Rabu, 05 November 2014

Melayani Demi “Kehidupan” Orang Papua

Oleh: Ernest Pugiye*
REALITAS fenomena hidup selalu berputar dan berubah secara berkesinambungan untuk komunitas Papua dalam sejarah. Sangat ironis jika kehidupan dipandang sebagai suatu realitas damai-damai saja bagi Papua dalam sejarah. Kehidupan merupakan gerak bersama bagi manusia Papua yang semakin hari semakin tidak pasti ini. Mereka tidak akan pernah mengalami kehidupan sejati sebagai orang Papua hanya jika hidupnya semakin individualis dalam sejarah. Maka hidup berkomunitas merupakan awal dan akhir dari KEHIDUPAN Papua sekalipun dalam sejarah yang penuh dengan lumor, pelanggaran HAM dan memoria passionis. 
    Sayang sekali, kini orang Papua masih tetap “merindukan” “KEHIDUPAN”. Ibaratnya seperti orang yang selalu mengalami kepanasan terik matahari di tengah-tengah padan pasir. Dalam situasi seperti itu, banyak cara digunakan oleh mereka. Di antara seperti berdoa, berpuasa dan mencari air dengan jalan kaki ke mana-mana. Tapi sama saja nasib mereka. Mereka tetap tidak mendapatkan air. Maka mereka dapat secara berkesinambungan merindukan dan membutuhkan air hujan dari tempat yang hijau.  Sulit untuk mendapatkan yang satu itu. Demikian pula dengan realitas Papua secara umum jika kita peka melihat terhadap realitas social di Papua dalam sejarahnya. 
    Memang, pemerintah RI dengan berbagai kebijakan telah melayani rakyat Papua demi menjamin kehidupan orang Papua yang menyangkut segala asepek yang beranekaragam. Demi tujuan kehidupan ini, orang Papua pun telah menerima sejumlah kebijakan apapun yang telah diberikan oleh pemerintah pusat sekalipun diwarnai dengan penolakkan, lumor dan darah orang Papua yang tidak bersalah. Sejumlah kebijakan itu seperti UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, UP4B dan RUU Otonomi Plus, DOB yang kini dijalankan oleh pemerintah pusat bagi rakyat Papua. Mungkin sejumlah program lain juga akan diberikan juga oleh pemerintah pusat di bawah pemerintahan Presiden Jokowi yang baru saja terpilih itu.
   Walapun demikian, realisasinya jauh dari harapan dan kerinduan orang Papua. Sejarah telah menjandi sumber utama inspirasi bahwa pemerintah belum menjamin kehidupan rakyat Papua secara penuh dan komprehensif. Rakyat kini tetap menjadi terasing dari negerinya sendiri. Rakyat masih tetap saja membutuhkan dan merindukan kehidupan komunitas yang ditanai dengan suasana cinta kasih, kedamaian, kebenaran, keadilan dan kemerdekaan universal. Kondisi hidup yang dijiwai oleh nilai-nilai universal seperti inlah yang tidak direalisasikan oleh pemerintah bagi Papua. Baik aspek pendidikan, kesehatan, social budaya dan ekonomi serta politik hanya tetap saja nyaris merosot sekalipun triliyunan rupiah telah dikucurkan bagi Papua. . Kehidupan rakyat Papua dalam berbagai aspek ini teramat memprihatikan hanya jika pemerintah secara langsung mau terlibat dalam seluk beluk kehidupan rakyatnya.  Karena itu, kita tidak heran jika orang Papua setiap hari berteriak meminta keadilan, kedamaian dan kebenaran kepada pemerintah dalam membangun pembangunan Papua, yang berakar dari dan untuk rakyat demi kehidupan sejati sebagaimana yang dirasakan oleh pemerintah sendiri. 

Esensi Kehidupan
   Esensi dari realitas Papua adalah  jiwa kehidupan sejati. Jiwa kehidupan sejati ini dapat dinyatakan oleh mereka melalui berbagai cara. Adapun sejumlah realisasi dari esensi kehidupan Papua itu yakni: pertama, orang Papua selalu mengakui diri sebagai manusia sejati. Suku bangsa Mee bisa menyebut diri sebagai Ani Mee, masyarakat suku bangsa Marind Anim mengakui diri sebagai Animha dan orang Waris mengaku diri sebagai Fermanggen. Ketiga sebutan mendapat arti yang sama yakni manusia sejati. Inilah sejumlah contoh yang dapat menyatakan secara jelas bahwa semua suku bangsa masyarakat Papua adalah jiwa manusia sejati. 
    Esensi kehidupan manusia sejati itu  dapat dinyatakan oleh mereka melalui hidup berkomunitas. Manusia, alam dan segala isinya adalah satu komunitas yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah. Komunitas ini milik bersama. Dalam arti yang lebih komprehensif bahwa Papua baik secara eksistensial maupun substansial sudah merupakan milik bersama. Mereka ada dan hidup justru karena kepemilikan bersama, bukan individualis. Maka kepemelikan bersama ini tidak boleh diganggu gugat jika pemerintah hendak menjamin kehidupan rakyat Papua secara baik. Karena itu, berbagai kebijakan, apapun bentuk dan wujudnya  yang diterapkan oleh pemerintah harusnya mau memperhitungkan kepemilikan bersama ini. 
   Nilai fundamental yang  terpatri dalam komunitas Papua yakni relasi serasi. Bagi Papua, realasi merupakan realiasi diri dari jiwa kehidupan sejati. Relasi ini merupakan nilai dasar yang mampu membingkai komunitas mereka sebagai orang Melanesia.  Keharmonisan relasi, menurut orang Papua harus mau dimaknai dalam relasi kasi antara sesama, alam dan dengan Allah secara akrab. Relasi seperti inilah yang oleh orang Papua dapat memaknainya  sebagai relasi kasih vertical dan horizontal. Relasi kasih ini  manjadi inspirasi dasar bagi komunitas hitam. Tanpa relasi kasih secara inspiratif, mereka tak pernah hidup sebagai  pribadi “berada” dan bertindakan bijaksana dalam dialog kasih yang maju menuju pada idealism hidup sejati.  
    Melalui relasi kasih ini, rakyat tentunya punya harapan untuk mempertahankan “KEHIDUPAN” sejati. Dalam kehidupan itu mengandung harapan memerdekaan mereka sebagai satu komunitas kehidupan sejati. Dikatakan demikian, karena kehidupan adalah inspirasi Allah yang mengalirkan rahmat yang berlimpah-limpah bagi realitas Papua. Kelimpahan rahmat itu menjadi nyata jika kita mencintai KEHIDUPAN. Dan jika orang mulai mencintai KEHIDUPAN maka kita telah memiliki kehidupan yang daripadanya mengalami inspirasi Allah sebagai bukti penggenenapan kemuliaan-Nya bagi realitas dunia.  Penggenapan kemuliaan Allah adalah titik awal dan akhir hidup kesejatian Papua karena melahirkan “komunitas” yang memiliki, mengalami dan memperjuangkan kemerdekaan universal dalam misteri kemuliaan-Nya secara total bagi realitas dunia. Karena itu, Dr.Pater Neles Tebay Pr dan sobat-sobatnya dari Jaringan Damai Papua (JDP) telah memperjungan dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan berbagai konflik yang telah lama mempersulit orang Papua dalam memciptakan kehidupan yang adil, damai dan sejahtera bagi Papua secara sejati.
Melayani Untuk Papua
   Pemerintah dalam membangun Papua harus mengambil dan berlandaskan semangat hidup melayani untuk Papua, bukan untuk Jakarta.  Semangat pelayanan ini boleh menjadi jiwa bagi setiap orang yang tinggal di Papua. Setiap kita telah mendapat panggilan luhur untuk pergi dan diutus oleh Allah untuk melayani setiap warga Papua. Pelayanan dari setiap kita itu harus mau memberikan kepada semua orang tanpa pamri. Tapi pelayanan yang sejati adalah pelayanan yang lebih mengutakan atau mengalamatkan kepada warga asli Papua yang semakin hari semakin minoritas dan lemah itu. Pelayanan semodel inilah yang oleh rakyat bangsa Papua “memahami”-nya sebagai  Papua filsasaf pelayanan Papua. Menurut saya ada empat filosofi pelayanan yang dimengerti, direfleksikan, dihayati dan dilaksanakan oleh rakyat bangsa Papua yakni ‘melihat’, ‘mendengar’, ‘berpikir’ dan ‘bekerja’ secara fundamental dan komprehensif dengan segenap kekuasaan komunitas hidup Papua. Keempat filosofi ini memiliki hubungan yang paling sangat berkaitan erat, asas dan dasar dan menjadi nafas pelayanan secara paripurna dalam seluruh dinamika kehidupan rayat Papua demi membangun dan mempertahankan KEHIDUPAN bersama. Keempat nilai filosofi ini adalah pencerahan dan inspirasi kehidupan bagi mereka dalam menyatakan hidup yang sesungguh-sungguhnya sebagai manusia Papua. Mereka pun  diarahkan oleh nilai-nilai dasar tersebut. Karena itu, martabat Papua boleh dikatakan hidup hanya jika keempat filosofi dasar ini, dipahami, direfleksikan, direnungkan dan dihayati serta dilaksanakan secara berkesinambungan dengan segenap jiwa, raga dan roh oleh setiap kita yang hidup untuk Papua. 
    Seketika pemerintah hendak melayani rakyat Papua melalui berbagai kebijakan, maka eksistensi Papua harus ditemukan terlebih dahulu dengan menggunakan keempat filosofi dasar di atas ini. Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan  eksistensi KEHIDUPAN Papua ialah komunitas sesama manusia baik orang hidup maupun orang mati, komunitas para leluhur, komunitas air (laut, danau, sungai, kali) komunitas alam sekitarnya (komunitas batu, gunung, landai, dan komunitas bukit) dan komunitas hewan dan seisinya. Semua ini milik bersama dari dan untuk Papua demi menegakkan penghormatan dan kebebasan martabat Papua. Mereka telah “berada” dalam kandungan filosofinya sendiri secara praksis.
   Justru persoalan muncul di Papua yakni perampasan, pembunuhan dan penghancuran hak-hak dasar yang merupakan kepemilikan bersama dari dan untuk Papua. Hak ulayat dan hak hidup yang merupakan milik komunitas suku bangsa Papua dikuasai, dicuri dan dihancurkan secara sewenang-wenang oleh pemerintah dengan menghalalkan segala cara yang bersifat kekejam dan tidak bermoral. Apalagi, Papua ini semakin diwarnai dengan berbagai macam pemekaran wilayah, yang berpotensi untuk tejadinya pelanggaran HAM. Seperti tragedy kemanusiaan yang mengorbankan lima warga sipil Lani Jaya, dan di Kab.Dogiyai 4 warga sipil telah menjadi korban pada Agustus 2014 ini. Secara keseluruhan di Papua, ada sebanyak 25 warga sipil telah ditewaskan oleh Militer Indonesia dalam berbagai aksi kejahatan kemanusiaan terhadap warga Papua sejak Juni-Agustus 2014. 
   Sementara itu, Mahasiswa Papua di berbagai tempat di luar Papua juga mengalami ancaman yang paling kejam dan teramat memilukan. Di antaranya seperti sejumlah (477) Mahasiswa Papua yang sedang mengalami duka kemanusiaan secara darurat sampai berujung pada pembunuhan mahasiswa Papua, Petius Tabuni Minggu (19/10) pagi di Tondano.  Lalu, nasib hidup Mahasiswa Jakarta dan Bali juga sama seperti pembunuhan terhadap Paulus Petege wartawan pemula di www.majalahselangkah.com pada bulan lalu. Di sinilah rakyat tidak hanya mengalami kehilangan hak ulayat dan hak hidup tetapi juga kehilangan masa depan Papua. Hingga kini, masalah hak-hak dasar menjadi masalah actual di seantoro Papua seperti . 
   Akibatnya komunitas Papua mulai semakin tercabut dan terhapus dari kepemilikan HIDUP pribadi, sosial dan universal. Kehidupan telah semakin terasa kembali pada dirinya sendiri tanpa hormat. Sementara pemerintah dan para pengusaha telah semakin berdamai dan mengamankan diri dalam system kejahatan, kebobrokan dan manipulasi serta kolinialisme NKRI, yang dilandasi atas dasar jeritan dan tangisan rakyat Papua yang berlapis-lapis. Mungkinkah KEHIDUPAN bagi Papua ini akan menjadi ilusi belaka, ataukah sudah saatnya, pemerintah jangan lagi membiarkan rakyat menderita secara berlarut-larut dalam bingkai NKRI?. Jika bukan pemerintah,  siapa lagi yang mau melayani rakyat demi KEHIDUPAN bersama?. Dan jika bukan sekarang, kapan lagikah pemerintah mau menolong rakyatnya sendiri? Papua tunggu jawaban dari Presiden JOKOWI dengan segera melaksanakan DIALOG JAKARTA-PAPUA DI TEMPAT YANG NETRAL.#

_________
*Penulis adalah Mahasiswa pada STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua
( Artikel ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos - November 2014)