Dr. Hariman Dahrif, S.Pi, MTP*)
DISAAT belahan barat negeri ini terkapar dengan bencana asap, semua pikiranpun diarahkan ke sana. Seakan-akan bagian Indonesia yang sedang ditimpah musibah dan bencana hanya wilayah tersebut. Sampai-sampai kunjungan Presiden ke AS pun dipersingkat.
Pada hal di saat yang sama di belangan timur negeri ini juga tertimpa bencana atau musibah tetapi kalau diperhatikan pendekatan penanganannya sangat berbeda. Penanganan bencana asap begitu menterang, tidak hanya melibatkan TNI tetapi juga negera-negara luar. Sementara bencana embun beku mungkin sifatnya lokal sehingga cukup dengan penanganan lokal saja.
Namun bila cara pikir kita berpijak seperti itu, sesungguhnya pemerintah melakukan kekeliruan atau kesalahan. Namanya bencana atau musibah mestinya perlakuan penanganannya sama, sebab antara bencana asap dan embun beku substansinya sama, yakni berakibat pada hilangnya nyawa anak manusia. Bahkan bencana embun beku mestinya lebih diprioritaskan karena menyangkut harga diri bangsa bukan sebaliknya. Bencana asap terjadi hampir pasti disebabkan oleh faktor kesengajaan dan nafsu serakah pengusaha-pengusaha sawit.
Dan hampir semua pengusaha itu berasal dari Singapura atau Malaysia. Jadi kalau asap menganggu Negara tersebut itualah bagian dari “kualat” (kutukan) karena ulah mereka sendiri. Penangananya pun mestinya sederhana yakni “tegakan hukum” selesai!. Sebaliknya bencana embun beku terjadi karena faktor alam dan bias kebijakan diluar dari kesengajaan. Mestinya bencana seperti ini bisa dihindari kalau saja pemerintah khususnya pemerintah daerah di wilayah-wilayah tersebut bergaya pemerintahan tanggap dan antisipatif.
Kisah bencana asap dan embun beku sebenarnya bukan sesuatu yang baru terjadi. Bencana embun beku misalnya pernah terjadi di masa pemerintahan Prsiden SBY bahkan bahkan mungkin sebelumnya, tapi kita tidak mendatanya dengan baik. Pada waktu itu sang Presiden langsung tanggap bahkan berkunjung di wilayah tersebut. Kebetulan wilayah yang mendapatkan bencana tersebut adalah Yahukimo.
Tidak cukup itu saja Presiden pun mendatangkan ahli pertanian dan salah satu hasilnya direkayasanya plasma nutfah tanaman ubi jalar dengan nama spesise diabadikan dari nama sang Presiden itu sendiri. Kalau demikian mengapa bencana ini terus dan selalu berulang terjadi!. Sebelum menjawabnya ada baiknya penulis mengajak pembaca sekalian menerawang masa lalu dari kebiasaan masyakarat kita dalam menghadapi masa-masa sulit (paceklik) seperti itu dan membandingkan dengan apa yang dilakukan pemerintah dewasa ini.
Masyarakat Papua khususnya suku-suku yang hidup di Pegunungan seperti halnya masyarakat lainnya di dunia (indogenius poeple), biasanya memiliki kearifan-kearifan lokal dalam mempertahankan hidupnyas sekalipun dalam masa sulit. Dan kalau kita cermati pada masyarakat tersebut terdapat modal dan model tersebut. Seperti dilaporkan Aditjondro (1988) bahwa di masyarakat Pegunungan terdapat kebiasaan menanam (culvination) dan menyimpan bahan makanan yang tidak saja ramah lingkungan tetapi juga sangat higenis.
Contohnya pola tanamam bedeng pada masyarakat Paniai atau Asmat meskipun wilayahnya terdiri atas rawa tetapi mereka bisa manfaatkan untuk bercocok tanam (bĂȘte). Sayangnya atas nama pembangunan (modernisasi) kebiasaan tersebut perlahan-lahan hilang. Demikian pula di Sumatera dan Kalimantan terdapat Suku Anak Dalam dan Dayak yang memilki kearifan lokal dalam perlindungan hutan. Oleh karena itu hal yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut menurut penulis, adalah:
1) Pendokumentasian data dan informasi serta publikasinya yang kontinyu dan terus menerus
Bencana memang tidak dapat diprediksi, yang kita lakukan adalah waspada!, Tetapi bila kita telisik lebih jauh beberapa bencana itu biasanya juga terjadi periodik, sehingga mudah diramalkan. Contoh bencana beberapa angin kencang di dunia, kini bisa diramalkan dan bisa dihindari.
Bencana gempa di Jepang kini mereka bisa atasi melalui penelusuranb data dan informasi yang lengkap. Bencana tsunami di Biak tahun 1996 lalu, menurut data dari Jepang sesungguhnya kejadian berlangsung periodik setiap 100 tahun. Bencana asap maupun embun beku yang tengah terjadi menurut penulis merupakan bencana yang periodik dan bisa diramalkan, sehingga bisa diatasi secara dini.
Musibah ini datang akibat pergerakan Elnino di sebelah selatan Samudera Indonesia sehingga menyebabkan musim panas di belahan barat dan kita di Papua pasti mendapatkan tempratur dingin. Dan ini sudah dipublikasikan oleh Badan Meteorologi sebagaimana dahulu pernah terjadi pada masa pemerintahan SBY. Sekali lagi untuk mengantisipasinya melalui data dan informasi yang terpublikasi secara terus-menerus dan tindakan nyata untuk mengantisipasinya.
2) Refomulasi Kebijakan kearah yang tepat
Kebiasaan kita kalau ada bencana baru ada penanganan. Sifatnya seperti pemadam kebakaran atau santa clause. Pada hal bencana yang terjadi biasanya akibat kesalahan kita sendiri. Inilah fenomena dalam penanganan bencana, yang selalu melahirkan kebijakan instan.
Sangat jarang kita berpikir cegah tangkal dan deteksi dini dalam penanganan becana, sehingga kebijakan yang dilahirkan solutif dan permanen. Timbulnya bencana embun beku mkisalnya adalah buah dari kesalahan kebijakan kita. Memandang kuno terhadap kearifan lokal mereka lalu kita memperkenalkan Raskin atau bantuan-bantuan tunai ke masyarakat, mungkin hal yang mestinya pemerintah tidak lakukan lagi.
Seyogyanya kebijakan itu memperkuat kekuatan lokal bukan memberungusnya, dengan dalih pembangunan itu sendiri. Pada kasus embun beku mungkin upaya riset dan rekayasa teknologi merupakan pilhan kebijakan tepat. Ingatlah sesungguhnya pembangunan itu untuk masyarakat dan dari merekalah baiknya pemerintah belajar lalu mendorongnya ke hal yang lebih baik. Inilah defenisi paripurna dari pembangunan itu sendiri, (Todaro, 1998). Semoga bencana embun beku di Papua ini tidak terjadi lagi!. Selamat merenungi hari Pangan se-Dunia,!
*) Pemerhati Sosial Ekonomi serta isu-isu kebangsaan di Papua, tinggal di Aryoko-Jayapura; harimandarif@yahoo.co.id, Dosen di UNIYAP Papua.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos November 2015)