Oleh: Carlos Henriques*
SETELAH cukup lama “tidak bersuara” karena berhalangan akibat mengalami sedikit gangguan kesehatan, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, SIP,MH untuk pertama kalinya kembali melambungkan suaranya di hadapan publik saat memimpin apel pagi di halaman Kantor Gubernur pada Senin (29/6).
Nada suaranya tidak berubah sedikitpun: tegas, blak-blakan- tanpa sembunyi-sembunyi yang kadang membuat merah kuping kebanyakan orang yang belum terbiasa dengan karakternya sebagai “Anak Gunung- Anak Koteka” yang tengah menghembuskan “badai gunung” untuk menyapu bersih praktek-praktek koruptif, manipulatif dan nepotisme dalam tubuh pemerintahan di tingkat provinsi hingga distrik dan kampung.
Apa yang dibicarakan seorang Lukas Enembe selama ini semuanya bermuara pada satu titik yakni “terciptanya kemandirian, kesejahteraan dan rasa keadilan bagi seluruh warga masyarakat di Tanah Papua terutama Orang Asli Papua”. Dia ingin agar dalam lima tahun masa pemerintahannya, amanat UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua dapat terwujud terutama adalah “Keberpihakan” bagi Orang Asli Papua.
Sebuah Harian lokal pertama dan terbesar di Papua, sejak Senin, 29 Juni 2015 (saat memimpin apel pagi di halaman Kantor Gubernur Papua) hingga Sabtu (4/7), sangat gencar memberitakan “suara Sang Gubernur” itu ke ranah publik. Hampir setiap hari, begitu banyak kalangan memburu, membeli dan membaca media cetak ini hanya untuk mengetahui apa saja yang dibicarakan oleh orang nomor satu di pemerintahan provinsi tertimur Indonesia ini.
Beberapa pernyataan penting yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe dalam satu pekan terakhir ini patut dicermati secara kritis dan bijaksana, di antaranya adalah: Pertama, Gubernur Lukas Enembe meminta agar orang tidak berpikir aneh-aneh tentang dirinya. Kedua, Gubernur menyatakan, Pemprov Papua berhak mengelola Sumber Daya Alam (SDA) tanpa berkoordinasi dengan Pusat. Ketiga, aset PT Percetakan Rakyat Papua (PRP) sebaiknya dilelang saja karena tidak memberikan hasil atau kontribusi kepada pemerintah daerah. Keempat, Pembahasan Kontrak Karya Freeport harus dibicarakan di Papua dan melibatkan Pemprov Papua.
Apa yang disampaikan seorang Lukas Enembe ini adalah ungkapan keinginanya yang tulus sebagai Gubernur Papua sekaligus Putra Asli Papua untuk kemandirian dan kesejahteraan rakyat terutama Orang Asli Papua.
Namun, yang sangat disayangkan adalah, keinginan mulia seorang “Anak Tanah” ini, ternyata tidak mampu diserap dan ditindaklanjuti secara nyata oleh para pembantunya di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kita harus jujur mengakui bahwa banyak sekali pimpinan SKPD saat ini ternyata belum mampu “membaca” keinginan Gubernur Lukas Enembe (dan Wakil Gubernur Klemen Tinal). Kalau “membaca” saja sudah tidak mampu, apalagi melaksanakannya dalam tindakan nyata?
“Saya harapkan untuk pimpinan SKPD agar mampu seirama dengan gubernur dalam menjalankan tugas, sehingga apa yang menjadi komitmen untuk membawa Provinsi Papua menuju Papua bangkit, Mandiri dan Sejahtera dapat terwujud,” kata Gubernur Lukas Enembe di Kantor Gubernur, Jumat (3/7).
Apabila Gubernur Lukas Enembe berharap agar Pimpinan SKPD seirama dengan dirinya, berarti secara terbalik sebenarnya Beliau mengakui bahwa memang benar, ada pimpinan SKPD selama ini tidak seirama dengannya. Mengapa tidak seirama? Jawabannya berpulang kepada kemampuan diri (profesionalisme) dan kesungguhan Hati (etos kerja) dari orang yang dipercayakannya untuk memimpin SKPD di Provinsi ini.
Membedah secara kritis
Terkait “berpikir aneh”. Berpikir aneh tidak bedanya dengan berpikir yang tidak lazim atau tidak semestinya atau berpikir di luar kebiasaan yang benar dan yang sebenarnya.
Terdapat dua kemungkinan, mengapa sampai orang berpikir aneh? Kemungkinan pertama, adalah karena orang itu sendiri memang aneh dalam berpikir dan bertindak, atau lantaran ada kecemburuan , iri hati dan dendam masa lalu terhadap diri kita sehingga akhirnya orang itu berpikir aneh tentang diri kita- yang sebenarnya tidak aneh.
Kemungkinan kedua adalah, kita sendirilah yang berpikir, berbicara dan bertindak aneh, yang akhirnya membuat orang sampai berpikir aneh tentang diri kita.
Apa yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe agar orang tidak berpikir aneh tentang dirinya, sebenarnya Gubernur Lukas berbicara tentang kemungkinan pertama yang tersebut di atas.
Gubernur Lukas Enembe pasti memiliki banyak informasi akurat terkait berbagai pemikiran aneh tentang dirinya sehingga sangat wajar apabila dia mengingatkan agar “orang tidak berpikir aneh-aneh tentang dirinya”. Sebaliknya, Gubernur Lukas tidak termasuk dalam kemungkinan kedua diatas, karena selama ini dia tidak berpikir, berbicara dan bertindak aneh-aneh. Apa yang dipikirkan, dibicarakan dan dikerjakan, semua itu demi kemandirian dan kesejahteraan seluruh warga masyarakat Papua terutama Orang Asli Papua.
Walaupun demikian, kita juga tidak boleh melarang orang untuk berpikir aneh tentang Gubernur Lukas Enembe, karena mungkin saja selama Gubernur berhalangan, banyak pimpinan SKPD yang telah diangkat dan dilantiknya pada dua tahun lalu itu, ternyata tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya “duduk manis” di kala sang Pemimpinnya tidak berada di ibukota Provinsi Papua.
“Aneh juga Gubernur kita yang satu ini. Sudah jelas-jelas mengetahui seorang Kepala SKPD tidak mampu berpikir apalagi bekerja, masih juga dipertahankan orang itu, sampai-sampai, para bawahan di kantor menjadi bosan dan muak melihat pemimpin SKPDnya itu,” kata seorang warga masyarakat Kota Jayapura yang tidak mau disebut identitasnya di media.
Tentang kewenangan Pemprov dalam mengelola SDA tanpa berkoordinasi dengan Pusat. Pernyataan Gubernur Lukas Enembe ini sudah benar karena Pemerintah Pusat telah memberikan banyak kewenangan kepada daerah untuk mengelola SDAnya dan memang sudah ada petunjuk resmi dari Pemerintah Pusat terkait hal ini.
Namun demikian, dituntut kemampuan, kepiawaian atau profesionalsitas wartawan dalam memberitakan pernyataan Gubernur tersebut sehingga para pembaca (masyarakat) dapat menangkap secara utuh dan benar pesan dan hikmat di balik pernyataan Gubernur tersebut . Sebaliknya, apabila wartawan tidak profesional dalam memberitakan pernyataan Gubernur tersebut maka masyarakat luas akan langsung berpikir yang aneh-aneh tentang Gubernur.
Apabila media tidak secara profesional memberitakan pernyataan Gubernur Lukas Enembe terkait kewenangan pengelolaan SDA oleh Pemprov maka kesan kuat yang terbaca adalah ada sedikit “semangat” pembangkangan terhadap Pemerintah Pusat. Padahal,seorang Gubernur/Kepala Daerah sebuah Provinsi adalah perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Pak Gubernur Lukas Enembe sedikitpun tidak bermaksud membangkang seperti yang dipikirkan atau diduga orang! Dia seorang Anak Gunung yang Tulus Hatinya!
Oleh karena itu, ketika seorang wartawan menulis pernyataan Gubernur Lukas Enembe terkait kewenangan pengelolaan SDA oleh Pemprov maka pada alinea berikutnya dia harus memaparkan secara singkat, kewenangan itu diberikan oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk apa? Tertuang dalam keputusan apa? Kapan diberikan kewenangan itu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, masyarakat kita yang semakin kritis akibat pendidikan dan perkembangan Iptek, tidak sampai berpikir aneh-aneh tentang Gubernur kita yang kita cintai bersama.
Perihal gagasan Gubernur Lukas Enembe melelang aset Percetakan Rakyat Papua (PRP) seharusnya dipahami secara bijaksana bahwa Gubernur sampai melontarkan gagasan tersebut akibat ketidakmampuan Pimpinan PRP itu sendiri dalam membaca dan menerapkan gagasan besar seorang Lukas Enembe.
Patut kita ketahui bahwa sebuah gagasan sederhana mendirikan PRP adalah setiap tahun hampir ratusan miliar rupiah mengalir keluar Papua hanya untuk membiayai cetak kebutuhan administrasi (ATK) di lingkungan Kantor Gubernur Papua. Tercatat, pada tahun 2005, dana yang keluar dari Kantor Gubernur Papua untuk mengurus cetak-mencetak saja sebasar Rp20 Miliar. Itu, baru pada kantor gubernur, belum kantor-kantor SKPD dan perusahaan swastalainnya. Maka, ada baiknya, didirikan PRP agar dana-dana tersebut tidak sampai dibawa keluar Papua.
Hal yang dituntut dari seorang Pemimpin PRP adalah kemampuan dan semangat berwirausaha (enterpreneurship) untuk mengelola PRP demi mewujudkan gagasan Gubernur Lukas Enembe yakni terciptanya Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera!
Bagaimana mungkin, di dalam semangat mengejar kebangkitan menuju kemandirian dan kesejahteraan itu, aset PRP dilelang? Jawabannya adalah: Daripada dilelang dan membuat pusing Gubernur Lukas Enembe, lebih baik Pemimpin PRPnya diganti oleh orang yang profesional dan berjiwa wirausaha. Masih banyak Anak Asli Papua yang saat ini memiliki profesionalisme di bidang percetakan dan berjiwa wirausaha asalkan ada kepercayaan sebagai sesama Anak Papua.
Keputusan yang paling tepat saat ini, bukanya menjual aset PRP melainkan menggantikan pemimpin PRP yang lebih mumpuni. Jangan menjual lumbung padi, tetapi mengusir tikus yang memakan padi di dalam lumbung tersebut dengan seeokor kucing yang matanya bersinar terang. Tikus hanya memakan habis padi di dalam lumbung, sedangkan kucing menjaga lumbung agar padi tidak dimaling tikus berdasi!
Perihal gagasan Gubernur Lukas Enembe agar pembahasan Kontrak Karya Freeport harus dibicarakan di Papua dan melibatkan Pemprov Papua, patutlah kita cermati secara kritis, bijaksana dan sejuk.
Inti dari pemikiran Gubernur Lukas Enembe ini adalah agar keuntungan Freeport itu benar-benar untuk kemandirian dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua khususnya Orang Asli Papua.
Gagasan yang mulia ini, seharusnya dapat dibaca dan langsung dilaksanakan oleh para pembantunya terutama Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang hampir setiap hari berurusan dengan Freeport dan Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kementerian ESDM.
Ternyata, kepala SKPD Dinas ESDM Provinsi Papua belum profesional. Belum mampu membaca keinginan Gubernur Lukas Enembe. Kalau dia belum mampu membaca, bagaimana melaksanakannya?
Seharusnya, setelah Kepala Dinas ESDM ini mendengar gagasan Gubernur Lukas Enembe, maka langkah konkret yang dia tempuh adalah segera dan terus-menerus membangun komunikasi dengan pihak Kementerian ESDM di Jakarta dan PT Freeport Indonesia, baik di Jakarta maupun di Kantor Perwakilan PTFI Jayapura agar dua keinginan Gubernur Lukas Enembe dapat terlaksana yaitu Pertama, pembicaraan Kontrak Karya Freeport berlangsung di Papua dan Kedua, pembicaraan itu mengikutsertakan paling kurang Pemerintah Provinsi Papua yang dalam hal ini Gubernur Lukas Enembe.
Apabila atas pertimbangan satu dan lain hal, pembicaraan tentang Kontrak Karya Freeport itu akhirnya berlangsung di luar Papua (Jakarta) maka paling tidak, permintaan kedua dari Bapak Gubernur agar Pemprov Papua diikutsertakan dapat terlaksana ketika Chairman of the Board Freeport McMoRan.Inc (FCX) James R.Moffett didampingi Presiden Direktur PTFI , Maroef Sjamsoeddin bertemu Presiden Jokowidodo yang saat itu didampingi Menteri ESDM Sudirman Said pada Kamis (3/7) di Istana Kepresidenan,Jakarta membicarakan Kontrak baru Freeport.
Yang terjadi adalah, pertemuan yang bersejarah dan sangat menentukan masa depan ekonomi Papua itu justru tidak berlangsung di Papua (tetapi di Jakarta) dan tidak mengikutsertakan Pemprov Papua.
Betapa bangga dan puasnya seluruh lapisan masyarakat Papua ketika mereka melihat melalui layar kaca televisi, membaca di berbagai media cetak serta mendengar Radio bahwa orang nomor satu di Provinsi Bapak Lukas Enembe,SIP,MH duduk bersanding dengan James R.Moffett dan Presiden Jokowidodo membahas Kontrak baru Freeport yang beroperasi di atas Tanah Papua demi satu cita-cita mulia yaitu: Kebangkitan, Kemandirian dan Kesejahteraan rakyat Papua terutama Orang Asli Papua.
Realitas berbicara lain! Melalui media massa, seluruh rakyat di Tanah Papua akhirnya mengetahui bahwa pembicaraan kontrak baru Freeport tidak berlangsung di Papua tetapi di Jakarta dan tidak mengikutsertakan Gubernur Papua Lukas Enembe, SIP,MH. Jangan kan berbicara di Papua, diundang hadir pun, mungkin tidak! Mau apa lagi? Jawabannya sangat mudah yakni: Berpulang kepada kemampuan (profesionalitas) seorang Kepala Dinas ESDM Provinsi Papua hari ini.
Apakah dengan kejadian ini, kita menjadi sangat emosional dan marah? Kita lantas mempersalahkan Pemerintah Pusat dan Freeport? Semuanya sudah berlalu! Jarum jam, tentu saja tak mungkin berputar kembali!
Ketika seorang pemimpin semakin banyak berbicara dan melontarkan gagasan -- namun tidak mampu ditangkap,dipahami, dicerna dan dilaksanakan oleh para pembantunya -- maka ketika itu juga wibawa pemimpin itu semakin menurun. Ketika wibawa mulai menurun maka kepercayaan pun akan semakin pudar ditelan waktu.
Kini, genaplah waktunya bagi kita untuk merangkul “lawan” menjadi “kawan seperjuangan” dalam mengarungi sisa-sisa perziarahan ini, guna mendapatkan “oase baru” sebagai kekuatan bertarung pada ronde berikutnya. Di dalam berpolitik, tidak terdapat kawan atau musuh abadi. Yang abadi hanyalah Kepentingan!#
___________
*Carlos Henriques: Pemerhati pembangunan sosial,politik dan pluralisme Agama di Papua.
( Artikel ini pernah dimuat di harian Cenderawasih Pos - Juli 2015)