Senin, 04 Mei 2015

Politik Ekonomi Lokal: Perlindungan dan Pemberdayaan Orang Asli Papua

Oleh: Hans Z. Kaiwai*)

TEKANAN ekonomi bagi penduduk di suatu wilayah terjadi ketika laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi terutama yang dikontribusi oleh migrasi masuk yang besar. Kondisi ini sepertinya mulai dirasakan oleh penduduk Orang Asli Papua (OAP) di sejumlah kota di Papua. 
  Menurut data BPS, laju pertumbuhan penduduk Papua adalah 5,39 persen per tahun dan migrasi seumur hidup di perkotaan mencapai 53,2 persen dan perdesaan sebesar 10,0 persen. Tiga kota terpadat adalah kota Jayapura (286,77 orang/km2), Jayawijaya (87,12 orang/km2) dan Mimika (85,38 orang/km2).
   Jika dipandang dari perspektif ekonomi, faktor penyebab perpindahan penduduk antar wilayah adalah karena suatu daerah memiliki cukup peluang dan kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup, maka daerah itu akan menjadi daerah tujuan migrasi. Papua dipandang sebagai daerah yang “manis”, dimana ada gula disitu ada semut.  
   Berkaitan perpindahan penduduk tersebut, persaingan penduduk di Papua dalam memperoleh pekerjaan, kesempatan berusaha berada pada suatu tingkat persaingan yang tinggi. Tingkat persaingan ini akan semakin meningkat bersamaan dimana Papua juga masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah ada didepan mata. 
   Era MEA adalah  suatu era dimana tidak ada sekat yang membatasi mobilitas barang, uang, dan manusia (tenaga kerja) diantara negara-negara ASEAN. Pasar yang tercipta di suatu negara ASEAN dapat juga dinikmati oleh seluruh pemain (produsen dan konsumen, pekerja dan pemberi kerja, penduduk) dari semua negara ASEAN.   
   Gelombang globalisasi ini membuat dunia tanpa sekat. Walaupun demikian kita tidak boleh membiarkan terjangan arus persaingan ini membabi buta tanpa bisa dikelolah.  Modal dan pasar, dua karib yang bersahabat, adalah dua aspek ekonomi yang tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa asupan regulasi. Kedua sahabat karib ini jika tidak diregulasi akan mampu menerkam ke seluruh penjuru pelaku ekonomi. Oleh sebab itu diperlukan kehadiran negara (regulator) untuk melayani kaum takluk karena dipaksa bertarung dengan kekuatan pasar yang buas.

Perlindungan Ekonomi bagi Orang Asli Papua
  Pada saat ini dan nanti, penduduk OAP mulai dan akan menghadapi suatu era persaingan ekonomi baik dengan penduduk yang datang dari daerah lain di Indonesia maupun penduduk dari negara-negara ASEAN.
   Jika persaingan ini tidak terkelolah dengan baik, maka akan menghasilkan banyak “korban persaingan” yang memberi dampak ikutan yang tidak ringan, yang tentu membutuhkan energi yang lebih besar lagi untuk menyelesaikannya. 
   Oleh sebab itu pertanyaan bagi kita sekarang adalah apa bentuk-bentuk kongkrit perlindungan dan pemberdayaan OAP yang segera diimplementasikan, termasuk didalamnya informasi kepada publik jika langkah-langkah kongkrit itu sudah ada yang dilakukan sehingga masyarakat (publik) tahu dan membentuk persepsi yang tidak keliru.
   Sekarang ini masih banyak orang di Papua (khususnya OAP) bertanya dimana esensi kata-kata perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan OAP yang menjadi “kata kunci” dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua. Pertanyaan ini akan menjadi sulit untuk dijawab ketika tidak ada sejumlah “indikator” yang dapat digunakan untuk menjadi bukti argumentasi otonomi khusus berhasil.
   Dalam aspek ekonomi, implementasi Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Perekonomian Berbasis Kerakyatan yang dibentuk dengan sejumlah pertimbangan filosofis dan sosiologis antara lain belum optimalnya peningkatan taraf hidup masyarakat khususnya orang Papua, dan perlu diwujudkannya kemandirian ekonomi rakyat Papua (khususnya OAP) yang berorientasi pasar sebagai bagian dari perekonomian nasional, regional dan global.
   PERDASUS ini sebenarnya telah memberikan payung hukum yang cukup kuat untuk mengimplementasikan “sejumlah aksi afirmasi” di bidang ekonomi, namun belum didukung oleh aturan pelaksanaan berupa Peraturan Gubernur (PERGUB) dan Peraturan Bupati/Walikota (PERBUB/PERWAL) antara lain seperti tata cara keberpihakan dan pemberdayaan usaha ekonomi rakyat (Pasal 29 Ayat 1), tata cara penyediaan modal, penyaluran dan pengembalian pinjaman untuk usaha ekonomi berbasis kerakyatan (Pasal 38 Ayat 1) dan tata cara pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku ekonomi berbasis kerakyatan (Pasal 43).
   Di banyak negara aksi afirmasi yang ditujukan untuk kelompok tertentu menggunakan “sistem kuota”.  Di Papua aksi afirmasi bidang pendidikan telah dilakukan lewat program afirmasi pendidikan menengah (ADIM) dan afirmasi pendidikan tinggi  (ADIK). Sedangkan aksi afirmasi bidang ekonomi sebenarnya secara eksplisit telah diatur dalam PERDASUS No. 18/2008, baik yang terkait dengan dukungan permodalan maupun pembinaan dan pendampingan bagi pelaku usaha ekonomi berbasis kerakyatan. 
   Dalam hal bantuan permodalan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Papua, pemerintah daerah telah mengalokasikan dana publik pada Bank Papua untuk selanjutnya dapat disalurkan kepada pengusaha UMKM Papua yang memerlukan pinjaman kredit. Namun fasilitas ini belum banyak dinikmati oleh pengusaha UMKM OAP karena berbagai faktor yang berhubungan prinsip dan penilaian pemberian kredit yang ketat dan hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai resiko gagal pengembalian pinjaman.
    Oleh sebab itu pembinaan harus dilakukan secara terprogram dan kontinu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) teknis melalui program pengasuhan bisnis (business parenting) bagi OAP. Pihak perbankan menyediakan modal usaha bagi pengusaha OAP dengan mengembangkan pendekatan stratanisasi dan klasterisasi usaha untuk mendesain tingkat bunga pengembalian pinjaman dan jaminan kredit yang disesuaikan dengan strata dan klaster UMKM OAP 

Pertimbagan Politis dan Sosiologis “Aksi Afirmasi”
  Sebagai bentuk perhatian dan respon kepada sejumlah aksi demo pedagang OAP yang merasa tersaingi dan tersingkirkan oleh kehadiran pedagang nusantara di Pasar, saat ini, DPR Papua menggunakan hak inisiatif dewan melalui Badan Pembentukan Perdasi/Perdasus Daerah (BP3D) DPRP sedang mendesain Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI) tentang Perlindungan Terhadap Penjualan Komoditas Lokal Papua (Cepos, 25 April 2015).
   Pada titik ini, diperlukannya adanya suatu “dukungan moral” untuk mendefinisikan  apa yang dimaksud dengan “komoditas lokal Papua” dan sejumlah nama komoditas yang akan masuk dalam daftar tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk tidak menjadi polemik karena atas kesadaran bersama aksi afirmasi seperti ini dilakukan.
   Walaupun definisi dan daftar komoditas lokal Papua telah terdefinisikan dan teridentifikasikan dalam aturan perundangan-undangan, dukungan moral tetap diperlukan dalam rangka mendukung kebijakan afirmasi yang segera menjadi agenda politik ekonomi lokal untuk segera dibahas bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Pemerintah Provinsi Papua untuk ditetapkan dan diundangkan menjadi suatu PERDASI.   #

_______________
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih, Ekonom Kementerian Keuangan Wilayah Provinsi Papua.