah tidak berjalan optimal (banyak sekolah yang tidak ada guru). Kualitas pendidikan dan mutu kelulusan masih dibawah rata-rata, meskipun dana BOS dan operasional sekolah sudah banyak diberikan. Tidak terjadi percepatan dan masih  konvensional; b) Pembangunan bidang kesehatan :  sarana prasarana semakin meningkat untuk Puskesmas, Pustu dan beberapa RSUD Kabupaten, meskipun lamban pembenahan dan peningkatannya. Aspek kualitas pelayanan dan penyediaan tenaga medis, dokter, obat dan peralatan medik masih dibawah rata-rata sehingga angka kematian masih relatif tinggi di Papua. Tidak terjadi percepatan tetapi bersifat konvensional saja; 
b) Pembangunan bidang ekonomi kerakyatan orang Papua masih sangat memprihatinkan karena kebijakan alokasi anggaran bidang ekonomi sangat kecil serta tidak ada desain dan konsep pembangunan ekonomi yang jelas, tepat dan terukur sehingga ketahanan dan kemandirian ekonomi keluarga orang Papua tidak bertumbuh dan masih tergantung bantuan pemerintah atau pejabat. Akibatnya mayoritas orang Papua masih tidak berdaya untuk berobat sendiri, biaya pendidikan sendiri, berwirausaha,  membangun rumah yang layak, tidak mampu saving & investasi serta tidak berdaya lainnya; 
c) Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, telekomunikasi, perkantoran, perekonomian berkembang cukup signifikan. Tetapi pembangunan infrastruktur energi listrik, perumahan rakyat dan  air bersih tidak optimal dan masih tertinggal baik di perkotaan maupun pedesaan dan pedalaman Papua. 

6. Aspek Politik dan Keamanan : a) Meskipun Pemerintah dan penyusun UU Otsus tahun 2001 menetapkan Otsus sebagai win win solution konflik Papua, tetapi konflik politik yang berdampak gangguan keamanan di Papua terus terjadi hingga 14 tahun OTSUS. Isu dan kondisi keamanan Papua, baik riil terjadi maupun pengkondisian pihak tertentu  masih menjadi faktor utama penghambat penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, peluang investasi dan iklim usaha. Implikasinya kepada pelayanan publik, ekonomi biaya tinggi, penyerapan tenaga kerja terbatas (pengangguran tinggi); b) Politisasi dan sekuritisasi berbagai isu dan kepentingan pembangunan di Papua, sehingga berdampak negatif dalam upaya percepatan pembangunan; c) Konflik kepentingan politik antara para elit Pusat, Pemda, DPRP, MRP dan DPRD cenderung menimbulkan kegaduhan dan mempengaruhi opini publik (rakyat tradisional), sehingga mudah terprovokasi yang berimplikasi gangguan keamanan daerah; d) Masih terus terjadinya gangguan keamanan (konflik) dengan motif politik, motif ekonomi dan kesejahteraan, motif sosial budaya, motif tuntutan HAM, sehingga terjadi eskternalisasi masalah.

7. Aspek Pengawasan dan Kontrol Sosial : a) Pengawasan internal (Inspektorat) dan eksternal (BPK) atas kinerja pemerintah daerah di berbagai daerah di wilayah pegunungan tidak berjalan optimal dengan berbagai alasan dan kendala, sehingga sulit mengukur capaian kinerja, penyerapan anggaran yang besar serta manfaat dan dampak bagi rakyat di daerahnya; b) Di daerah tertentu ada upaya pengkondisian keamanan pada saat auditor hendak mengaudit ke daerah, sehingga sulit mengungkap jika ada penyelewengan dana maupun akuntansinya. Indikatornya adalah mayoritas kabupaten di Papua beropini Diskleimer bertahun-tahun dan sedikit yang WDP dan WTP  atas kinerja pengelolaan keuangan daerah; c)  Masih lemahnya pengawasan DPRD, kontrol sosial masyarakat maupun LSM atas penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan dana di semua daerah, sehingga tidak terjadi chek and balanced secara maksimal.      

B. Perspektif  Solutif
Jika menghitung-hitung sisa waktu masa otonomi khusus hanya tinggal 11 tahun lagi, maka tidak ada pilihan lain selain melakukan sebuah perombakan dan rekonstruksi secara massif dan kontekstual atas beberapa aspek sehingga tujuan dan manfaat pemberian otsus benar-benar dirasakan dan dinikmati oleh orang Papua.  Beberapa aspek tersebut diantaranya :
1. Aspek regulasi :  a) Pemprov dan DPRP harus mengkonsultasikan kepada Presiden atas berbagai Peraturan perundang-undangan yang tidak mengakomodasi dan bahkan bertentangan dengan jiwa kekhususan dalam UU Otsus; b) Pemprov, DPRP dan MRP segera melakukan evaluasi, verifikasi, inventarisasi dan kajian atas pasal-pasal dalam UU Otsus yang belum dilaksanakan hingga tahun ke 14 ini dan melaporkan kepada Presiden untuk mengimplementasikannya; c) Pemprov dan DPRP perlu segera menyelesaikan perdasus dan perdasi sesuai UU Otsus dan konsisten mengimplementasikannya oleh Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kota, Distrik, Kelurahan dan Kampung dan stakeholders lainnya.


2. Aspek kelembagaan : a) Dana otsus yang besar itu harus direncanakan, dikendalikan dan dikelola secara tepat, terukur, transparan dan akuntabel, maka sudah selayaknya dibentuk Badan Pengelola dan Pengendali Ototomi Khusus Papua. Tidak perlu ada lagi lembaga non pemerintah yang mengambil alih tugas pemerintah yang cenderung pemborosan 10 % dana Otsus; b) Pemprov sebaiknya membentuk sebuah Tim atau Lembaga Independen yang bertugas mengawal, mengontrol, mengawasi, mensupervisi  dan mengevaluasi efektifitas pelaksanaan Otsus baik aspek regulasi maupun implementasinya; c) Pemprov, DPRP dan MRP untuk segera mendorong Pemerintah untuk penguatan kelembagaan Komnas HAM Papua, pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai amanat UU Otsus sebagai langkah penyelesaian konflik Papua yang terus terjadi hingga akhir Desember  2015.
3. Aspek pemerintahan dan aparatur : a) Posisi strategis Gubernur dalam kerangka otsus maupun wakil Pemerintah Pusat mestinya dipatuhi oleh Bupati dan Walikota. Gubernur perlu melakukan penilaian yang diikuti dengan pemberian reward dan punishment dalam bentuk kebijakan dan Program; b) Gubernur, Bupati, Walikota harus berkomitmen dan konsisten dalam peningkatan disiplin bekerja aparatur, capaian target dan kinerja Daerah, serta diikuti dengan pemberian reward dan punishment bagi aparatur maupun penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan dan aparaturnya secara memadai.
4. Aspek penganggaran : a)  Apakah Gubernur membentuk Badan Pengelola dan Pengendali Otsus atau tidak serta membentuk Lembaga Independen sebagaimana saya maksud diatas, sebaiknya kebijakan penganggaran Otsus 20 % : 80 % perlu dievaluasi dan realokasi kembali secara proporsional berdasarkan indikator seperti titik berat Otsus di Provinsi,  kondisi daerah,  kemampuan penyerapan dana serta capaian hasil-hasil pembangunan (IPM) daerah; b) Perlu penetapan secara tegas dan transparan mengatur batas kewenangan pembiayaan yaitu Provinsi hanya membiayai program yang besar dan strategis saja pada 4 bidang prioritas Otsus, sedangkan program dan kegiatan lainnya cukup di biayai oleh Kabupaten/ Kota karena banyak sumber dana lain yang diperoleh Kabupaten/Kota untuk membangun.    
5. Aspek percepatan pembangunan : a) Percepatan pembangunan Papua yang berat ini akan terwujud, jika pemimpin daerah dan perangkat SKPD memiliki konsep, kapasitas dan keberanian untuk melakukan terobosan, kreativitas dan inovasi yang mumpuni. Jika membangun secara konvensional atau biasa-biasa saja, maka Papua tetap tertinggal dan mustahil sejajar dengan daerah lain; b) Letak Otsus di Provinsi, maka Pemprov harus bertanggung jawab dalam percepatan pembangunan Strategis di bidang pendidikan (sekolah unggulan, program 1000 doktor, dll) , bidang kesehatan (RS bertaraf internasional, RS Rujukan di 5 wilayah adat, kontrak dokter ahli/spesialis, peralatan canggih, dll)  serta bidang ekonomi rakyat (perkebunan dan pertanian tanaman pangan berbasis potensi dan keunggulan daerah, subsidi angkutan, tata niaga sembako di Papua, investasi daerah jangka panjang, optimalisasi BUMD untuk kemandirian daerah, dll) serta infrastruktur strategis; 
c) Segera memberikan kebijakan penganggaran bidang Perekonomian yang prosentasinya sama atau setara dengan bidang pendidikan, karena orang Papua masih miskin secara ekonomi akibat tidak memiliki penghasilan tetap sebagai basis ketahanan ekonomi keluarga. Karena itu, alokasi anggaran diperbesar, memiliki konsep dan model pemberdayaan ekonomi rakyat yang terencana dan terukur serta pengembangan komoditas unggulan daerah berbasis kerakyatan. Jika ketahanan ekonominya kuat, maka orang Papua akan mandiri dalam pendidikan, kesehatan, berinvestasi dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya; d) Mengevaluasi capaian hasil pembangunan setiap bidang prioritas Otsus oleh lembaga independen untuk tahapan percepatan pembangunan berikutnya.
6. Aspek politik dan keamanan : a) Pemerintah dan orang Papua segera tinggalkan mainset berkonflik politik dan disintegrasi. Kita semua hanya berpikir dan bertindak dalam sebuah idealisme yang hanya mengorbankan orang Papua sendiri serta menghambat kemajuan pembangunan daerah, pelayanan kesehatan & pendidikan serta roda perekonomian daerah sehingga laju pembangunan tidak sebanding sejalan dengan besarnya dana yang mengalir di Papua. Pihak tertentu selalu memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan pribadi atau institusi dengan dalih OPM, KSB, KKB, OTK  dan istilah lain yang diciptakan; b) Sudah saatnya orang Papua harus fokus menjadi Tuan di negeri sendiri melalui kemandirian secara ekonomi, berkarakter dan berjati diri  secara adat dan budaya serta bermoral dan berintegritas secara spiritual dan taat ajaran agamanya; c) Kita perlu menyerukan kepada semua pihak agar hentikan  politisasi  dan  kriminalisasi berbagai isu,  serta meminta agar penyelesaian konflik politik dan hak asasi manusia secara konstitusional. Juga melakukan pendekatan kesejahteraan, bukan pendekatan keamanan dan territorial.
7. Aspek pengawasan : a) Program dan anggaran otsus maupun sumber dana lainnya semata-mata untuk kesejahteraan rakyat di Papua, maka para Auditor, DPRD dan LSM harus melakukan pengawasan dan control yang ketat dan independen dalam rangka transparansi dan akuntabilitas publik; b) Disinyalir masih banyak terjadi penyelewengan penggunaan dana Otsus yang tidak terdeteksi dan terungkap oleh Auditor dan penegak hukum di hampir semua daerah di Papua, walaupun mendapatkan opini diskleimer bertahun-tahun. Karena itu,  Pemprov harus berani membentuk tim pengawas dan penilai Otsus yang kredibel dan independen dalam rangka penilaian efektifitas dan akuntabilitas pengelolaan seluruh dana Otsus di Papua, agar tidak ada lagi oknum tertentu mencari keuntungan pribadi diatas kemiskinan, kepolosan, penderitaan,  air mata dan tetesan darah orang Papua.   
Ingatlah bahwa masa Otsus hanya tersisa 11 tahun. Lebih baik terlambat memulai daripada tidak sama sekali. Lebih baik kita bertindak skarang daripada kita menyesal dan konflik lagi di tahun 2026. Lebih baik kita orang Papua sendiri yang memulai semuanya dari pada menuntut dan mengharapkan orang lain yang melakukannya. Kalo bukan kita orang Papua sendiri siapa lagi yang membangun rakyat dan Tanah Papua. Kalo bukan kita kerjakan saat ini, kapan lagi. Ingatlah pula bahwa jawaban atas semua derita, tangisan dan tuntutan itu tidak akan turun dari langit nan biru, tidak akan keluar dari kedalaman lautan,  serta tidak akan datang dari luar Papua dan belahan dunia lain, TETAPI semuanya berada di tangan kita sendiri dan ada di atas Tanah kita sendiri. Marilah Bangkit untuk Bersatu Pikiran dan Hati Membangun, Bekerja Keras untuk Mandiri dan  Sejahtera,  Menjauhkan diri dari Perbuatan Tercela (Bertobat) serta Meminta Hikmat dan Pertolongan Tuhan dengan Berdoa Setulus Hati. Jika demikian, maka percayalah bahwa harapan dan impian Orang Papua Menjadi Tuan diatas Tanah dan Negerinya Sendiri  BENAR-BENAR akan Terwujud di masa yang akan datang. Semoga!!!.  
_______
* Penulis adalah Pemerhati Masalah Politik, 
Kebijakan Publik, Pemerintahan  dan Sosial. 
Tinggal di Kota Jayapura. 

(Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - Januari 2016)

Jumat, 01 Januari 2016

50 tahun Keuskupan Jayapura - Menjadi Gereja yang Berbagi Kasih

Penulis : Neles Tebay*

PERKEMBANGAN  Gereja Katolik di Keuskupan Jayapura dapat diibaratkan dengan pertumbuhan seorang manusia. Pada tahap awal, pertumbuhanya sangat bergantung pada orang tua. Setelah itu, anak berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri. Sebagai orang dewasa, dia terdorong untuk membagikan hidupnya demi orang lain melalui karya, sesuai profesinya.
Tahap perintisan
Perkembangan Gereja dimulai dengan tahap perintisan. Pada tahapan ini, Gereja katolik dibawa masuk ke  Tanah Papua oleh misionaris. Para misionaris adalah orang berkulit putih dan berasal dari Eropa. Mereka meninggalkan daerah asalnya, datang secara sukarela ke Tanah Papua, dan memperkenalkan Gereja Katolik kepada penduduk lokal.
 Seorang misionaris masuk ke suatu daerah dan biasanya menetap disitu. Dia mengadakan kontak dan membuka komunikasi dengan masyarakat setempat. Banyak misionaris mempelajari tradisi kebudayaan setempat. Mereka bahkan belajar bahasa lokal hingga bisa berkomunikasi dalam bahasa daerah Papua.
 Dimana pun seorang misionaris berkarya, dia membangun rumah tinggal yang disebut pastoran. Kompleks dimana seorang misionaris tinggal disebut kompleks misi. Gedung Gereja yang dibangunnya disebut Gereja misi. Sekolah Dasar (SD) yang didirikan oleh misionaris disebut SD Misi. Para guru yang mengajar pada sekolah katolik disebut Guru misi. Bengkel yang dikelolah misionaris disebut bengkel misi. Para tukang yang bekerja pada bengkel misi disebut tukang misi. Pesawat Cessna yang diurus oleh para misionaris Katolik disebut pesawat misi. Jonson atau perahu motor yang digunakan oleh para misionaris disebut Jonson misi. Gudang yang dibuka oleh misionaris untuk menjual barang kelontongan disebut gudang misi. Istilah-istilah ini diciptakan bukan oleh para misionaris kulih putih melainkan oleh penduduk setempat. Kita masih mendengar istilah-istilah ini juga pada masa kini, sekalipun para misionaris  kulit putih sudah tidak kelihatan.
 Pengalaman membuktikan bahwa para misionaris tidak hanya memperkenalkan agama Katolik kepada penduduk lokal. Mereka juga mendirikan sekolah Dasar sehingga orang setempat dapat mengenyam pendidikan. Mereka mendatangkan guru-guru SD dari luar Papua seperti Pulau Kei, Sulawesi Utara, Jawa, dan Sumutera Utara. Mereka membangun balai kesehatan. Mereka bahkan membuka lapangan terbang yang beralaskan rumput agar dapat didarati oleh pesawat Cessna.
 Hampir di semua tempat di seluruh Tanah Papua, para misionaris Eropa tampil sebagai pionir pembangunan di segala bidang. Kehadiran dan karya mereka memungkinkan orang Papua berkembang mengikuti perkembangan zaman, dan dapat berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda suku, ras, dan agama, serta kewarganegaraan. 
 Banyak Orang Papua tertarik pada ajaran yang diwartakan para misionaris dan menjadi anggota Gereja Katolik. Orang Papua juga menggunakan kemungkinan-kemungkinan baru yang tercipta atau diciptakan oleh para misionaris sehingga, misalnya, orang Papua bisa pergi sekolah diluar daerah asalnya. Perkembangan Orang Papua tidak mungkin tercapai seperti yang kita saksikan pada saat kini tanpa keterlibatan, pelayanan, pengorbanan dari para misionaris.
 Para misionaris berperan aktif baik dalam mengurus pelayanan dalam Gereja maupun dalam melayani masyarakat umum. Orang setempat menerima apa yang diwartakan, diperkenalkan, dan ditawarkan oleh para misionaris. Oleh sebab itu, Gereja katolik pada tahapan ini disebut Gereja misionaris.
 Tahap kemandirian
Memasuki Tahun 1970-an, Gereja Katolik Keuskupan Jayapura bertekad untuk membangun Gereja mandiri. Tekad tersebut diungkapkan dalam moto “Kita semua adalah Gereja”. Dengan mencetuskan moto ini umat katolik bertekad mengurus sendiri pelayanan Gereja dan karena itu mulai meninggalkan ketergantungan pada para misionaris.
 Pada tahap kemandirian ini, anggota Gereja Katolik berperan aktif sebagai subyek yang bertanggungjawab dalam pelayanan Gereja. Untuk memungkinkan partisipasi umat ini, dibentuklah Dewan Pastoral Paroki (DPP). Terkecuali ketua Umum, seluruh kepengurusan DPP diisi oleh wakil-wakil dari umat. Banyak anggota Gereja merelakan diri dengan senang hati untuk melayani Gereja dengan menjadi anggota DPP. Melalui DPP, umat mengurus perayaan ibadah, membangun Gedung Gereja, mengurus berbagai bidang lain seperti pendidikan, sosial ekonomi, penanggulangan HIV-AIDS, dan lain-lain. Mereka mengandalkan kemampuan sendiri dalam mengurus hidup Gereja dan pelayanannya.
 Ruang partisipasi bagi umat telah diperluas dengan membentuk komunitas basis (Kombas) Gereja dalam paroki. Banyak anggota umat kini dapat mengambil bagian dalam pelayanan dan bertanggungjawab atas pertumbuhan Gereja melalui Kombas.
 Menuju Gereja misioner
Gereja Keuskupan Jayapura tidak ingin memusatkan perhatiannya hanya pada dirinya sendiri. Karena sudah mulai mandiri, maka Gereja Katolik mengarahkan perhatiannya ke luar dirinya. Perhatian ke luar ini merupakan ciri khas dari Gereja misioner. Gereja yang bercorak misioner akan memperhatikan dan mendukung perkembangan Gereja di luar daerahnya, bahkan di luar negeri dengan berbagai apa yang dimilikinya.
 Gereja misioner juga memberikan kontribusinya dalam segala bidang demi perkembangan masyarakat umum. Umat Katolik mesti bertanggungjawab bukan hanya atas pertumbuhan Gereja melainkan juga  pada perkembangan masyarakat di seluruh dunia. Oleh sebab itu, Gereja Katolik, baik secara lembaga maupun melalui anggota-anggotanya,  mesti melibatkan diri dalam pembangunan di segala bidang sesuai profesinya, dan berperan aktif pada semua tingkatan baik lokal maupun nasional, bahkan pada level internasional.
 Demi pelayanan masyarakat, Gereja Katolik membangun dialog dan kerjasama dengan semua Gereja Protestan dan semua agama yang ada di Tanah Papua. Menjadi Gereja missioner, Gereja Katolik Keuskupan Jayapura berkomitmen untuk berbagi kasih dengan orang lain tanpa diskriminasi.***


*Neles Tebay adalah Dosen STFT Fajar Timur Abepura