Selasa, 29 Desember 2015

Corak Produksi Manusia Papua Dulu dan Kini

Oleh : Julian Howay*

  BERAWAL dari sejarah geologinya. Sebelum zaman pencarian es yang terjadi sekitar 80.000-12.000 tahun lalu, pulau Papua, benua Australia dan Pulau Tasmania membentuk satu benua besar bernama Daratan Sahul (Sahul Island). Sejarah geologi inilah yang menyebabkan ada kemiripan komposisi mineral batuan, bentang alam, iklim, hingga flora dan fauna diantara pulau-pulau yang semula membentuk Daratan Sahul.    
  Melalui sejumlah penemuan arkeologi, diperkirakan manusia telah menghuni Benua Sahul sekitar 50.000-25.000 tahun lalu. Nenek moyang mereka adalah kelompok manusia prasejarah yang diperkirakan keluar atau berasal dari pusat peradaban awal umat manusia di Afrika dengan melalui jalur panjang hingga sampai ke Benua Sahul. Mereka adalah kelompok manusia yang berasal dari ras Oseanik Negritos, ras Carpetarians, ras Murrayan dan ras Melanesia Purba. 
  Kelompok manusia yang datang secara bertahap tersebutlah yang membawa kebudayaan mesolitik, neolitik dan mesolitik. Mereka inilah yang kemudian menjadi nenek moyang penghuni benua Australia (orang Aborigin), pulau New Guinea hingga Pulau Tasmania. 
Setelah zaman pencarian es berlalu, pulau Papua tetap menjadi bagian dari planet dunia dengan kondisi geografis yang menampakan kerumitan untuk di jelajahi. Pulau ini memiliki panjang sekitar 2.700 km dan lebar 900 km, dengan luas keseluruhan mencapai  892.000 km persegi sehingga menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland (dikuasai kerajaan Denmark) dan terbesar pertama untuk kategori pulau berpenduduk. 
  Dalam banyak hal pulau New Guinea (Papua) adalah wilayah istimewa yang sejak berabad-abad lamanya terselubung misteri. Karena itu dianggap sebagai pulau besar yang belum dikenal seperti halnya benua Australia di selatan (tera Australia incognita), terutama bagi para penjelajah dari luar. Kisah-kisah awal mengenai pulau ini bagai dongeng yang menjadi buah bibir orang.   
Pada abad VI dan VII Sesudah Masehi pulau ini kemudian dikenal oleh para pedagang dan pelaut Persia, Gujarat dan India sehingga mereka menyebutnya “Dwipanta” atau “Samudranta” yang berarti “Ujung Samudera” atau “Ujung Lautan”. Selanutnya di abad VIII, seorang pedagang China bernama Chou Yu Kuan menyebut pulau ini dengan nama “Tungki” sebagai daerah asal rempah-rempah dan hasil hutan, selain itu juga dengan sebutan “Janggi” yang juga berarti wilayah yang dihuni orang-orang berkulit hitam.
  Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pedagang-pedagang Majapahit, Cina, Gujarat, dan India lebih dulu singgah di Papua. Bangsa Eropa yang pertama singgah di Papua adalah bangsa Portugis yang kemudian disusul oleh Spanyol, Inggris, dan Belanda. Faktor pendorong adanya penjelajahan dan penemuan benua baru itu sesungguhnya dipengaruhi oleh usaha mencari emas, rempah-rempah, kejayaan dan penginjilan Kristen atau yang dikenal dengan spirit 3G (Gold, Glory dan Gospel).
Penjelajahan itu kemudian membuat pelaut Portugis Jorge de Meneses menyebut pulau ini dengan nama “Papua” yang dalam bahasa Melayu berarti orang berambut keriting. Kemudian Alvero de Saavedra pada tahun pada 1528 menyebutnya “Isle del Oro” atau “Pulau Emas”. Pada abad XVI sesudah masehi atau antara tahun 1500-1800, Antoneo D’Abreuw pada 1511 dan Francesco Serano pada 1521 menyebut pulau ini dengan nama “Os Papuas” atau “Ilha de Papo Ia”. 
Kemudian antara tahun 1526-1527 pelaut Portugis, Don Jorge de Meneses menamai pulau ini “Papua” yang diketahui dari catatan Antonio Figa Veta, seorang juru tulis pada pelayaran Magellhaens (seorang pelaut yang terkenal di dunia). Nama itu diketahui Figa Veta saat singgah di Tidore dimana bahasa Tidore “Papo Ia” artinya “Tidak Bergabung” atau “Tidak Bersatu”, sedangkan bahasa Melayu artinya “Rambut Keriting”.
Selanjutnya pelaut Spanyol Ynigo Ortiz de Retes pada abad XVI menyebut pulau ini dengan nama Nova Guinea” atau “Guinea Baru” karena penduduknya mirip orang-orang Guinea, sebuah wilayah eks koloni Portugis yang pernah ia singgahi sebelum tiba di Papua. Nama ini pula yang kemudian diadopsi Belanda yang menyebut Papua sebagai “Nieuw Guinea” dari istilah Spanyol “Nova Guinea”.  
   pulau besar ini nantinya sekitar 40% atau hampir separuhnya pernah berada dibawah kolonisasi Belanda yang dimulai secara teratur dan resmi pada tahun 1898 (Joh Rauws, Onze ZendingsVelden:1919,2). Sedangkan bagian yang lain dari pulau ini pernah dikuasai Inggris (bagian selatan) dan Jerman (bagian utara). Namun saat meletus Perang Dunia I di tahun 1914, Inggris melalui Australia berhasil mengambil alih bagian utara yang tadinya di duduki Jerman.  
  Seiring berjalannya waktu, pulau Papua terbagi menjadi dua wilayah negara yang berbeda: Papua New Guinea (PNG) di sebelah timur yang memperoleh kemerdekaannya dari Inggris di tahun 1975, memiliki luas wilayah 476.000 km persegi. Sedangkan di sebelah barat adalah West Papua (Papua) dengan luas 416.000 km persegi atau seluas 3,5 kali luas pulau Jawa. Papua adalah wilayah berkas koloni Belanda yang kemudian menjadi wilayah kolonisasi Indonesia sejak 1 Mei 1963. 
Pembagian kekuasaan atas Pulau Papua antara Belanda dan Inggris semula didasarkan pada pada Perjanjian Den Haag, 16 Mei 1895. Perjanjian itu kemudian ditegaskan kembali dalam dua perjanjian: antara Pemerintah Indonesia dan Australia (1974) maupun Pemerintah Indonesia dan PNG pada 1984, tanpa merubah kesepakatan awal (J. R Mansoben, 1995:26). 

Corak Produksi
  Identifikasi corak produksi ibarat kompas yang menentukan kemana arah suatu masyarakat bangsa berkembang. Atau ibarat mikroskop yang dapat melihat ukuran-ukuran bakteri (makluk mikroskopis) yang menjadi penyebab penyakit dalam tubuh manusia. Demikian halnya bila hendak menilai tahapan perkembangan manusia Papua, perlu diidentifikasi corak produksinya.    
  Meskipun manusia Papua diperkirakan telah menghuni pulau Papua sekitar 50.000-25.000 tahun silam dan telah bersentuhan dengan para penjelajah dari luar pada abad VI dan VII, namun hal itu tidak terlalu mempengaruhi corak produksi mereka pada masa-masa pra-kapitalisme. Demikian pula hingga memasuki era kapitalisme yang dibawa oleh kolonisasi Belanda hingga Indonesia. 
  Pada masa pra kapitalisme, corak Produksi Masyarakat Papua adalah Komunal Primitif atau Masyarakat Tribal (tribal society) yang sedang berdialektika dan merangkak menuju corak produksi Masyarakat Perbudakan (slavery society) sebagai sebuah tatanan sosial peradaban baru. Dimana dalam corak produksi masyarakat tribal, pembagian kerja masyarakat ini masih bersandar pada pola-pala pembagian kerja tradisional yang ada dalam keluarga. 
  Cara mendapatkan makanannya adalah dari tingkat terendah: menangkap ikan di sungai, beternak sederhana, memelihara binatang buas seperti babi hutan, ayam liar, meramu sagu, dan sebagainya hingga sampai yang tertinggi bercocok tanam. Pola ini juga masih identik dengan ciri masyarakat subsisten Papua dewasa ini.
  Struktur masyarakat tribal ini terdiri dari keluarga, kepala keluarga laki-laki dan budak (terutama pada suku-suku di pesisir pantai utara yang sudah menerapkan kepemilikan budak di masa-masa pra kapitalisme). Sementara pada corak Produksi Masyarakat Perbudakan ditandai dengan sistem sosial kepemilikan budak. Pola ini umumnya pernah terjadi di Eropa dalam tahapan perkembangan masyarakatnya (Karl Marx,  The German Idiology).
  Sedangkan tipe perbudakan di Papua lahir sebagai akibat kontradiksi yang terjadi dalam sistem sosial masyarakatnya. Misalnya karena adanya konflik (perang suku) untuk menguasai sumber daya yang tersedia, motif kekayaan, pengaruh politik, wanita, hingga perluasan wilayah kekuasaan. Konflik kemudian menyebabkan penundukan klan yang satu oleh klan yang lain melalui perang suku. 
  Dimana klan yang kalah dijadikan budak, dilucuti hak-haknya sebagai manusia merdeka. Perbudakan juga bisa lahir akibat seseorang yang tidak mampu membayar hutang sehingga harus menyerahkan dirinya sebagai hamba (babu, pesuruh, pembantu) untuk melunasi hutang tersebut. Status itu dapat melekat seumur hidup atau kemudian para budak dapat menjadi manusia merdeka setelah ditebus (penebusan). 
  Pada fase masuknya era kapitalisme di Papua, dapat dikatakan bahwa corak produksi masyarakat Papua umumnya juga tidak terlalu banyak berubah. Sebab sebagian besar masyarakat Papua masih melakukan aktivitas yang berkaitan dengan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai masyarakat subsisten (berkebun, meramu, nelayan, beternak, menangkap ikan di sungai dan lain-lain). Hanya sebagian kecil saja yang telah beralih ke profesi pegawai (birokrat), buruh atau kaum pemilik modal (kapital) yang notabene telah menjadi janin borjuasi yang masih lemah produktifitasnya meski telah memiliki alat-alat produksi. 
  Dengan begitu dalam fase sejarah perkembangan nenek moyang orang Papua hingga hari ini, dapat dikatakan bahwa orang Papua telah mengalami tahapan perkembangan kebudayaan (peradaban) yang begitu lambat (lama) dibanding masyarakat Eropa atau Asia lainnya yang sudah berkembang corak produksinya sekian ratus tahun bahkan ribuan tahun. 
Dimana tahapan perkembangan mereka umumnya telah melewati fase pertama Masyarakat Komunal Primitif (Masyarakat Tribal), fase kedua Masyarakat Perbudakan, fase ketiga Masyarakat Feodal hingga menuju fase keempat Masyarakat Kapitalis saat ini. Di Eropa Barat misalnya, selama 300 tahun telah terjadi suksesi atau pergantian sistem sosial dalam masyarakatnya. Bahkan di Eropa Timur dan Tengah sudah terjadi empat kali pergantian sistem sosial meskipun musim dan suhu tidak berubah. 
  Sementara di Papua tahapan perkembangan masyarakat itu tidak berlangsung demikian. Yang terjadi adalah manusia Papua dengan corak produksi masyarakat komunal (tribal society) dipaksa melompat masuk ke tahapan corak produksi Masyarakat Kapitalis tanpa melalui fase corak produksi Masyarakat Perbudakan dan Masyarakat Feodal secara alamiah dan teratur. Hal inilah yang sering disebut sebagai lompatan peradaan (the jump of the civilization).
  Memang dalam teori kebudayaan, lompatan peradaban dapat saja menghasilkan penyesuaian-penyesuain (adaptasi) sebagai proses dialektika kebudayaan untuk menghasilkan kebudayaan baru dari hasil interaksi kebudayaan lama dengan kebudayaan luar. Namun pada masyarakat yang mengalami lompatan peradaban secara tidak wajar biasanya akan mengalami apa yang disebut kejutan budaya (culture shock). 
  Dengan ekses negatifnya berupa keterasingan dan marginalisasi secara psikologis maupun fisik. Ini terjadi karena di dalam diri mereka telah tertanam sindrom inferioritas: perasaan minder, inlander, tidak mau bersaing, mengalah, pasrah pada keadaan, merasa kalah sebelum bersaing hingga takut mengambil resiko untuk maju. 
  Pemikir Frantz Fanon dalam analisisnya menyebutkan bahwa perasaan dan sikap-sikap inferioritas dapat terjadi akibat suasana penindasan (kolonisasi), penguasaan, eksploitasi, penghisapan dan penundukan oleh bangsa (ras) atau manusia yang merasa diri lebih dominan (superior) terhadap manusia yang lemah dan dikuasai. Pihak yang lemah-lah yang kemudian menjadi subjek inferior terhadap pihak yang superior.   
  Berkaitan dengan mengapa begitu lambatnya tahapan perkembangan kebudayaan orang Papua hingga hari ini? Tentu hal ini tidak terlepas dari perkembangan tenaga produktif masyarakat Papua yang juga berjalan sangat lambat sejak era kolonialisme dan kapitalisme Belanda hingga Indonesia. Sebab perkembangan alat kerja, teknologi dan ilmu pengetahuan sangat berpengaruh, selain karena faktor kesulitan dan kendala geografis.#

 ____________
*)  Penulis adalah wartawan dan pegiat sosial. Anggota departemen pendidikan dan kajian Gerakan Rakyat Demokratik Papua (GARDA-P). 
    

Sabtu, 12 Desember 2015

Sekilas Makna Perayaan Natal

Oleh Gasper Muabuay *

PERINGATAN akan kelahiran Yesus Kristus oleh umat kristiani sedunia dirayakan setiap tahun pada 25 Desember. Diperkirakan Natal mulai dirayakan secara luas pada abad ke-5 di eropa sebagai makna peringatan akan kelahiran Yesus Kristus sesuai pemaknaan dari Injil Matius dan Lukas. Alkisah kelahiran bayi laki-laki Yesus Kristus melalui bunda Maria dari perantaraan Roh Kudus yang kita imani itu, di Betlehem yang disebut juga sebagai kota Daud tempat asal keturunan bangsa Yahudi dari silsilah Yesus Kristus.
Natal sendiri berasal dari bahasa Portugis yang berarti "kelahiran" yang adalah hari raya umat Kristen yang diperingati setiap tahun pada tanggal 25 Desember untuk mensyukuri kelahiran Yesus Kristus tersebut. Natal sejak itu dirayakan dalam kebaktian malam kudus pada tanggal 24 Desember dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember.
 Sehubungan itu, telah menjadi kebiasaan dimana perayaan natal dilakukan oleh umat kristen selama masa-masa menjelang peringatan hari kelahiran Yesus Kristus 25 Desember sesuai masa Adven itu. Selama ini telah digelar perayaannya menjelang/mendahului tanggal  25 Desember sebagai tanggal penentuan perayaan kelahiaran Yesus Kristus. Seperti lazimnya di Indonesia atau Papua selama ini, perayaan natal mulai digelar pada 1 Desember sampai 23 Desember.
 Hal ini dilakukan umat Kristen dengan alasan, mengingat jika dalam satu jemaat gereja atau komunitas Kristen misalnya, di bulan desember itu biasanya akan ada banyak jadwal perayaan natal menjelang 25 Desember oleh persekutuan dalam satu jemaat gereja dan komunitas Kristen tertentu.
Makna Berbagi Kasih Natal
Peringatan Natal juga memiliki beberapa tradisi di dunia, misalnya yang berasal dari warga kristen Barat dan kemudian contoh yang baik itu diadopsi pergelarannya oleh kita semua warga Kristen se-dunia. Diantaranya, misalnya menyiapkan pohon Natal; mengirim Ucapan Selamat Natal lewat sebuah Kartu Natal (Christmas Card);  Bertukar Hadiah antara teman dan Anggota Keluarga; serta mewujudkan kisah tentang peran Santa Klaus atau Sinterklas.
 Sinterklas yang dikisahkan memiliki brewok putih/hitam, berwajah putih/hitam dan berjubah merah atau warna serasi lainnya sangat mengagumkan anak-anak untuk dikenang seumur hidup mereka. Setelah memberikan hadiah, Sinterklas juga memberikan petuah dan wejangan syarat-syarat kehidupan yang dipesankan kepada anak-anak agar bisa dengar-dengaran nasihat orang tua, rajin ke sekolah minggu, rajin belajar di sekolah, rajin berdoa kepada Tuhan Yesus dan lain sebagainya. Sehingga dengan semua simbol-simbol peringatan itu, mengimani dan mengamini perayaan menjelang Natal atau sesudahnya menjadi lebih berarti dalam nuansa kehidupan kita yang merayakan hari kelahiranNya setahun sekali itu.
SK Gubernur Papua Tentang Hari Libur Masa Adven Natal
Sehubungan pembahasan di kalimat depan dan sesuai pengertian umum, kata Adven dalam Gereja Kristen adalah nama periode sebelum Natal. Nama Adven diambil dari kata Latin Adventus yang artinya adalah Kedatangan. Sehingga Natal selain merupakan suatu perayaan suka cita besar pada setiap 25 Desember, juga sebagai ucapan syukur umat Kristiani se-jagad atas peringatan tahunan menyambut kedatangan Sang Juru  Selamat Tuhan Yesus Kristus ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa-dosa. Seperti dijelaskan sebelumnya, hal ini juga sesuai dengan makna yang terfirmankan di dalam Alkitab Kristen.
 Sehubungan itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan, seperti yang kita telah tahu bersama, Pemerintah Provinsi Papua melalui SK Gubernur Papua Nomor 188.4/437/Tahun 2014 Tentang Hari-hari Libur Resmi di Wilayah Provinsi Papua Tahun 2015 telah menetapkan Tanggal 1 Desember 2015 dan seterusnya di setiap tahun adalah Cuti Bersama Masa Raya Advent memasuki Natal. Hal ini menurut penulis adalah satu kebijakkan pemerintah Provinsi Papua yang logis,  tepat dan strategis untuk diterapkan di Papua dengan penambahan satu hari libur bersama di daerah yang memiliki status Otonomi Khusus. Gubernur Papua dan Wakil Gubernur Papua yang didukung DPRP dan MRP bersama jajaran Muspida plus lainnya, juga nampak cukup bijaksana dan cerdas telah menetapkan Surat Keputusan tersebut bagi kebutuhan seluruh masyarakatnya.
Kemudian yang dimaksud dengan “Cuti Bersama” di sini adalah “Libur Bersama”. Artinya walaupun terlaksanakan dalam konteks masa-masa penantian atau masa-masa raya Adven menuju peringatan kedatangan Putera Natal Yesus Kristus. Namun liburan bersama yang telah dicetuskan pemerintah Provinsi Papua tersebut dapat dinikmati oleh semua orang, seperti pegawai pemerintah, anak-anak sekolah, mahasiswa, swastawan serta yang ada dan bermukim di bagian Tanah Papua ini. Juga penting untuk diingat pula bahwa hari libur regional 1 Desember ini adalah merupakan yang pertama kali dalam sejarah pemerintahan di Papua, sehingga wajib pula dihargai, dihayati dan dinikmati oleh kita semua dalam satu ruang suka cita dan damai sejahtera di negeri ini. Sebab juga merupakan satu arti penting pengejawantahan dari Injil masuk di Tanah  Papua sejak tahun 1855 dalam bentuk pekabaran Injil Kristus bagi kemajuan orang-orang Papua, termasuk membawa kabar kesukaan kelahiran Yesus Kristus yang kita boleh merayakannya setiap tahun sampai sekarang ini. Selamat merayakan masa-masa raya Adven Natal  menjelang kelahiran Yesus Kristus di Provinsi Papua. Immanuel-Syaloom! 

Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial
( Tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos 2015)