Kamis, 11 Agustus 2016

Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Dana Otonomi Khusus

Penulis : Yulianus Uropdana, SH. M.Hum
DALAM rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good and clean government) di provinsi Papua, hendaknya semua komponen anak bangsa di daerah ini berperan aktif melakukan perubahan-perubahan di segala aspek pembangunan berkelanjutan (sustainable development) demi menjawab tantangan-tantangan kehidupan sosial kemasyarakatan maupun masalah arus globalisasi yang terus merujuk pada pelemahan daya saing dan pengerokan sikap mental menuju instanisasi serta polariasai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlakuan kekhususan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah provinsi papua dalam bentuk pemberlakuan undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus (otsus) maupun beberapa produk regulasi (regulation) lainnya bermaksud mempercepat peningkatan taraf hidup melalui proses pendekatan pembangunan, sehingga keseimbangan kesejahteraan bisa dapat terwujud antara masyarakat provinsi papua dan masyarakat daerah Indonesia lainnya.
Salah satu bentuk kekhususan guna memperlancar akomodasi serta proses pembangunan sebagaimana diharapkan pemerintah adalah, semakin bertambahnya jumlah nilai uang otonomi khusus yang dianggarkan secara periodik ke rekening pemerintah di tingkat provinsi yang kemudian disalurkan ke setiap kabupaten dan kota di papua.
Memang uang bukan segala-galanya tetapi uang bisa dapat mengatur segala-galanya, sehingga terpenting bagi kita saat ini adalah melakukan tindakan Monitoring dan Evaluasi terhadap implementasi dana otonomi khusus yang selama ini di anggarkan untuk merealisasi program-program pembiayaan langsung maupun tidak langsung di seluruh tingkat pemerintahan yang ada. Monitoring dan evalusia bertujuan mereformasi, merevitalisasi dan mengintegrasikan rantai birokrasi dengan melihat keberhasilan program atas jumlah anggaran yang dikerjakannya.
Meninjau dan menilai kembali penggunaan anggaran sumber dana otonomi khusus atas keberhasilan dari kendala-kendala, peluang serta tantangan memungkinkan tercapainya efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, proporsionalitas, profesionalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah semakin nampak nantinya. Harapan optimisme akan terwujud, bila  pemerintah daerah konsisten membangun komunikasi efektif dan etika birokrasi serta transparansi anggaran sesuai dengan pos anggaran, tujuan dan manfaatnya.

A.    Pandangan Masyarakat
Dibenak masyarakat umum (awam) yang selalu di ingat dan diperbincangkan, bahkan memperbandingkan adalah pelakksanaan antara jumlah nilai uang dana otonomi khusus tahun terkait yang dibagikan pemerintah, dengan pelaksanaan tindakan nyata pemerintah (implementatif). Hal ini wajar saja karena pemerintah dianggap mengetahui masalah masyarakat, pengelolah dan pengguna anggaran, memiliki kewenangan serta kekuasaan mengatur dan memerintah. Lain sisi persepsi masyarakat juga memang dianggap keliru karena tingkat pemahaman maupun prinsip-prinsip pengelolaan anggaran tentu berbeda dengan apa yang pikirkan masyarakt umum. Baik menyangkut pembahasan dan penetapan anggaran, kas anggaran daerah, penghematan, prinsip periodesasi dan akuntability system pelaporan keuangan daerah.
Kurangnya sosialisasi membangun pemahaman tentang pelaksanaan pengelolahan dana otsus maupun sumber-sumber lain mengakibatkan masyarakat tetap bingung dan bisanya bertanya-tanya saja. Masyarakat sifatnya menunggu arahan dan tindakan nyata pemerintah karena logisnya dianggap mengetahui masalah maupun system keuangan pemerintahan daerah itu sendiri.
B.     Kendala-kendala
Pandangan masyarakat umum (awam) terhadap jumlah nilai nominal dan pelaksanaan dana otsus di daerah juga dipengaruhi oleh beberapa kendala mendasar, diantaranya sebagai berikut: kendala pertama adalah masalah sumber daya manusia, terutama berkaitan dengan nilai moral, etika, integritas, kapabilitas sumber daya manusia papua (terutama penyelenggara) yang notabene kurang dalam penguasaan ilmu dan pengetahuan, sehingga berpengaruh terhadap outputnya. Kendala kedua adalah, hilangnya fungsi control dan budget DPRD, sehingga terkesan terjadi ketidakseimbangan dalam membangun chek and blancise. Persoalan mandeknya fungsi control diprediksi anggota parlemen pun  kongkalikong membentuk mafia anggaran serta terlibat kompromi atur aman atas nama rakyat.
Letak geografis merupakan kendala ketiga, karena letak geografis dan topografi papua yang luas, unik dan antic menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menjangkau dan memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Di daerah pegunungan papua merupakan kawasan tersulit, sebab banyaknya gunung, pegunungan, dataran tinggi serta cuaca yang sering tidak bersahabat membuat anggaran penerbangan terus mendikte pemerintah (pengelola dana otsus). Persoalan ini sering terjadi karena menimbulkan ancaman keselamatan penerbang maupun masyarakat atau penumpang pesawat tersebut. Belum lagi penyebaran penduduk tidak merata dan terpencil memungkinkan jangkauan pelayanan terus saja menimbulkan ketidakpastian pelayanan. Kendala utama ke empat yang menimbulkan kebingungan terhadap penggunaan dana otsus adalah berkaitan dengan aksesbilitas, publikasi, dan akuntabilitas yang selama ini tertutup dan sulit diakses masyarakat umum.
Kendala utama kelima adalah terciptanya culture birokrasi koruptif, berjamaha dan manipulative yang mengarah pada penipuan data fiktif untuk memperkaya diri dibalik harapan perubahan masyarakat miskin kota maupun pedesaan. Belum lagi penempatan jasa konsultan keuangan yang berlebihan dan berlama-lama mengindikasikan terjadinya korupsi sistematis berjamaha di tingkat pemerintahan daerah, terutama tingkat kabupaten/kota di papua. Belum lagi persoalan birokrasi yang tertutup tanpa keterbukaan akses informasi serta pelelangan jabatan membuat tanda-tanda pemerintahan menuju perbaikan dipertanyakan.
C.       Solusi
Dari uraian latar belakang pandangan masyarakat dan kendala-kendala yang mempengaruhi kinerja pengelolah maupun pelaksanaan dana otsus di atas, langkah-langkah yang perlu dilakukan pemerintah (Gubernur, Bupati dan Walikota) adalah sebagai berikut: Pertama, pemerintah perlu mengadakan Lelang Jabatan sebagai bentuk reformasi birokrasi untuk melihat tingkat dedikasi, sikap integritas, kapabilitas serta sepak terjang perjalanan oknum calon pejabat seraca keseluruhan. Langkah ke dua adalah menanamkan paradigm positif  dan revolutif mental aparat birokrasi koruptif. Membangun paradigm positif diperuntukan terhadap aparat birokrasi lama (golongan besar dan berpengalaman lama kerja), sedangkan revolusi mental bagi pegawai-pegawai baru melalui kerjasama lembaga-lembaga terpercaya seperti KPK, BPK dan Kejaksaan Tinggi guna merekontruksi kembali pemerintahan bersih dan berwibawa sekaligus sinkronisasi vissi-missi Presiden dengan pemerintah daerah di seluruh tanah papua.
Langkah ke tiga adalah, perlu adanya keterbukaan Informasi bagi semua komponen di dunia maya atau pun mengumumkan di koran bisnis local dan atau tempel di dinding papan pengumuman dinas-dinas terkait menyangkut jumlah anggran, jenis kegiatan proyek, gambar dena. Lokasi dan sarana proyek serta perusahan (pihak ketiga) yang mengerjakan, lama kerja dan lain-lain sebagai bentuk keterbukaan informasi penggunaan dana 80%  atau pun 20% di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di papua.
Langkah keempat  adalah, mempertanggungjawabkan semua laporan kegiatan periodic sebagai bentuk akuntabilitas penggunaan dana otonomi khusus tepat guna dan tepat sasaran yang nantinya kembali di monitor serta dievaluasi bersama-sama berdasarkan lembar hasil kerja periode terakhir tersebut. Langkah-langkah seperti ini memungkinkan manfaat dana otonomi khusus semakin jelas dan tepat sasaran sesuai dengan rencan program yang diagendakannya.
Semoga optimisme kerjasama a secara professional dan proporsional semua komponen (tidak hannya aparat birokrat) semakin nampak dan maju menuju terciptanya pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa sesuai dengan yang diharapkan kita semua, sehingga puncaknya adalah terwujudnya masyarakat papua bangkit, maju dan sejahtera sesuai vissi-missi gubernur dan wakil gubernur terpilih saat ini, semoga.

Penulis adalah,

Anggota Lembaga Intelektual Tanah Papua dan Ketua HPPI Kab. Pegunungan Bintang 
(tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos 2015)

Rabu, 10 Agustus 2016

Menakar Kinerja Pemerintah Daerah di Papua

Penulis :  Ardhian Prima Satya *
PENGUKURAN kinerja dalam sektor swasta sangatlah penting. Hasil penilaian kinerja merupakan kunci utama bagi stakeholder maupun investor untuk dapat mengambil keputusan, melanjutkan investasinya ataupun menilai kemampuan manajerial perusahaan. Setiap perusahaan yang sudah berlabel go public bukan hanya wajib menyusun laporan keuangan dan mempublikasikannya, tetapi juga laporan kinerjanya setiap 1 tahun sekali.
  Di dalamnya tercantum informasi lengkap dan detil dari kienrja perusahaan tersebut. Dalam melaporkan kinerjanya perusahaan biasanya mengadopsi pengukuran kinerja Balanced Scorecard karya David P. Norton dan Robert S. Kaplan. Lalu bagaimanakah dengan penilaian kinerja pemerintah daerah?
 Dalam pelaksanaan pemerintahan, mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur merupakan dambaan banyak Kepala Daerah. Harapan itu dituangkan dalam Visi dan Misi sang pemimpin semenjak masa kampanye, sampai dengan masa akhir pemerintahan 5 tahunan. Namun, yang menjadi permasalahan berikutnya adalah bagaimana kita dapat mengukur pencapaian Visi dan Misi Kepala Daerah, dan apakah dampaknya benar dirasakan oleh masyarakat? Apakah setiap penggunaan APBD benar-benar berdampak pada pembangunan daerah dan masyarakat?
 Ada beberapa alat ukur yang dapat dijadikan indikator menilai capaian kinerja Kepala Daerah dalam melaksanakan pemerintahan di daerah. Sesuai yang tertuang dalam PermenPAN dan RB Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah pada Lampiran II dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menyusun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) setiap tahun, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Dengan menyusun LAKIP, pemerintah daerah diharapkan dapat menjabarkan bagaimana capaian kinerja output dan outcome sesuai dengan target kinerja yang disusun setiap tahunnya beserta realisasi anggarannya. Oleh sebab itu, salah satu alat menakar kinerja pemerintah daerah adalah dengan melihat LAKIP yang kemudian diikuti dengan hasil penilaian evaluasi SAKIP yang dilakukan oleh Kementerian PAN dan RB.
 Namun realita yang terjadi di lapangan, banyak pemerintah daerah yang belum menyusun LAKIP dan mengimplementasikan SAKIP dengan baik, terutama pada pemerintah-pemerintah daerah yang ada di Provinsi Papua. Dalam beberapa tahun terakhir, nilai terbaik evaluasi SAKIP dari pemerintah daerah yang ada di Provinsi Papua hanya masuk kategori nilai C atau “Kurang”            (30 – 50) dengan interpretasi bahwa sistem dan tatanan kurang dapat diandalkan, memiliki sistem untuk manajemen kinerja, akan tetapi perlu banyak perbaikan minor dan perbaikan yang mendasar (sesuai dengan kategori penilaian dari KemenPAN dan RB). Dengan demikian, dapat diidentifikasikan  bahwa kinerja pemerintah-pemerintah daerah di Provinsi Papua tidak memadai.
 Lalu, apakah ada dampak dari pencapaian 8 pemerintah daerah (tahun 2015) di Provinsi Papua yang telah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dengan pencapaian kinerjanya?
 Pemberian opini pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah merupakan sebuah predikat terhadap penyajian Laporan Keuangan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Semakin disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah, maka akan semakin baik opini yang akan diperoleh. Pemberian insentif dari Pemerintah Pusat yang memperoleh Opini WTP, menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mengupayakan pencapaian Opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah menjadi WTP.
 Di sisi lain, pencapaian kinerja yang dilaporkan dengan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) justru sering ditinggalkan dan tidak dipedulikan. Salah satu faktor yang menjadi pemicu, baik disengaja maupun tidak, meng-“anak-tiri”-kan LAKIP adalah tidak adanya sanksi dan insentif yang “menarik” bagi pemerintah daerah yang memiliki kewajiban menyusun LAKIP dan menyerahkannya kepada Kementerian PAN dan RB.
 Pencapaian opini LKPD merupakan salah satu dari pencapaian kinerja yang biasanya merupakan satu Indikator Kinerja Utama yang hendak dicapai pemerintah daerah setiap tahunnya. Sehingga ketika opini yang diraih semakin baik, satu dari banyak sasaran strategis tercapai. Yang sering dilupakan justru sasaran-sasaran strategis lain yang bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti meningkatnya kesempatan kerja, meningkatnya angka melek huruf masyarakat, meningkatnya angka kelahiran bayi, meningkatnya partisipasi anak sekolah dan masih banyak lainnya.
 Bila digali lebih jauh, hubungan keterkaitan secara langsung antara Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) terletak pada penyajian anggaran dan realisasi anggaran. Karena data yang disajikan dalam LAKIP harus bersumber dari LKPD. Di dalam LAKIP diharapkan bahwa penyajian anggaran dan realisasi keuangan dapat dijabarkan secara rinci mengenai pencapaian kinerja secara outcome dalam upaya mencapai sasaran strategis yang telah disusun, bukan hanya realiasasi program dan kegiatan. Hanya saja, sejauh ini yang dapat teramati di lapangan, LAKIP yang disusun hanya menyajikan realisasi program dan kegiatan sehingga tidak tersaji informasi yang memadai mengenai pencapaian kinerja pemerintah daerah secara rinci.
 Tanpa adanya penyajian informasi yang memadai, lengkap dan terpercaya, maka akan sangat sulit bagi masyarakat untuk dapat menilai pemerintah daerahnya sedang berupaya menyejahterakan, memperbaiki kualitas hidupnya dan bekerja keras demi kepentingan masyarakat. Secara tidak langsung kita dapat menilai kinerja pemerintah daerah tersebut tidaklah memadai. Untuk itu, perlu adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari Kepala Daerah dan seluruh pegawai untuk memperbaiki kondisi ini. Berkomitmen untuk meningkatkan kinerja, mencapai Visi dan Misi yang telah digaungkan sejak masa kampanye.
 Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan reviu terhadap RPJMD secara berkala, mengevaluasi RENSTRA masing-masing OPD setiap tahun apakah selaras dan sesuai dengan RPJMD yang sudah disusun, memastikan bahwa target kinerja dari masing-masing OPD telah selaras dan sesuai dengan RPJMD, menyusun Perjanjian Kinerja dari Kepala OPD sampai dengan Eselon IV dalam upaya pencapaian kinerjanya dalam satu tahun kepada Kepala Daerah, melakukan pemantauan yang menyeluruh dan berkelanjutan mengenai capaian kinerja masing-masing OPD, mengoptimalkan Inspektorat Daerah untuk dapat melakukan reviu  terhadap LAKIP dan implementasi SAKIP di pemerintah daerah, serta menyusun LAKIP sesuai dengan PermenPANRB dan mengumpulkannya tepat waktu dengan informasi yang memadai, lengkap dan terpercaya. Kesediaan melakukan perbaikan bukan karena semata-mata menunggu adanya sanksi dan hadiah, tetapi kesadaran untuk bertanggung jawab atas kepercayaan masyarakat menduduki jabatan yang ada saat ini. Kalau tidak sekarang kapan lagi?
 Dengan perbaikan yang dilakukan sehingga tersaji LAKIP dengan informasi yang memadai, lengkap dan terpercaya, maka masyarakat dapat menakar kinerja pemerintah daerahnya dan mengetahui bahwa ada komitmen dari pemerintah daerah yang serius untuk menyejahterakan masyarakatnya.#

______________________
 *Penulis bekerja di BPKP Provinsi Papua 
(artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos)