Kamis, 05 Maret 2015

Faktor-Faktor Positif Perdamian di Kota Jayapura

(Menyambut HUT Kota Jayapura ke-105)
 Oleh: Ridwan al-Makassary*


    SAYA ingin mengucapkan selamat hari jadi buat kota Jayapura yang ke-105 (7 Maret 2015). Teriring selaksa doa saya dan warga yang terpanjat, berharap kota ini kian aman, damai dan sejahtera. Saya, yang sedang mengikuti training perdamaian internasional dari Rotary Peace Center di Chulalongkorn University, Thailand (Januari-Maret 2015), sengaja menuliskan opini ini di sela-sela kesibukan training sebagai “kado ultah” kota Jayapura.  
   Di sini, saya menyarikan beberapa poin dari paper ilmiah “Mencegah Konflik Komunal di Kota Jayapura: Sebuah Pendekatan Sistem Peringatan Dini” yang sedang saya susun, dan mendiskusikannya untuk dipertimbangkan oleh pemkot Jayapura dan SKPD terkait dalam penyusunan kebijakan  dan program buat kota ini. 
   Dewasa ini Jayapura terbilang cukup aman dari ancaman konflik komunal, seperti konflik skala kecil antar iman yang pernah merusak kohesivitas sosial di Manokwari dan Kaimana beberapa tahun lalu. Kesuksesan ini menurut saya tidak terlepas dari peran serta semua pihak, terutama bapak walikota dan jajarannya, yang berhasil merawat kohesifitas sosial secara relatif. Meskipun, kita tidak boleh abai bahwa benih-benih konflik komunal tersebut tetap bertengger di sana. 
    Menurut hemat saya, akar tunggang konflik (root causes) di Papua, termasuk potensi konflik komunal di Jayapura, ada tiga: pertama, ketidakjelasan dan tafsir sejarah yang berbeda antara Gerakan Papua Merdeka dan Pemerintah Indonesia akan status politik tentang integrasi Papua ke Indonesia; kedua, deprivasi relatif dan marjinalisasi orang Papua asli dalam sektor ekonomi, politik dan budaya; ketiga, keragaman agama dan etnik, di antaranya karena kebijakan transmigrasi. 
    Akar-akar konflik di atas telah mengakibatkan kondis-kondisi negatif yang tidak sehat, semacam virus yang bisa merusak perdamaian (proximate causes). Di antaranya, perlawanan yang konstan dari Gerakan Papua Merdeka yang imbasnya juga terasa di Jayapura, khususnya dari segi rasa aman warga yang terjarah. Meskipun data berbasis Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Habibie Center melaporkan jumlah insiden kekerasan berbasis separatisme sangat minim di  Jayapura, namun kita tetap mesti ada kewaspadaan karena posisi Jayapuira sebagai barometer ekonomi, sosial, politik dan budaya di Papua. 
    Selanjutnya, secara khusus marjinalisasi dan deprivasi relatif orang Papua asli, untuk beberapa derajat, telah menciptakan kantong-kantong kemiskinan, angka pengangguran yang cukup tinggi, peredaran miras yang bertalian dan angka kriminalitas akibat mabuk yang masih mengkhawatirkan (Laporan PaPeDA Institute, the Habibie Center dan Pemkot Jayapura, 2014). Hal tersebut diperburuk oleh menganganya jurang diversitas etnik dan agama akibat bonus demografi yang cukup tinggi di kota Jayapura, yang menjadi destinasi favorit ke dua di bawah kota Sarmi (John Rahail, 2014). Untuk derajat tertentu, diversitas etnik dan agama merupakan resultante program transmigrasi yang kini menimbulkan kecurigaan dan prasangka antara etnik dan agama terkait status ekonomi, aktivitas beragama dan jumlah penganut agama. 
    Ini adalah “pekerjaan rumah” bagi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Forum Kerukunan Para Pimpinan Agama (FKPPA) untuk menyasar peningkatan pengetahuan kepelbagaian pemimpin umat tingkat akar rumput. 
   Secara keseluruhan, kita dapat mengatakan bahwa Jayapura sedang menikmati situasi, jika saya boleh meminjam istilah Johan Gatung, “ketiadaan konflik kekerasan atau perang”. Lebih jauh, Jayapura sedang berjuang merengkuh “damai positif” yaitu ditandai adanya penghargaan terhadap HAM, keadilan dan demokrasi yang berdenyut dalam masyarakat. Ini ujian sesungguhnya!  
   Dengan kondisi damai negatif yang demikian, saya menengarai ada sejumlah faktor negatif yang bisa memporakporandakan kohesivitas sosial dan menjerembabkan Jayapura dalam jebakan konflik komunal. Ada dua level, level makro yang juga mempengaruhi Papua secara keseluruhan. Pengaruh sebagian orang Papua di luar negeri (Papuan diaspora) dan support negara Melanesia seperti Vanuatu dalam mendukung Gerakan Papua Merdeka yang dapat memperburuk situasi keamanan di Papua, termasuk di Jayapura. 
    Level mikro, mengacu pada isu lokal lainnya adalah adanya kecenderungan pertumbuhan dan perang retorika kebencian antar agama dari kedua kelompok radikal masing-masing agama. Selain itu, beberapa kelompok radikal Islam, seperi Salafy-Wahaby dan Hizbut Tahrir Indonesia tekumn mempropagandakan Islam yang menurut mereka murni dan melawan sistem demokrasi dan ingin menggantikannya dengan sistem kekhalifahan Islam. Pihak kepolisian cenderung membiarkan mungkin karena mereka tidak menggunakan kekerasan, padahal substansi ide yang diperjuangkan adalah kekerasan terhadap kepelbagaian dan kemajemukan. Saat yang sama, organisasi Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah tidak cukup militan mendengungkan Islam yang damai. Kondisi ini diperburuk dengan berkembangnya para netizen di social media Papua yang lebih menyukai menampilkan berita-berita atau kicauan-kicauan yang mempertajam konflik sosial. Murungnya, terdapat koran lokal yang tampaknya menjadikan berita-berita “berdarah” untuk menaikkan oplah. Jauh dari praktik jurnalisme damai (peace jornalism).
   Dengan semua faktor negatif tersebut, kita mesti camkan bahwa jika ada sesuatu pemicu (trigger), maka konflik komunal mungkin terjadi. Beberapa faktor pemicu yang perlu diwaspadai adalah: Pertama, event pilkada langsung di Papua secara umum, termasuk di Jayapura kerap berbahaya jika pendukung salah satu partai tidak bisa menerima kekalahanthe. Menurut data SNPK, Kota-kota di Papua cukup rentan  dengan pilkada lokal. Kedua, tindak kriminal juga bisa menjadi pemicu. Kita masih ingat kasus mutakhir di kota Arso dan kota Sorong memperlihatkan benih-benih konflik komunal. Terakhir, hari jadi kemerdekaan Papua 1 Desember setiap tahunnya sebaiknya jangan dipelihara sebagai horor yang menjarah rasa aman warga. 
    Untungnya, kota Jayapura memeliki lebih banyak faktor-faktor positif  yang berfungsi menjaga kohesivitas sosial dan mencegah konflik komunal. Dari perspektif makro, saya mencatat bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo ada harapan baru bagi Indonesia, juga Papua, terutama pendekatan non-keamanan, dialog, dan lebih pada kesejahteraan. Isu tentang adanya rencana perubahan UU Papua diharap memberi berkah bagi kesejahteraan masyarakat. Selain isu korupsi yang cukup marak di Papua, pemkot Jayapura menunjukkan kepemimpinan yang mengadopsi kebijaksanaan lokal. Juga, faktor positif yang determinan menjaga kota Jayapura dari amuk konflik komunal adalah peranan dari FKUB dan FKPPA. Selain itu, organisasi masyarakat sipil, termasuk universitas dan asosiasi/paguyuban etnik cukup positif menjaga perdamaian di kota Jayapura. 
Lebih jauh ada beberapa faktor yang mengikat kohesivitas masyarakat di Jayapura: pertama, perayaan hari besar keagamaan seperti “natal” berfungsi sebagai “semen sosial” bagi masyarakat luas. Kedua, perayaan hari perdamaian internasional juga menyadarkan masyarakat pentingnya hidup damai secara bersama. Ketiga, bencana alam seperti banjir, kelaparan, gempa bumi sanggup menyatukan umat manusia untuk saling membantu. Tapi tidak berarti kita berharap selalu ada bencana untuk kita menyatu, laksana Aceh yang menyatu setelah Tsunami tahun 2004. Keempat, tim Persipura adalah fakor pemersatu warga Papua dan non Papua. Ini tim juara perlu dijaga terus. Singkatnya, perdamaian melalui olahraga. Terakhir, visi Papua Tanah Damai yang selalu dihidupkan pada 5 Februari sebagai hari pekabaran injil atau hari Papua Tanah Damai adalah perekat sosial untuk hidup damai di antara semua penganut iman dan etnik/sub etnik yang puspa ragam.
Sebagai kata akhir, sepanjang faktor-faktor positif ini dirawat terus sambil meminimalisir faktor negatif dan pemicu yang telah dijelaskan di atas, bahaya destruktif dari konflik komunal dapat dihindarkan. Hen Tecahi Yo Onomi T’mar Ni Hanased. Dirgahayu Kota Jayapura tercinta!#

-----
*)Penulis adalah Dosen jurusan Hubungan Internasional di USTJ Papua, yang saat ini adalah Fellow Class 18 Rotary Peace Center di Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand. 

( Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - Maret 2015)