(Menyambut Hari Bhayangkara ke-69 )
Penulis : Ridwan al-Makassary dan Sopar Peranto *
SETIAP tanggal 1 Juli, kita merayakan hari jadi Kepolisian Republik Indonesia (Bhayangkara) di tanah air, termasuk di Papua. Murungnya, beberapa tahun terakhir adalah tahun yang tidak mudah bagi korps Kepolisian Republik Indonesia. Pelbagai kasus mendera institusi kepolisian, sejak kasus perseteruan penegakan korupsi antara Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), institusi Polri yang disinyalir termasuk salah satu lembaga yang terkorup, angka kriminalitas yang cenderung tinggi, tindakan indispliner anggota, dll, telah menempatkan institusi kepolisian dalam tanda tanya besar tentang profesionalitas, citra diri dan kredibilitas. Singkatnya, Polri tengah diuji dengan “batu sandungan” pemulihan citra dan kredibilitas, di tengah menguatnya persepsi publik yang cenderung negatif terhadap eksistensi korps tersebut.
Untuk menyambut hari jadi Polri tersebut, kami khusus menyiapkan sebuah “kado” tulisan, sebagai bentuk kecintaan kami kepada kepolisian, tentang peta konflik kekerasan di Papua berdasarkan data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) hasil olahan the Habibie Center tahun 2014, yang diharapkan bisa membantu Kepolisian Daerah Papua untuk memahami secara holistik peta konflik kekerasan di Papua guna dicarikan strategi penciptaan ketertiban umum yang lebih tepat.
Data SNPK 2014 melaporkan telah terjadi 1.425 insiden kekerasan yang mengakibatkan 151 korban tewas, 1.478 cedera, 128 korban pemerkosaan, dan 200 bangunan rusak di Provinsi Papua. Pelbagai insiden kekerasan di Papua tersebut dominan terjadi di Kota Jayapura, Kabupaten Mimika, Kota Merauke, Kabupaten Jayapura, dan Nabire. Di samping itu, jika dilihat dampak tewas akibat kekerasan, Mimika menjadi wilayah yang cukup dominan, diikuti oleh Kota Jayapura, Kota Merauke, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Jayawijaya.
Data SNPK tersebut mencatat pola pesebaran insiden dan dampak kekerasan tersebut hampir serupa dengan yang terjadi pada 2013. Kondisi tersebut menunjukan bahwa pelbagai insiden kekerasan kerap muncul di kota/kabupaten di Papua yang mana konsentrasi pembangunan berada di wilayah tersebut. Di sisi lain, kota/kabupaten yang mana dampak tewas tinggi secara kuantitas dominan terjadi di wilayah-wilayah pegunungan, khususnya pegunungan tengah. Pola dan karakter pesebaran kekerasan di Papua ini penting diperhatikan karena relatif potret tersebut terjadi serupa di sepanjang tiga tahun terakhir.
Sepanjang tahun 2014, kekerasan di Papua didominasi insiden-insiden penganiayaan (54%), yang diikuti perampokan (18%), dan pengeroyokan (10%). Di sisi lain, insiden-insiden kerusuhan menjadi bentuk kekerasan yang menyumbang dampak tewas cukup besar, yakni sekitar 27% di Papua sepanjang tahun 2014. Salah satu contoh adalah insiden kerusuhan di Pasar Wouma, Jayawijaya, Papua pada Desember 2014.
Kerusuhan dipicu salah paham terkait peristiwa kecelakaan lalu lintas. Pihak keluarga korban kecelakaan yang tidak terima dengan kejadian tersebut melakukan aksi dengan membakar dan merusak dua mobil, kemudian melakukan penyerangan terhadap kelompok yang diduga sebagai pelaku. Aparat kepolisian dan TNI langsung turun ke lokasi kejadian dan berhasil menghentikan insiden tersebut dan mengamankan beberapa orang.
Pelbagai insiden kekerasan yang dominan terjadi di Papua sepanjang tahun 2014 adalah kriminalitas (70%), yang diikuti konflik (21%), KDRT (8%), dan Kekerasan Aparat (1%). Karena keterbatasan ruang hanya akan dibahas secara singkat dua jenis kekerasan yang menonjol di Papua, yaitu kriminalitas dan konflik identitas. Masalah separatisme akan dibahas tersendiri pada tulisan yang lain.
Kriminalitas merupakan permasalahan krusial di Papua sepanjang tahun 2014. Data SNPK mencatat 986 insiden kriminalitas yang mengakibatkan 60 tewas, 666 cedera, 121 korban pemerkosaan, dan 93 bangunan rusak. Dari hasil analisis data SNPK, angka kriminalitas di Papua berada dalam urutan kelima dari seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2014. Di samping itu, dari laporan Indeks Intensitas Kekerasan The Habibie Center 2015, intensitas kriminalitas di Papua berada pada urutan ketiga, yakni setelah Sulawesi Utara dan Sumatera Selatan.
Jika dilihat tren kriminalitas per bulan pada tahun 2014, insiden kriminalitas paling tinggi terjadi di Januari (113 insiden) dan paling rendah pada Desember 2014 (43 insiden). Tingginya insiden di bulan Januari tampaknya berkaitan dengan perayaan tahun baru yang berlebih-lebihan dengan prilaku meminum keras yangg membuat mabuk.
Sementara sedikitnya insiden di bulan desember karena bulan itu dimaknai sebagai bulan ibadah, karena perayaan natal. Kota Jayapura menjadi wilayah dimana insiden kriminalitas dengan kekerasan tercatat paling banyak terjadi. (61%) di Provinsi Papua. Melihat angka kriminalitas yang sangat tinggi tersebut, diperlukan upaya-upaya serius dan komprehensip dari para pemangku kepentingan guna mewujudkan Kota Jayapura yang aman dan damai sesuai dengan motto Kota Jayapura Hen Teccahi Yo Onomi Te’mar Ni Hanased (Membangun kota dengan satu hati untuk kemuliaan nama Tuhan).
Sementara itu, konflik identitas juga menonjol di Papua sepanjang tahun 2014. Data SNPK mencatat sebanyak 26 insiden kekerasan terkait konflik identitas terjadi sepanjang tahun 2014. Insiden tersebut mengakibatkan 12 tewas, 81 cedera, dan 7 bangunan rusak. Insiden-insiden kekerasan terkait konflik identitas di Papua memang terlihat terus-menerus terjadi setiap tahun. Dalam satu dasawarsa terakhir telah terjadi 206 insiden kekerasan yang mengakibatkan 118 tewas, 1.636 cedera, dan 106 bangunan rusak.
Jika dilihat rerata insiden dan dampak cedera, setiap satu insiden kekerasan yang terjadi akibat konflik identitas mengakibatkan setidaknya delapan orang cedera. Angka ini sangat besar jika dibandingkan kekerasan terkait konflik identitas di provinsi lainnya. Bahkan, dari hasil analisis data SNPK 2014, Papua merupakan wilayah yang sangat rentan terjadi kekerasan terkait konflik identitas dibandingkan provinsi lainnya.
Kekerasan terkait konflik identitas di Papua sepanjang tahun 2014 yang dominan adalah bentrokan atau penganiayaan antar-kelompok suku. Data SNPK mencatat 61% (16 insiden) adalah insiden terkait dengan kategori tersebut. Bahkan, seluruh dampak tewas konflik identitas merupakan akibat dari insiden-insiden kekerasan antar-kelompok suku. Jika dilihat dari pola persebaran konflik antar-kelompok suku di Papua, insiden kekerasan hanya terjadi di dua wilayah, yakni Kabupaten Mimika dan Kabupaten Jayawijaya. Kabupaten Mimika menjadi wilayah yang dominan terjadi kekerasan antar-kelompok suku di sepanjang tahun 2014 dengan 15 insiden yang mengakibatkan 12 tewas, 65 cedera, dan lima bangunan rusak.
Sejauh ini peran Polda Papua untuk menjaga ketertiban umum dengan pendekatan dialogis sudah cukup baik dilakukan, mengikuti arahan Presiden Joko Widodo untuk penyelesaian Papua tidak dengan menggunakan kekerasan. Penting dicatat pula bahwa tantangan khusus di Papua juga menyangkut persoalan disintegrasi bangsa yang merupakan masalah nation building di tanah air, yang jarang dijumpai di kota-kota lain. Di sini, tuntutan profesionalitas anggota Polda di Papua mesti juga dibarengi dengan kesejahteraan prajurit dan dana operasional yang memadai. Singkatnya, adanya penurunan jumlah konflik kekerasan, termasuk kriminalitas dan konflik identitas di Papua beberapa tahun terakhir bukanlah sebuah kebetulan melainkan hasil kerja keras Polda Papua bersama warga masyarakat dengan dukungan aparat TNI dan Pemda. Papua sudah menikmati “damai negatif”, yaitu tidak ada perang atau konflik kekerasan, namun masih berjuang untuk “damai positif”, yaitu hadirnya keadilan, hak asasi manusia dan demokrasi. Perang Polda Papua terbilang cukup signifikan dalam hal ini.
Pada akhirnya, penyelesaian konflik kekerasan yang komprehensif di Papua membutuhkan sinergi antara pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota dalam membangun Papua secara nyata dengan menjadikan orang Papua asli sebagai tuan rumah di tanah Papua menjadi sangat krusial. Sinergi ini penting dilandaskan pada rasa saling percaya di antara berbagai pihak.
Hal inilah yang dapat mempercepat kerja-kerja pembangunan di Tanah Papua. Seiring dengan itu, dialog damai antara para pemangku kepentingan, baik itu dari kalangan pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga kelompok-kelompok sipil bersenjata juga penting dikedepankan. Upaya tersebut penting dilakukan secara inklusif guna membuka ruang bagi seluruh elemen untuk mendorong kemajuan, pembangunan dan perdamaian di Tanah Papua. Dengan komitmen, keseriusan, serta kerja-kerja bersama, niscaya Papua Tanah Damai (PTD) bukan hanya slogan semata, melainkan mencerminkan kondisi nyata dan berdenyut di tengah masyarakat.
Dirgahayu Polisi Republik Indonesia!!!
Penulis: Ridwan al-Makassary adalah Dosen Jurusan Hubungan Internasional USTJ Papua dan Sopar Peranto adalah peneliti di The Habibie Center Indonesia
(tulisan ini pernah dimuat di Harian Cenderawasih Pos 2016)